Hari Ulang Tahun (HUT) atau Milad Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ke-43 tak lagi diperingati dengan upacara bendera bulan bintang di hutan-hutan. Tapi, sebagian mantan kombatan GAM memperingatinya dengan doa bersama di makam Deklarator GAM, Tgk Hasan Muhammad Di Tiro, Gampong Manggra, Kecamatan Indrapuri Aceh Besar, Rabu (4/12).
Aceh telah damai, sejak kesepakatan menghentikan konflik ditandatangani antara Pemerintah Indonesia dan GAM di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005 silam.
Bagaimana Tgk Hasan Tiro memulai pemberontakan? Apa pemicunya? Dan bagaimana kisah akhir hayatnya? acehkini merangkumnya, diperkaya dengan dokumen foto-foto beliau. Berikut kisahnya, sebagian diceritakan Wali Nanggroe Aceh, Tgk Malik Mahmud Al Haythar, karib seperjuangannya dulu.
Bermula dari konflik Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada 21 September 1953, setelah Tgk Daud Beureueh menyatakan Aceh menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia, mengikuti jejak Kartosoewirjo di Jawa Barat. Perlawanan bersenjata dimulai.
Teungku Mahmud, Ayahnya Tgk Malik Mahmud yang tinggal di Singapura, terlibat langsung mendukung Daud Beureueh, jabatannya sebagai duta. Rumahnya menjadi tempat singgah bagi tokoh-tokoh yang ke luar negeri mencari perbekalan perang dan membangun diplomasi dengan negara luar. Kerap menjadi tempat mengadakan rapat-rapat. Tak heran, rumah selalu ramai dan jadi terminal bagi orang Aceh yang ke sana. “Rumoh di Singapura lagee meunasah (seperti meunasah),” kisah Tgk Malik.
Kala itu, Tgk Malik masih berusia 14 tahun, anak sekolahan. Banyak merekam perbincangan rekan ayahnya, membuat Malik muda paham mendalam tentang Aceh dalam perjuangan dan politiknya. Perlahan dia tertarik, dan karena masih muda, menyimpan hasratnya untuk ikut serta.
Malik muda sering mendapat tugas membaca surat yang datang dari para tokoh gerakan. Dia disuruh baca oleh ayahnya, setelah itu dia juga menulis balasan, sesuai dengan perintah sang Ayah. Juga bertugas sebagai pencuci foto kegiatan DI/TII di Aceh. Dia banyak melihat gambar ketika foto sudah jadi.
Tgk Hasan Di Tiro dikenal Tgk Malik pertama kali lewat surat menyurat dengan ayahnya. Tgk Hasan Tiro, saat itu kuliah di Fakultas Hukum, Universitas Columbia, Amerika Serikat. Sambil belajar, dia juga bekerja pada dinas penerangan delegasi Indonesia di PBB
Sebuah kejadian pembunuhan ratusan masyarakat Aceh dalam perang DI/TII di Aceh mengubah hidupnya, pada 1954. Insiden itu dikenal sebagai tragedi Pulot Cot Jeumpa, di kawasan Leupung Aceh Besar. Saat itu, ratusan warga dibunuh tentara pemerintah karena dikaitkan dengan pemberontakan DI/TII. Peristiwa diberitakan beberapa media nasional seperti Indonesia Raya. Lalu ditulis kembali oleh media terbitan luar negeri sepeti New York Times, Washington Post yang terbit di Amerika Serikat.
Hasan Tiro menilai pembunuhan massal itu sebagai bentuk genosida. Dia melancarkan protes ke pemerintah Indonesia, mengirim ultimatum kepada Perdana Menteri (PM) Indonesia, Ali Sastroamidjojo, yang dianggapnya telah bertindak fasis. Surat terbuka tersebut kemudian membuat heboh Indonesia, apalagi surat itu disiarkan oleh beberapa surat kabar Amerika dan beberapa surat kabar di Indonesia terbitan Jakarta, seperti Abadi, Indonesia Raya, dan Keng Po.
Dalam surat itu, secara terang-terangan Hasan Tiro mengatakan bahwa kabinet Ali sastroamidjojo, telah menyeret bangsa Indonesia ke dalam lembah reruntuhan ekonomi, politik, perpecahan, dan perang saudara. Bahkan Hasan Tiro melaporkan kejadian itu ke agenda PBB.
Pemerintah Indonesia kemudian mencabut kuasa diplomat Tgk Hasan Tiro. Tak lama kemudian beliau balik arah, mendukung DI/TII, lalu menjadi Menteri Berkuasa Penuh dan Duta Besar Republik Islam Indonesia/Negara Islam Indonesia di PBB dan Amerika Serikat. Pemerintah Indonesia pernah meminta agar Tgk Hasan Tiro diekstradisi, tapi beliau mendapat jaminan dari pemerintah Amerika Serikat.
Pemerontakan DI/TII berakhir dengan damai, tatkala Daud Beureueh bersedia turun gunung, pada 9 Mei 1962, beserta pasukan setianya yang dipimpin oleh Teungku Ilyas Leube. Daerah Aceh kembali seperti semula, bahkan berstatus Istimewa.
Sejak itu, Tgk Hasan Tiro makin intens mengkaji sejarah Aceh. Beliau hidup mapan di New York sebagai pengusaha, bahagia bersama istrinya Dora dan anak semata wayangnya, Karim Tiro. Seperti ditulis dalam catatan hariannya, The Price of Freedom: The Unfinished Diary, meski menjadi incaran Pemerintah Indonesia, dia merasa menjadi pebisnis sukses yang berhasil masuk lingkaran pemerintahan di banyak negara, seperti AS, Eropa, Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan. Perusahaannya bergerak di bidang petrokimia, pengapalan, konstruksi, manufaktur, industri pengolahan makanan, dan penerbangan.







