Sebelum membahas lebih jauh tentang peristiwa Cumbok –arena pertarungan antara PUSA dan Ulèëbalang– agaknya perlu diperkenalkan: siapa, bagaimana peranan dan kiprah kaum Ulèëbalang dalam sejarah pemerintahan Acheh. Literatur yang meriwayatkan Ulèëbalang terbatas sekali, sehingga agak sulit mengungkap secara detail tentang status dan peranan Ulèëbalang dalam pemerintahan Acheh di masa silam. Untung, catatan pribadi dari beberapa pegawai pemerintah Belanda yang bertugas di Acheh merekamnya. Mengikut sejarahnya, keberadaan Ulèëbalang sudah lama dikenal di Acheh –paling tidak– sejak tahun 1641-75 (semasa pemerintahan Sultan Safiyat ad-Din Taj al-Alam dan Raja Permaisuri Putri Sri 'Alam 1675-78 Sultan Naquiyat ad-Din Nur al-Alam) sudah wujud. Njak Asiah atau Tjut Njak Karti yang dipanggil juga Tjut Njak Keureutoë, adalah Ulèëbalang bijak yang memimpin wilayah Keureutoë dan sekitarnya (priode: 1641-75). Dalam rentang masa yang sama, Ulèëbalang Tjut Njak Fatimah berkuasa di Meulaboh.
Begitu pula Ulèëbalang Po Tjut Meuligo di Salamanga yang berkuasa tahun 1857, merangkap sebagai penasehat perang dalam perlawanan menentang Belanda. „Ulèëbalang Tjut Njak Dien, yang menguasai wilayah Mukim VI yang mencakupi 25 Sagi, daerah militer di Acheh Barat, dimana Ayahnya (Teuku Nanta Setia) dikenal sebagai Panglima Perang yang menurut sejarahnya pernah bertugas sebagai Duta Besar Acheh di Pemerintah Pagaruyung Sumatera Barat, yang diwarisi sacara turun-temurun sejak Sultanah Tajjul Al-Alam.“[1] Ulèëbalang Po Tjut Baren Biheuë di Acheh Barat yang gigih melawan Belanda, walau kemudian Lieutenant H. Scheurleer berhasil membujuk dan memberi kaki palsu kepadanya setelah ditembak oleh pasukan Belanda, memberikan hak berkuasa sebagai Ulèëbalang di kawasan Beutông Ateuëh dan sampai mati setia kepada Belanda. Selain itu, dikenal Tjut Njak Meutia sebagai Ulèëbalang berani mati, bergabung dengan pasukan suaminya (Teuku Thjik di Tunong) sewaktu melawan Belanda. Setelah suaminya mati syahid, beliau tampil sebagai komandan bersama 45 pasukan dan punya 13 pucuk senjata.
Informasi ini sekaligus menjadi rujukan pembanding
kepada Teuku Kamal Fasya, yang menyebut Tjut Njak Dien berdarah Minang. Serambi
Indonesia, november, 2009.
Testimony Thomsom, MP, debat soal Acheh dalam Sidang
Parlemen Belanda, 5-6 November 1907.
Dalam struktur pemerintahan Acheh, Ulèëbalang adalah aparatur negara Acheh yang dilantik resmi oleh Sultan dengan “cap sikureuëng” (cap negara Acheh) yang diberi hak otonomi khusus mengelola hartanah negara bagi membiayai lancarnya roda administrasi pemerintahan dan perang melawan kolonial. Dalam hierarchi pemerintahan,
posisi Ulèëbalang sangat menentukan pola kebijakan politik Sultan. ”Bahkan diakui, secara teori di bawah kekuasaan Sultan, akan tetapi dalam prakteknya adalah “king” yang punya kewenangan mutlak di suatu kawasan.”[1] Pada (priode: 1855-1873), Sultan Acheh memerintahkan Ulèëbalang Idi Rayeuk dan Simpang Ulim supaya meningkatkan nilai ekport dari sektor perkebunan ke Penang yang kemudian diketahui mencapai 100,000 pikul/tahun. “Diketahui, pada tahun 1873 saja, kawasan Simpang Ulim dan Idi Rayeuk diperkirakan menghasilkan lebih dari 35,000 pikul; Juluk Rayeuk, Peureulak dan Peudawa Rayeuk mencapai 10,000 picul/tahun.”[2] Kaum Ulèëbalang Peureulak dipercaya oleh Belanda mengelola dan diberi ‘licence’ untuk mencari sumber minyak pada “Perlak Petroleum Company.” Pada tahun 1895, produksinya anjlok akibat dikuranginya beberapa ‘licence’.”[3] Tapi, maju kembali setelah perusahaan ini dialihkan kepada “Royal Company for the Exploitation of Petroleum Wells in the Netherlands Indies” di Telaga Said Langkat yang dimulai beroperasi pada akhir abad ke-19.
36,896.31. Setelah tahun 1915 terjadi perubahan, dimana kaum Ulèëbalang
hanya dibayar gaji setiap bulan. Misalnya: Teuku Thjik Muhammad Tayeb
(Ulèëbalang Peureulak) digaji sebesar f 1,000/bulan; Ulèëbalang Idi Rayeuk
digaji f 968.507/bulan; Ulèëbalang Langsa f 400/bulan, sementara Ulèëbalang di
Peudawa Rayeuk digaji hanya f 125/bulan.”[1] Sistem penggajian yang
tidak seragam ini ditantang. ”Teuku Thjik Muda Peusangan
misalnya, mengundur diri karena tidak sepakat dengan standar patokan Belanda.”[2]
Di sini terjadi kontradiksi fakta. Artinya
pada saat sebilangan Ulèëbalang di Acheh Timur berpesta menikmati dana
kompensasi dan pesangon dari tuannya (Belanda), pada masa yang sama kelompok
Ulèëbalang di wilayah lain, seperti Teuku Keumangan bertarung melawan Belanda
dan menewaskan Kapten Helden, komandan pasukan Belanda (1905); ... Teuku Johan
menewaskan Vander Zeep (1905); ... Teuku Tandi Bungong Taloë menewaskan de
Bruijn di Meulaboh (1902); Teuku Tjhik Muhmamad dan Teuku Tjhik Tunong di Keureutoë menewaskan
Steijn Parve (1902); ... Teuku Nago bersabung dengan serdadu Belanda yang menewaskan Behrens dan
Molenaar; ... Teuku Raja Sabi mati syahid dalam medan perang Lhôk Sukon (1912)
dan pasukan Marechaussee menyerang membabi-buta dan membunuh orang tua,
anak-anak dan perempuan di Kuta Rèh tahun 1905; tindakan teror, intimidasi,
aniaya terjadi di mana-mana. „Dari tahun 1920-an–1942 saja,
tidak kurang 10 kali lagi terjadi peperangan besar antara pejuang Acheh versus
Belanda. Perang Acheh.“[3]
Perjalanan sejarah Ulèëbalang pada gilirannya berputar sebagaimana disaksikan bahwa antara Ulèëbalang dan Ulama (khususnya yang tergabung dalam PUSA) dikenal sebagai dua pilar kekuatan; yang peranan, tugas dan wewenangnya dibagi dan dipisahkan oleh Sultan dengan maksud untuk memperkuat posisi dan roda pemerinahan Acheh. Semua institusi kenegaraan diselenggarakan berdasarkan adegium: ”Adat bak teumeuruhôm, hukôm bak Syiah Kuala, qanun bak putroë Phang, reusam bak Bintara”. Artinya, pemisahan dan pembagian kekuasan (separation and distribution of power) dalam bidang hukum, ekonomi, politik, adat-Istiadat dan resam dilaksanakan menurut ’rule of the game’ negara Acheh. Ulama diserahi tugas dan wewenang untuk mengatur hal-ikhwal keagamaan; sementara Ulèëbalang diserahi tugas dan wewenang untuk mengurus hartanah negara (ekonomi) yang keduanya dikoordinir dan bertanggungjawab langsung kepada Sultan sebagai pemimpin tertinggi negara.
Sebagai penguasa tertinggi, Sultan bertindak sebagai wali (pelindung)
keharmonisan antara Ulama dan Ulèëbalang serta rakyat jelata dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Kenakalan-kenakalan oleh beberapa oknum Ulèëbalang
yang muncul belakangan -membekot penyerahan pajak kepada Sultan- sebenarnya
tidak berpunca dari itikad buruk dan tidak loyal, melainkan semata-mata
didalangi oleh provokator (Belanda) dan bahkan pada masa Pemerintahan Sultan
Ibrahim Mansursyah, mayoritas Ulèëbalang se-Acheh sudah berani membeykot secara
besar-besaran dan terang-terangan untuk tidak lagi membayar pajak kepada Sultan
(negara) dan bahkan secara rahasia menyusun kekuatan untuk merampas kuasa Sultan.
Untuk maksusd ini, figur Syaid Husien Al-Idrus yang menetap di Pulau Pinang
adalah calon yang diposisikan untuk menggantikan Sultan Acheh. Persiapan, dana
dan pengerahan kekuatan, dikordinasi dan dikendalikan sepenuhnya oleh para
Ulèëbalang yang berada di dalam negeri (Acheh). Bagaimanapun Syaid Husien
Al-Idrus, mengalihkan kepada anak kandungnya –sayyif Mustafa– yang masih
belasan tahun untuk menjadi Sultan Acheh (1815-1818) yang dirampasnya melalui
kudeta atas bantuan beberapa Ulama dan Ulèëbalang. Tidak lama kemudian melalui
intervensi Inggeris, kedua negara –Acheh dan Inggeris– berhasil menandatangani
Perjanjian Raffles, yang antara lain mengatur tentang pelucutan kuasa Mustafa
sebagai Sultan Acheh, dikembalikan semula kepada Sultan Jauharsyah (1818-1824).
Situasi politik di Acheh berubah semakin runyam, terutama pasca Belanda memerangi Acheh jilid ke-2, desember 1873, dimana Belanda memakai taktik “serampang dua mata” untuk menakluki Acheh. Di satu sisi, pejabat tinggi sipil Belanda mendekati dan memperalat Ulèëbalang (kaum feodal) dengan tujuan memeras kekayaan Acheh untuk menopang pembiayaan perang. Di sisi lain, kaum Ulama diposisikan sebagai musuh yang menjadi target untuk dibunuh bersama pejuang Acheh lainnya. Atas dasar analisis historis ini, disimpulkan bahwa “Pada masa pemerintahan kolonial berkuasa di nusantara, Belanda merangkul Ulèëbalang untuk mencegah ulama terjun dalam pemerintahan. Ulama hanya dapat memimpin rakyat dalam bidang agama dan sosial. Hal ini boleh dikatakan sebagai awal pergesekan antara kaum Ulèëbalang dengan ulama yang setelah Belanda angkat kaki dari Acheh berubah menjadi perang cumbok.”[1] Sampai menjelang Belanda angkat kaki dari bumi Acheh tahun 1942; hubungan antara Belanda-Ulèëbalang tetap akrab dan sukar dipisahkan. Fakta di bawah ini membuktikan bahwa kaum Ulèëbalang dipercayai punya agenda tertentu (rahasia) dengan tentara Sekutu, yang pada ketika itu diketuai oleh Knottenbelt (perwira Belanda yang diterjunkan ke Sumatera setelah Jepang menyerah pada Agustus 1945). Teuku Nyak Arif, Residen Acheh (1945-1946), dicurigai sebagai mata-mata sekutu –punya hubungan intim dengan tentara Sekutu– setelah Jepang menyerah. Kedekatan Teuku Nyak Arif dengan Knottenbelt terungkap dalam Majalah “Vrij Nederland”, edisi 26 tahun VI, terbitan London 19. Januari 1946, berjudul: “Contact met Atjeh”. Knottenbelt menyebut nama Teuku Nyak Arif (Residen Acheh) sebagai salah seorang yang dihubunginya di Acheh; bahkan pertemuan mereka berdua berlangsung beberapa kali. Teuku Nyak Arif bahkan diketahui
memperoleh balasan sepucuk
surat tiga halaman kuarto, yang berisi laporan yang dikirim Mayor M.J.
Knottenbelt dari Kutaraja pada 4 November 1946. Kontak antara Teuku Nyak
Arif-M.J. Knottenbelt ini dihubungkan oleh Goh Moh Wan, warga keturunan China
sebagai kurir Knottenbelt. Dalam Majalah tersebut Knottenbelt juga mengaku: “…
“Berhubungan dengan ini, saya beberapa kali mendapat
kunjungan dari seorang pemimpin pribumi bernama Nyak Arief, yang oleh Soekarno
diangkat menjadi Residen Acheh,” (“…In verband hiermede werd ik enkele maal
bezocht door een inlandse hoogwaardigheiddsbekleeder, genaamd Nyak Arif, die
door Soekarno als ‘residen’ van Atjeh benoemd…”).[1]
Keabsahan riwayat pertemuan
antara Teuku Nyak Arif-M.J. Knottenbelt, juga disinggung bahwa “Angkatan Laut Inggris ketika itu menduduki Sabang tanpa perlawanan pada 7
September 1945. Satu pasukan kecil sekutu (force 136) dikirim dari Medan ke
Kutaraja di bawah pimpinan Mayor M. J Knottenbelt dan oleh tentara Jepang,
ditempatkan di sebuah vila berbendera Inggris. Tugasnya, mengobservasi dan
memberi laporan serta berusaha agar senjata yang berada di tangan Jepang tetap
terkendali, tidak boleh diserahkan ke pihak lain. Dalam
perkara ini Knottenbelt bekerja sama dengan Teuku Nyak Arief.” Dalam surat
Teuku Nyak Arief kepada pasukan Inggris mengatakan: “kehadiran Knottenbelt pada
saat-saat yang penting ini sangat dibutuhkan untuk tegaknya hukum dan
terpeliharanya ketertiban serta keamanan.”[2] Keterangan lainnya juga menyebut: “Antara Teuku
Nyak Arif-M.J. Knottenbelt memang terjadi hubungan surat-menyurat.”[3]
Jadi, situasi politik Acheh pada waktu itu memang dalam keadaan tidak stabil, memanas dan tidak terkendali. Gambaran secara umum diutarakan oleh Ali Basyah Talsya sbb: “ketika itu muncul desas-desus bahwa kelompok Ulèëbalang mempersiapkan kedatangan pasukan sekutu pada Agresi Belanda ke-II tahun 1948. Ulèëbalang ingin memperoleh kembali kekuasaan yang didominasi Ulama. Sementara ulama dan rakyat saat itu sangat anti terhadap Belanda.” Dari fakta-fakta tersebut disimpulan bahwa: ”Perang Cumbok tak bisa lepas dari konteks tatanan sosial pada saat itu. Tatanan yang sengaja dibangun demi kepentingan Belanda.”[4] Kisah ini semakin memperkuat argumentasi bahwa kaum Ulèëbalang dianggap sebagai kaki-tangan Belanda dan oleh sebab itu pula –sebelum segala-galanya terlambat– maka
[1] M. Nur El Ibrahimi, 1996, Mata Rantai Yang Hilang.
[2] Anthony Reid, 2014, The Blood of the People, Published by NUS Press.
[3] Dr. A J Piekar, 1949, Atjeh en de oorlog met Japan, S'Grevenhage.
[4] James T. Siegel, 1962, The Rope of God. Baca
juga: TEMPO online, 18 Agustus 2003.
Husin Al-Mujahid tampil ke depan dan membentuk kekuatan militer di Idi, Acheh Timur untuk ’membersihkan’ kaum Ulèëbalang. Aksi pembersihan/penumpasan terhadap Ulèëbalang di Acheh Timur mulai dilancarkan. Kaum Ulèëbalang ditangkap, ditahan, dibunuh dan ada pula yang diasingkan. Di mata Husin Al Mujahid, Teuku Nyak Arif jelas nyata sebagai ”musang berbulu ayam” (musuh dalam selimut) yang kendatipun dalam pidatonya pada Maret 1945 (Wakil Ketua DPR seluruh Sumatera) berujar: “Indonesia merdeka harus jadi tujuan hidup bersama,” dinilai sebagai ’make-up’ dan Husin Al Mujahid lebih memilih menggulingkan Teuku Nyak Arif dari jabatannya sebagai Residen Acheh dan menjebloskan bersama adiknya (Teuku Abdul Hamid) ke dalam Penjara di Takengon, Acheh Tengah hingga meninggal dunia dalam status tahanan, ketimbang membiarkan berkuasa lebih lama. Tindakan Husin Al-Mujahid, bukanlah cikal-bakal dari bermulanya gerakan penumpasan kaum Ulèëbalang di seluruh Acheh, akan tetapi sebagai sambungan dari peristiwa di Lhameulo-Pidië; yang telahpun berhasil melumpuhkan kekuatan kaum Ulèëbalang.
Dalam peristiwa penyerangan ke kubu
Ulèëbalang di Lhameulo, Husin Al Mujahid (Ketua Pemuda PUSA) memang tidak
diikut-sertakan oleh Tengku Daud Beureuéh. Masalah internal PUSA ini sempat
tercium oleh Karim M.X, Sarwono, Thaib Adami, Samadikin dan Natar Zainuddin (tokoh komunis berkaliber
internasional) yang sudah berpengalaman dalam hal menyebar provokasi sudah lama
bergentayangan di Acheh dan secara rahasia mendekati dan meloby Husin
Al-Mujahid untuk ikut serta dalam „Revolusi Sosial“ di Acheh. Itu sebabnya, dia
kemudian membentuk Tentara Perlawanan Rakyat (TPR) pada 16 Februari 1946
(sebulan setelah tertangkapnya Teuku Daud Cumbok). Untuk memulai aksinya,
Husein Al-Mujahid perlu dasar hukum yang dipakai sebagai alasan pembenar
melakukan kebijakan militer. Langkah pertama Husin Al Mujahid adalah ”melucuti
pasukan Teuku Ibrahim Cunda, yang sedang dalam perjalanan ke Langsa memenuhi undangan Bupati Acheh Timur T. Raja
Pidië. Diketahui kemudian, pasukan
dari Cunda semuanya dibunuh di Blang Guci. Lalu dengan senjata rampasan tersebut mulai dilakukan pembersihan di Ach
Timur. Bupati Acheh Timur T. Raja Pidië dan
Ulèëbalang lainnya ditangkap dan dibunuh. Polisii RI diangkap dan dilucuti. Kemudian operasi diteruskan ke arah
Barat. Semua Ulèëbalang di Geurugok, Panton Labu, Lhôk Sukon, Geudong, Cunda,
Bireuën, Samlanga semuanya ditangkap dan dibunuh. Rencana yang sama akan
dilakukan juga di Acheh Besar, akan tetapi dicegah oleh Tengku Abdul Wahab
Seulimum, Tengku Hasbalah Indrapuri dan Ali Hasyimi. Tokoh ini hanya mengizinkan
untuk mencopot jabatan saja. Maka terjadilah pengalihan jabatan dan pangkat
dari beberapa orang pejabat penting: yaitu pangkat dan jabatan Teuku Njak Arif,
Jenderal Mayor Tituler selaku staf Komandemen Sumatera, diambil alih Husien
Mujahid, diserahkan kepada dirinya. Jabatan dan pangkat Kolonel Syamaun Gaharu,
sebagai Panglima Tentara Keamanan Rakyat (tentara resmi pemerintah) dicopot dan
diberikan kepada Husen Yusuf, dengan menaikkan pangkatnya dari Mayor kepada
Kolonel. Jabatan dan pangkat Let.Kolonel Teuku Hamid Azwar dicopot dan
diberikan kepada Nurdin Sufi, orang kepercayaan Husin Mujahid. Setelah berhasil
mengobrak-abrik pusat pemerintahan di Kutaraja, dia melanjutkan rencana
seterusnya, yakni: Teuku Njak Arif diasingkan dan ditahan di Takenegon, Acheh
Tengah sampai meninggal dunia dalam tahanan; Syamaun Gaharu, Teuku Hamid Azwar,
Tengku Hasbi Asyidiki dan beberapa orang lainnya ditahan di Tangsé.”[1] Rencananya mereka hendak
membunuh semua, namun ”… karena Ayah Daud Tangsé
melihat ada beberapa keganjilan, karena tokoh-tokoh yang dianggap baik dan
dipandang tidak melakukan kesalahan tersebut sebagai pengkhianat. Kemudian dia
melakukan cèk dan ricèk dengan sahabat-sahabatnya. Hasan Sab dari Gigiëng dan
Abdullah Masri dari Kutaraja dan hasilnya bahwa mereka itu bukanlah pengkhianat tetapi hanyalah berbeda
pandangan dan pendapat dengan Husin Al-Mujahid. Maka pasukan berani mati di
bawah pimpinan Hasan Sab serta dibantu oleh pasukan Abdullah Masri dari
Kutaraja, mereka menangkap dan menculik Jenderal Mayor Tituler Tgk. Husin
Al-Mujahid dan kemudian dibawa ke Tangsé untuk diminati pertanggungjawaban atas
tindakannya menangkap pemimpin-pemimpin Acheh tadi. Namun di Padang Tiji,
pasukan Ayah Daud Tangsé dicegat oleh pasukan Hasballah dengan kekuatan satu
batalyon. Husin Al-Mujahid dapat dibebaskan dan pasukan Ayah Daud Tangsé
kemudian dikirim ke front Medan Area dan Tapanuli.”[2]
Ada anggapan umum dalam masyarakat Acheh kala itu bahwa, bagi kaum
ulama (khususnya PUSA) dan rakyat Acheh umumnya bahwa proklamasi Indonesia
dianggap sebagai epilog dari rentetan penjajahan Belanda dan Jepang. Namun
demikian, bagi kaum Ulèëbalang tidaklah demikian. Artinya, dengan angkat
kakinya Jepang dari bumi Acheh, akan membuka lembaran baru untuk menyambung
kembali kedudukan Belanda. Dengan demikian kekuasaan tradisional yang
Ulèëbalang nikmati sebelumnya akan kembali semula. Untuk itu, satu-satunya jalan
adalah bagaimana melicinkan dan meratakan jalan supaya Belanda berkuasa kembali
di Acheh. Pendapat demikian sebenarnya tidak boleh digeneralisir, sebab selain
Teuku Nyak Arif, masih terdapat sederetan nama, seperti Teuku Hamid Azwar dan
Teuku Ahmad Jeunib dll. dari kalangan Ulèëbalang yang nyata-nyata mendukung dan
berjiwa Republiken, walaupun diakui
bahwa Teuku Daud Cumbok Cs. punya haluan politik lain yang lebih inginkan Acheh
diduduki kembali oleh Belanda.
Jika dilihat dari kronologi
peristiwa Cumbok ini, setidak-tidaknya ada beberapa faktor yang memicunya. Pertama, kaum Ulèëbalang menghendaki supaya status-quo sebagai kaum feodal yang
menguasai hartanah Acheh yang kemudian diambil alih oleh Belanda sejak
peperangan meletus, tetap dipertahankan dan dikuasai, termasuk gelar dan hak
otonomi yang diberi Belanda untuk mengelola perkebunan milik Belanda jangan
sampai beralih ke pihak lain. Kedua, selama perang melawan
kolonial Belanda, pemerintah Belanda membuat garis pemisah yang ektreem antara
Ulèëbalang di satu pihak dan Ulama di pihak lain. Pemisahan ini didasarkan pada
nasehat Snouck Hurgronje –intelektual dan rohaniawan bajingan– yang menyimpulkan
bahwa ”kekuatan masyarakat Acheh
bertumpu pada dua pilar, yaitu: kalangan Ulèëbalang (feodal yang menguasai
hartanah) dan Ulama sebagai pemimpin agama. Menurut Snouck, Belanda lebih
efektif mendekati dan memberi fasilitas kepada kaum Ulèëbalang yang punya wewenang
penuh mengendalikan 103 negeri di Acheh
dan memposisikan Ulama sebagai rival yang mesti dibunuh, sebab berpihak kepada
pejuang Acheh bersama rakyat.” Ketiga, Teuku Daud Cumbok Cs,
menolak Acheh bergabung bersama Indonesia, sementara Ulama yang tergabung dalam
Persatuan Ulama Seluruh Acheh (PUSA)
berpihak kepada Indonesia. Ke-empat, PUSA sendiri merasa prejudis kepada kaum Ulèëbalang yang secara
diam-diam dan terang-terangan tetap menyatakan berpihak kepada Belanda sebagai
tuannya yang dianggap berjasa membesarkan dan memperkaya kelompoknya. Dalam
kaitan ini dikatakan: ”Perang Cumbok tak boleh lepas
dari konteks tatanan sosial pada saat itu. Tatanan yang sengaja dibangun demi
kepentingan Belanda.”[3]
Kelima, dalam situasi Acheh tidak menentu, “Daud Cumbok malah gembar-gembor Indonesia belum siap merdeka. Ada banyak
cerita tentang dia. Pasar malam di Lam Meulo, markas Daud Cumbok, punya judi
dan mabuk sebagai menu utama-simbol pelècèhan ulama. Ia memerintahkan penurunan
bendera Merah-Putih, penggerebekan rumah para pemimpin PUSA. Daud Beureueh kami
ungsikan ke rumah penduduk di Desa Garot, Metareum"[4] Gelagat ini disifatkan
sebagai: "Dia sangat berani, kalau tidak
boleh dibilang nekat dan sembrono."[5] Akhirnya pada Desember
1945, pemerintah pusat memaklumkan Teuku Daud Cumbok sebagai pengkhianat
Republik dan mesti dihukum. Ke-enam, dalam situasi politik dan
keamanan sedang sekarat di Acheh, serdadu ‘bajingan’ Jepang justeru menyerahkan
sisa-sisa senjatanya, termasuk beberapa jenis bom yang beratnya mencapai 500
kg. kepada kaum Ulèëbalang yang
bermarkas di Lhameuloë Pidie, yang ketika itu telah berkumpul sejumlah
Ulèëbalang yang dipimpin oleh Teuku Cumbok Muhammad Daud untuk menerima senjata
dari Jepang, termasuk perlengkapan logistik dan fasilitas perang lainnya.
Menurut prosedur senjata tersebut semestinya diserahkan kepada API/TKR di bawah
pimpinan Teuku Nyak Arif, yang dilantik
pada 3 Oktober 1945. Selain itu, dengan maksud yang tidak/belum
diketahui –dalam situasi Acheh tidak stabil– Tuanku Mahmud malah mengantarkan 2
peti senjata ke Medan, diterima oleh Gubernur Sumatera Mr. Teuku Hasan. Pakatan
Jepang-Ulèëbalang ini dituding oleh kelompok Ulama PUSA sebagai perbuatan
berbahaya dan dicurigai secara diam-diam, kaum Ulèëbalang punya agenda tertentu
dan rahasia yang membahayakan. Para pemimpin API/TKR termasuk yang dicurigai,
sebab mulai dari pimpinan dan anak buahnya terdiri dari kalangan Ulèëbalang.
Asumsi generalisasi yang
dibangun oleh PUSA terhadap kaum Ulèëbalang, didasari oleh beberapa alasan
politik dan historis, misalnya ketokohan Teuku Daud Cumbok yang pada masa
penjajahan Belanda, banyak mendapat perlakukan istimewa. Dia menjabat sebagai
pemimpin nanggroë wilayah Lameuloë, yang diperhitungkan akan bersekutu dengan
pimpinan API/TKR untuk melicinkan jalan kepada militer Belanda masuk kembali ke
Acheh. Sejak itu, situasi di Acheh –khususnya di wilayah Acheh pesisir– semakin
tegang. Penyerahan tambahan senjata dari Jepang kepada Ulèëbalang, yang
rencananya berlangsung 5 Desember 1945, terpaksa gagal, karena daerah lain di
wilayah Pidië sudahpun meletus kontak senjata. Pasukan PUSA dari arah Banda
Acheh, Bireuen dan Acheh Utara, merambah masuk ke wilayah Pidie untuk menyerang
kubu dan pasukan Ulèëbalang yang sudah siap menyambut. Persekongkolan rahasia
antara Jepang-Ulèëbalang telah menyulut dan memicu kebencian rakyat kepada kaum
Ulèëbalang dan seiring dengannya kelompok PUSA berhasil memobilisasi kekuatan
rakyat. Maka, pada 10 Januari 1946 dengan melibatkan pasukan gabungan, yakni
kekuatan rakyat, aktivis Pusa dan tentara Angkatan Perang Indonesia (API), TKR
dan PRI menyerang markas Teuku Daud Cumbok Cs. di Lameuloë, Pidië. Hanya dalam
hitungan hari –4 hari saja– pasukan gabungan ini berhasil melumpuhkan dan
menguasai wilayah Pidie. Para pejuang Ulèëbalang terpaksa melarikan diri ke
hutan, termasuk Teuku Daud Cumbok, yang
akhirnya berhasil ditangkap dan dibunuh pada 16 Januari 1946 di hutan kaki Gunung
Seulawah. Demikian pula Teuku Oemar Keumangan beserta seluruh kekayaannya
–senilai Rp 12. juta– ketika itu musnah
dibakar dan Teuku Ahmad Jeunéb, yang jelas-jelas menyatakan setia pada Republik
adalah di antara yang tewas bersama rakyat sipil, diperkirakan mecapai 3000
orang, terdiri dari orang tua dan anak-anak yang tak berdosa turut dibantai.
Teuku Bintara Pineuëng H. Ibrahim –Ayah kandung Mr. Hasan– yang berhasil lolos
menyelamatkan diri dalam peristiwa Cumbok, akhirnya tidak selamat dalam
peristiwa pemberontakan DI/TII tahun 1953. Dia mati dibunuh oleh pasukan
pejuang DI-Acheh. Di daerah lain juga terjadi pengejaran dan pembunuhan massal
terhadap Ulèëbalang, seperti yang dialami oleh keluarga Prof. Dr. Teuku Ibrahim
Alfian (pakar sejarah Universitas Gadjah Mada), Yogyakarta yang mengaku “Ayah dan ibu memang selamat dari Perang Cumbok, Acheh, 1946. Tapi nenek,
kakek, paman, juga banyak sepupunya jadi korban massa yang marah pada keluarga
Ulèëbalang dan bangsawan. Saya tak tahu dimana kubur mereka sampai kini. Saya
tidak mau membicarakannya."[6]
Syamaun Gaharu, tokoh API
juga mantan Panglima Kodam Acheh, dalam catatan hariannya mengaku bahwa “tindakan rakyat Acheh memburu kaum Ulèëbalang sangat kejam dan banyak
warga mati tanpa kubur, tiada dimandikan, tiada dishalatkan.” Selain itu Abdurrahman, saksi mata dalam peristiwa Cumbok menuturkan
“Cumbok
adalah perang perebutan kekuasaan antara kubu uleebalang dengan
tokoh-tokoh ulama yang tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Acheh
(PUSA) ketika Jepang kalah dalam Perang Dunia II. kaum ulama
berusaha mati-matian mengantar Acheh untuk mendukung kemerdekaan Indonesia.
Sebaliknya, sebagian Ulèëbalang justru berkeinginan menyambut Belanda agar
mereka bisa berkuasa lagi seperti sebelumnya.”[7]
Sebenarnya Teuku Muhammad Daud Cumbok berada berada pada posisi yang sulit pada
ketika itu “Teuku Daud Cumbok tak ingin berperang. Tapi karena
dia Gunco (setingkat Bupati) Lammeuloe (sekarang Kota
Bakti). Teuku Cumbok pun mempertimbangkan kemauan anak-anak buahnya. Dan
perang pun tak bisa dielakkan. Armada Cumbok ada dua, Cap Saoh dan Cap
Bintang. Cap Saoh itu pasukan perang handal, seMaretam tentara. Dan Cap
Bintang, pasukan penjaga kota. “Tuentera Cap Saoh peunyampuh uteun, Meutareum jeut keu abee (Tentara Cap Saoh sapu hutan,
Meutareum pun jadi abu)."[8]
Terlepas dari pertimbangan dan alasan apapun, yang pasti perang Cumbok
merupakan klimaks dari konspirasi politik tingkat tinggi dari aktivis komunis
yang kala itu Amir Syarifuddin (tokoh komunis) memegang jabatan sebagai Menteri
Pertahanan Keamanan Indonesia. Dalam agenda khusus PKI telah memetakan seluruh
Sumatera sebagai wilayah konflik –Revolusi sosial– Buktinya, Mr. Luat Siregar,
Dokter M. Amir, mantan dokter pribadi Sultan Mahmud Sultan Langkat, M. Yunus
Nasution, Ketua PKI Sumatera Timur, A. Karim M.X dan Bustami adalah di antara
aktor intelektualis Revolusi Soaial di Sumatera Timur pada tahun 1946. Tragis
sekali, Acheh yang sebelumnya –kubu Ulama PUSA dan Ulèëbalang– seiring dan
sehaluan; terbukti Teuku Ali Basyah dan Teuku Muda (wakil Ulèëbalang) dan
Tengku Sjèh Abdul Hamid (wakil PUSA) dikenal pasti sebagai tokoh-tokoh Acheh
ketika itu melobi Said Abubakar di Malaysia untuk memugar hubungan dengan Dinas
intel Jepang –Fujiwara Kikan (Barisan Fujiwara)– yang diketuai oleh Mayor
Iwaichi Fujiwara. Selain melobi Dinas intel Jepang di Pulau Pinang, upaya
menggalang kerjasama antara PUSA-Ulèëbalang untuk mengakhiri pendudukan Belanda
terus dilakukan, maka Tengku Abdul Wahab Seulimum dan Tengku Haji Ahmad
Hasballah Indrapuri {kubu PUSA} bertemu dengan Teuku Muhammad Ali Panglima
Polim, Teuku Tjut Hasan, Teuku Djohan Meuraksa, Teuku Ahmad Djeunéb, Teuku Ali
Keurukon dan Teuku Njak Arif {kubu Ulèëbalang} untuk membincangkan
langkah-langkah yang perlu diambil untuk menentang Belanda, bahkan pada 4 Maret
1942 malam, tokoh-tokoh PUSA dan Ulèëbalang, seperti Tengku Sjéh Mahmud
Montasék, Tengku Sjéh Ibrahim dan Tengku Haji Abdullah Lam U (wakil PUSA) dan
Teuku Ali Keurukon, Teuku Manjak Baet, Teuku Nja’ Arif dan Teuku Main (wakil
Ulèëbalang) duduk kembali guna membicarakan bentuk perlawanan mengakhiri
pendudukan Belanda di Acheh. Akhirnya termakan provokasi dan fitnah dari
aktivis komunis hingga tersèrèt ke kancah perang saudara yang menjadi lembaran
hitam dalam perjalanan sejarah Acheh.
Segalanya sudah terlambat dan
biarlah peristiwa ini tegak berdiri sebagai kenyataan (fakta) sejarah kelam
dalam lipatan sejarah Acheh. Sekarang
kita baru tahu, kalau di akhir hayatnya, Teuku Nyak Arif pernah menyampaikan
pesan kepada Teungku Muhammad Daud Beureueh ketika datang membesoknya di rumah
tahanan di Takengon. Teuku Nyak Arif berpesan: “agar berhati-hati terhadap kaum komunis.” Sebagaimana terbukti
bahwa, Karim M.X, Sarwono, Thaib Adami, Samadikin dan Natar Zainuddin (tokoh komunis berkalibar
internasional), ternyata sudah lama bermain di Acheh, “sibuk mundar-mandir
menghubungi Ulama PUSA dan kaum Ulèëbalang yang menyebar isu dan melancarkan
provokasi yang menyudutkan kaum Ulèëbalang, misalnya saja:
-
Di rumah-rumah Ulèëbalang yang ditinggalkan terdapat Bendera Belanda
dan uang Nica;
-
Bendera Sang saka Merah Putih diturunkan di daerah Cumbok;
-
Orang-orang yang mengucapkan kalimah syahadah ditembak mati di tempat.
Isu tersebut ditampung oleh
Ali Hasyimi, selaku Ketua Pesindo, Ismail Yacob selaku pimpinan PNI dan Syamaun
Gaharu pimpinan API/TKR dan diangkat mejadi laporan utama dalm rapat Umum,
tanpa megadakan tabayyun tentang kebenarannya. Kemudian laporan tersebut
dipandang sudah cukup sebagai alasan pembenar yang „menyatakan bahwa para Ulèëbalang yang berkumpul di Cumbok adalah
pengkhianat bangsa dan Pengkhianat tersebut harus
dimusnahkan.”[9] Pertempuran resmi baru
berakhir pada 17 Januari 1946 dan penyelesaian akhir ”seluruh kekayaan Ulèëbalang, baik harta bergerak mau pun tidak bergerak
dikuasai oleh Majlis Penimbang yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah Acheh
dengan peraturan Daerah No. 1 tgl. 24 Juli 1946, yang ditanda tangani oleh
Residen Acheh Teuku Daoed Syah dan disetujui oleh Badan Pekerja Dewan Pewakilan
Acheh yang ditanda tangani oleh Mr. S.M Amin, sebagai Wakil Ketuanya.”[10] Bagaimanapun, penyelesaian
ini buat sementara selamat; hingga kemudian muncul gugatan yang menuntut
ditegakkan keadilan secara hukum yang diperjuangkan lewat kampanye di depan
umum. Syeh Tam Gigiëng misalnya, tampil dengan group Seudati-nya melancarkan kampanye
bahwa PUSA pimpinan Tengku Daud Beureuéh adalah anték-anték koruptor dan
pembunuh kejam dan layak dihadapkan ke Mahkamah Pengadilan. Gerakan ini disahut
oleh Said Ali Cs, yang sudahpun mengorganisir untuk melawan kekuatan PUSA dan
Pesindo yang telah terbukti “melakukan kejahatan sbb:
-
Korupsi secara
besar-besaran;
-
Melakukan perniagaan illegal
secara besar-besaran;
-
Melakukan pembunuhan atas
mereka yang tidak disukai dan dianggap berbahaya bagi mereka;
-
Tidak mengurus baitul maal
dan Zakat sebagai mestinya;
-
Tidak mengindahkan peraturan-peraturan dari
Pemerintah Pusat;
-
Mempergunakan hasil tambang minyak dan Perkebunan
untuk diri sendiri.
Gerakan tersebut disusul dengan menangkap
beberapa tokoh Pesindo dan PUSA, seperti: Njak Nèh, Umar Husni, A. Hasjimi,
Saleh Rahmani dan T.M Amin serta 60 orang anggota lainnya.”[11]
Malangnya, Said Ali Cs kemudian berhasil
ditangkap pada 4 November 1948, atas perintah
Tengku Daud Beureuéh (Gubernur Militer Acheh, Langkat dan Tanah Karo). Namun
begitu, Tengku Daud Beureuéh kali ini berhati-hati dalam menjatuhkan hukuman
kepada Said Ali Cs, sebab situasi di Acheh masih dalam keadaan tidak stabil.
Oleh sebab itu cukup dengan mengeluarkan maklumat yang antara lain berunyi: ”terhadap mereka yang baik langsung mau pun tidak langsung telah campur
tangan dalam pembunuhan-pembunuhan dan penganiayaan- penganiayaan yang
bersangkutan dengan peristiwa Cumbok, tidak akan dilakukan tuntutan oleh karena
kepentingan negara menghendaki mereka dielakkan
di luar tuntutan.” Dengan dikeluarkannya Maklumat ini, maka kelompok PUSA yang
bertanggungjawab dalam pembunuhan massal terhadap kaum Ulèëbalang dianggap
bebas –bukan penjahat kemanusiaan– dan tindakan Said Ali Cs yang telah
menangkap dan menahan tokoh PUSA dan Pesindo dibebaskan dari semua tuduhan dan
tuntutan. Untuk memperkuat kandungan Maklumat ini, Gubernur Sumatera –Mr. Hasan
yang berlatar belakang keluarga Ulèëbalang– berusaha memberikan perlindungan
dan melobi Pemerintah Pusat dan akhirnya lewat Keputusan Wakil Perdana Menteri
RI No. 14/Keh. WKPM. Pada 21 Desember 1949, memutuskan: ”Abolisi (pembebasan dari tuntutan) diberikan kepada mereka yang baik
langsung maupun tidak langsung, tersangkut dalam suatu perbuatan mengenai
peristiwa-peristiwa dalam Daerah Acheh, baik yang terkenal dengan peristiwa
Cumbok dan peristiwa sekitarnya, baik peristiwa yang timbul kemudiannya sebagai
akibat dari peristiwa-peristiwa tersebut atau pergolakan Revolusi Nasional,
maupun yang terkenal dengan peristiwa Sadi Ali Saggaf, bilamana mereka oleh
karena itu telah menjalani hukuman ataupun mengalami suatu tindakan yang
bersifat penghukuman (pasal 1).
Segala tuntutan (rechvervolging) terhadap mereka yang dimaksud pasal 1
dihentikan, jika dalam tuntutan supaya dihentikan dengan segera (pasal 2).”
Sebenarnya, tidak akan menjadi bahan fitnah yang berujung kepada
pembunuhan massal, jika perkara ini dirundingkan sebelumnya antara Residen
Acheh dengan pihak Angkatan Pemuda Indonesia (API) dan pihak-pihak lain yang
terkait. Diakui bahwa efek psykhologis dari peristiwa pembumi hangusan kaum
Ulèëbalang sampai sekarang masih dirasakan. Misalnya, sebilangan keluarga
Ulèëbalang tidak berhasrat lagi membubuhkan gelar ”Teuku” di depan namanya,
walaupun ini tidak berlaku secara menyeluruh.
[1] T. Abdullah Bén Peukan Tangsé. Usulan Penyelesaian Masalah Acheh.” Untuk Kalangan Terbatas, 29 November 1999, dalam ”Peristiwa Berdarah di Acheh dan Akar Masalahnya.” Halaman 5-6.
[2] Ibid., 1999, T. Abdullah Bén Peukan Tangsé.
[3] James T. Siegel, 1962, The Rope of God.
[4] M Nur El Ibrahimi, 1996, Mata Rantai Yang Hilang.
[5] Anthony Reid, 2014, The Blood of the People - Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra.
[6] TEMPO online, 18 Agustus 2003.
[7] Firdaus Yusuf, 15 April 2013, Cumbok, Kisah Kelam 'Perang Saudara' di Acheh, The Globe Journal.
[8] Ibid., Firdaus Yusuf, 15 April 2013.
[9] T. Abdullah Bén Peukan Tangsé. Usulan Penyelesaian Masalah Acheh.” Untuk Kalangan Terbatas, 29 November 199, dalam ”Peristiwa Berdarah di Acheh dan Akar Masalahnya.” Halaman 4.
[10] Ibid, T. Abdullah Bén Peukan Tangsé, hlm. 7.
[11] Ibid, T.
Abdullah Bén Peukan Tangsé, hlm. 8.



