Notification

×

Iklan

Iklan

Pusa Versus Ulèëbalang atau Prang Cumbok

Khamis, 13 November 2025 | November 13, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-11-13T23:11:30Z


 Sebelum membahas lebih jauh tentang peristiwa Cumbok –arena pertarungan antara PUSA dan Ulèëbalang– agaknya perlu diperkenalkan: siapa, bagaimana peranan dan kiprah kaum Ulèëbalang dalam sejarah pemerintahan Acheh. Literatur yang meriwayatkan Ulèëbalang terbatas sekali, sehingga agak sulit mengungkap secara detail tentang status dan peranan Ulèëbalang dalam pemerintahan Acheh di masa silam. Untung, catatan pribadi dari beberapa pegawai pemerintah Belanda yang bertugas di Acheh merekamnya. Mengikut sejarahnya, keberadaan Ulèëbalang sudah lama dikenal di Acheh –paling tidak– sejak tahun 1641-75 (semasa pemerintahan Sultan Safiyat ad-Din Taj al-Alam dan  Raja Permaisuri Putri Sri 'Alam 1675-78 Sultan Naquiyat ad-Din Nur al-Alam) sudah wujud. Njak Asiah atau Tjut Njak Karti yang dipanggil juga Tjut Njak Keureutoë, adalah Ulèëbalang bijak yang memimpin wilayah Keureutoë dan sekitarnya (priode: 1641-75). Dalam rentang masa yang sama, Ulèëbalang Tjut Njak Fatimah berkuasa di Meulaboh.


Begitu pula Ulèëbalang Po Tjut Meuligo di Salamanga yang berkuasa tahun 1857,  merangkap sebagai penasehat perang dalam perlawanan menentang Belanda. „Ulèëbalang Tjut Njak Dien, yang menguasai wilayah Mukim VI yang mencakupi 25 Sagi, daerah militer di Acheh Barat, dimana Ayahnya (Teuku Nanta Setia) dikenal sebagai Panglima Perang yang menurut sejarahnya pernah bertugas sebagai Duta Besar Acheh di Pemerintah Pagaruyung Sumatera Barat, yang diwarisi sacara turun-temurun sejak Sultanah Tajjul Al-Alam.“[1] Ulèëbalang Po Tjut Baren Biheuë di Acheh Barat yang gigih melawan Belanda, walau kemudian Lieutenant H. Scheurleer berhasil membujuk dan memberi kaki palsu kepadanya setelah ditembak oleh pasukan Belanda, memberikan hak berkuasa sebagai Ulèëbalang di kawasan Beutông Ateuëh dan sampai mati setia kepada Belanda. Selain itu, dikenal Tjut Njak Meutia sebagai Ulèëbalang berani mati, bergabung dengan pasukan suaminya (Teuku Thjik di Tunong) sewaktu melawan Belanda. Setelah suaminya mati syahid, beliau tampil sebagai komandan bersama 45 pasukan dan punya 13 pucuk senjata.

 Informasi ini sekaligus menjadi rujukan pembanding kepada Teuku Kamal Fasya, yang menyebut Tjut Njak Dien berdarah Minang. Serambi Indonesia, november, 2009.

 Di era pendudukan Jepang, terdapat sebilangan Ulèëbalang yang berjuang hingga tetesan darah terakhir, sebagaimana dibuktikan oleh Ulèëbalang Teuku Johan dan Teuku Hanafiah yang gugur semasa perlwanan mengussir Jepang dari Acheh. Fakta ini membuktikan bahwa kaum Ulèëbalang –Tjut-Tjut dan Teuku-Teuku– sebenarnya, selain berdarah biru, juga berani bertandang menumpahkan darah merah di bumi Acheh! Namun, ada saja suara minor yang menilai Ulèëbalang sebagai kaum elite, arogan dan berpihak kepada Belanda, terutama setelah meletus perang Acheh tahun 1873 - tahun 1945. Banyak yang gagal paham tentang keberadaan  Ulèëbalang di Acheh. Dalam perkembangan selanjutnya, dakwaan negatif yang ditujukan kepada Ulèëbalang terbukti, ketika Belanda menerapkan pola “Serampang Tiga Mata” secara serentak menyerang Acheh: yakni: (1). Operasi militer, dengan membuka front perang di semua lini melumpuhkan pejuang; (2). Mematikan sumber ekonomi rakyat, dengan cara membakar kampung, menebang pohon-pohon yang menghasilkan buah2-an, membunuh hewan ternak yang ditinggalkan[1] (3). Menyekat/menjarah asset Acheh, dengan cara menguasai sumber utama perekonomian negara yang dikelola oleh Ulèëbalang. Untuk itu, Belanda mendekati, mitra dagang dan sekaligus menyekat kuasa Ulèëbalang yang sebelumnya diberi kuasa oleh Sultan Acheh untuk mengelola hartanah negara Acheh.

 

Testimony Thomsom, MP, debat soal Acheh dalam Sidang Parlemen Belanda, 5-6 November 1907.


Dalam struktur pemerintahan Acheh, Ulèëbalang adalah aparatur negara Acheh yang dilantik resmi oleh Sultan dengan “cap sikureuëng” (cap negara Acheh) yang diberi hak otonomi khusus mengelola hartanah negara bagi membiayai lancarnya roda administrasi pemerintahan dan perang melawan kolonial. Dalam hierarchi pemerintahan,



 

 posisi Ulèëbalang sangat menentukan pola kebijakan politik Sultan. ”Bahkan diakui, secara teori di bawah kekuasaan Sultan, akan tetapi dalam prakteknya adalah “king” yang punya kewenangan mutlak di suatu kawasan.[1] Pada (priode: 1855-1873), Sultan Acheh memerintahkan Ulèëbalang Idi Rayeuk dan Simpang Ulim supaya meningkatkan nilai ekport dari sektor perkebunan ke Penang yang kemudian diketahui mencapai 100,000 pikul/tahun. “Diketahui, pada tahun 1873 saja, kawasan Simpang Ulim dan Idi Rayeuk diperkirakan menghasilkan lebih dari 35,000 pikul; Juluk Rayeuk, Peureulak dan Peudawa Rayeuk mencapai 10,000 picul/tahun.”[2] Kaum Ulèëbalang Peureulak dipercaya oleh Belanda  mengelola dan diberi ‘licence’ untuk mencari sumber minyak pada “Perlak Petroleum Company.” Pada tahun 1895, produksinya anjlok akibat dikuranginya beberapa ‘licence’.”[3] Tapi, maju kembali setelah perusahaan ini dialihkan kepada “Royal Company for the Exploitation of Petroleum Wells in the Netherlands Indies” di Telaga Said Langkat yang dimulai beroperasi pada akhir abad ke-19.


Segalanya berubah setelah perang Acheh meletus. Beberapa Ulèëbalang yang sebelumnya menjadi penopang biaya perang, yang diserahi oleh Sultan untuk mengelola Perkebunan Lada, Kelapa Sawit, Minyak goreng dan perusahaan Minyak gorèng di Acheh Timur, khususnya wilayah Simpang Ulim yang merupakan produsen Lada terbesar tahun 1877 yang dikelola kaum Ulèëbalang; akhirnya berpihak kepada Belanda dan bersamaan dengannya diblockade Belanda. Bahkan kemudian, penerimaan dari semua sektor, Belanda bebankan membayar pajak sebesar 40 %. Beban ini sebagai pengganti. Artinya, jika sebelumnya disetor kepada Sultan, sekarang disetor kepada Belanda. Pada hal sebelumnya, Sultan Acheh hanya membebani satu suku (1.25%) setiap pikul. Begitu pun, tidak semua Ulèëbalang mau menyetor pajak dan sikap ini pernah memperuncing situasi politik antara Ulèëbalang-Sultan. “Karena Ulèëbalang mengabaikan pembayaran kepada Sultan dalam beberapa priode, ini sudah tentu mengurangi pendapatan negara, tetapi dari sudut pandang hukum adat yang hidup ketika itu, mempersoalkan aturan mainnya. Jadi, adakalanya kuasa Sultan berkurang, dikala mayoritas Ulèëbalang mengabaikan kewajibannya.”[1] Di awal tahun 1900-an –di saat para pejuang Acheh terus berguguran di medan perang– Ulèëbalang Peureulak mendadak kaya raya ”dari hasil kompensasi sebesar f 54,097.77 selama setahun kerja (1904-1905 di “Perlak Petroleum Company”, ditambah pesangon selama 10 bulan (January-September) yang mencapai f


36,896.31. Setelah tahun 1915 terjadi perubahan, dimana kaum Ulèëbalang hanya dibayar gaji setiap bulan. Misalnya: Teuku Thjik Muhammad Tayeb (Ulèëbalang Peureulak) digaji sebesar f 1,000/bulan; Ulèëbalang Idi Rayeuk digaji f 968.507/bulan; Ulèëbalang Langsa f 400/bulan, sementara Ulèëbalang di Peudawa Rayeuk digaji hanya f 125/bulan.[1] Sistem penggajian yang tidak seragam ini ditantang. ”Teuku Thjik Muda Peusangan misalnya, mengundur diri karena tidak sepakat dengan standar patokan Belanda.”[2]

 

Di sini terjadi kontradiksi fakta. Artinya pada saat sebilangan Ulèëbalang di Acheh Timur berpesta menikmati dana kompensasi dan pesangon dari tuannya (Belanda), pada masa yang sama kelompok Ulèëbalang di wilayah lain, seperti Teuku Keumangan bertarung melawan Belanda dan menewaskan Kapten Helden, komandan pasukan Belanda (1905); ... Teuku Johan menewaskan Vander Zeep (1905); ... Teuku Tandi Bungong Taloë menewaskan de Bruijn di Meulaboh (1902); Teuku Tjhik Muhmamad dan  Teuku Tjhik Tunong di Keureutoë menewaskan Steijn Parve (1902); ... Teuku Nago bersabung dengan serdadu Belanda yang menewaskan Behrens dan Molenaar; ... Teuku Raja Sabi mati syahid dalam medan perang Lhôk Sukon (1912) dan pasukan Marechaussee menyerang membabi-buta dan membunuh orang tua, anak-anak dan perempuan di Kuta Rèh tahun 1905; tindakan teror, intimidasi, aniaya terjadi di mana-mana. „Dari tahun 1920-an–1942 saja, tidak kurang 10 kali lagi terjadi peperangan besar antara pejuang Acheh versus Belanda. Perang Acheh.“[3]

 

Perjalanan sejarah Ulèëbalang pada gilirannya berputar sebagaimana disaksikan bahwa antara Ulèëbalang dan Ulama (khususnya yang tergabung dalam PUSA) dikenal sebagai dua pilar kekuatan; yang peranan, tugas dan wewenangnya dibagi dan dipisahkan oleh Sultan dengan maksud untuk memperkuat posisi dan roda pemerinahan Acheh. Semua institusi kenegaraan diselenggarakan berdasarkan adegium: ”Adat bak teumeuruhôm, hukôm bak Syiah Kuala, qanun bak putroë Phang, reusam bak Bintara”. Artinya, pemisahan dan pembagian kekuasan (separation and distribution of power) dalam bidang hukum, ekonomi, politik, adat-Istiadat dan resam dilaksanakan menurut ’rule of the game’ negara Acheh. Ulama diserahi tugas dan wewenang untuk mengatur hal-ikhwal keagamaan; sementara Ulèëbalang diserahi tugas dan wewenang untuk mengurus hartanah negara (ekonomi) yang keduanya dikoordinir dan bertanggungjawab langsung kepada Sultan sebagai pemimpin tertinggi negara.


Sebagai penguasa tertinggi, Sultan bertindak sebagai wali (pelindung) keharmonisan antara Ulama dan Ulèëbalang serta rakyat jelata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kenakalan-kenakalan oleh beberapa oknum Ulèëbalang yang muncul belakangan -membekot penyerahan pajak kepada Sultan- sebenarnya tidak berpunca dari itikad buruk dan tidak loyal, melainkan semata-mata didalangi oleh provokator (Belanda) dan bahkan pada masa Pemerintahan Sultan Ibrahim Mansursyah, mayoritas Ulèëbalang se-Acheh sudah berani membeykot secara besar-besaran dan terang-terangan untuk tidak lagi membayar pajak kepada Sultan (negara) dan bahkan secara rahasia menyusun kekuatan untuk merampas kuasa Sultan. Untuk maksusd ini, figur Syaid Husien Al-Idrus yang menetap di Pulau Pinang adalah calon yang diposisikan untuk menggantikan Sultan Acheh. Persiapan, dana dan pengerahan kekuatan, dikordinasi dan dikendalikan sepenuhnya oleh para Ulèëbalang yang berada di dalam negeri (Acheh). Bagaimanapun Syaid Husien Al-Idrus, mengalihkan kepada anak kandungnya –sayyif Mustafa– yang masih belasan tahun untuk menjadi Sultan Acheh (1815-1818) yang dirampasnya melalui kudeta atas bantuan beberapa Ulama dan Ulèëbalang. Tidak lama kemudian melalui intervensi Inggeris, kedua negara –Acheh dan Inggeris– berhasil menandatangani Perjanjian Raffles, yang antara lain mengatur tentang pelucutan kuasa Mustafa sebagai Sultan Acheh, dikembalikan semula kepada Sultan Jauharsyah (1818-1824).

 

Situasi politik di Acheh berubah semakin runyam, terutama  pasca Belanda memerangi Acheh jilid ke-2, desember 1873, dimana Belanda memakai taktik “serampang dua mata” untuk menakluki Acheh. Di satu sisi, pejabat tinggi sipil Belanda mendekati dan memperalat Ulèëbalang (kaum feodal) dengan tujuan memeras kekayaan Acheh untuk menopang pembiayaan perang. Di sisi lain, kaum Ulama diposisikan sebagai musuh yang menjadi target untuk dibunuh bersama pejuang Acheh lainnya. Atas dasar analisis historis ini, disimpulkan bahwa “Pada masa pemerintahan kolonial berkuasa di nusantara, Belanda merangkul Ulèëbalang untuk mencegah ulama terjun dalam pemerintahan. Ulama hanya dapat memimpin rakyat dalam bidang agama dan sosial. Hal ini boleh dikatakan sebagai awal pergesekan antara kaum Ulèëbalang dengan ulama yang setelah Belanda angkat kaki dari Acheh berubah menjadi perang cumbok.”[1] Sampai menjelang Belanda angkat kaki dari bumi Acheh tahun 1942; hubungan antara Belanda-Ulèëbalang tetap akrab dan sukar dipisahkan. Fakta di bawah ini membuktikan bahwa kaum Ulèëbalang dipercayai punya agenda tertentu (rahasia) dengan tentara Sekutu, yang pada ketika itu diketuai oleh Knottenbelt (perwira Belanda yang diterjunkan ke Sumatera setelah Jepang menyerah pada Agustus 1945). Teuku Nyak Arif, Residen Acheh (1945-1946), dicurigai sebagai mata-mata sekutu –punya hubungan intim dengan tentara Sekutu– setelah Jepang menyerah. Kedekatan Teuku Nyak Arif dengan Knottenbelt terungkap dalam Majalah “Vrij Nederland”, edisi 26 tahun VI, terbitan London 19. Januari 1946, berjudul: “Contact met Atjeh”. Knottenbelt menyebut nama Teuku Nyak Arif (Residen Acheh) sebagai salah seorang yang dihubunginya di Acheh; bahkan pertemuan mereka berdua berlangsung beberapa kali. Teuku Nyak Arif bahkan diketahui

memperoleh balasan sepucuk surat tiga halaman kuarto, yang berisi laporan yang dikirim Mayor M.J. Knottenbelt dari Kutaraja pada 4 November 1946. Kontak antara Teuku Nyak Arif-M.J. Knottenbelt ini dihubungkan oleh Goh Moh Wan, warga keturunan China sebagai kurir Knottenbelt. Dalam Majalah tersebut Knottenbelt juga mengaku: “… “Berhubungan dengan ini, saya beberapa kali mendapat kunjungan dari seorang pemimpin pribumi bernama Nyak Arief, yang oleh Soekarno diangkat menjadi Residen Acheh,” (“…In verband hiermede werd ik enkele maal bezocht door een inlandse hoogwaardigheiddsbekleeder, genaamd Nyak Arif, die door Soekarno als ‘residen’ van Atjeh benoemd…”).[1]

 

Keabsahan riwayat pertemuan antara Teuku Nyak Arif-M.J. Knottenbelt, juga disinggung bahwa “Angkatan Laut Inggris ketika itu menduduki Sabang tanpa perlawanan pada 7 September 1945. Satu pasukan kecil sekutu (force 136) dikirim dari Medan ke Kutaraja di bawah pimpinan Mayor M. J Knottenbelt dan oleh tentara Jepang, ditempatkan di sebuah vila berbendera Inggris. Tugasnya, mengobservasi dan memberi laporan serta berusaha agar senjata yang berada di tangan Jepang tetap terkendali, tidak boleh diserahkan ke pihak lain. Dalam perkara ini Knottenbelt bekerja sama dengan Teuku Nyak Arief.” Dalam surat Teuku Nyak Arief kepada pasukan Inggris mengatakan: “kehadiran Knottenbelt pada saat-saat yang penting ini sangat dibutuhkan untuk tegaknya hukum dan terpeliharanya ketertiban serta keamanan.[2] Keterangan lainnya juga menyebut: “Antara Teuku Nyak Arif-M.J. Knottenbelt memang terjadi hubungan surat-menyurat.[3]

 

Jadi, situasi politik Acheh pada waktu itu memang dalam keadaan tidak stabil, memanas dan tidak terkendali. Gambaran secara umum diutarakan oleh Ali Basyah Talsya sbb: “ketika itu muncul desas-desus bahwa kelompok Ulèëbalang mempersiapkan kedatangan pasukan sekutu pada Agresi Belanda ke-II tahun 1948. Ulèëbalang ingin memperoleh kembali kekuasaan yang didominasi Ulama. Sementara ulama dan rakyat saat itu sangat anti terhadap Belanda.” Dari fakta-fakta tersebut disimpulan bahwa: ”Perang Cumbok tak bisa lepas dari konteks tatanan sosial pada saat itu. Tatanan yang sengaja dibangun demi kepentingan Belanda.”[4] Kisah ini semakin memperkuat argumentasi bahwa kaum Ulèëbalang dianggap sebagai kaki-tangan Belanda dan oleh sebab itu pula –sebelum  segala-galanya terlambat– maka



[1] M. Nur El Ibrahimi, 1996, Mata Rantai Yang Hilang.

[2] Anthony Reid, 2014, The Blood of the People, Published by NUS Press.

[3] Dr. A J Piekar, 1949,  Atjeh en de oorlog met Japan, S'Grevenhage.

[4] James T. Siegel, 1962, The Rope of God. Baca juga: TEMPO online, 18 Agustus 2003.

 

 Husin Al-Mujahid tampil ke depan dan membentuk kekuatan militer di Idi, Acheh Timur untuk ’membersihkan’ kaum Ulèëbalang. Aksi pembersihan/penumpasan terhadap Ulèëbalang di Acheh Timur mulai dilancarkan. Kaum Ulèëbalang ditangkap, ditahan, dibunuh dan ada pula yang diasingkan. Di mata Husin Al Mujahid, Teuku Nyak Arif jelas nyata sebagai ”musang berbulu ayam” (musuh dalam selimut) yang kendatipun dalam pidatonya pada Maret 1945 (Wakil Ketua DPR seluruh Sumatera) berujar: “Indonesia merdeka harus jadi tujuan hidup bersama,” dinilai sebagai ’make-up’ dan Husin Al Mujahid lebih memilih menggulingkan Teuku Nyak Arif dari jabatannya sebagai Residen Acheh dan menjebloskan bersama adiknya (Teuku Abdul Hamid)  ke dalam Penjara di Takengon, Acheh Tengah hingga meninggal dunia dalam status tahanan, ketimbang membiarkan berkuasa lebih lama. Tindakan Husin Al-Mujahid, bukanlah cikal-bakal dari bermulanya gerakan penumpasan kaum Ulèëbalang di seluruh Acheh, akan tetapi sebagai sambungan dari peristiwa di Lhameulo-Pidië; yang telahpun berhasil melumpuhkan kekuatan kaum Ulèëbalang.

 

Dalam peristiwa penyerangan ke kubu Ulèëbalang di Lhameulo, Husin Al Mujahid (Ketua Pemuda PUSA) memang tidak diikut-sertakan oleh Tengku Daud Beureuéh. Masalah internal PUSA ini sempat tercium oleh Karim M.X, Sarwono, Thaib Adami, Samadikin  dan Natar Zainuddin (tokoh komunis berkaliber internasional) yang sudah berpengalaman dalam hal menyebar provokasi sudah lama bergentayangan di Acheh dan secara rahasia mendekati dan meloby Husin Al-Mujahid untuk ikut serta dalam „Revolusi Sosial“ di Acheh. Itu sebabnya, dia kemudian membentuk Tentara Perlawanan Rakyat (TPR) pada 16 Februari 1946 (sebulan setelah tertangkapnya Teuku Daud Cumbok). Untuk memulai aksinya, Husein Al-Mujahid perlu dasar hukum yang dipakai sebagai alasan pembenar melakukan kebijakan militer. Langkah pertama Husin Al Mujahid adalah ”melucuti pasukan Teuku Ibrahim Cunda, yang sedang dalam perjalanan ke Langsa  memenuhi undangan Bupati Acheh Timur T. Raja Pidië. Diketahui kemudian, pasukan dari Cunda semuanya dibunuh di Blang Guci. Lalu dengan senjata rampasan tersebut mulai dilakukan pembersihan di Ach Timur. Bupati Acheh Timur T. Raja Pidië dan  Ulèëbalang lainnya ditangkap dan dibunuh. Polisii RI diangkap dan dilucuti. Kemudian operasi diteruskan ke arah Barat. Semua Ulèëbalang di Geurugok, Panton Labu, Lhôk Sukon, Geudong, Cunda, Bireuën, Samlanga semuanya ditangkap dan dibunuh. Rencana yang sama akan dilakukan juga di Acheh Besar, akan tetapi dicegah oleh Tengku Abdul Wahab Seulimum, Tengku Hasbalah Indrapuri dan Ali Hasyimi. Tokoh ini hanya mengizinkan untuk mencopot jabatan saja. Maka terjadilah pengalihan jabatan dan pangkat dari beberapa orang pejabat penting: yaitu pangkat dan jabatan Teuku Njak Arif, Jenderal Mayor Tituler selaku staf Komandemen Sumatera, diambil alih Husien Mujahid, diserahkan kepada dirinya. Jabatan dan pangkat Kolonel Syamaun Gaharu, sebagai Panglima Tentara Keamanan Rakyat (tentara resmi pemerintah) dicopot dan diberikan kepada Husen Yusuf, dengan menaikkan pangkatnya dari Mayor kepada Kolonel. Jabatan dan pangkat Let.Kolonel Teuku Hamid Azwar dicopot dan diberikan kepada Nurdin Sufi, orang kepercayaan Husin Mujahid. Setelah berhasil mengobrak-abrik pusat pemerintahan di Kutaraja, dia melanjutkan rencana seterusnya, yakni: Teuku Njak Arif diasingkan dan ditahan di Takenegon, Acheh Tengah sampai meninggal dunia dalam tahanan; Syamaun Gaharu, Teuku Hamid Azwar, Tengku Hasbi Asyidiki dan beberapa orang lainnya ditahan di Tangsé.”[1] Rencananya mereka hendak membunuh semua, namun ”… karena Ayah Daud Tangsé melihat ada beberapa keganjilan, karena tokoh-tokoh yang dianggap baik dan dipandang tidak melakukan kesalahan tersebut sebagai pengkhianat. Kemudian dia melakukan cèk dan ricèk dengan sahabat-sahabatnya. Hasan Sab dari Gigiëng dan Abdullah Masri dari Kutaraja dan hasilnya bahwa mereka itu  bukanlah pengkhianat tetapi hanyalah berbeda pandangan dan pendapat dengan Husin Al-Mujahid. Maka pasukan berani mati di bawah pimpinan Hasan Sab serta dibantu oleh pasukan Abdullah Masri dari Kutaraja, mereka menangkap dan menculik Jenderal Mayor Tituler Tgk. Husin Al-Mujahid dan kemudian dibawa ke Tangsé untuk diminati pertanggungjawaban atas tindakannya menangkap pemimpin-pemimpin Acheh tadi. Namun di Padang Tiji, pasukan Ayah Daud Tangsé dicegat oleh pasukan Hasballah dengan kekuatan satu batalyon. Husin Al-Mujahid dapat dibebaskan dan pasukan Ayah Daud Tangsé kemudian dikirim ke front Medan Area dan Tapanuli.”[2]

 

Ada anggapan umum dalam masyarakat Acheh kala itu bahwa, bagi kaum ulama (khususnya PUSA) dan rakyat Acheh umumnya bahwa proklamasi Indonesia dianggap sebagai epilog dari rentetan penjajahan Belanda dan Jepang. Namun demikian, bagi kaum Ulèëbalang tidaklah demikian. Artinya, dengan angkat kakinya Jepang dari bumi Acheh, akan membuka lembaran baru untuk menyambung kembali kedudukan Belanda. Dengan demikian kekuasaan tradisional yang Ulèëbalang nikmati sebelumnya akan kembali semula. Untuk itu, satu-satunya jalan adalah bagaimana melicinkan dan meratakan jalan supaya Belanda berkuasa kembali di Acheh. Pendapat demikian sebenarnya tidak boleh digeneralisir, sebab selain Teuku Nyak Arif, masih terdapat sederetan nama, seperti Teuku Hamid Azwar dan Teuku Ahmad Jeunib dll. dari kalangan Ulèëbalang yang nyata-nyata mendukung dan berjiwa Republiken, walaupun  diakui bahwa Teuku Daud Cumbok Cs. punya haluan politik lain yang lebih inginkan Acheh diduduki  kembali oleh Belanda.

 

Jika dilihat dari kronologi peristiwa Cumbok ini, setidak-tidaknya ada beberapa faktor yang memicunya. Pertama, kaum Ulèëbalang menghendaki supaya status-quo sebagai kaum feodal yang menguasai hartanah Acheh yang kemudian diambil alih oleh Belanda sejak peperangan meletus, tetap dipertahankan dan dikuasai, termasuk gelar dan hak otonomi yang diberi Belanda untuk mengelola perkebunan milik Belanda jangan sampai beralih ke pihak lain. Kedua, selama perang melawan kolonial Belanda, pemerintah Belanda membuat garis pemisah yang ektreem antara Ulèëbalang di satu pihak dan Ulama di pihak lain. Pemisahan ini didasarkan pada nasehat Snouck Hurgronje –intelektual dan rohaniawan bajingan– yang menyimpulkan bahwa ”kekuatan masyarakat Acheh bertumpu pada dua pilar, yaitu: kalangan Ulèëbalang (feodal yang menguasai hartanah) dan Ulama sebagai pemimpin agama. Menurut Snouck, Belanda lebih efektif mendekati dan memberi fasilitas kepada kaum Ulèëbalang yang punya wewenang penuh mengendalikan 103 negeri  di Acheh dan memposisikan Ulama sebagai rival yang mesti dibunuh, sebab berpihak kepada pejuang Acheh bersama rakyat.” Ketiga, Teuku Daud Cumbok Cs, menolak Acheh bergabung bersama Indonesia, sementara Ulama yang tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Acheh (PUSA)  berpihak kepada Indonesia. Ke-empat, PUSA sendiri merasa prejudis kepada kaum Ulèëbalang yang secara diam-diam dan terang-terangan tetap menyatakan berpihak kepada Belanda sebagai tuannya yang dianggap berjasa membesarkan dan memperkaya kelompoknya. Dalam kaitan ini dikatakan: ”Perang Cumbok tak boleh lepas dari konteks tatanan sosial pada saat itu. Tatanan yang sengaja dibangun demi kepentingan Belanda.[3] 

Kelima, dalam situasi Acheh tidak menentu, “Daud Cumbok malah gembar-gembor Indonesia belum siap merdeka. Ada banyak cerita tentang dia. Pasar malam di Lam Meulo, markas Daud Cumbok, punya judi dan mabuk sebagai menu utama-simbol pelècèhan ulama. Ia memerintahkan penurunan bendera Merah-Putih, penggerebekan rumah para pemimpin PUSA. Daud Beureueh kami ungsikan ke rumah penduduk di Desa Garot, Metareum"[4] Gelagat ini disifatkan sebagai: "Dia sangat berani, kalau tidak boleh dibilang nekat dan sembrono."[5] Akhirnya pada Desember 1945, pemerintah pusat memaklumkan Teuku Daud Cumbok sebagai pengkhianat Republik dan mesti dihukum. Ke-enam, dalam situasi politik dan keamanan sedang sekarat di Acheh, serdadu ‘bajingan’ Jepang justeru menyerahkan sisa-sisa senjatanya, termasuk beberapa jenis bom yang beratnya mencapai 500 kg. kepada kaum Ulèëbalang  yang bermarkas di Lhameuloë Pidie, yang ketika itu telah berkumpul sejumlah Ulèëbalang yang dipimpin oleh Teuku Cumbok Muhammad Daud untuk menerima senjata dari Jepang, termasuk perlengkapan logistik dan fasilitas perang lainnya. Menurut prosedur senjata tersebut semestinya diserahkan kepada API/TKR di bawah pimpinan Teuku Nyak Arif, yang dilantik  pada 3 Oktober 1945. Selain itu, dengan maksud yang tidak/belum diketahui –dalam situasi Acheh tidak stabil– Tuanku Mahmud malah mengantarkan 2 peti senjata ke Medan, diterima oleh Gubernur Sumatera Mr. Teuku Hasan. Pakatan Jepang-Ulèëbalang ini dituding oleh kelompok Ulama PUSA sebagai perbuatan berbahaya dan dicurigai secara diam-diam, kaum Ulèëbalang punya agenda tertentu dan rahasia yang membahayakan. Para pemimpin API/TKR termasuk yang dicurigai, sebab mulai dari pimpinan dan anak buahnya terdiri dari kalangan Ulèëbalang.

 

Asumsi generalisasi yang dibangun oleh PUSA terhadap kaum Ulèëbalang, didasari oleh beberapa alasan politik dan historis, misalnya ketokohan Teuku Daud Cumbok yang pada masa penjajahan Belanda, banyak mendapat perlakukan istimewa. Dia menjabat sebagai pemimpin nanggroë wilayah Lameuloë, yang diperhitungkan akan bersekutu dengan pimpinan API/TKR untuk melicinkan jalan kepada militer Belanda masuk kembali ke Acheh. Sejak itu, situasi di Acheh –khususnya di wilayah Acheh pesisir– semakin tegang. Penyerahan tambahan senjata dari Jepang kepada Ulèëbalang, yang rencananya berlangsung 5 Desember 1945, terpaksa gagal, karena daerah lain di wilayah Pidië sudahpun meletus kontak senjata. Pasukan PUSA dari arah Banda Acheh, Bireuen dan Acheh Utara, merambah masuk ke wilayah Pidie untuk menyerang kubu dan pasukan Ulèëbalang yang sudah siap menyambut. Persekongkolan rahasia antara Jepang-Ulèëbalang telah menyulut dan memicu kebencian rakyat kepada kaum Ulèëbalang dan seiring dengannya kelompok PUSA berhasil memobilisasi kekuatan rakyat. Maka, pada 10 Januari 1946 dengan melibatkan pasukan gabungan, yakni kekuatan rakyat, aktivis Pusa dan tentara Angkatan Perang Indonesia (API), TKR dan PRI menyerang markas Teuku Daud Cumbok Cs. di Lameuloë, Pidië. Hanya dalam hitungan hari –4 hari saja– pasukan gabungan ini berhasil melumpuhkan dan menguasai wilayah Pidie. Para pejuang Ulèëbalang terpaksa melarikan diri ke hutan, termasuk  Teuku Daud Cumbok, yang akhirnya berhasil ditangkap dan dibunuh pada 16 Januari 1946 di hutan kaki Gunung Seulawah. Demikian pula Teuku Oemar Keumangan beserta seluruh kekayaannya –senilai  Rp 12. juta– ketika itu musnah dibakar dan Teuku Ahmad Jeunéb, yang jelas-jelas menyatakan setia pada Republik adalah di antara yang tewas bersama rakyat sipil, diperkirakan mecapai 3000 orang, terdiri dari orang tua dan anak-anak yang tak berdosa turut dibantai. Teuku Bintara Pineuëng H. Ibrahim –Ayah kandung Mr. Hasan– yang berhasil lolos menyelamatkan diri dalam peristiwa Cumbok, akhirnya tidak selamat dalam peristiwa pemberontakan DI/TII tahun 1953. Dia mati dibunuh oleh pasukan pejuang DI-Acheh. Di daerah lain juga terjadi pengejaran dan pembunuhan massal terhadap Ulèëbalang, seperti yang dialami oleh keluarga Prof. Dr. Teuku Ibrahim Alfian (pakar sejarah Universitas Gadjah Mada), Yogyakarta yang mengaku “Ayah dan ibu memang selamat dari Perang Cumbok, Acheh, 1946. Tapi nenek, kakek, paman, juga banyak sepupunya jadi korban massa yang marah pada keluarga Ulèëbalang dan bangsawan. Saya tak tahu dimana kubur mereka sampai kini. Saya tidak mau membicarakannya."[6] 

 

Syamaun Gaharu, tokoh API juga mantan Panglima Kodam Acheh, dalam catatan hariannya mengaku bahwa “tindakan rakyat Acheh memburu kaum Ulèëbalang sangat kejam dan banyak warga mati tanpa kubur, tiada dimandikan, tiada dishalatkan.” Selain itu Abdurrahman, saksi mata dalam peristiwa Cumbok menuturkan “Cumbok adalah perang perebutan kekuasaan antara kubu uleebalang  dengan tokoh-tokoh ulama yang tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Acheh (PUSA)  ketika Jepang kalah dalam Perang Dunia II. kaum ulama berusaha mati-matian mengantar Acheh untuk mendukung kemerdekaan Indonesia. Sebaliknya, sebagian Ulèëbalang justru berkeinginan menyambut Belanda agar mereka bisa berkuasa lagi seperti sebelumnya.[7] Sebenarnya Teuku Muhammad Daud Cumbok berada berada pada posisi yang sulit pada ketika itu  Teuku Daud Cumbok tak ingin berperang. Tapi karena dia Gunco (setingkat Bupati) Lammeuloe (sekarang Kota Bakti). Teuku Cumbok pun mempertimbangkan kemauan anak-anak buahnya. Dan perang pun tak bisa dielakkan. Armada Cumbok ada dua, Cap Saoh dan Cap Bintang. Cap Saoh itu pasukan perang handal, seMaretam tentara. Dan Cap Bintang, pasukan penjaga kota. “Tuentera Cap Saoh peunyampuh uteun, Meutareum jeut keu abee (Tentara Cap Saoh sapu hutan, Meutareum pun jadi abu)."[8]

 

Terlepas dari pertimbangan dan alasan apapun, yang pasti perang Cumbok merupakan klimaks dari konspirasi politik tingkat tinggi dari aktivis komunis yang kala itu Amir Syarifuddin (tokoh komunis) memegang jabatan sebagai Menteri Pertahanan Keamanan Indonesia. Dalam agenda khusus PKI telah memetakan seluruh Sumatera sebagai wilayah konflik –Revolusi sosial– Buktinya, Mr. Luat Siregar, Dokter M. Amir, mantan dokter pribadi Sultan Mahmud Sultan Langkat, M. Yunus Nasution, Ketua PKI Sumatera Timur, A. Karim M.X dan Bustami adalah di antara aktor intelektualis Revolusi Soaial di Sumatera Timur pada tahun 1946. Tragis sekali, Acheh yang sebelumnya –kubu Ulama PUSA dan Ulèëbalang– seiring dan sehaluan; terbukti Teuku Ali Basyah dan Teuku Muda (wakil Ulèëbalang) dan Tengku Sjèh Abdul Hamid (wakil PUSA) dikenal pasti sebagai tokoh-tokoh Acheh ketika itu melobi Said Abubakar di Malaysia untuk memugar hubungan dengan Dinas intel Jepang –Fujiwara Kikan (Barisan Fujiwara)– yang diketuai oleh Mayor Iwaichi Fujiwara. Selain melobi Dinas intel Jepang di Pulau Pinang, upaya menggalang kerjasama antara PUSA-Ulèëbalang untuk mengakhiri pendudukan Belanda terus dilakukan, maka Tengku Abdul Wahab Seulimum dan Tengku Haji Ahmad Hasballah Indrapuri {kubu PUSA} bertemu dengan Teuku Muhammad Ali Panglima Polim, Teuku Tjut Hasan, Teuku Djohan Meuraksa, Teuku Ahmad Djeunéb, Teuku Ali Keurukon dan Teuku Njak Arif {kubu Ulèëbalang} untuk membincangkan langkah-langkah yang perlu diambil untuk menentang Belanda, bahkan pada 4 Maret 1942 malam, tokoh-tokoh PUSA dan Ulèëbalang, seperti Tengku Sjéh Mahmud Montasék, Tengku Sjéh Ibrahim dan Tengku Haji Abdullah Lam U (wakil PUSA) dan Teuku Ali Keurukon, Teuku Manjak Baet, Teuku Nja’ Arif dan Teuku Main (wakil Ulèëbalang) duduk kembali guna membicarakan bentuk perlawanan mengakhiri pendudukan Belanda di Acheh. Akhirnya termakan provokasi dan fitnah dari aktivis komunis hingga tersèrèt ke kancah perang saudara yang menjadi lembaran hitam dalam perjalanan sejarah Acheh.  

 

Segalanya sudah terlambat dan biarlah peristiwa ini tegak berdiri sebagai kenyataan (fakta) sejarah kelam dalam lipatan sejarah Acheh. Sekarang  kita baru tahu, kalau di akhir hayatnya, Teuku Nyak Arif pernah menyampaikan pesan kepada Teungku Muhammad Daud Beureueh ketika datang membesoknya di rumah tahanan di Takengon. Teuku Nyak Arif berpesan: “agar berhati-hati terhadap kaum komunis.” Sebagaimana terbukti bahwa, Karim M.X, Sarwono, Thaib Adami, Samadikin  dan Natar Zainuddin (tokoh komunis berkalibar internasional), ternyata sudah lama bermain di Acheh, “sibuk mundar-mandir menghubungi Ulama PUSA dan kaum Ulèëbalang yang menyebar isu dan melancarkan provokasi yang menyudutkan kaum Ulèëbalang, misalnya saja:

-          Di rumah-rumah Ulèëbalang yang ditinggalkan terdapat Bendera Belanda dan uang Nica;

-          Bendera Sang saka Merah Putih diturunkan di daerah Cumbok;

-          Orang-orang yang mengucapkan kalimah syahadah ditembak mati di tempat.

 

Isu tersebut ditampung oleh Ali Hasyimi, selaku Ketua Pesindo, Ismail Yacob selaku pimpinan PNI dan Syamaun Gaharu pimpinan API/TKR dan diangkat mejadi laporan utama dalm rapat Umum, tanpa megadakan tabayyun tentang kebenarannya. Kemudian laporan tersebut dipandang sudah cukup sebagai alasan pembenar yang „menyatakan bahwa para Ulèëbalang yang berkumpul di Cumbok adalah pengkhianat bangsa dan Pengkhianat tersebut harus dimusnahkan.”[9] Pertempuran resmi baru berakhir pada 17 Januari 1946 dan penyelesaian akhir ”seluruh kekayaan Ulèëbalang, baik harta bergerak mau pun tidak bergerak dikuasai oleh Majlis Penimbang yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah Acheh dengan peraturan Daerah No. 1 tgl. 24 Juli 1946, yang ditanda tangani oleh Residen Acheh Teuku Daoed Syah dan disetujui oleh Badan Pekerja Dewan Pewakilan Acheh yang ditanda tangani oleh Mr. S.M Amin, sebagai Wakil Ketuanya.”[10] Bagaimanapun, penyelesaian ini buat sementara selamat; hingga kemudian muncul gugatan yang menuntut ditegakkan keadilan secara hukum yang diperjuangkan lewat kampanye di depan umum. Syeh Tam Gigiëng misalnya, tampil dengan group Seudati-nya melancarkan kampanye bahwa PUSA pimpinan Tengku Daud Beureuéh adalah anték-anték koruptor dan pembunuh kejam dan layak dihadapkan ke Mahkamah Pengadilan. Gerakan ini disahut oleh Said Ali Cs, yang sudahpun mengorganisir untuk melawan kekuatan PUSA dan Pesindo yang telah terbukti “melakukan kejahatan sbb:

-          Korupsi secara besar-besaran;

-          Melakukan perniagaan illegal secara besar-besaran;

-          Melakukan pembunuhan atas mereka yang tidak disukai dan dianggap berbahaya bagi mereka;

-          Tidak mengurus baitul maal dan Zakat sebagai mestinya;

-          Tidak mengindahkan peraturan-peraturan dari Pemerintah Pusat;

-          Mempergunakan hasil tambang minyak dan Perkebunan untuk diri sendiri.

Gerakan tersebut disusul dengan menangkap beberapa tokoh Pesindo dan PUSA, seperti: Njak Nèh, Umar Husni, A. Hasjimi, Saleh Rahmani dan T.M Amin serta 60 orang anggota lainnya.”[11]

 

Malangnya, Said Ali Cs kemudian berhasil ditangkap pada 4 November  1948, atas perintah Tengku Daud Beureuéh (Gubernur Militer Acheh, Langkat dan Tanah Karo). Namun begitu, Tengku Daud Beureuéh kali ini berhati-hati dalam menjatuhkan hukuman kepada Said Ali Cs, sebab situasi di Acheh masih dalam keadaan tidak stabil. Oleh sebab itu cukup dengan mengeluarkan maklumat yang antara lain berunyi: ”terhadap mereka yang baik langsung mau pun tidak langsung telah campur tangan dalam pembunuhan-pembunuhan dan penganiayaan- penganiayaan yang bersangkutan dengan peristiwa Cumbok, tidak akan dilakukan tuntutan oleh karena kepentingan negara menghendaki mereka dielakkan  di luar tuntutan.” Dengan dikeluarkannya Maklumat ini, maka kelompok PUSA yang bertanggungjawab dalam pembunuhan massal terhadap kaum Ulèëbalang dianggap bebas –bukan penjahat kemanusiaan– dan tindakan Said Ali Cs yang telah menangkap dan menahan tokoh PUSA dan Pesindo dibebaskan dari semua tuduhan dan tuntutan. Untuk memperkuat kandungan Maklumat ini, Gubernur Sumatera –Mr. Hasan yang berlatar belakang keluarga Ulèëbalang– berusaha memberikan perlindungan dan melobi Pemerintah Pusat dan akhirnya lewat Keputusan Wakil Perdana Menteri RI No. 14/Keh. WKPM. Pada 21 Desember 1949, memutuskan: ”Abolisi (pembebasan dari tuntutan) diberikan kepada mereka yang baik langsung maupun tidak langsung, tersangkut dalam suatu perbuatan mengenai peristiwa-peristiwa dalam Daerah Acheh, baik yang terkenal dengan peristiwa Cumbok dan peristiwa sekitarnya, baik peristiwa yang timbul kemudiannya sebagai akibat dari peristiwa-peristiwa tersebut atau pergolakan Revolusi Nasional, maupun yang terkenal dengan peristiwa Sadi Ali Saggaf, bilamana mereka oleh karena itu telah menjalani hukuman ataupun mengalami suatu tindakan yang bersifat penghukuman (pasal 1).

Segala tuntutan (rechvervolging) terhadap mereka yang dimaksud pasal 1 dihentikan, jika dalam tuntutan supaya dihentikan dengan segera (pasal 2).”

 

Sebenarnya, tidak akan menjadi bahan fitnah yang berujung kepada pembunuhan massal, jika perkara ini dirundingkan sebelumnya antara Residen Acheh dengan pihak Angkatan Pemuda Indonesia (API) dan pihak-pihak lain yang terkait. Diakui bahwa efek psykhologis dari peristiwa pembumi hangusan kaum Ulèëbalang sampai sekarang masih dirasakan. Misalnya, sebilangan keluarga Ulèëbalang tidak berhasrat lagi membubuhkan gelar ”Teuku” di depan namanya, walaupun ini tidak berlaku secara menyeluruh.

 [1] T. Abdullah Bén Peukan Tangsé. Usulan Penyelesaian Masalah Acheh.” Untuk Kalangan Terbatas, 29 November 1999, dalam ”Peristiwa Berdarah di Acheh dan Akar Masalahnya.” Halaman 5-6.

[2] Ibid., 1999, T. Abdullah Bén Peukan Tangsé.

[3] James T. Siegel, 1962, The Rope of God.

[4] M Nur El Ibrahimi, 1996,  Mata Rantai Yang Hilang.

[5] Anthony Reid, 2014, The Blood of the People - Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra.

[6]  TEMPO online, 18 Agustus 2003.

[7]  Firdaus Yusuf, 15 April 2013, Cumbok, Kisah Kelam 'Perang Saudara' di Acheh, The Globe Journal.

[8] Ibid., Firdaus Yusuf, 15 April 2013.

[9] T. Abdullah Bén Peukan Tangsé. Usulan Penyelesaian Masalah Acheh.” Untuk Kalangan Terbatas, 29 November 199, dalam ”Peristiwa Berdarah di Acheh dan Akar Masalahnya.” Halaman 4.

[10] Ibid, T. Abdullah Bén Peukan Tangsé, hlm. 7.

[11] Ibid, T. Abdullah Bén Peukan Tangsé, hlm. 8.

 

TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update