Notification

×

Iklan

Iklan

Kudeta Terhadap Kepemimpinan Tengku Daud Beureuéh

Khamis, 13 November 2025 | November 13, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-11-13T23:51:08Z


 

Semenjak Syama’un Gaharu dilantik menjadi penguasa perang,[1] beliau mulai memainkan peranan untuk merintis jalan damai bagi manamatkan konflik antara DI-Acheh dan Pemerintah Pusat Indonesia (PPI). Untuk itu Syama’un Gaharu coba mengadakan kontak dan pertemuan tidak resmi dengan Hasan Ali (Perdana Menteri NBA/NII) dan Hasan Saleh (Menteri Urusan Perang NBA/NII). Hasil dari pertemuan ini menyepakati untuk meneruskan pertemuan antara kedua-dua belah pihak yang berlangsung di rumah Ayah Pawang Leman, kampung Lamtéh pada 5 April 1957. Agenda yang dibicarakan adalah konsep pemulihan keamanan di Acheh dan menciptakan kesan bahwa yang bertemu bukanlah antara pegawai pemerintah RI dan pejuang DI-Acheh, akan tetapi antara sesama putera Acheh yang sedang berbincang masalah Acheh. Pada 7 April 1957 diadakan pertemuan antara kedua-dua belah. Turut hadir dalam pertemuan ini Letnan Kolonel Syama’un Gaharu, Muhammad Insya (Ketua Polisi Sumatera Utara dan Acheh), Major A. Gani, Kapten Usman Njak Gadé dan Ismail (wakil pemerintah Indonesia). Sementara wakil dari pemerintah DI-Acheh turut hadir Hasan Ali (Perdana Menteri NBA/NII, Hasan Saleh (Menteri Urusan Perang NBA/NII), Ishak Amin, Ayah Pawang Leman dan Gani Mutiara (Menteri Penerangan NBA/NII). Kedua-dua belah pihak setuju untuk menghentikan permusuhan, menjunjung tinggi kehormatan Islam, kehormatan dan kepentingan rakyat Acheh. Kesepakatan ini kemudiannya dinamakan dengan ‘Ikrar Lamtéh’,[2] ditandatangani secara rasmi oleh kedua-dua belah pada 8 April 1957.  Seterusnya Perdana Menteri Djuanda yang memerintah (9 April 1957 - 10 Juli 1959), mengeluarkan maklumat pada 17 Desember 1958 tentang gencatan senjata dan penyelesaian dalam bidang politik, yaitu menamatkan konflik antara PPI dengan DI-Acheh yang disetujui oleh kedua belah pihak, dimana Presiden RI akan memberi pengampunan kepada semua pejuang DI-Acheh; sementara bidang sosial dan ekonomi, diusulkan supaya semua pejuang DI-Acheh kembali semula kedalam masyarakat untuk melakukan aktivitas. PPI juga berjanji membayar biaya pampasan kepada semua pejuang DI-Acheh. Sejak disepakati ’Ikrar Lamtéh’ pada 8 April 1957,  pertempuran di medan perang antara pasukan TNI dan pejuang DI-Acheh reda dan situasi keamanan Acheh dalam situasi terkawal hingga tahun 1959.

 

            Rupa-rupanya kandungan perjanjian yang dicapai pada rundingan (6, 7 dan 8 April 1957) ini, tidak diketahui secara terperinci oleh Tengku Muhammad Daud Beureueh. Oleh itu butir-butir rundingan ini dianggap kontroversial dan menimbulkan perbedaan pendapat antara kelompok Tengku Muhammad Daud Beureueh, Hasan Ali dan Tengku Ilyas Leubé dengan kelompok Hasan Saleh, Husen Mujahid dan Abdul Gani. Kelompok Tengku Muhammad Daud Beureueh mau supaya Perjanjian damai dan pelaksanaan hukum Islam mencakupi untuk seluruh umat Islam Indonesia di bawah NII tidak terbatas untuk wilayah Acheh. Selain itu, perjanjian damai dan pelaksanaan syari’at Islam ini inginkan supaya ditetapkan dengan Undang-undang, bukan Surat Keputusan Perdana (SK) Menteri.[3] Sementara kelompok Hasan Saleh berpendapat bahwa, pelaksanaan syari’at Islam di Acheh cukup diatur dengan Surat Keputusan (SK) Perdana Menteri. Sebenarnya, sejak disepakati ‘Ikrar Lamtéh’ 1957 yang merupakan ”inisiatif pemerintah Kolonel Hasan Saleh, Abdul Gani Usman (Apa Gani) dan Husin Mujadid,”[4] disusul kemudian dengan pertemuan di Kampung Lam Tamot (Acheh Besar) yang membincang implementasi pemerintah ‘Ikrar Lamtéh’ dan pembagian dana perdamaian yang diberikan oleh pemerintah Indonesia hanya dinikmati oleh mereka yang ikut berunding yang ternyata diluar pengetahuan pemimpin. Sehubungan itu, Tengku Muhammad Daud Beureueh berucap ”karena tuan-tuan telah mengambil tindakan sendiri, gunakan wang menuruti hawa nafsu sendiri-sendiri dan tidak patuh lagi kepada pimpimpin, saya tidak lagi dipercaya; maka kepimpinan DI-Acheh saya serah kepada saudara semua.’ [5] Ketika itu, ramai peserta pertemuan mecucurkan air mata. Selepas dibujuk rayu, Tengku Muhammad Daud Beureueh bersedia semula memimpin perjuangan DI-Acheh.”[6] Pada pertemuan Dewan Menteri NBA/NII yang berlangsung di Kampung Cubo (Pidië). Kolonel Hasan Saleh tidak hadir, karena merasa dirinya dituduh melakukan rasuah pada pertemuan di Lam Tamot, Acheh Besar. ”Ketidak hadiran Hasan Saleh merupakan isyarat tidak patuh lagi kepada pemimpin.[7] Sejak peristiwa itu, perseteruan tidak dapat dibendung dan dikendalikan lagi. Klimaksnya, berlaku rampasan kuasa oleh Kolonel Hasan Saleh terhadap kepimpinan Tengku Muhammad Daud Beureueh, pada 15 Desember 1959; menyusul ramainya panglima rejimen daerah yang memihak kepada kelompok Hasan Saleh, Husin Mujahid dan Abdul Gani Usman. Begitu juga ketika Tengku Muhammad Daud Beureueh sedang melakukan rundingan melalui hubungan surat-menyurat dengan M. Jasin, Hasan Ali (Perdana Menteri) secara terpisah mengadakan mesyuarat dengan Njak Adam Kamil (Pangdam1/Iskandar Muda) berhubung penyelesaian keamanan di Acheh tanpa pengetahuan pemimpin. Pertemuan yang semestinya berlangsung di Banda Acheh selambat-lambatnya pada 22 Oktober 1961, justeru diketahui oleh Tengku Muhammad Daud Beureueh setelah diberitahu oleh Njak Adam Kamil. Pada hal pertemuan antara Tengku Muhammad Daud Beureueh dengan Kol. Jasin akan diadakan pada 2 November 1961. Sehubungan itu, Tengku Muhammad Daud Beureueh merasa hèran dan terkejut ketika membaca berita bahwa, Hasan Ali akan bertemu dengan Brigjen Suprapto di Kutaraja pada 23 Oktober 1961 untuk merumuskan  suatu perkara penting. Tengku Muhammad Daud Beureueh tidak pernah memberi arahan kepada Hasan Ali untuk membincang perkara-perkara  penting. Tambahan lagi, beliau sedang menunggu kedatangan Pangdam 1/Iskandar Muda atas permintaannya melalui surat pada 12 September 1961. Pertemuan antara Hasan Ali dan Nyak Adam kamil tetap berlangsung dan kedua-dua belah pihak sepakat bahwa semua pejuang Republik Islam Acheh (RIA) dianggap sudah melapor diri sebelum 5 Oktober 1961 dan semua perkara dianggap sudah selesai setelah 5 Oktober itu. Jika terbukti kemudian ada pihak yang membangkang, resikonya ditanggung sendiri.[8] Oleh karena tindakan Hasan Ali di luar pengetahuan dan kebenaran pemerintah pemimpin, maka semua hak dan tindakan Hasan Ali berada di luar tanggunjawab pemimpin RIA. Keputusan Hasan Ali mau menyerah, sebetulnya sudah dikesan sejak Tengku Muhammad Daud Beureueh memberi amanah kepadanya untuk berunding dengan S.M. Amin di luar Kuala Lumpur, Malaysia. Akan tetapi Hasan Ali memanfaatkan untuk melawat ke Bangkok dan Hong Kong, sehingga terlewat balik ke Acheh. Berhubung perkara ini digambarkan bahwa semakin lama ananda diluar negara, makin bertambah buruk keadaan kita di dalam negeri. Razali Idris sudah menyerah pada 15 Agustus 1961 dan menyusul yang lainnya. Untuk pengetahuan ananda, Ayahanda sekarang hanya tinggal dengan seorang Menteri saja lagi.

Oleh karena tidak wujud persepahaman antara kedua-dua kelompok, menyebabkan situasi semakin runyam dan tidak terkendali. Oleh itu, Kolonel Hasan Saleh


[1] Berasaskan Surat Keputusan (SK) Presiden, 1956, No. 40/1956, status Acheh ditetapkan sebagai daerah dalam keadaan darurat perang. Simpanan Arkib Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perseroan Terbatas, Firma atau komanditer dan Perkelompok Koperasi, Kod: R 349 598 IND 1. No. 1 – 84.

[2] Teuku Abdullah Ben Peukan Tangsé, 1999, Catatan Pemulihan Keamanan di Acheh Dengan Konsep Prinsipil Bijaksana, Cadangan Penyelesaian Masalah Acheh, dicetak terhad untuk kalangan Sendiri, hlm. 2.

 

[3] Surat Tengku Muhammad Daud Beureueh, 27 April 1961, kepada Kolonel Muhammad Jasin. Lihat: Muhhamad Nur El Ibrahimy, 2001, Peranan Tengku M. Daud Beureueh Dalam Pergolakan Acheh, Media Dakwah, hlm. 324-328.

 

[4] Muhhamad Nur El Ibrahimy, 2001, Peranan Tengku M. Daud Beureueh Dalam Pergolakan Acheh, Media Dakwah hlm. 233.

 

[5] Prof. Dr. Tengku H. Baihaqi AK, 2008, Langkah-langkah Perjuangan, Tetungi Pasir Mendale Bandung, hlm. 188.

[6] Ibid, Prof. Dr. Tengku H. Baihaqi AK, 2008, hlm. 188.

[7] Ibid, Prof. Dr. Tengku H. Baihaqi AK, 2008, hlm 194.

[8] Muhhamad Nur El Ibrahimy, 2001, Peranan Tengku M. Daud Beureueh Dalam Pergolakan Acheh, Media Dakwah hlm. 231.

 

 

(Menteri Urusan Perang DI-Acheh) mengambil jalan pintas, yaitu melakukan kudèta atas kepimpinan Tengku Daud Beureueh dan mengumumkan kepada seluruh rakyat Acheh bahwa ’kekuasaan sivil dan militer yang berada di tangan Tengku Daud Beureueh, sejak hari ini (15 Maret 1959) beralih ke tanganku sebagai penguasa perang NBA-NII. Setelah itu, kekuasaan tersebut aku serah semula kepada dewan revolusi, dengan tugas utama menyelesaikan pemberontakan Acheh.’[1] Kolonel Hasan Saleh (Menteri Urusan perang) kemudian ”mengumumkan pengambil-alihan kepemimpinan NBA baik kekuatan sipil dan militer dari tangan Tengku Muhammad Daud Beureueh (Wali Negara) dan melucuti semua jabatan, seperti Wali Negara dan Panglima Tentara Islam Indonesia (TII) serta membubarkan pemerintahnya.”[2] Dengan begitu, hanya Dewan Revolusi sebagai penguasa yang sah atas NBA/TII. Sehubungan itu, Dewan revolusi menyatakan ”putus hubungan kerja dan tanggungjawab dengan bekas Perdana Menteri Hasan Ali yang turut dimakzulkan. Dengan begitu, kekuasaan NBA/NII berada di tangan Dewan Revolusi yang dipimpin Amir Husen Mujahid (ketua dewan pertimbangan) untuk pengganti Wali Negara, sekaligus Ketua Dewan Revousi untuk pengganti pemerintah). Sementara Kolonel Hasan Saleh menjadi Panglima pasukan Tengku Thjik di Tiro/Tentara Islam Indonesia (TII).”[3]

            Dikatakan bahwa kudeta ini sama sekali tidak didasarkan pada sentimen terhadap Tengku Muhammad Daud Beureueh, akan tetapi didorong oleh rasa tanggungjawab bersama untuk menyelamatkan 2 juta rakyat Acheh dan membangun masa depan angkatan muda yang hidup bahagia dan mulia. Tegasnya untuk meneruskan cita-cita ummat Islam Acheh yang sedang berjuang dengan cara yang wajar. “Dewan revolusi NBA/NII akan meneruskan perundingan dengan pemerintah Indonesia dan menjadikan perundingan tersebut sebagai prinsip dan bukan untuk strategi. Berunding adalah membincangkan semua masalah melalui diplomasi dan perkara ini sama sekali tidak boleh diartikan dengan ’menyerah’.”[4] Reaksi terhadap kudeta itu disampaikan oleh Hasan Ali (Perdana Menteri NBA/NII) bahwa ”kepemimpinan Tengku Muhammad Daud Beureueh adalah sah dan pemerintah Perdana Menteri Hasan Ali adalah pemerintah yang sah pemerintah NBA/NII berasaskan kepada penubuhan Darul Islam Acheh, pada 21 September 1953.”[5] Rampasan kuasa yang dilakukan oleh Kolonel Hasan Saleh pada 15 Maret 1959 adalah ”pengkhianatan kepada perjuangan suci dan menyifatkan tindakan tersebut sebagai tidak sah.”[6]

Kemelut politik yang terjadi di kalangan pejuang NBA/NII, sudah tentu memudahkan PPI menjinakkan kelompok oposisi, seperti Hasan Saleh, Amir Husen Mujahid dan Abdul Gani yang telahpun melakukan kudeta. Sebenarnya, sudah lama dikesan bahwa ”Hasan Saleh mau menyerah, karena alasan kelengkapan senjata perang tidak cukup dan percaya bahwa perjuangan DI-Acheh tidak mungkin berhasil,”[7] bahkan mahu melakukan rampasan kuasa dengan kekuatan ketentaraan untuk melucuti kekuatan Tengku Muhammad Daud Beureueh, ”tetapi usaha ini gagal, karena rancangan tersebut sudah dikesan lebih awal oleh Hasan Ali yang ketika itu berada di Batèë, wilayah Pidië. Untuk menghalangnya, Hasan Ali mengirim utusan supaya Tengku Muhammad Daud Beureueh diselamatkan.”[8] Dengan berlakunya kudeta, maka tinggal lagi ”kelompok Tengku Daud Beureueh, seperti Hasan Ali, rejimen III (Acheh Timur) dipimpin oleh Razali Idris dan rejimen V (Laut Tawar Acheh Tengah) dipimpin oleh Tengku Ilyas Leubé dan Baihaqi, bertindak cergas menyelamatkan Tengku Muhammad Daud Beureueh ke lokasi persembunyian lain di garis tapal batas Acheh Utara–Acheh Timur,”[9] menyatakan kesetiaan kepada ”kepimpinan Tengku Muhammad Daud Beureueh, pemerintah pusat NII dan menyokong maksud-maksud pemerintah NBA/NII untuk menempuh jalan rundingan damai dengan pemerintah Republik Indonesia.”[10] Diluar dugaan, Razali Idris (komander rejimen III Acheh Timur) (yang dikenal sangat setia kepada Tengku Muhammad Daud Beureueh) melakukan pengkhianatan. Motifnya hanya karena mau uang.[11] Dengan begitu, hanya rejimen V Acheh Tengah yang setia mengawal Tengku Muhammad Daud Beureueh. Kemelut yang terjadi di kalangan pejuang DI-Acheh, dimanfaatkan oleh Perdana Menteri Djuanda dengan mengirim delegasi seramai 29 orang ke Acheh pada 23 Maret 1959, dipimpin oleh Mr. Hardi (Wakil Perdana Menteri) dan Major Gatot Sobroto (Wakil Kepala Staff Angkatan Darat Indonesia), bagi memastikan situasi politik sebenar. Pada ketika itu, Major Gatot Sobroto dan Ali Hasjmy (gabenor Acheh), bertemu dengan Teuku Hamzah (wakil Dewan Revolusioner NBA/NII) untuk membincangkan konsep dan bentuk penyelesaian konflik di Acheh. Untuk itu pada 25 Maret 1959, hasil rapat tersebut disempurnakan semula oleh ahli dewan revolusi seramai 25 orang. Antaranya ialah, Hasan Saleh, Husen Yusuf, Amir Husen Mujahid, T. A. Hasan, Ishak Amin, Gani Mutiara. Pada intinya, menyepakati teks Surat Keputusan (SK) Perdana Menteri yang menyebut: ’Daerah Swatantra peringkat 1 Acheh disebut ’Daerah Istimewa Acheh’ dengan syarat: „kepada daerah itu tetap berlaku ketentuan-ketentuan mengenai daerah swatantra seperti mana tertera pada UU No. 1 tahun 1957; tentang pemerintah daerah dan peraturan lain yang berlaku untuk daerah Swatantra mengenai autonomi seluas-luasnya, terutama dalam bidang keagamaan, kebudayaan dan pendikikan.“[12] Sebutan ’Daerah Istimewa Acheh’ mesti „dilaksanakan berasaskan kepada perundang-undangan negara Indonesia, bukan berdasarkan pada kepentingan politik dan perlembagaan NBA/NII. Ertinya, Surat Keputusan (SK) Perdana Menteri tidak boleh bercanggah dengan ketentuan perundang-undangan yang hirarki lebih tinggi pemerintah Surat Keputusan Perdana Menteri. Hal ini selari dengan prinsip ’lex specialis derogat legi generali’ (pelaksanaan peraturan yang hirarki lebih rendah, tidak boleh bercanggah dengan peraturan yang lebih tinggi).“[13] Sementara itu „semua tentara yang berasal pemerintah NBA/NII (tentara dan Polisi), yaitu anggota Tentara Islam Indonesia (TII) pemerintah unit Angkatan darat dan Polisi DI-Acheh  akan diterima menjadi anggota TNI dan Polisi RI, jika memenuhi syarat; manakala anggota TNI dan pegawai sivil RI yang turut dalam kelompok NBA/NII dipulihkan semula, selaras dengan pangkat dan gaji selama menyertai gerakan DI-Acheh.[14] Dengan kata lain, semua perlengkapan senjata DI-Acheh dilucuti dan angkatan perang NBA/NII bubar. „Pemerintah Indonesia juga berjanji membantu pembangunan Acheh pada bidang-bidang yang menyentuh keperluan jasmani dan rohani. Untuk peringkat awal disediakan Rp. 38,4 juta,[15] memberi amnesti dan pampasan kepada pejuang DI-Acheh.’[16] Bagaimanapun, tuntutan kelompok Tengku Daud Beureueh, Hasan Ali dan Tengku Ilyas Leubé yang mau supaya pelaksanaan keistimewaan Acheh diatur dengan Undang-undang ditolak oleh KPI dan unsur-unsur syari’at Islam di daerah Istimewa Acheh dilaksanakan dengan syarat „pertama, dilaksanakan secara tertib dan seksama unsur-unsur syari’at agama Islam di daerah Istimewa Acheh, dengan mengendahkan peraturan perundangan negara. Kedua, arti dan maksud pemerintah perkataan ’penertiban dan pelaksanaan’ pada point 1 di atas diserahkan kepada pemerintah daerah Istimewa Acheh.“[17]

            Setelah Kolonel M. Jasin (Penguasa Perang Daerah Istimewa Acheh) menandatangani Keputusan Penguasa Perang, maka pasukan Tengku Daud Beureueh,



[1] Teks rampasan kuasa Kolonel Hasan Saleh (Menteri Urusan Perang NBA/NII pada pukul 10.00 pagi, 15 Maret 1959. Teuku Abdullah Ben Peukan Tangsé, 1999, Catatan Pemulihan Keamanan di Acheh Dengan Konsep Prinsipil Bijaksana, Cadangan Penyelesaian Masalah Acheh, dicetak terhad untuk kalangan Sendiri. Simpanan Arkib peribadi Teuku Ibrahim, ahli politik parti Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), menetap di Sigli, Pidië Acheh, 2012.

 

[2] Lihat: dokumen 1. Pernyataan Dewan Revolusi NBA, 1959, No. 1, Maklumat Ketua Parlimen NBA (Majlis Syura), Amir Husen Almujahid, 26 Maret 1959. Lihat: Muhhamad Nur El Ibrahimy, 2001, Peranan Tengku M. Daud Beureueh Dalam Pergolakan Acheh, Media Dakwah, hlm. 316.

[3] Lihat: dokumen 2. Ibid, Pernyataan bersama Dewan Revolusi NBA 1959, hlm. 316.

[4] Ibid, Pernyataan bersama Dewan Revolusi NBA 1959, hlm. 316.

[5] Pernyataan Hasan Ali (Perdana Menteri NBA/NII), 1 April 1959. Lihat: Muhhamad Nur El Ibrahimy, 2001, Peranan Tengku M. Daud Beureueh Dalam Pergolakan Acheh, Media Dakwah hlm. 201

[6] Piagam Batèë Krueng, 1955, 23 September. Simpanan Arkib Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perseroan Terbatas, Firma atau komanditer dan Perkelompok Koperasi, kod: R 349 598 IND 1. No. 1 – 84. Sila lihat juga: Muhhamad Nur El Ibrahimy, 2001, Peranan Tengku M. Daud Beureueh Dalam Pergolakan Acheh, Media Dakwah hlm. 201.

[7] Prof. Dr. Tengku H. Baihaqi AK, 2008, Langkah-langkah Perjuangan, Tetungi Pasir Mendale Bandung, hlm. 184.

 

[8] Muhhamad Nur El Ibrahimy, 2001, Peranan Tengku M. Daud Beureueh Dalam Pergolakan Acheh, Media Dakwah hlm. 201.

[9] Achmad & Aiyub Syah, 2005, 60 Tahun Ikut Indonesia, Yang dikagumi dan Yang Dikhianati, 2005, 4 Agustus,Tabloid Achehkita.

[10] Pernyataan pemerintah ahli NBA/NII yang masih taat-setia kepada kepimpinan Tengku Muhammad Daud Beureueh, 24 April 1959, Acheh Timur. Ditandatangani: 1. Major Razali Idris (komander Rejimen III Salahuddin), 2. Let-Kol. H. Ibrahim (komander Rejimen II Samudra), 3. Let.Kol. Ilyas Leubé (komander Rejimen V Laut Tawar), 4. Major. H. Hasanuddin (komander Rejimen VII Tharmihim), 5. Abubakar Amin (Yang Dipertua Acheh Timur), 6. Let.Kol.  H. Affan (Yang Dipertua Acheh Utara), 7. Saleh Adri (Yang dipertua Acheh Tengah), 8. Major. Teuku Raja Idris (komander Rejimen IV, Bt. Tunggal). Sila lihat: Muhhamad Nur El Ibrahimy, 2001, Peranan Tengku M. Daud Beureueh Dalam Pergolakan Acheh, Media Dakwah hlm. 318-319.

[11] Wawancara Prof. Dr. Baihaqi AK dengan Achmad & Aiyub Syah, 2005, 60 Tahun Ikut Indonesia, Yang Dikagumi dan Yang Dikhianati,  4 Agustus 2005, Tabloid Achehkita.

[12] Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia, 1959, 26 Mei, No 1/Misi/1959, ditandatangani oleh Mr. Hardi (Timbalan Menteri 1/Ketua Missi Pemerinah ke Acheh. Simpanan Arkib Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, kod: R 349. 598 IND t 1959. No. 1 – 46.

[13] Yusra Habib Abdul Ghani, 2008, Self-Government Studi Perbandingan Tentang Desian Administrasi Negara, Penerbit Paramedia Press, hlm. 132.

 

[14] Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia, 26 Mei 1959, No.1/Misi/1959, ditandatangani oleh Mr. Hardi (Timbalan Menteri 1/Ketua Missi Pemerinah ke Acheh. Simpanan Arkib Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, kod: R 349. 598 IND t 1959. No. 1 – 46.

[15] Ibid, Simpanan Arkib Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, R 349. 598 IND t 1959. No. 1 – 46.

[16] Keputusan Presiden (Kepres), 1959, No. 180/1959, tentang Amnesti dan Abolisi kepada pejuang DI-Acheh. Simpanan Arkib Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, ko: R 349. 598 IND t 1959. No. 1 – 46.

 

[17] Kolonel Muhammad Jasin, 1962, Keputusan Penguasa Perang, Panglima Daerah Militer 1 Acheh/Iskandar Muda (Penguasa Perang Daerah untuk daerah Istimewa Acheh), No. KPTS/PEPERDA-61/3/1962, 7 April 1962, tentang kebijaksanaan pelaksanaan unsur-unsur syari’at agama Islam bagi pemeluk-pemeluknya di Daerah Istimewa Acheh.  Lihat: Muhhamad Nur El Ibrahimy, 2001, Peranan Tengku M. Daud Beureueh Dalam Pergolakan Acheh, Media Dakwah, hlm. 353-356.

 

Tengku Ilyas Leubé, Tengku Baihaqi AK, pemerintah rejimen Laut Tawar dan pasukan Gaus Taufik pemerintah rejimen Tamihin dari  Batubara (Sumatera Timur), menyerah dari ’kem mardhatillah’ dijemput langsung oleh Letkol Nyak Adam Kamil (Kepala Staf KODAM 1/Iskandar Muda) bersama satu Unit TNI  pada hari Rabu, 9 Mei 1962. Akan halnya dengan ganti rugi yang dijanjikan oleh PPI ditunaikan. „Di antara yang menikmati pampasan tersebut ialah Hasan Saleh, Tengku Daud Beureueh, Hasan Ali, Amir Husen Mujahid, Hasbalah, Tuan Sakti, Abubakar Amin, Razali Idris, Yusuf Wahi, Hj. Hanafiah, AR. Lotan, Abdul Gani (Ayah Gani), Muhammad Amin, Ismail Bin, Usmanuddin, Amin Negara, Sjama’un Gaharu.[1] Khususnya bagi pejuang DI-Acheh di Acheh Tengah, „disediakan areal tanah untuk diterokai di kawasan bandar Lampahan; tetapi ditolak karena kawasan tersebut tidak strategik. Sebagai gantinya ditawarkan areal tanah di kawasan Ulu Narun, tetapi ditolak karena terlalu jauh dengan lokasi mereka menetap. Seterusnya, ditawarkan areal tanah luas di Arôn, Lkôk Seumawé (Acheh Utara) juga ditolak karena terlampau jauh dari Acheh Tengah. Akhirnya, mereka memilih jalan hidup sendiri.“[2] Sementara itu, „tanah yang terletak di bandar Lampahan, Acheh Tengah (perkebunan kopi peninggalan Belanda) diberikan kepada Tengku Ilyas Leubé[3] dan Tengku Baihaqi AK mendapat sebagian daripadanya.“[4] Semua ini terjadi setelah diketahui persis kekuatan politik dan militer DI-Acheh sudah tidak berdaya lagi, maka konsep perdamaian bersyarat yang ditawarkan oleh PPI –mematuhi konstitusi Indonesia, menerima pampasan perang, pengampunan– terpaksa diterima oleh pejuang DI-Acheh, rela ataupun tidak rela. Peristiwa ini ada yang menyifatkan „sebagai bukan menyerah, tetapi kembali ke tengah-tengah masyarakat.“[5] Keputusan pahit ini terpaksa diambil oleh kelompok Tengku Daud Beureueh, karena majoritas tentara NBA/NII) mayoritas sudah berpihak kepada kelompok Hasan Saleh. „Tengku Muhd. Daud Beuereuéh tidak menyangka kalau perjuangan yang ditegakkan dengan sumpah, pada akhirnya mengingkari sumpahnya, bahkan tidak cukup dengan menyesali diri sendiri, diiringi pula dengan mempengaruhi rakan-rakan lain supaya mengikuti jejak langkahnya.“[6] Klimaks dari pengkhianatan tersebut, „dilakukan oleh salah seorang Menteri Republik Islam Acheh (RIA)[7] yang mengajak rakan-rakannya untuk menyerah.[8] Ternyata kisah akhir perjuangan DI-Acheh berlaku seperti pernah dibayangkan oleh Tengku Muhammad Daud Beureueh, ketika memulakan perjuangan ini bahwa suatu ketika nanti boleh jadi akan muncul perkara-perkara yang boleh menghancurkan perjuangan dan saya ditinggal keseorangan dan kesepian dalam akar-akar kayu dan rumpun-rumpun rotan,[9] akhirnya menjadi kenyataan!

 

        DR. HUSAINI HASAN CS. VERSUS KELUARGA TENGKU HASAN M. DI TIRO

 

Sejarah perpecahan dalam tubuh GAM di luar negeri pada awalnya terjadi pada tahun 1985; dimana lahir group 6 (enam), yaitu 1. TM. Ali Thaib, 2. Tgk. Anwar Amin, 3. Tgk. Juhasri Hasan, 4. Tgk. Shaiman Abdullah 5. Gurèë Seuman (Usman Mahmud) 6. dr. Husaini MH. Pertama, asbabun nuzul munculnya group ini berpunca ketika Wali Negara (Tengku Hasan M. di Tiro) tinggal bersama di rumah dr. Husaini sejak tahun 1981-1982, yang diketahui tidak pernah muncul kendala apapun yang melanda tubuh GAM di luar negeri, sebab pelarian politik yang diterima di Swedia baru dua orang, yakni dr. Husaini Hasan dan Shaiman Abdullah. Selama tinggal bersama dr. Husaini Hasan, Wali Negara (Tengku Hasan M. di Tiro) aktif menulis, seperti buku, artikel untuk bahan Majalah AGAM, memperbaiki materi The Price of Freedom dan skrip Drama Acheh serta melakukan ‚diplomatic correspondence’ dengan negara asing, dll. Namun setelah Mohd. Jamil (ada hubungan saudara dari pihak Ayah dengan Wali Negara) tiba di Swedia, barulah Tengku Hasan di Tiro pindah ke rumah Mohd. Jamil, sekaligus dijadikan markas mencetak Majalah AGAM dalam bahasa Acheh, merekam Drama sejarah perang Acheh dalam bentuk cassette bertutur bahasa Acheh dan melengkapi sarana komunikasi dengan dunia luar.

Satu ketika dr. Husaini mengusul bahwa sudah saatnya GAM menyewa sebuah rumah di kawasan Norsborg untuk dipakai sebagai Markas GAM dengan tujuan melancarkan kegiatan-kegiatan rutin yang sebelumnya; pertemuan hanya diadakan bergiliran dari rumah ke rumah. Di antara yang menyetujui supaya rapat mingguan diadakan di Kantor ialah TM. Ali Thaib, Tgk. Anwar Amin dan Tgk. Juhasri. Usul ini mendapat respons positif dan disetujui oleh Wali Negara sendiri. Sehubungan itu, dr. Husani Hasan diberi tugas untuk mencari rumah sewa yang nantinya Wali Negara dan dr. Husani Hasan akan tinggal bersama di alamat baru (kantor) itu. Akan tetapi pada hari hendak pindah, datang dr. Zaini menyebar fitnah bahwa Wali Negara mau memisahkan diri dari lingkaran keluarga (dr. Zaini, Mohd. Djamil Amin dan Syarif Usman). Tidak cukup dengan itu, dr. Zaini menyebar fitnah bahwa, dr. Husaini secara rahasia hendak pisahkan Wali negara dari keluarga Tiro; pada hal semuanya sudah dimusyawarahkan sebelumnya. Akibatnya, Wali negara membatalkan semua kesepakatan bersama yang sudah disetujui, bahkan dr. Zaini bersama M. Jamil menyampaikan ultimatum bahwa ”jika Wali Negara pindah dan duduk bersama dengan dr. Husaini, maka dr. Zaini mengancam akan keluar dari Acheh Merdeka dan putus hubungan famili Tiro.” Dalam situasi kritikal ini, Tengku Hasan di Tiro memilih tinggal kembali dalam lingkungan keluarga: dr. Zaini, Mohd. Djamil Amin dan Syarif Usman. Reaksi dari ultimatum dr. Zaini dan perubahan keputusan Wali negara menyebabkan TM. Ali Thaib, Tgk. Anwar Amin dan Tgk. Jus mengambil sikap tidak lagi menghadiri rapat, sekiranya diadakan dari rumah ke rumah dan tetap berpendirian supaya disewa Kantor. Akhirnya kepada group enam ini dianggap ‚pengkhianat‘ yang mesti dihukum mati. Setelah peristiwa itulah; dr. Husani Hasan TM. Ali Thaib, Tgk. Anwar Amin, dan Tgk. Juhasri, Shaiman Abdullah dan Usman Mahmud diberi label ’pengkhianat’ dan mesti dihukum mati.[10] Konflik internal GAM yang kelihatan sangat sepèlè ini tidak kunjung selesai, walaupun dr. Husaini secara pribadi sudah meminta beberapa kali kepada dr. Zaini Abdullah supaya boleh bertemu dengan Wali Negara, tetapi selalu dijawab: ”Hana masalah, ta kalon diléë watéë njang paih” (tidak ada masalah, kita lihat dulu saat yang tepat).[11] Akhirnya, sampai beliau meninggal dunia pada 3 Juli 2010, pertemuan yang dijanjikan itu tidak pernah dipenuhi.

             Kedua, peristiwa yang menimpa Tgk. Mohd. Daud Husin, Jusuf Daud dan Sjahbuddin pada tahun 1997. Mereka difitnah mencekik Tengku Hasan di Tiro untuk mengambil dokumen negara di rumah kediaman Wali negara, sekaligus dituduh sebagai pengkhianat, termasuk keluarga Tgk. Jalil Ismail yang bersikap neutral. Èkoran dari peristiwa tersebut, Mustafa Jalil dipukul oleh Robert dan Arjuna di Malaysia. Ketiga, saat Tengku Hasan menderita sakit sakit pada tahun 1999. Kepemimpinan GAM dipegang oleh Malik Mahmud dan dr. Zaini Abdullah. Pengikut-pengikut Malik-Zaini -terutama di Malaysia- dianggap bersikap arogan dan menyudutkan kelompok yang tidak sehaluan dengan mereka. Sehubungan itu, dengan dalih melindungi dan mempertahankan diri, maka beberapa senior GAM di Malaysia, seperti Abdullah Kruëng, Sulaiman Amin, Tgk. Idris Mahmud, Tgk. Muhammad Mahmud, Gurèë Rahman dll merasa perlu membentuk sebuah ”Badan pimpinan kolektif GAM” di Malaysia. Idé tersebut disampaikan kepada dr. Husaini, Daud Husin dan senior-senior GAM lainnya di Sweden untuk meminta restu mendirikan Majlis Pemerintahan GAM (MP-GAM) yang merupakan presidium Pimpinan Kolektif, sekaligus melantik Teuku Don Zulfahri sebagai  Sekretaris Jenderal. Perkara ini sudah tentu semakin menyulut kemarahan mazhab Malik-Zaini. Salah satu konsekuensi darinya adalah Tengku Hadji Usman Pasi Lhôk dan Tgk. Wahab (sepupu Tgk. Daud Husin) dibunuh secara kejam di kawasan Sungai Gombak Bt-6, Greenwood, Selangor Malaysia oleh Kapten Nur dan Muzakkir Leupéng (anak buah Malik Mahmud) dan tidak lama kemudian menembak mati Teuku Don Zulfahri, bertepatan pada hari penandatanganan Jeda Kemanusiaan di Geneva pada 2 Juni, 2000.[12]

 

        DAUD HUSÉN CS. VERSUS PIMPINAN GAM DI SWEDIA

 

Jika ditelusuri akar masalah yang melatar belakangi terjadi perpecahan antara Yusuf Daud dengan Pimpinan GAM di Swedia, sebenarnya bercambah dari kunjungan Daud Husin (Daud Paneuk) ke Kuala Lumpur, Malaysia pada pertengahan tahun 1994. Kunjungan beliau pada ketika itu disambut secara besar-besaran oleh anggota GAM di Malaysia. Di Airport Subang -Panglima Anggkatan Darat Acheh- ini disambut dan dikawal ketat, dinaikkan ke dalam mobil khusus berbendera Acheh. Untung saja peristiwa ini tidak terekam oleh pihak inteligen Malaysia. Selama berada di Kuala Lumpur, Daud Paneuk punya inisiatif untuk membentuk struktur pemerintahan sipil GAM (Ketua Wilayah/Gubernur) seluruh Acheh di pengasingan (wilayah berdaulat). Idé tersebut dimusyawarahkan dengan anggota Majlis Negara di Kuala Lumpur dan menyepakati masing-masing Ketua Wilayah adalah:

 

Kepala Wilayah Acheh Rajeuk: Akhyar

Kepala Wilayah Pidië: Musrial Mahfudh Tgk.Usman

Kepala Wilayah Meulaboh: Said Musatafa Ushab

Kepala Wilayah Tapak Tuan: Bustami

Kepala Wilayah Pasè: Muhammad Yasin

Kepala Wilayah Batèë Iliëk: Zukkifli Idris

Kepala Wilayah Linge: Muhammad Daud (Aman Nurcaya)

Kepala Wilayah Peureulak: Tengku Ramli Hasbalah

Kepala Wilayah Temiang: Mohd. Hasan Johor

Kepala Wilayah Meureuhom Daya: Thalib

Bendahara negara: Burhan Syama’un (Tokè Burhan)

Majlis Urang Tua sebanyak 11 orang.

Salah satu tugas Kepala Wilayah ini adalah mengkoordinir pengumpulan dana perang dari wilayah masing-masing, selanjutnya dilaporkan dalam setiap rapat umum yang dihadiri oleh komponen: Perwakilan wilayah, anggota Majlis Negara, Majlis Orang Tua dan Komite Pelarian Politik Acheh di Malaysia. Dana tersebut kemudian diserahkan kepada Bendahara negara yang dipegang oleh Toké Burhan Syama’un. Rupa-rupanya, pembentukan struktur pemerintahan sipil GAM ini belum mendapat restu sebelumnya dari Tgk. Hasan M. Di Tiro (Wali Negara) dan Malik Mahmud (Menteri Negara). Walau demikian, oleh karena semua anggota GAM di Malaysia sudah bulat suara menyokong idé Daud Paneuk, maka pimpinan tertinggi GAM di Swedia dan Menteri Negara (Malik Mahmud) memilih diam -tidak dapat berbuat banyak- bahkan kemudian memberi dukungan penuh. Setelah Daud Paneuk kembali ke Swedia, sentimen irihati di kalangan pimpinan GAM di Swedia yang sebelumnya terpendam mulai bercambah. Hal ini ditandai ketika kunjungan Malik Mahmud ke Swedia, awal Januari 1997, yakni:

1.      ketika kunjungan Malik Mahmud ke Swedia yang dirahasiakan untuk tidak boleh bertemu dengan beberapa orang anggota GAM di Swedia...[13]

2.     Disusul kemudian “saat Otto Mattulesi dan Frieda (keduanya pejabat tinggi RMS) berkunjung ke Swedia dirahasiakan untuk tidak boleh bertemu dengan beberapa anggota GAM...”[14].

3.     Selain itu diperuncing kembali dengan: “Keputusan rapat yang menyetujui Yusuf Daud dan Bakhtiar Abdullah sebagai wakil GAM untuk menghadiri Kongres UNPO 1997 di Estonia, yang di saat-saat terakhir Bakhtiar Abdullah mengundurkan diri dan digantikan oleh Syahbuddin Abdurrauf.” [15]

4.     Demikian pula dengan ”Tgk. Daud Paneuk diisukan meminta jabatan Menteri Dalam Negeri kepada Wali Negara; bagaimana melanjutkan perjuangan dan siapa personil yang menjalankan tugas di saat Wali sedang dalam keadaan sakit berat. Kemudian diketahui, dr. Zaini Abdullah merasa dendam dan memasukan point (Tgk. Daud Peneuk yang membentuk pemerintahan sipil GAM di Malaysia) untuk menyudutkan Tgk Daud Paneuk.”[16]

5.     Kemudian giliran Yusud Daud dan Mustafa Jalil dari Swedia berkunjung Ke Kuala Lumpur. Ada oknum tertentu memberi laporan kepada Zaini Abdullah bahwa dalam suatu pertemuan di Malaysia, Yusuf Daud pernah berkata: “Politik luar negeri Wali, nol.”[17]

 

Tanpa menyelidiki kebenaran informasi tersebut; ujung-ujungnya Zaini Abdullah, Bakhtiar Abdullah dan M. Jamil membekot Daud Husin, Jalil Ismail, Syahbuddin Abdurrauf, M. Daud Yusuf, M. Adam Umar, Ramli Abubakar, Mustapa Jalil dan Yusril Abdullah -tidak boleh lagi berkomunikasi dan menjumpai- Wali negara. Selain itu, kunci Po. Box ASNLF yang sebelumnya dipegang oleh beberapa orang anggota GAM, dirampas dan hanya Zaini Abdullah, M. Jamil dan Syarif Goran Usman saja yang berhak memegangnya. Di tengah-tengah suasana demikian, tersiar isu bahwa kelompok Yusuf Daud Cs. mau mencekik leher Wali Negara dan hendak mencuri semua dokumen negara yang tersimpan di rumah beliau. Kebenaran isu ini ternyata tidak dapat dibuktikan. Sementara itu, kondisi kesehatan Tengku Hasan M. di Tiro pun semakin gawat. Situasinya terus memanas sampai oktober 1997. Pada hal semua faktor penyebab konflik internal ini, dapat diselesaikan secara kekeluargaan dan terbuka dalam rapat khusus. Tetapi tidak ada pihak yang bersedia menengahinya. Untuk itu, Daud Paneuk datang seorang diri secara rahasia ke Malaysia dengan maksud untuk menjelaskan kemelut yang sedang melilit di kalangan internal anggota GAM di Swedia. Secara kekeluargaan, beliau meminta supaya Majlis Negara dan Majlis orang Tua, Ketua Wilayah dan Komite Pelarian Acheh di Malaysia, bersedia mengambil inisiatif untuk menamatkan konflik internal ini. Maka pada 19 Oktober 1997, diadakan rapat terbatas Majlis Negara, Majlis Orang Tua dan Komite Pelarian Acheh bertempat di rumah kediaman Tgk. Usman Hanafiah, dihadiri oleh:

Tgk. Usman Hanafiah (Utusan Majlis Negara)

Teuku Hasan Lhôk Kadju (Utusan Majlis Negara)

Abdullah Tjaleuë ( Utusan Majlis Orang Tua)

Yusra Habib Abdul Gani (Utusan Komite Pelarian Acheh)

Ishak Daud (Utusan Komite Pelarian Acheh)

Musrial Mahfudh (Utusan Ketua Wilayah Pidië)

 

Setelah membincangkan jalan keluar terbaik untuk menamatkan konflik internal GAM di Swedia, maka rapat memutuskan, yaitu memberi mandat penuh kepada Yusra Habib Abdul Gani dan Abdullah Tjaleuë untuk menjumpai dan menanyakan langsug kepada Tengku Daud Husin tentang punca penyebab konflik internal di Swedia dan memyampaikan laporan kepada Majlis Negara dan Majlis Orang Tuha secepat mungkin. Sehubungan dengannya, malam itu juga penerima mandat bersama Ishak Daud menjumpai Daud Husin di sebuah flat perumahan di kawasan Shah Alam, Selangor Darul Ehsan.  Tempat tinggal Daud Husin Kuala Lumpur kali ini dirahasiakan, demi melindungi keamanan peribadi beliau; sebab berita yang beredar di kalangan anggota GAM sangat beragam dan simpang-siur. Penerima mandat memulai membuka pembicaraan tertutup dengan Daud Husin, mulai dari jam 00.00 tengah malam sampai jam 05.00 pagi. Setelah mendengar dan mendapatkan maklumat resmi dan membaca “Dokumen Negara Peukara Bitjah Blah Bansa Atjèh di Eropa” setebal 47 halaman, terkuaklah faktor-faktor penyebab konflik internal di Swedia dari satu pihak. Ke-esokan harinya, penerima mandat menyampaikan laporan lengkap kepada Tgk. Usman Hanafi (Ketua Majlis Negara) dan menyarankan supaya hari itu juga (20 Oktober 1997) digelar rapat pleno di Rumah Iqbal Idris, kawasan Klang, Negeri Selangor, yang dihadiri oleh seluruh perwakilan Wilayah. Sebagai salah seorang penerima mandat -Yusra Habib Abdul Gani- dipercayai memimpin sidang Pleno dan sekaligus menyampaikan pandangan umum agar perserta rapat memperoleh gambaran dan bahan masukan untuk mencari solusi terbaik. Setelah memberi pandangan umum, pemimpin rapat memberi masa satu jam kepada masing-masing perwakilan wilayah untuk mengad akan sidang terpisah (tertutup) dan mengangkat seorang juru bicara. Strategi ini ditempuh demi memudahkan pembahasan materi selanjutnya. Rapat yang berlangsung dari jam: 11.00 –16.00, menyetujui mengirim surat kepada kedua belah pihak yang bertikai.

Membentuk “team 11” untuk menjumpai Daud Husin pada 21-22 Oktober 1997. Team 11 ini terdiri dari:

Teuku Hasan Lhôk Kadju

Tengku Usman Hanafi

Ibrahim Sulaiman (KBS)

Abdullah Tjaleuë

Syarifuddin (Din Lapôh)

Hasan Sabon

Tengku Kadir Hasballah

Tengku Lahmuddin

Darwis Djinéb

Abdul Muthalib

Tengku Ramli

 

Hasilnya dimusyawarahkan kembali dalam rapat “Panitia Kecil” pada 23 Oktober 1997 di rumah Tengku Ramli. Keputusan rapat, menyerahkan semula kepada team perumus yang diketuai oleh Yusra Habib Abdul Gani, dibantu oleh Musyrial Mahfudh, Iklil Ilmy, Tengku Ramli dan Iqbal Idris, untuk menyusun draft surat yang dikirim kepada pihak-pihak yang bertikai di Swedia. Sebelum surat dimaksud dikirim, hasil rumusan team perumus dimusyawarahkan lagi dalam rapat khusus yang berlangsung di rumah Tgk. Usman Hanafi pada 25 Oktober 1997. Setelah rumusan surat dibacakan dan disepakati, barulah diadakan rapat terakhir di rumah sdr. Mahfudh Tgk. Usman, sekaligus membubuh tanda tangan (wakil masyarakat GAM di Malaysia) dan ke-esokan harinya dikirim melalui fax ke Swedia dan teks aslinya dikirim ke alamat masing-masing via kantor post.

Sehubungan dengan perkara ini, maka pada 27 Oktober 1997, kami: Tgk. Usman Hanafi, Yusra Habib Abdul Gani, Hasan Sabon, Musrial Mahfudh  dan Iqbal Idris, berangkat menuju Pulau Pinang menjumpai Malik Mahmud (Menteri Negara ketika itu), untuk melaporkan situasi yang tengah melanda tubuh GAM di Swedia. Pada prinsipnya anggota GAM di Malaysia meminta kedua belah pihak yang berselisih paham supaya bersikap dewasa, menahan diri -tidak mengedepankan emosional- dan memberi peluang untuk berjumpa dengan Wali Negara kepada orang-orang yang sebelumnya dilarang, dengan terlebih dahulu meminta izin kepada Dr. Zaini  Abdullah.

 

Kebijakan ini diambil setelah menerima masukan dari kedua belah pihak. Tetapi pada detik-detik terakhir, Daud Husin menolak mentah-mentah untuk mengikuti procedure, yaitu meminta izin terlebih dahulu kepada Zaini Abdulah, barulah kemudian bertemu dengan Wali Negara. Alasan Daud Husin; usul tersebut merupakan bentuk pelècèhan kepada dirinya dan kelompoknya, sebab sebelumnya tidak pernah terjadi hal yang demikian. Di satu sisi, padangan demikian cukup beralasan, sebab Daud Paneuk adalah sosok pengawal peribadi Wali Negara yang setia; namun beliau lupa bahwa kondisi yang menyebabkan segalanya berubah. Untuk sementara, saran-saran yang diampaikan melalui surat oleh anggota GAM di Malaysia mentah kembali, hingga akhirnya terus bergulir dan situasinya terus semakin memanas. Bersamaan dengan kemelut internal anggota GAM di Swedia yang belum lagi selesai -sedang dicari upaya dan formula terbaik- untuk menyelesaikannya; situasi politik –kebijakan pemerintah Malaysia terhadap GAM– menghadapai masa transisi dan kritikal (terutama dalam rentang masa tahun 1997 - Maret 1998). Misalnya:

1.   penggerebekan Kantor ASNLF di Jln. Batu Cave oleh Dinas Intel Malaysia dan merampas semua dokumen, termasuk foto-foto dan buku sejarah Acheh;

2.   Ishak Daud (salah seorang anggota Komite Pelarian Acheh di Malaysia) dan Burhan Syama’un (Bendahara Negara Acheh) ditangkap dan ditahan oleh Polisi Bukit Aman dan sepuluh hari kemudian baru dibebaskan.

3.   Selama keduanya berada dalam tahanan Internal Security Act (ISA), maka saya Yusra Habib Abdul Gani dan Razali Abdullah terpaksa memilih menyelamatkan diri di sebuah rumah sewa milik Tengku Lahmuddin Pangléh di kawasan Kajang untuk  menghindari dari hal-hal yang tidak diinginkan dan baru beraktivitas kembali, setelah keduanya dibebaskan.

 

Ketika kami saya dan Razali Abdullah mengadakan kontak talipon dengan Tengku Hasan di Tiro dari markas yang rahasia ini, barulah kami tahu: kalau Malik Mahmud saat itu sedang berada di Swedia, yang merahasiakan keberangkatannya kepada anggota Komite. Oleh karena keberadaan Saya, Ishak Daud dan Razali Abdullah masih dalam keadaan gawat-dadurat, maka saya mengusul kepada Malik Mahmud supaya segera membentuk anggota Komite baru untuk mengambil alih tugas-tugas Komite sebelumnya. Yang kami usul adalah Musrial Mahfudh, Iqlil Ilmy dan Razali Adul Hamid. Dalam realitasnya anggota Komite inipun tidak mampu bekerja secara maksimal, selain disebabkan oleh kebijakan politik Mahathir Muhammad yang jelas-jelas pro-Jakarta, juga keamanan pribadi tidak terjamin. Klimaksnya adalah, pemerintah Malaysia memulangkan 549 orang tapol Acheh secara paksa ke Acheh yang masing-masing ditahan di kèm Imigrasi Macap Umbo, Malaka; kèm Lenggeng, Negeri Sembilan; kèm Semenyeh, Selangor dan kèm Juru, Kedah pada 26 Maret 1998.

Saat peristiwa malang ini terjadi, Malik Mahmud diketahui persis sudah berada kembali di Singapura. Malik Mahmud menutup/mengunci diri sejak jam 17.00 (25 Maret 1998) sampai jam 8.00 pagi (26 Maret 1998). Berulang kali saya hubungi via tlf. dari markas kami (rumah Tengku Kadir) di Bt-3 Gombak, tetapi tidak berhasil. Setelah ke-esokan harinya, Tengku Abdullah Musa terpaksa melompat merempuh pagar rumah beliau di Jln. Ismail No. 12 pada jam 8.00 pagi, barulah saya bicara tengan Malik Mahmud untuk melaporkan situasi mencekam di Kèm Semenyeh yang mengorbankan 14 pelarian politik ditembak mati dan puluhan luka berat dan ringan serta sisanya dihantar secara paksa ke Indonesia melalui pelabuhan Lumut, Perak. Segalanya sudah terlambat! Kemudian baru diketahui bahwa, pada malam itu Malik Makmud mengadakan kontak secara rahasia dengan Nur Juli malam itu[18] idak dengan kami -Yusra Habib, Musrial Mahfudh, Razali Paya dan Muzakkir Abdul Hamid. Selain memutus hubungan kontak dengan kami, Malik Mahmud juga memutus hubungan tlf. dengan pimpinan GAM di Swedia.

Sehari sebelumnya (25 Maret 1998), Ishak Daud diculik oleh satuan intel gabungan Malaysia-Indonesia di kawasan Shah Alam; disusul penculikan terhadap Burhan Syama’un dan Shahrul di Jalan Raya Rawang dan diberangkat ke Dumai (Sumatera) dengan kapal perang Angkatan Laut RI. Tidak lama kemudian, pada 24 April, Razali Abdullah ditangkap di Jalan pintu masuk high way Sungai Besi, Kuala Lumpur dan giliran saya diberkas di sebuah flat di Johor Baru pada 27 April 1998 oleh satuan inteligen Malaysia yang diketuai oleh Michael Ong (Ketua Inteligen Negeri Johor). Dengan demikian, tidak ada lagi pihak yang dapat menengahi konflik internal GAM di Swedia. Stuasi buruk terus berkelanjutan dan masing-masing pihak enggan merenung; ... sadar dan sabar; ... berduka-cita; ... menginsafi nasib orang Acheh yang tengah dilanda musibah duka-lara, ... mendahulukan kepentingan nasional Acheh ketimbang kepentingan kelompok. Sebaliknya, yang terjadi adalah memperlihatkan egoisme masing-masing: kedua pihak saling menghujat, menyalahkan, mencaci-maki, menyebar fitnah via media cetak, internet,  sabotase alamat kantor Pusat ASNLF di Swedia yang menyatakan: “Mulai hari ini Markas Besar GAM di Stockholm yang beralamat: PO.BOX 130, S-145 01 Norsborg, Sweden, dengan nomor fax nya: 00-46-8-53191275 dengan resmi telah berpindah ke alamat: PO.BOX 2084, S-145 02 Norsborg, Sweden, dengan nomor fax nya: 00-46-8-88460 atau berhubungan langsung dengan: 1). Dr Husaini Hasan; 2). M. Yusuf Daud (Yusda); 3. Syahbuddin Abdurrauf.”[19] Alasan mensabotage alamat resmi ASNLF tersebut karena gejolak politik dan keamanan sudah tidak terkendali dan tidak menentu di Acheh, sehingga MP-GAM/MB/Eropah menyatakan sikap:

1. Tidak bertanggung-jawab atas pengusiran dan tindakan intimidasi terhadap penduduk sipil yang bukan orang Acheh (warga Batak, Padang, Tjina dan Jawa sekalipun), dan tindakan-tindakan diluar hukum lainnya yang dilakukan atas nama Acheh Merdeka.

2. Tidak mengakui adanya kelompok-kelompok pseudo-GAM yang mengaku Acheh Merdeka atau bagian dari Acheh Merdeka. Kami hanya mengakui Majlis Pemerintahan Gerakan Acheh Merdeka (MP-GAM) dibawah Wali Negara, Tengku Hasan di Tiro.

3. Tidak setuju dengan pengutipan uang oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung-jawab untuk kepentingan pihak-pihak tersebut - bukan untuk kepentingan GAM.

4. Menolak adanya surat-surat kaleng yang memisahkan GAM keatas dua kelompok besar, yang terang-terang melawan dengan prinsip kami untuk menyatukan bangsa Acheh - bukan untuk memecah belahnya.

5. Terus menjejaki pihak-pihak yang menjual nama Wali Negara, Tengku Hasan di Tiro, untuk kepentingan pribadinya; bertindak atas namanya; dan menggunakanatau memalsukan tanda tangannya.”[20] Bahkan sampai ke tahap saling bunuh-membunuh.

Dalam situasi galau ini, pihak ketiga memanfaatkan konflik internal GAM ini dengan menyusun konspirasi yang amat mengerikan. Mungkin benar, mungkin juga tidak! Yang pasti adalah, ditemukannya dokumen yang memuat “daftar 500 orang” hendak dibunuh oleh Malik Mahmud; 150 orang di antaranya berada di Malaysia, selebihnya di Acheh. Dokumen gelap(?) itu akhirnya jatuh ke tangan Tgk. Usman Ibrahim Pasilhôk (tokoh GAM tahun 1976), yang sudah beberapa kali masuk-keluar penjara di Acheh. Untuk memastikannya, Majlis angota GAM wilayah Pidie, mengutus beliau ke Malaysia, seterusnya berangkat menuju Swedia untuk menanyakan langsung kepada Yang Mulia Wali Negara, Tengku Hasan di Tiro; prihal keabsahan isi surat tersebut. Tragis sekali, setibanya di Malaysia sambil menunggu jadwal kepastian berangkat ke Swedia beliau bersama Tengku Banta dibunuh secara sadis dan biadab. Dalam hubungan ini, dr. Husaini Hasan terang-terangan menuduh bahwa ‘actor intelectualist’ pembunuhan terhadap atas Hj. Usman Ibrahim adalah perintah Malik Mahmud. Dikatakan on the tenth of April, 2000, the mercenaries of Malik Mahmud had brutally murdered a member of MP GAM, Tengku Hj. Usman Ibrahim and his aid, Tengku Abdul Wahab. Tengku Usman was a senior leader of the Free Acheh Movement from Kembang Tanjung, Pidie District, who had been in and out of Indonesian jails for eight times for his activities in the movement. He was also the one who first received the arrival of Tengku Hasan di Tiro from America to Acheh in 1976 and took him personally to the jungle. Before he came to Malaysia five months ago, he had collected hundreds of millions of rupiahs for the movement and sent to Malik Mahmud in Singapore. So, his assassination was a reward from Mr Malik Mahmud who now enjoys his live with his relatives in several capitals of Europe.”[21]



[1] Wawancara dengan Abdul Ghani (pejuang DI-Acheh berasal dari Peureulak Acheh Timur) pada 14 Agustus 1995, Bt-6 Gombak, Selangor Malaysia.

[2] Wawancara dengan Aman Sakdan (saksi semasa Acheh bergolak pada tahun 1953-1962, 3 Disember 2014 di Kampung Kenawat, Takengen Acheh Tengah.

[3] Prof. Dr. Tengku H. Baihaqi AK, 2008, Langkah-langkah Perjuangan, penerbit Tetungi Pasir Mendale Bandung, hlm 228.

[4] Ibdi, hlm 228.

[5] S.S. Djuangga Batubara, 1987, Teungku Tjhik Muhammad Dawud di Beureueh Mujahid Teragung di Nusantara, Gerakan Perjuangan & Pembebasan Republik Islam Federasi Sumatera Medan, cetakan pertama, hal. 97-98.

 

[6] Surat Tengku Muhammad Daud Beureueh, 10 September 1961, kepada Tengku M. Hasan Hanafiah, 1961. Sila lihat: Muhhamad Nur El Ibrahimy, 2001, Peranan Tengku M. Daud Beureueh Dalam Pergolakan Acheh, Media Dakwah, hlm. 359-360.

 

[7] Republik Islam Acheh (RIA) ditubuhkan pada 8 Februari 1960, merupakan perubahan nama pemerintah  NBA/NII kepada RIA, sekali gus menjadi salah satu bahagian pemerintah Republik Persatuan Indonesia (RPI), dipimpin oleh Syafrudin Prawiranegara. Sila lihat: Muhhamad Nur El Ibrahimy, 2001, Peranan Tengku M. Daud Beureueh Dalam Pergolakan Acheh, Media Dakwah, hlm. 240

[8] Tokoh yang dimaksud ialah Hasan Ali (Perdana Menteri NBA/NII) yang awalnya diberi tugasan melawat ke Bangkok dan Malaysia untuk berunding dengan S.M Amin bagi membincangkan proses pemulihan keamanan di Acheh. Hasan Ali menyerah atas kehendak sendiri selepas Prseiden RI mengeluarkan Keputusan No. 449/1961, yang memberi pengampunan (amnesti dan abolisi) kepada seluruh pejuang PRRI, PERMESTA, RPI dan RIA DI-Acheh. Simpanan Arkib Muzium Pusat Indonesia, BO. O . 1961, No. 401 – 500.

[9] Muhhamad Nur El Ibrahimy, 2001, Peranan Tengku M. Daud Beureueh Dalam Pergolakan Acheh, Media Dakwah, hlm. 359.

[10] Setelah ditanda tangani MoU Helsinki 15 Agustus 2005, Shaiman Abdullah (orang yang mengantar Tengku Hasan M. di Tiro dengan boat kecil dari pantai Batèë Iliëk ke Singapura  akhir 1979 dan Usman Mahmud (Menantu Malik Mahmud) –yang dicap sebagai pengkhianat sejak tahun 1983-2005–akhirnya „bertukar kiblat“ lagi kepada Zaini Abdullah dan Malik Mahmud

[11] Pengakuan Dr. Husaini kepada penulis di rumah kediaman Amir Ishak, SH. Hjøring, Denmark; dalam acara silaturrahmi, pada 26 Desember 2008.

 

[12] Lihat: dokumen 3.  Mayat Teuku Don Zulfahri, korban penmebakan pada 2 Juni 2002 di kawasan Ampang, Kuala Lumpur, Malaysia.

 

 

[13] M. Yusuf Daud dan Mustafa Djalil, 10 Oktober 1997,  Dokumen Negara perkara Bitjah blah Bansa Atjèh di Eropa, Sockholm, hlm. 7-9.

 

[14] Ibid, M. Yusuf Daud dan Mustafa Djalil, 10 Oktober 1997, hlm. 36.

 

[15] Ibid., M. Yusuf Daud dan Mustafa Djalil, 10 Oktober 1997.

[16] Ibid, M. Yusuf Daud dan Mustafa Djalil, 10 Oktober 1997, hlm. 27-28.

[17] Ibid., M. Yusuf Daud dan Mustafa Djalil, 10 Oktober 1997.

 Testimoni Nur Juli dalam sebuah surat yang dikrim kepada saya (yusra habib), Maret 1998.

[19] Waspada, 5 Mei 1999, Waspadai Acheh Merdeka Palsu, 5 Mei 1999.

[20]  bid., Waspada, 5 Mei 1999.

[21] FREE ACHEH MOVEMENT IN EUROPE P.O. Box: 2084, S-145 02 Norsborg, Sweden Fax: 00-46-8-53188460. “CONDOLENCES ON THE ASSASSINATION OF TEUKU DON ZULFAHRI”. Stockholm, 1 June 2000, Signed Dr. Husaini Hasan.

 

TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update