Semenjak Syama’un
Gaharu dilantik menjadi penguasa perang,[1] beliau mulai
memainkan peranan untuk merintis jalan damai bagi manamatkan konflik antara
DI-Acheh dan Pemerintah Pusat Indonesia (PPI). Untuk itu Syama’un Gaharu coba
mengadakan kontak dan pertemuan tidak resmi dengan Hasan Ali (Perdana Menteri
NBA/NII) dan Hasan Saleh (Menteri Urusan Perang NBA/NII). Hasil dari pertemuan
ini menyepakati untuk meneruskan pertemuan antara kedua-dua belah pihak yang
berlangsung di rumah Ayah Pawang Leman, kampung Lamtéh pada 5 April 1957.
Agenda yang dibicarakan adalah konsep pemulihan keamanan di Acheh dan
menciptakan kesan bahwa yang bertemu bukanlah antara pegawai pemerintah RI dan
pejuang DI-Acheh, akan tetapi antara sesama putera Acheh yang sedang berbincang
masalah Acheh. Pada 7 April 1957 diadakan pertemuan antara kedua-dua belah.
Turut hadir dalam pertemuan ini Letnan Kolonel Syama’un Gaharu, Muhammad Insya
(Ketua Polisi Sumatera Utara dan Acheh), Major A. Gani, Kapten Usman Njak Gadé
dan Ismail (wakil pemerintah Indonesia). Sementara wakil dari pemerintah
DI-Acheh turut hadir Hasan Ali (Perdana Menteri NBA/NII, Hasan Saleh (Menteri
Urusan Perang NBA/NII), Ishak Amin, Ayah Pawang Leman dan Gani Mutiara (Menteri
Penerangan NBA/NII). Kedua-dua belah pihak setuju untuk menghentikan
permusuhan, menjunjung tinggi kehormatan Islam, kehormatan dan
kepentingan rakyat Acheh. Kesepakatan ini kemudiannya dinamakan dengan ‘Ikrar Lamtéh’,[2] ditandatangani
secara rasmi oleh kedua-dua belah pada 8 April 1957. Seterusnya Perdana Menteri Djuanda yang
memerintah (9 April 1957 - 10 Juli 1959), mengeluarkan maklumat pada 17
Desember 1958 tentang gencatan senjata dan penyelesaian dalam bidang politik,
yaitu menamatkan konflik antara PPI dengan DI-Acheh yang disetujui oleh kedua
belah pihak, dimana Presiden RI akan memberi pengampunan kepada semua pejuang
DI-Acheh; sementara bidang sosial dan ekonomi, diusulkan supaya semua pejuang
DI-Acheh kembali semula kedalam masyarakat untuk melakukan aktivitas. PPI juga
berjanji membayar biaya pampasan kepada semua pejuang DI-Acheh. Sejak
disepakati ’Ikrar Lamtéh’ pada 8
April 1957, pertempuran di medan perang
antara pasukan TNI dan pejuang DI-Acheh reda dan situasi keamanan Acheh dalam
situasi terkawal hingga tahun 1959.
Rupa-rupanya
kandungan perjanjian yang dicapai pada rundingan (6, 7 dan 8 April 1957) ini,
tidak diketahui secara terperinci oleh Tengku Muhammad Daud Beureueh. Oleh itu
butir-butir rundingan ini dianggap kontroversial dan menimbulkan perbedaan
pendapat antara kelompok Tengku Muhammad Daud Beureueh, Hasan Ali dan Tengku
Ilyas Leubé dengan kelompok Hasan Saleh, Husen Mujahid dan Abdul Gani. Kelompok
Tengku Muhammad Daud Beureueh mau supaya Perjanjian damai dan pelaksanaan hukum
Islam mencakupi untuk seluruh umat Islam Indonesia di bawah NII tidak terbatas
untuk wilayah Acheh. Selain itu, perjanjian damai dan pelaksanaan syari’at Islam
ini inginkan supaya ditetapkan dengan Undang-undang, bukan Surat Keputusan
Perdana (SK) Menteri.[3] Sementara kelompok
Hasan Saleh berpendapat bahwa, pelaksanaan syari’at Islam di Acheh cukup diatur
dengan Surat Keputusan (SK) Perdana Menteri. Sebenarnya, sejak disepakati
‘Ikrar Lamtéh’ 1957 yang merupakan ”inisiatif pemerintah Kolonel Hasan
Saleh, Abdul Gani Usman (Apa Gani) dan Husin Mujadid,”[4] disusul kemudian
dengan pertemuan di Kampung Lam Tamot (Acheh Besar) yang membincang
implementasi pemerintah ‘Ikrar Lamtéh’ dan pembagian dana perdamaian yang
diberikan oleh pemerintah Indonesia hanya dinikmati oleh mereka yang ikut
berunding yang ternyata diluar pengetahuan pemimpin. Sehubungan itu, Tengku
Muhammad Daud Beureueh berucap ”karena tuan-tuan telah mengambil tindakan
sendiri, gunakan wang menuruti hawa nafsu sendiri-sendiri dan tidak patuh lagi
kepada pimpimpin, saya tidak lagi dipercaya; maka kepimpinan DI-Acheh saya
serah kepada saudara semua.’ [5] Ketika itu, ramai
peserta pertemuan mecucurkan air mata. Selepas dibujuk rayu, Tengku Muhammad
Daud Beureueh bersedia semula memimpin perjuangan DI-Acheh.”[6] Pada pertemuan
Dewan Menteri NBA/NII yang berlangsung di Kampung Cubo (Pidië). Kolonel Hasan
Saleh tidak hadir, karena merasa dirinya dituduh melakukan rasuah pada pertemuan
di Lam Tamot, Acheh Besar. ”Ketidak hadiran Hasan Saleh merupakan isyarat
tidak patuh lagi kepada pemimpin.”[7] Sejak peristiwa itu, perseteruan tidak
dapat dibendung dan dikendalikan lagi. Klimaksnya, berlaku rampasan kuasa oleh
Kolonel Hasan Saleh terhadap kepimpinan Tengku Muhammad Daud Beureueh, pada 15
Desember 1959; menyusul ramainya panglima rejimen daerah yang memihak kepada
kelompok Hasan Saleh, Husin Mujahid dan Abdul Gani Usman. Begitu juga ketika
Tengku Muhammad Daud Beureueh sedang melakukan rundingan melalui hubungan
surat-menyurat dengan M. Jasin, Hasan Ali (Perdana Menteri) secara terpisah
mengadakan mesyuarat dengan Njak Adam Kamil (Pangdam1/Iskandar Muda) berhubung
penyelesaian keamanan di Acheh tanpa pengetahuan pemimpin. Pertemuan yang
semestinya berlangsung di Banda Acheh selambat-lambatnya pada 22 Oktober 1961,
justeru diketahui oleh Tengku Muhammad Daud Beureueh setelah diberitahu oleh
Njak Adam Kamil. Pada hal pertemuan antara Tengku Muhammad Daud Beureueh dengan
Kol. Jasin akan diadakan pada 2 November 1961. Sehubungan itu, Tengku Muhammad
Daud Beureueh merasa hèran dan terkejut ketika membaca berita bahwa, Hasan Ali
akan bertemu dengan Brigjen Suprapto di Kutaraja pada 23 Oktober 1961 untuk
merumuskan suatu perkara penting. Tengku
Muhammad Daud Beureueh tidak pernah memberi arahan kepada Hasan Ali untuk
membincang perkara-perkara penting.
Tambahan lagi, beliau sedang menunggu kedatangan Pangdam 1/Iskandar Muda atas
permintaannya melalui surat pada 12 September 1961. Pertemuan antara Hasan Ali
dan Nyak Adam kamil tetap berlangsung dan kedua-dua belah pihak sepakat bahwa
semua pejuang Republik Islam Acheh (RIA) dianggap sudah melapor diri sebelum 5
Oktober 1961 dan semua perkara dianggap sudah selesai setelah 5 Oktober itu.
Jika terbukti kemudian ada pihak yang membangkang, resikonya ditanggung
sendiri.[8] Oleh karena tindakan Hasan Ali di luar
pengetahuan dan kebenaran pemerintah pemimpin, maka semua hak dan tindakan
Hasan Ali berada di luar tanggunjawab pemimpin RIA. Keputusan Hasan Ali mau
menyerah, sebetulnya sudah dikesan sejak Tengku Muhammad Daud Beureueh memberi amanah
kepadanya untuk
berunding dengan S.M. Amin di luar Kuala Lumpur, Malaysia. Akan tetapi Hasan
Ali memanfaatkan untuk melawat ke Bangkok dan Hong Kong, sehingga terlewat
balik ke Acheh. Berhubung perkara ini digambarkan bahwa semakin lama ananda
diluar negara, makin bertambah buruk keadaan kita di dalam negeri. Razali Idris sudah
menyerah pada 15 Agustus 1961 dan menyusul yang lainnya. Untuk pengetahuan ananda, Ayahanda
sekarang hanya tinggal dengan seorang Menteri saja lagi.
[1] Berasaskan Surat Keputusan (SK) Presiden, 1956, No. 40/1956, status Acheh ditetapkan sebagai daerah dalam keadaan darurat perang. Simpanan Arkib Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perseroan Terbatas, Firma atau komanditer dan Perkelompok Koperasi, Kod: R 349 598 IND 1. No. 1 – 84.
[2] Teuku
Abdullah Ben Peukan Tangsé, 1999, Catatan Pemulihan Keamanan di Acheh Dengan
Konsep Prinsipil Bijaksana, Cadangan Penyelesaian Masalah Acheh, dicetak terhad
untuk kalangan Sendiri, hlm. 2.
[3]
Surat Tengku Muhammad Daud Beureueh, 27 April 1961, kepada Kolonel Muhammad
Jasin. Lihat: Muhhamad Nur El Ibrahimy, 2001, Peranan Tengku M. Daud Beureueh
Dalam Pergolakan Acheh, Media Dakwah, hlm. 324-328.
[4]
Muhhamad Nur El Ibrahimy, 2001, Peranan Tengku M. Daud Beureueh Dalam
Pergolakan Acheh, Media Dakwah hlm. 233.
[5] Prof. Dr. Tengku H. Baihaqi AK, 2008, Langkah-langkah Perjuangan, Tetungi Pasir Mendale Bandung, hlm. 188.
[6] Ibid, Prof. Dr. Tengku H. Baihaqi AK, 2008, hlm. 188.
[7] Ibid, Prof. Dr. Tengku H. Baihaqi AK, 2008, hlm 194.
[8] Muhhamad Nur El Ibrahimy, 2001,
Peranan Tengku M. Daud Beureueh Dalam Pergolakan Acheh, Media Dakwah hlm. 231.
(Menteri Urusan
Perang DI-Acheh) mengambil jalan pintas, yaitu melakukan kudèta atas kepimpinan
Tengku Daud Beureueh dan mengumumkan kepada seluruh rakyat Acheh bahwa ’kekuasaan
sivil dan militer yang berada di tangan Tengku Daud Beureueh, sejak hari ini
(15 Maret 1959) beralih ke tanganku sebagai penguasa perang NBA-NII. Setelah
itu, kekuasaan tersebut aku serah semula kepada dewan revolusi, dengan tugas
utama menyelesaikan pemberontakan Acheh.’[1] Kolonel Hasan
Saleh (Menteri Urusan perang) kemudian ”mengumumkan pengambil-alihan
kepemimpinan NBA baik kekuatan sipil dan militer dari tangan Tengku Muhammad
Daud Beureueh (Wali Negara) dan melucuti semua jabatan, seperti Wali Negara dan
Panglima Tentara Islam Indonesia (TII) serta membubarkan pemerintahnya.”[2] Dengan begitu,
hanya Dewan Revolusi sebagai penguasa yang sah atas NBA/TII. Sehubungan itu,
Dewan revolusi menyatakan ”putus hubungan kerja dan tanggungjawab dengan
bekas Perdana Menteri Hasan Ali yang turut dimakzulkan. Dengan begitu,
kekuasaan NBA/NII berada di tangan Dewan Revolusi yang dipimpin Amir Husen
Mujahid (ketua dewan pertimbangan) untuk pengganti Wali Negara, sekaligus Ketua
Dewan Revousi untuk pengganti pemerintah). Sementara Kolonel Hasan Saleh
menjadi Panglima pasukan Tengku Thjik di Tiro/Tentara Islam Indonesia (TII).”[3]
Dikatakan
bahwa kudeta ini sama sekali tidak didasarkan pada sentimen terhadap Tengku
Muhammad Daud Beureueh, akan tetapi didorong oleh rasa tanggungjawab bersama
untuk menyelamatkan 2 juta rakyat Acheh dan membangun masa depan angkatan muda
yang hidup bahagia dan mulia. Tegasnya untuk meneruskan cita-cita ummat Islam
Acheh yang sedang berjuang dengan cara yang wajar. “Dewan revolusi NBA/NII
akan meneruskan perundingan dengan pemerintah Indonesia dan menjadikan
perundingan tersebut sebagai prinsip dan bukan untuk strategi. Berunding adalah
membincangkan semua masalah melalui diplomasi dan perkara ini sama sekali tidak
boleh diartikan dengan ’menyerah’.”[4] Reaksi terhadap
kudeta itu disampaikan oleh Hasan Ali (Perdana Menteri NBA/NII) bahwa ”kepemimpinan
Tengku Muhammad Daud Beureueh adalah sah dan pemerintah Perdana Menteri Hasan
Ali adalah pemerintah yang sah pemerintah NBA/NII berasaskan kepada penubuhan
Darul Islam Acheh, pada 21 September 1953.”[5] Rampasan kuasa
yang dilakukan oleh Kolonel Hasan Saleh pada 15 Maret 1959 adalah ”pengkhianatan
kepada perjuangan suci dan menyifatkan tindakan tersebut sebagai tidak sah.”[6]
Kemelut politik
yang terjadi di kalangan pejuang NBA/NII, sudah tentu memudahkan PPI
menjinakkan kelompok oposisi, seperti Hasan Saleh, Amir Husen Mujahid dan Abdul
Gani yang telahpun melakukan kudeta. Sebenarnya, sudah lama dikesan bahwa ”Hasan
Saleh mau menyerah, karena alasan kelengkapan senjata perang tidak cukup dan
percaya bahwa perjuangan DI-Acheh tidak mungkin berhasil,”[7] bahkan mahu
melakukan rampasan kuasa dengan kekuatan ketentaraan untuk melucuti kekuatan
Tengku Muhammad Daud Beureueh, ”tetapi usaha ini gagal, karena rancangan
tersebut sudah dikesan lebih awal oleh Hasan Ali yang ketika itu berada di
Batèë, wilayah Pidië. Untuk menghalangnya, Hasan Ali mengirim utusan supaya
Tengku Muhammad Daud Beureueh diselamatkan.”[8] Dengan berlakunya
kudeta, maka tinggal lagi ”kelompok Tengku Daud Beureueh, seperti Hasan Ali,
rejimen III (Acheh Timur) dipimpin oleh Razali Idris dan rejimen V (Laut Tawar
Acheh Tengah) dipimpin oleh Tengku Ilyas Leubé dan Baihaqi, bertindak cergas
menyelamatkan Tengku Muhammad Daud Beureueh ke lokasi persembunyian lain di
garis tapal batas Acheh Utara–Acheh Timur,”[9] menyatakan
kesetiaan kepada ”kepimpinan Tengku Muhammad Daud Beureueh, pemerintah pusat
NII dan menyokong maksud-maksud pemerintah NBA/NII untuk menempuh jalan
rundingan damai dengan pemerintah Republik Indonesia.”[10] Diluar dugaan, Razali
Idris (komander rejimen III Acheh Timur) (yang dikenal sangat setia kepada
Tengku Muhammad Daud Beureueh) melakukan pengkhianatan. Motifnya hanya karena
mau uang.[11] Dengan begitu,
hanya rejimen V Acheh Tengah yang setia mengawal Tengku Muhammad Daud Beureueh.
Kemelut yang terjadi di kalangan pejuang DI-Acheh, dimanfaatkan oleh Perdana
Menteri Djuanda dengan mengirim delegasi seramai 29 orang ke Acheh pada 23
Maret 1959, dipimpin oleh Mr. Hardi (Wakil Perdana Menteri) dan Major Gatot
Sobroto (Wakil Kepala Staff Angkatan Darat Indonesia), bagi memastikan situasi
politik sebenar. Pada ketika itu, Major Gatot Sobroto dan Ali Hasjmy (gabenor
Acheh), bertemu dengan Teuku Hamzah (wakil Dewan Revolusioner NBA/NII) untuk
membincangkan konsep dan bentuk penyelesaian konflik di Acheh. Untuk itu pada
25 Maret 1959, hasil rapat tersebut disempurnakan semula oleh ahli dewan
revolusi seramai 25 orang. Antaranya ialah, Hasan Saleh, Husen Yusuf, Amir
Husen Mujahid, T. A. Hasan, Ishak Amin, Gani Mutiara. Pada intinya, menyepakati
teks Surat Keputusan (SK) Perdana Menteri yang menyebut: ’Daerah Swatantra
peringkat 1 Acheh disebut ’Daerah
Istimewa Acheh’ dengan syarat: „kepada daerah itu tetap berlaku
ketentuan-ketentuan mengenai daerah swatantra seperti mana tertera pada UU No.
1 tahun 1957; tentang pemerintah daerah dan peraturan lain yang berlaku untuk
daerah Swatantra mengenai autonomi seluas-luasnya, terutama dalam bidang
keagamaan, kebudayaan dan pendikikan.“[12] Sebutan ’Daerah
Istimewa Acheh’ mesti „dilaksanakan berasaskan kepada perundang-undangan
negara Indonesia, bukan berdasarkan pada kepentingan politik dan perlembagaan
NBA/NII. Ertinya, Surat Keputusan (SK) Perdana Menteri tidak boleh bercanggah
dengan ketentuan perundang-undangan yang hirarki lebih tinggi pemerintah Surat
Keputusan Perdana Menteri. Hal ini selari dengan prinsip ’lex specialis derogat
legi generali’ (pelaksanaan peraturan yang hirarki lebih rendah, tidak boleh
bercanggah dengan peraturan yang lebih tinggi).“[13] Sementara itu „semua
tentara yang berasal pemerintah NBA/NII (tentara dan Polisi), yaitu anggota
Tentara Islam Indonesia (TII) pemerintah unit Angkatan darat dan Polisi
DI-Acheh akan diterima menjadi anggota
TNI dan Polisi RI, jika memenuhi syarat; manakala anggota TNI dan pegawai sivil
RI yang turut dalam kelompok NBA/NII dipulihkan semula, selaras dengan pangkat
dan gaji selama menyertai gerakan DI-Acheh.“[14] Dengan kata lain,
semua perlengkapan senjata DI-Acheh dilucuti dan angkatan perang NBA/NII bubar.
„Pemerintah Indonesia juga berjanji membantu pembangunan Acheh pada
bidang-bidang yang menyentuh keperluan jasmani dan rohani. Untuk peringkat awal
disediakan Rp. 38,4 juta,“[15] memberi amnesti
dan pampasan kepada pejuang DI-Acheh.’[16] Bagaimanapun,
tuntutan kelompok Tengku Daud Beureueh, Hasan Ali dan Tengku Ilyas Leubé yang
mau supaya pelaksanaan keistimewaan Acheh diatur dengan Undang-undang ditolak
oleh KPI dan unsur-unsur syari’at Islam di daerah Istimewa Acheh dilaksanakan
dengan syarat „pertama, dilaksanakan secara tertib dan seksama
unsur-unsur syari’at agama Islam di daerah Istimewa Acheh, dengan mengendahkan
peraturan perundangan negara. Kedua, arti dan maksud pemerintah perkataan
’penertiban dan pelaksanaan’ pada point 1 di atas diserahkan kepada pemerintah
daerah Istimewa Acheh.“[17]
Setelah Kolonel M. Jasin (Penguasa Perang Daerah Istimewa Acheh) menandatangani Keputusan Penguasa Perang, maka pasukan Tengku Daud Beureueh,
[1] Teks rampasan kuasa Kolonel Hasan Saleh (Menteri
Urusan Perang NBA/NII pada pukul 10.00 pagi, 15 Maret 1959. Teuku Abdullah Ben Peukan Tangsé, 1999, Catatan
Pemulihan Keamanan di Acheh Dengan Konsep Prinsipil Bijaksana, Cadangan
Penyelesaian Masalah Acheh, dicetak terhad untuk kalangan Sendiri. Simpanan
Arkib peribadi Teuku Ibrahim, ahli politik parti Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDIP), menetap di Sigli, Pidië Acheh, 2012.
[2] Lihat: dokumen 1. Pernyataan Dewan Revolusi NBA, 1959, No. 1, Maklumat Ketua Parlimen NBA (Majlis Syura), Amir Husen Almujahid, 26 Maret 1959. Lihat: Muhhamad Nur El Ibrahimy, 2001, Peranan Tengku M. Daud Beureueh Dalam Pergolakan Acheh, Media Dakwah, hlm. 316.
[3] Lihat: dokumen 2. Ibid, Pernyataan bersama Dewan Revolusi NBA 1959, hlm. 316.
[4] Ibid, Pernyataan bersama Dewan Revolusi NBA 1959, hlm. 316.
[5] Pernyataan Hasan Ali (Perdana Menteri NBA/NII), 1 April 1959. Lihat: Muhhamad Nur El Ibrahimy, 2001, Peranan Tengku M. Daud Beureueh Dalam Pergolakan Acheh, Media Dakwah hlm. 201
[6] Piagam Batèë Krueng, 1955, 23 September. Simpanan Arkib Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perseroan Terbatas, Firma atau komanditer dan Perkelompok Koperasi, kod: R 349 598 IND 1. No. 1 – 84. Sila lihat juga: Muhhamad Nur El Ibrahimy, 2001, Peranan Tengku M. Daud Beureueh Dalam Pergolakan Acheh, Media Dakwah hlm. 201.
[7] Prof. Dr. Tengku H. Baihaqi AK, 2008, Langkah-langkah
Perjuangan, Tetungi Pasir Mendale Bandung, hlm. 184.
[8] Muhhamad Nur El Ibrahimy, 2001, Peranan Tengku M. Daud Beureueh Dalam Pergolakan Acheh, Media Dakwah hlm. 201.
[9] Achmad & Aiyub Syah, 2005, 60 Tahun Ikut Indonesia, Yang dikagumi dan Yang Dikhianati, 2005, 4 Agustus,Tabloid Achehkita.
[10] Pernyataan pemerintah ahli NBA/NII yang masih taat-setia kepada kepimpinan Tengku Muhammad Daud Beureueh, 24 April 1959, Acheh Timur. Ditandatangani: 1. Major Razali Idris (komander Rejimen III Salahuddin), 2. Let-Kol. H. Ibrahim (komander Rejimen II Samudra), 3. Let.Kol. Ilyas Leubé (komander Rejimen V Laut Tawar), 4. Major. H. Hasanuddin (komander Rejimen VII Tharmihim), 5. Abubakar Amin (Yang Dipertua Acheh Timur), 6. Let.Kol. H. Affan (Yang Dipertua Acheh Utara), 7. Saleh Adri (Yang dipertua Acheh Tengah), 8. Major. Teuku Raja Idris (komander Rejimen IV, Bt. Tunggal). Sila lihat: Muhhamad Nur El Ibrahimy, 2001, Peranan Tengku M. Daud Beureueh Dalam Pergolakan Acheh, Media Dakwah hlm. 318-319.
[11] Wawancara Prof. Dr. Baihaqi AK dengan Achmad & Aiyub Syah, 2005, 60 Tahun Ikut Indonesia, Yang Dikagumi dan Yang Dikhianati, 4 Agustus 2005, Tabloid Achehkita.
[12] Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia, 1959, 26 Mei, No 1/Misi/1959, ditandatangani oleh Mr. Hardi (Timbalan Menteri 1/Ketua Missi Pemerinah ke Acheh. Simpanan Arkib Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, kod: R 349. 598 IND t 1959. No. 1 – 46.
[13] Yusra Habib Abdul Ghani, 2008, Self-Government Studi
Perbandingan Tentang Desian Administrasi Negara, Penerbit Paramedia Press,
hlm. 132.
[14] Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia, 26 Mei 1959, No.1/Misi/1959, ditandatangani oleh Mr. Hardi (Timbalan Menteri 1/Ketua Missi Pemerinah ke Acheh. Simpanan Arkib Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, kod: R 349. 598 IND t 1959. No. 1 – 46.
[15] Ibid, Simpanan Arkib Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, R 349. 598 IND t 1959. No. 1 – 46.
[16] Keputusan Presiden (Kepres), 1959, No. 180/1959, tentang
Amnesti dan Abolisi kepada pejuang DI-Acheh. Simpanan Arkib Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia, ko: R 349. 598 IND t 1959. No. 1 – 46.
[17] Kolonel Muhammad Jasin, 1962, Keputusan Penguasa Perang,
Panglima Daerah Militer 1 Acheh/Iskandar Muda (Penguasa Perang Daerah untuk
daerah Istimewa Acheh), No. KPTS/PEPERDA-61/3/1962, 7 April 1962, tentang
kebijaksanaan pelaksanaan unsur-unsur syari’at agama Islam bagi
pemeluk-pemeluknya di Daerah Istimewa Acheh.
Lihat: Muhhamad Nur El Ibrahimy, 2001, Peranan Tengku M. Daud Beureueh
Dalam Pergolakan Acheh, Media Dakwah, hlm. 353-356.
Tengku Ilyas Leubé, Tengku Baihaqi AK, pemerintah rejimen
Laut Tawar dan pasukan Gaus Taufik pemerintah rejimen Tamihin dari Batubara (Sumatera Timur), menyerah dari ’kem mardhatillah’ dijemput langsung
oleh Letkol Nyak Adam Kamil (Kepala Staf KODAM 1/Iskandar Muda) bersama satu
Unit TNI pada hari Rabu, 9 Mei 1962.
Akan halnya dengan ganti rugi yang dijanjikan oleh PPI ditunaikan. „Di
antara yang menikmati pampasan tersebut ialah Hasan Saleh, Tengku Daud
Beureueh, Hasan Ali, Amir Husen Mujahid, Hasbalah, Tuan Sakti, Abubakar Amin,
Razali Idris, Yusuf Wahi, Hj. Hanafiah, AR. Lotan, Abdul Gani (Ayah Gani),
Muhammad Amin, Ismail Bin, Usmanuddin, Amin Negara, Sjama’un Gaharu.“[1] Khususnya bagi
pejuang DI-Acheh di Acheh Tengah, „disediakan areal tanah untuk diterokai di
kawasan bandar Lampahan; tetapi ditolak karena kawasan tersebut tidak
strategik. Sebagai gantinya ditawarkan areal tanah di kawasan Ulu Narun, tetapi
ditolak karena terlalu jauh dengan lokasi mereka menetap. Seterusnya,
ditawarkan areal tanah luas di Arôn, Lkôk Seumawé (Acheh Utara) juga ditolak
karena terlampau jauh dari Acheh Tengah. Akhirnya, mereka memilih jalan hidup
sendiri.“[2] Sementara itu, „tanah
yang terletak di bandar Lampahan, Acheh Tengah (perkebunan kopi peninggalan
Belanda) diberikan kepada Tengku Ilyas Leubé[3] dan Tengku Baihaqi
AK mendapat sebagian daripadanya.“[4] Semua ini terjadi
setelah diketahui persis kekuatan politik dan militer DI-Acheh sudah tidak
berdaya lagi, maka konsep perdamaian bersyarat yang ditawarkan oleh PPI
–mematuhi konstitusi Indonesia, menerima pampasan perang, pengampunan– terpaksa
diterima oleh pejuang DI-Acheh, rela ataupun tidak rela. Peristiwa ini ada yang
menyifatkan „sebagai bukan menyerah, tetapi kembali ke tengah-tengah
masyarakat.“[5] Keputusan pahit
ini terpaksa diambil oleh kelompok Tengku Daud Beureueh, karena majoritas
tentara NBA/NII) mayoritas sudah berpihak kepada kelompok Hasan Saleh. „Tengku
Muhd. Daud Beuereuéh tidak menyangka kalau perjuangan yang ditegakkan dengan
sumpah, pada akhirnya mengingkari sumpahnya, bahkan tidak cukup dengan
menyesali diri sendiri, diiringi pula dengan mempengaruhi rakan-rakan lain
supaya mengikuti jejak langkahnya.“[6] Klimaks dari
pengkhianatan tersebut, „dilakukan oleh salah seorang Menteri Republik Islam
Acheh (RIA)[7] yang mengajak
rakan-rakannya untuk menyerah.“[8] Ternyata kisah
akhir perjuangan DI-Acheh berlaku seperti pernah dibayangkan oleh Tengku
Muhammad Daud Beureueh, ketika memulakan perjuangan ini bahwa ”suatu ketika nanti
boleh jadi akan muncul perkara-perkara yang boleh menghancurkan perjuangan dan
saya ditinggal keseorangan dan kesepian dalam akar-akar kayu dan rumpun-rumpun
rotan,”[9] akhirnya menjadi kenyataan!
–
DR. HUSAINI HASAN CS. VERSUS KELUARGA TENGKU HASAN M. DI
TIRO
Sejarah perpecahan
dalam tubuh GAM di luar negeri pada awalnya terjadi pada tahun 1985; dimana
lahir group 6 (enam), yaitu 1. TM. Ali Thaib, 2. Tgk. Anwar Amin, 3. Tgk.
Juhasri Hasan, 4. Tgk. Shaiman Abdullah 5. Gurèë Seuman (Usman Mahmud) 6. dr.
Husaini MH. Pertama, asbabun nuzul
munculnya group ini berpunca ketika Wali Negara (Tengku Hasan M. di Tiro)
tinggal bersama di rumah dr. Husaini sejak tahun 1981-1982, yang diketahui
tidak pernah muncul kendala apapun yang melanda tubuh GAM di luar negeri, sebab
pelarian politik yang diterima di Swedia baru dua orang, yakni dr. Husaini
Hasan dan Shaiman Abdullah. Selama tinggal bersama dr. Husaini Hasan, Wali
Negara (Tengku Hasan M. di Tiro) aktif menulis, seperti buku, artikel untuk
bahan Majalah AGAM, memperbaiki materi The Price of Freedom dan skrip
Drama Acheh serta melakukan ‚diplomatic correspondence’ dengan negara
asing, dll. Namun setelah Mohd. Jamil (ada hubungan saudara dari pihak Ayah
dengan Wali Negara) tiba di Swedia, barulah Tengku Hasan di Tiro pindah ke
rumah Mohd. Jamil, sekaligus dijadikan markas mencetak Majalah AGAM dalam
bahasa Acheh, merekam Drama sejarah perang Acheh dalam bentuk cassette bertutur
bahasa Acheh dan melengkapi sarana komunikasi dengan dunia luar.
Satu ketika dr.
Husaini mengusul bahwa sudah saatnya GAM menyewa sebuah rumah di kawasan
Norsborg untuk dipakai sebagai Markas GAM dengan tujuan melancarkan
kegiatan-kegiatan rutin yang sebelumnya; pertemuan hanya diadakan bergiliran
dari rumah ke rumah. Di antara yang menyetujui supaya rapat mingguan diadakan
di Kantor ialah TM. Ali Thaib, Tgk. Anwar Amin dan Tgk. Juhasri. Usul ini
mendapat respons positif dan disetujui oleh Wali Negara sendiri. Sehubungan
itu, dr. Husani Hasan diberi tugas untuk mencari rumah sewa yang nantinya Wali
Negara dan dr. Husani Hasan akan tinggal bersama di alamat baru (kantor) itu.
Akan tetapi pada hari hendak pindah, datang dr. Zaini menyebar fitnah bahwa
Wali Negara mau memisahkan diri dari lingkaran keluarga (dr. Zaini, Mohd.
Djamil Amin dan Syarif Usman). Tidak cukup dengan itu, dr. Zaini menyebar
fitnah bahwa, dr. Husaini secara rahasia hendak pisahkan Wali negara dari
keluarga Tiro; pada hal semuanya sudah dimusyawarahkan sebelumnya. Akibatnya,
Wali negara membatalkan semua kesepakatan bersama yang sudah disetujui, bahkan
dr. Zaini bersama M. Jamil menyampaikan ultimatum bahwa ”jika Wali Negara
pindah dan duduk bersama dengan dr. Husaini, maka dr. Zaini mengancam akan
keluar dari Acheh Merdeka dan putus hubungan famili Tiro.” Dalam situasi
kritikal ini, Tengku Hasan di Tiro memilih tinggal kembali dalam lingkungan
keluarga: dr. Zaini, Mohd. Djamil Amin dan Syarif Usman. Reaksi dari ultimatum
dr. Zaini dan perubahan keputusan Wali negara menyebabkan TM. Ali Thaib, Tgk.
Anwar Amin dan Tgk. Jus mengambil sikap tidak lagi menghadiri rapat, sekiranya
diadakan dari rumah ke rumah dan tetap berpendirian supaya disewa Kantor.
Akhirnya kepada group enam ini dianggap ‚pengkhianat‘ yang mesti dihukum mati.
Setelah peristiwa itulah; dr. Husani Hasan TM. Ali Thaib, Tgk. Anwar Amin, dan
Tgk. Juhasri, Shaiman Abdullah dan Usman Mahmud diberi label ’pengkhianat’ dan
mesti dihukum mati.[10] Konflik internal
GAM yang kelihatan sangat sepèlè ini tidak kunjung selesai, walaupun dr.
Husaini secara pribadi sudah meminta beberapa kali kepada dr. Zaini Abdullah
supaya boleh bertemu dengan Wali Negara, tetapi selalu dijawab: ”Hana masalah, ta kalon diléë watéë njang
paih” (tidak ada masalah, kita lihat dulu saat yang tepat).[11] Akhirnya, sampai
beliau meninggal dunia pada 3 Juli 2010, pertemuan yang dijanjikan itu tidak
pernah dipenuhi.
Kedua,
peristiwa yang menimpa Tgk. Mohd. Daud Husin, Jusuf Daud dan Sjahbuddin pada
tahun 1997. Mereka difitnah mencekik Tengku Hasan di Tiro untuk mengambil
dokumen negara di rumah kediaman Wali negara, sekaligus dituduh sebagai
pengkhianat, termasuk keluarga Tgk. Jalil Ismail yang bersikap neutral. Èkoran
dari peristiwa tersebut, Mustafa Jalil dipukul oleh Robert dan Arjuna di
Malaysia. Ketiga, saat Tengku Hasan
menderita sakit sakit pada tahun 1999. Kepemimpinan GAM dipegang oleh Malik
Mahmud dan dr. Zaini Abdullah. Pengikut-pengikut Malik-Zaini -terutama di
Malaysia- dianggap bersikap arogan dan menyudutkan kelompok yang tidak sehaluan
dengan mereka. Sehubungan itu, dengan dalih melindungi dan mempertahankan diri,
maka beberapa senior GAM di Malaysia, seperti Abdullah Kruëng, Sulaiman Amin,
Tgk. Idris Mahmud, Tgk. Muhammad Mahmud, Gurèë Rahman dll merasa perlu
membentuk sebuah ”Badan pimpinan kolektif GAM” di Malaysia. Idé tersebut
disampaikan kepada dr. Husaini, Daud Husin dan senior-senior GAM lainnya di
Sweden untuk meminta restu mendirikan Majlis Pemerintahan GAM (MP-GAM) yang
merupakan presidium Pimpinan Kolektif, sekaligus melantik Teuku Don Zulfahri
sebagai Sekretaris Jenderal. Perkara ini
sudah tentu semakin menyulut kemarahan mazhab Malik-Zaini. Salah satu
konsekuensi darinya adalah Tengku Hadji Usman Pasi Lhôk dan Tgk. Wahab (sepupu
Tgk. Daud Husin) dibunuh secara kejam di kawasan Sungai Gombak Bt-6, Greenwood,
Selangor Malaysia oleh Kapten Nur dan Muzakkir Leupéng (anak buah Malik Mahmud)
dan tidak lama kemudian menembak mati Teuku Don Zulfahri, bertepatan pada hari
penandatanganan Jeda Kemanusiaan di Geneva pada 2 Juni, 2000.[12]
–
DAUD HUSÉN CS. VERSUS PIMPINAN GAM DI SWEDIA
Jika ditelusuri akar masalah yang melatar belakangi
terjadi perpecahan antara Yusuf Daud dengan Pimpinan GAM di Swedia, sebenarnya
bercambah dari kunjungan Daud Husin (Daud Paneuk)
ke Kuala Lumpur, Malaysia pada pertengahan tahun 1994. Kunjungan beliau pada
ketika itu disambut secara besar-besaran oleh anggota GAM di Malaysia. Di
Airport Subang -Panglima Anggkatan Darat Acheh- ini disambut dan dikawal ketat,
dinaikkan ke dalam mobil khusus berbendera Acheh. Untung saja peristiwa ini
tidak terekam oleh pihak inteligen Malaysia. Selama berada di Kuala Lumpur,
Daud Paneuk punya inisiatif untuk membentuk struktur pemerintahan sipil GAM
(Ketua Wilayah/Gubernur) seluruh Acheh di pengasingan (wilayah berdaulat). Idé
tersebut dimusyawarahkan dengan anggota Majlis Negara di Kuala Lumpur dan
menyepakati masing-masing Ketua Wilayah adalah:
Kepala Wilayah Acheh Rajeuk: Akhyar
Kepala Wilayah Pidië: Musrial Mahfudh
Tgk.Usman
Kepala Wilayah Meulaboh: Said
Musatafa Ushab
Kepala Wilayah Tapak Tuan:
Bustami
Kepala Wilayah Pasè: Muhammad
Yasin
Kepala Wilayah Batèë Iliëk:
Zukkifli Idris
Kepala Wilayah Linge: Muhammad
Daud (Aman Nurcaya)
Kepala Wilayah Peureulak:
Tengku Ramli Hasbalah
Kepala Wilayah Temiang: Mohd.
Hasan Johor
Kepala Wilayah Meureuhom Daya:
Thalib
Bendahara negara: Burhan
Syama’un (Tokè Burhan)
Majlis Urang Tua sebanyak 11
orang.
Salah satu tugas Kepala
Wilayah ini adalah mengkoordinir pengumpulan dana perang dari wilayah
masing-masing, selanjutnya dilaporkan dalam setiap rapat umum yang dihadiri
oleh komponen: Perwakilan wilayah, anggota Majlis Negara, Majlis Orang Tua dan
Komite Pelarian Politik Acheh di Malaysia. Dana tersebut kemudian diserahkan
kepada Bendahara negara yang dipegang oleh Toké Burhan Syama’un. Rupa-rupanya,
pembentukan struktur pemerintahan sipil GAM ini belum mendapat restu sebelumnya
dari Tgk. Hasan M. Di Tiro (Wali Negara) dan Malik Mahmud (Menteri
Negara). Walau demikian, oleh karena semua anggota GAM di Malaysia sudah bulat
suara menyokong idé Daud Paneuk, maka pimpinan tertinggi GAM di Swedia dan
Menteri Negara (Malik Mahmud) memilih diam -tidak dapat berbuat banyak- bahkan
kemudian memberi dukungan penuh. Setelah Daud Paneuk kembali ke Swedia,
sentimen irihati di kalangan pimpinan GAM di Swedia yang sebelumnya terpendam
mulai bercambah. Hal ini
ditandai ketika kunjungan Malik Mahmud ke Swedia, awal Januari 1997, yakni:
1.
“ketika kunjungan Malik Mahmud ke Swedia
yang dirahasiakan untuk tidak boleh bertemu dengan beberapa orang anggota GAM
di Swedia...”[13]
2. Disusul kemudian “saat Otto Mattulesi dan Frieda
(keduanya pejabat tinggi RMS) berkunjung ke Swedia dirahasiakan untuk tidak
boleh bertemu dengan beberapa anggota GAM...”[14].
3. Selain itu diperuncing kembali dengan: “Keputusan rapat yang
menyetujui Yusuf Daud dan Bakhtiar Abdullah sebagai wakil GAM untuk menghadiri
Kongres UNPO 1997 di Estonia, yang di saat-saat terakhir Bakhtiar Abdullah
mengundurkan diri dan digantikan oleh Syahbuddin Abdurrauf.” [15]
4. Demikian pula dengan ”Tgk. Daud Paneuk diisukan
meminta jabatan Menteri Dalam Negeri kepada Wali Negara; bagaimana melanjutkan
perjuangan dan siapa personil yang menjalankan tugas di saat Wali sedang dalam
keadaan sakit berat. Kemudian diketahui, dr. Zaini Abdullah merasa dendam dan
memasukan point (Tgk. Daud Peneuk yang membentuk pemerintahan sipil GAM di
Malaysia) untuk menyudutkan Tgk Daud Paneuk.”[16]
5. Kemudian giliran Yusud Daud dan Mustafa
Jalil dari Swedia berkunjung Ke Kuala Lumpur. Ada oknum tertentu memberi
laporan kepada Zaini Abdullah bahwa dalam suatu pertemuan di Malaysia, Yusuf
Daud pernah berkata: “Politik
luar negeri Wali, nol.”[17]
Tanpa menyelidiki kebenaran informasi tersebut;
ujung-ujungnya Zaini Abdullah, Bakhtiar Abdullah dan M. Jamil membekot Daud
Husin, Jalil Ismail, Syahbuddin Abdurrauf, M. Daud Yusuf, M. Adam Umar, Ramli
Abubakar, Mustapa Jalil dan Yusril Abdullah -tidak boleh lagi berkomunikasi dan
menjumpai- Wali negara. Selain itu, kunci Po. Box ASNLF yang sebelumnya
dipegang oleh beberapa orang anggota GAM, dirampas dan hanya Zaini Abdullah, M.
Jamil dan Syarif Goran Usman saja yang berhak memegangnya. Di tengah-tengah suasana
demikian, tersiar isu bahwa kelompok Yusuf Daud Cs. mau mencekik leher Wali
Negara dan hendak mencuri semua dokumen negara yang tersimpan di rumah beliau.
Kebenaran isu ini ternyata tidak dapat dibuktikan. Sementara itu, kondisi
kesehatan Tengku Hasan M. di Tiro pun semakin gawat. Situasinya terus memanas
sampai oktober 1997. Pada hal semua faktor penyebab konflik internal ini, dapat
diselesaikan secara kekeluargaan dan terbuka dalam rapat khusus. Tetapi tidak
ada pihak yang bersedia menengahinya. Untuk itu, Daud Paneuk datang seorang
diri secara rahasia ke Malaysia dengan maksud untuk menjelaskan kemelut yang
sedang melilit di kalangan internal anggota GAM di Swedia. Secara kekeluargaan,
beliau meminta supaya Majlis Negara dan Majlis orang Tua, Ketua Wilayah dan
Komite Pelarian Acheh di Malaysia, bersedia mengambil inisiatif untuk
menamatkan konflik internal ini. Maka pada 19 Oktober 1997, diadakan rapat
terbatas Majlis Negara, Majlis Orang Tua dan Komite Pelarian Acheh bertempat di
rumah kediaman Tgk. Usman Hanafiah, dihadiri oleh:
Tgk. Usman
Hanafiah (Utusan Majlis Negara)
Teuku Hasan
Lhôk Kadju (Utusan Majlis Negara)
Abdullah
Tjaleuë ( Utusan Majlis Orang Tua)
Yusra Habib
Abdul Gani (Utusan Komite Pelarian Acheh)
Ishak Daud (Utusan Komite Pelarian Acheh)
Musrial Mahfudh (Utusan Ketua Wilayah
Pidië)
Setelah membincangkan jalan keluar terbaik untuk
menamatkan konflik internal GAM di Swedia, maka rapat memutuskan, yaitu memberi
mandat penuh kepada Yusra Habib Abdul Gani dan Abdullah Tjaleuë untuk menjumpai
dan menanyakan langsug kepada Tengku Daud Husin tentang punca penyebab konflik
internal di Swedia dan memyampaikan laporan kepada Majlis Negara dan Majlis
Orang Tuha secepat mungkin. Sehubungan dengannya, malam itu juga penerima mandat
bersama Ishak Daud menjumpai Daud Husin di sebuah flat perumahan di kawasan
Shah Alam, Selangor Darul Ehsan. Tempat
tinggal Daud Husin Kuala Lumpur kali ini dirahasiakan, demi melindungi keamanan
peribadi beliau; sebab berita yang beredar di kalangan anggota GAM sangat
beragam dan simpang-siur. Penerima mandat memulai membuka pembicaraan tertutup
dengan Daud Husin, mulai dari jam 00.00 tengah malam sampai jam 05.00 pagi.
Setelah mendengar dan mendapatkan maklumat resmi dan membaca “Dokumen Negara
Peukara Bitjah Blah Bansa Atjèh di Eropa” setebal 47 halaman, terkuaklah faktor-faktor
penyebab konflik internal di Swedia dari satu pihak. Ke-esokan harinya,
penerima mandat menyampaikan laporan lengkap kepada Tgk. Usman Hanafi (Ketua
Majlis Negara) dan menyarankan supaya hari itu juga (20 Oktober 1997) digelar
rapat pleno di Rumah Iqbal Idris, kawasan Klang, Negeri Selangor, yang dihadiri
oleh seluruh perwakilan Wilayah. Sebagai salah seorang penerima mandat -Yusra
Habib Abdul Gani- dipercayai memimpin sidang Pleno dan sekaligus menyampaikan
pandangan umum agar perserta rapat memperoleh gambaran dan bahan masukan untuk
mencari solusi terbaik. Setelah memberi pandangan umum, pemimpin rapat memberi
masa satu jam kepada masing-masing perwakilan wilayah untuk mengad akan sidang
terpisah (tertutup) dan mengangkat seorang juru bicara. Strategi ini ditempuh
demi memudahkan pembahasan materi selanjutnya. Rapat yang berlangsung dari jam:
11.00 –16.00, menyetujui mengirim surat kepada kedua belah pihak yang bertikai.
Membentuk “team 11” untuk menjumpai Daud Husin pada
21-22 Oktober 1997. Team 11 ini terdiri dari:
Teuku Hasan Lhôk
Kadju
Tengku Usman
Hanafi
Ibrahim Sulaiman
(KBS)
Abdullah Tjaleuë
Syarifuddin (Din
Lapôh)
Hasan Sabon
Tengku Kadir Hasballah
Tengku Lahmuddin
Darwis Djinéb
Abdul Muthalib
Tengku Ramli
Hasilnya dimusyawarahkan
kembali dalam rapat “Panitia Kecil” pada 23 Oktober 1997 di rumah Tengku Ramli.
Keputusan rapat, menyerahkan semula kepada team perumus yang diketuai oleh
Yusra Habib Abdul Gani, dibantu oleh Musyrial Mahfudh, Iklil Ilmy, Tengku Ramli
dan Iqbal Idris, untuk menyusun draft surat yang dikirim kepada pihak-pihak
yang bertikai di Swedia. Sebelum surat dimaksud dikirim, hasil rumusan team
perumus dimusyawarahkan lagi dalam rapat khusus yang berlangsung di rumah Tgk.
Usman Hanafi pada 25 Oktober 1997. Setelah rumusan surat dibacakan dan
disepakati, barulah diadakan rapat terakhir di rumah sdr. Mahfudh Tgk. Usman,
sekaligus membubuh tanda tangan (wakil masyarakat GAM di Malaysia) dan
ke-esokan harinya dikirim melalui fax ke Swedia dan teks aslinya dikirim ke
alamat masing-masing via kantor post.
Sehubungan dengan perkara ini, maka pada 27 Oktober
1997, kami: Tgk. Usman Hanafi, Yusra Habib Abdul Gani, Hasan Sabon, Musrial
Mahfudh dan Iqbal Idris, berangkat
menuju Pulau Pinang menjumpai Malik Mahmud (Menteri Negara ketika itu), untuk
melaporkan situasi yang tengah melanda tubuh GAM di Swedia. Pada prinsipnya
anggota GAM di Malaysia meminta kedua belah pihak yang berselisih paham supaya
bersikap dewasa, menahan diri -tidak mengedepankan emosional- dan memberi
peluang untuk berjumpa dengan Wali Negara kepada orang-orang yang sebelumnya
dilarang, dengan terlebih dahulu meminta izin kepada Dr. Zaini Abdullah.
Kebijakan ini diambil setelah menerima masukan dari
kedua belah pihak. Tetapi pada detik-detik terakhir, Daud Husin menolak
mentah-mentah untuk mengikuti procedure, yaitu meminta izin terlebih dahulu
kepada Zaini Abdulah, barulah kemudian bertemu dengan Wali Negara. Alasan Daud
Husin; usul tersebut merupakan bentuk pelècèhan kepada dirinya dan kelompoknya,
sebab sebelumnya tidak pernah terjadi hal yang demikian. Di satu sisi, padangan
demikian cukup beralasan, sebab Daud Paneuk adalah sosok pengawal peribadi Wali
Negara yang setia; namun beliau lupa bahwa kondisi yang menyebabkan segalanya
berubah. Untuk sementara, saran-saran yang diampaikan melalui surat oleh
anggota GAM di Malaysia mentah kembali, hingga akhirnya terus bergulir dan
situasinya terus semakin memanas. Bersamaan dengan kemelut internal anggota GAM
di Swedia yang belum lagi selesai -sedang dicari upaya dan formula terbaik-
untuk menyelesaikannya; situasi politik –kebijakan pemerintah Malaysia terhadap
GAM– menghadapai masa transisi dan kritikal (terutama dalam rentang masa tahun
1997 - Maret 1998). Misalnya:
1.
penggerebekan
Kantor ASNLF di Jln. Batu Cave oleh Dinas Intel
Malaysia dan merampas semua dokumen, termasuk foto-foto dan buku sejarah Acheh;
2.
Ishak Daud (salah seorang anggota Komite Pelarian Acheh di Malaysia)
dan Burhan Syama’un (Bendahara Negara Acheh) ditangkap dan ditahan oleh Polisi
Bukit Aman dan sepuluh hari kemudian baru dibebaskan.
3.
Selama keduanya berada dalam tahanan Internal Security Act (ISA), maka
saya Yusra Habib Abdul Gani dan Razali Abdullah terpaksa memilih menyelamatkan
diri di sebuah rumah sewa milik Tengku Lahmuddin Pangléh di kawasan Kajang
untuk menghindari dari hal-hal yang
tidak diinginkan dan baru beraktivitas kembali, setelah keduanya dibebaskan.
Ketika kami –saya dan Razali Abdullah–
mengadakan kontak talipon dengan Tengku Hasan di Tiro dari markas yang rahasia
ini, barulah kami tahu: kalau Malik Mahmud saat itu sedang berada di Swedia,
yang merahasiakan keberangkatannya kepada anggota Komite. Oleh karena
keberadaan Saya, Ishak Daud dan Razali Abdullah masih dalam keadaan
gawat-dadurat, maka saya mengusul kepada Malik Mahmud supaya segera membentuk
anggota Komite baru untuk mengambil alih tugas-tugas Komite sebelumnya. Yang
kami usul adalah Musrial Mahfudh, Iqlil Ilmy dan Razali Adul Hamid. Dalam
realitasnya anggota Komite inipun tidak mampu bekerja secara maksimal, selain
disebabkan oleh kebijakan politik Mahathir Muhammad yang jelas-jelas
pro-Jakarta, juga keamanan pribadi tidak terjamin. Klimaksnya adalah,
pemerintah Malaysia memulangkan 549 orang tapol Acheh secara paksa ke Acheh
yang masing-masing ditahan di kèm Imigrasi Macap Umbo, Malaka; kèm Lenggeng,
Negeri Sembilan; kèm Semenyeh, Selangor dan kèm Juru, Kedah pada 26 Maret 1998.
Saat peristiwa malang ini terjadi, Malik Mahmud diketahui
persis sudah berada kembali di Singapura. Malik
Mahmud menutup/mengunci diri sejak jam 17.00 (25 Maret 1998) sampai jam 8.00
pagi (26 Maret 1998). Berulang kali saya hubungi via tlf. dari markas kami
(rumah Tengku Kadir) di Bt-3 Gombak, tetapi tidak berhasil. Setelah ke-esokan
harinya, Tengku Abdullah Musa terpaksa melompat merempuh pagar rumah beliau di
Jln. Ismail No. 12 pada jam 8.00 pagi, barulah saya bicara tengan Malik Mahmud
untuk melaporkan situasi mencekam di Kèm Semenyeh yang mengorbankan 14 pelarian
politik ditembak mati dan puluhan luka berat dan ringan serta sisanya dihantar
secara paksa ke Indonesia melalui pelabuhan Lumut, Perak. Segalanya sudah
terlambat! Kemudian baru diketahui bahwa, pada malam itu Malik Makmud
mengadakan kontak secara rahasia dengan Nur Juli malam itu[18] idak
dengan kami -Yusra Habib, Musrial Mahfudh, Razali Paya dan Muzakkir Abdul
Hamid. Selain memutus hubungan kontak dengan kami, Malik Mahmud juga memutus
hubungan tlf. dengan pimpinan GAM di Swedia.
Sehari
sebelumnya (25 Maret 1998), Ishak Daud diculik oleh satuan intel gabungan
Malaysia-Indonesia di kawasan Shah Alam; disusul penculikan terhadap Burhan
Syama’un dan Shahrul di Jalan Raya Rawang dan diberangkat ke Dumai (Sumatera)
dengan kapal perang Angkatan Laut RI. Tidak lama kemudian, pada 24 April,
Razali Abdullah ditangkap di Jalan pintu masuk high way Sungai Besi, Kuala Lumpur dan giliran saya diberkas di
sebuah flat di Johor Baru pada 27 April 1998 oleh satuan inteligen Malaysia
yang diketuai oleh Michael Ong (Ketua Inteligen Negeri Johor). Dengan demikian,
tidak ada lagi pihak yang dapat menengahi konflik internal GAM di Swedia.
Stuasi buruk terus berkelanjutan dan masing-masing pihak enggan merenung; ...
sadar dan sabar; ... berduka-cita; ... menginsafi nasib orang Acheh yang tengah
dilanda musibah duka-lara, ... mendahulukan kepentingan nasional Acheh
ketimbang kepentingan kelompok. Sebaliknya, yang terjadi adalah memperlihatkan
egoisme masing-masing: kedua pihak saling menghujat, menyalahkan, mencaci-maki,
menyebar fitnah via media cetak, internet,
sabotase alamat kantor Pusat ASNLF di Swedia yang menyatakan: “Mulai hari ini Markas Besar GAM di Stockholm yang beralamat: PO.BOX
130, S-145 01 Norsborg, Sweden, dengan nomor fax nya: 00-46-8-53191275 dengan
resmi telah berpindah ke alamat: PO.BOX 2084, S-145 02 Norsborg, Sweden, dengan
nomor fax nya: 00-46-8-88460 atau berhubungan langsung dengan: 1). Dr Husaini
Hasan; 2). M. Yusuf Daud (Yusda); 3. Syahbuddin Abdurrauf.”[19] Alasan mensabotage alamat resmi ASNLF
tersebut karena gejolak politik dan keamanan sudah tidak terkendali dan tidak
menentu di Acheh, sehingga MP-GAM/MB/Eropah menyatakan sikap:
“1.
Tidak bertanggung-jawab atas pengusiran dan tindakan intimidasi terhadap
penduduk sipil yang bukan orang Acheh (warga Batak, Padang, Tjina dan Jawa
sekalipun), dan tindakan-tindakan diluar hukum lainnya yang dilakukan atas nama
Acheh Merdeka.
2. Tidak mengakui adanya
kelompok-kelompok pseudo-GAM yang mengaku Acheh Merdeka atau bagian dari Acheh
Merdeka. Kami hanya mengakui Majlis Pemerintahan Gerakan Acheh Merdeka (MP-GAM)
dibawah Wali Negara, Tengku Hasan di Tiro.
3. Tidak setuju dengan
pengutipan uang oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung-jawab untuk kepentingan
pihak-pihak tersebut - bukan untuk kepentingan GAM.
4. Menolak adanya
surat-surat kaleng yang memisahkan GAM keatas dua kelompok besar, yang
terang-terang melawan dengan prinsip kami untuk menyatukan bangsa Acheh - bukan
untuk memecah belahnya.
5. Terus menjejaki pihak-pihak yang menjual nama Wali Negara, Tengku Hasan
di Tiro, untuk kepentingan pribadinya; bertindak atas namanya; dan
menggunakanatau memalsukan tanda tangannya.”[20] Bahkan
sampai ke tahap saling bunuh-membunuh.
Dalam
situasi galau ini, pihak ketiga memanfaatkan konflik internal GAM ini dengan
menyusun konspirasi yang amat mengerikan. Mungkin benar, mungkin juga tidak!
Yang pasti adalah, ditemukannya dokumen yang memuat “daftar 500 orang” hendak
dibunuh oleh Malik Mahmud; 150 orang di antaranya berada di Malaysia,
selebihnya di Acheh. Dokumen gelap(?) itu akhirnya jatuh ke tangan Tgk. Usman
Ibrahim Pasilhôk (tokoh GAM tahun 1976), yang sudah beberapa kali masuk-keluar
penjara di Acheh. Untuk memastikannya, Majlis angota GAM wilayah Pidie,
mengutus beliau ke Malaysia, seterusnya berangkat menuju Swedia untuk
menanyakan langsung kepada Yang Mulia Wali Negara, Tengku Hasan di Tiro; prihal
keabsahan isi surat tersebut. Tragis sekali, setibanya di Malaysia –sambil
menunggu jadwal kepastian berangkat ke Swedia– beliau bersama Tengku
Banta dibunuh secara sadis dan biadab. Dalam hubungan ini, dr. Husaini Hasan
terang-terangan menuduh bahwa ‘actor intelectualist’ pembunuhan terhadap
atas Hj. Usman Ibrahim adalah perintah Malik Mahmud. Dikatakan “on
the tenth of April, 2000, the mercenaries of Malik Mahmud had brutally murdered
a member of MP GAM, Tengku Hj. Usman Ibrahim and his aid, Tengku Abdul Wahab.
Tengku Usman was a senior leader of the Free Acheh Movement from Kembang
Tanjung, Pidie District, who had been in and out of Indonesian jails for eight
times for his activities in the movement. He was also the one who first
received the arrival of Tengku Hasan di Tiro from America to Acheh in 1976 and
took him personally to the jungle. Before
he came to Malaysia five months ago, he had collected hundreds of millions of
rupiahs for the movement and sent to Malik Mahmud in Singapore. So, his
assassination was a reward from Mr Malik Mahmud who now enjoys his live with
his relatives in several capitals of Europe.”[21]
[1] Wawancara dengan Abdul Ghani (pejuang DI-Acheh berasal dari Peureulak Acheh Timur) pada 14 Agustus 1995, Bt-6 Gombak, Selangor Malaysia.
[2] Wawancara dengan Aman Sakdan (saksi semasa Acheh bergolak pada tahun 1953-1962, 3 Disember 2014 di Kampung Kenawat, Takengen Acheh Tengah.
[3] Prof. Dr. Tengku H. Baihaqi AK, 2008, Langkah-langkah Perjuangan, penerbit Tetungi Pasir Mendale Bandung, hlm 228.
[4] Ibdi, hlm 228.
[5] S.S. Djuangga Batubara, 1987, Teungku Tjhik Muhammad Dawud di Beureueh Mujahid Teragung di Nusantara,
Gerakan Perjuangan & Pembebasan Republik Islam Federasi Sumatera Medan,
cetakan pertama, hal. 97-98.
[6] Surat Tengku Muhammad Daud Beureueh, 10 September 1961,
kepada Tengku M. Hasan Hanafiah, 1961. Sila lihat: Muhhamad Nur El Ibrahimy,
2001, Peranan Tengku M. Daud Beureueh
Dalam Pergolakan Acheh, Media Dakwah, hlm. 359-360.
[7] Republik Islam Acheh (RIA) ditubuhkan pada 8 Februari 1960, merupakan perubahan nama pemerintah NBA/NII kepada RIA, sekali gus menjadi salah satu bahagian pemerintah Republik Persatuan Indonesia (RPI), dipimpin oleh Syafrudin Prawiranegara. Sila lihat: Muhhamad Nur El Ibrahimy, 2001, Peranan Tengku M. Daud Beureueh Dalam Pergolakan Acheh, Media Dakwah, hlm. 240
[8] Tokoh yang dimaksud ialah Hasan Ali (Perdana Menteri NBA/NII) yang awalnya diberi tugasan melawat ke Bangkok dan Malaysia untuk berunding dengan S.M Amin bagi membincangkan proses pemulihan keamanan di Acheh. Hasan Ali menyerah atas kehendak sendiri selepas Prseiden RI mengeluarkan Keputusan No. 449/1961, yang memberi pengampunan (amnesti dan abolisi) kepada seluruh pejuang PRRI, PERMESTA, RPI dan RIA DI-Acheh. Simpanan Arkib Muzium Pusat Indonesia, BO. O . 1961, No. 401 – 500.
[9] Muhhamad Nur El Ibrahimy, 2001, Peranan Tengku M. Daud Beureueh Dalam Pergolakan Acheh, Media Dakwah, hlm. 359.
[10] Setelah ditanda tangani MoU Helsinki 15 Agustus 2005, Shaiman Abdullah (orang yang mengantar Tengku Hasan M. di Tiro dengan boat kecil dari pantai Batèë Iliëk ke Singapura akhir 1979 dan Usman Mahmud (Menantu Malik Mahmud) –yang dicap sebagai pengkhianat sejak tahun 1983-2005–akhirnya „bertukar kiblat“ lagi kepada Zaini Abdullah dan Malik Mahmud
[11] Pengakuan Dr. Husaini kepada penulis di rumah kediaman
Amir Ishak, SH. Hjøring, Denmark; dalam acara silaturrahmi, pada 26 Desember
2008.
[12] Lihat: dokumen 3.
Mayat Teuku Don Zulfahri, korban penmebakan pada 2 Juni 2002 di kawasan
Ampang, Kuala Lumpur, Malaysia.
[13] M. Yusuf Daud dan Mustafa Djalil, 10 Oktober 1997, Dokumen Negara perkara Bitjah blah Bansa
Atjèh di Eropa, Sockholm, hlm. 7-9.
[14] Ibid, M. Yusuf Daud dan Mustafa
Djalil, 10 Oktober 1997, hlm. 36.
[15] Ibid., M. Yusuf Daud dan Mustafa Djalil, 10 Oktober 1997.
[16] Ibid, M. Yusuf Daud dan Mustafa Djalil, 10 Oktober 1997, hlm. 27-28.
[17] Ibid., M. Yusuf Daud dan Mustafa
Djalil, 10 Oktober 1997.
Testimoni Nur Juli dalam sebuah surat yang dikrim kepada saya (yusra habib), Maret 1998.
[19] Waspada, 5 Mei 1999, Waspadai Acheh Merdeka Palsu, 5 Mei 1999.
[20] bid., Waspada, 5 Mei 1999.
[21] FREE ACHEH MOVEMENT IN EUROPE P.O. Box: 2084, S-145 02 Norsborg, Sweden
Fax: 00-46-8-53188460. “CONDOLENCES
ON THE ASSASSINATION OF TEUKU DON ZULFAHRI”. Stockholm, 1 June 2000, Signed
Dr. Husaini Hasan.




