Adalah satu pelajaran sejarah bahwa, negara seperti Indonesia-Jawa dimana beberapa bangsa berada di bawah penindasan satu bangsa tertentu, negara yang demikian itu selalu terlibat dalam dua macam peperangan: peperangan dalam negeri atau peperangan dengan luar negeri. Peperangan dalam negeri disebabkan oleh perlawanan dari bangsa yang tertindas dan terjajah yang akan selalu memperjuangkan kemerdekaan mereka dari sipenjajah, tepat sebagaimana apa yang telah telah terjadi terus-menerus di kepulauan kita: di Acheh-Sumatera, Sulawesi, kalimantan, maluku, Papua Barat dan lain-lain selama lebih 10 tahun ini. Peperangan dengan luar negeri, disebabkan oleh usaha-usaha golongan yang memerintah untuk memindahkan perhatian rakyat dari kesusahan dan kesukaran hidup kepada musuh dari luar, karena sesudah terjadi pemberontakan-pemberontakan keadaan menjadi sedemikian rupa, sehingga lebih mudah untuk memelihara keamanan dalam negeri kalau golongan yang memerintah dapat menakut-nakutkan rakyat dengan adanya ‘serangan’ atau ‘bahaya’ dari luar. Apalagi kalau dapat dicari satu negara tetangga yang kecil yang dapat dijadikan sa saran yang tidak begitu berbahaya. Satu contoh yang menyolok mata dari politik ini ialah ‘konfrontasi’-nya Indonesia-Jawa terhadap Malaysia baru-baru ini. Tetapi taktik jahat ini tidak akan selalu dapat dikendalikan karena sedikit saja terjadi kesalahan perhitungan dapat membawa negara penyerang –inilah sifat yang tak dapat dielakkan lagi oleh Indonesia-Jawa– kepada pintu gerbang kehancurannya. Sesuatu peperangan dengan negara luar, walau pun dilakukan oleh Indonesia-Jawa, berati melibatkan diri dan bermain-main dengan keseimbangan politik dunia, dengan segala akibatnya yang berbahaya. Walau pun kekuatan militer Indonesia-Jawa lebih besar dibandingkan dengan keukuatan militer Malaysia, tetapi kekuatan militer semua negara dalam sesuatu peperangan dengan negara lain adalah adalah relative, artinya lebih-kurang bergantung kepada beberapa perkara yang lain. Kekuatan militer sesuatu negara tidaklah mempunyai arti apa-apa kecuali bila dibandingkan dengan kekuatan militer negara yang hendak diserangnya ditambah dengan kekuatan militer negara-negara sekutu dari negara yang hendak diserangnya itu. Karena itu, untuk dapat "mengganyang" Malaysia,
Sukarno memerlukan kekuatan
yang lebih besar dari kekuatan militer negara-negara sekutu dari Malaysia,
yaitu Australia, New Zealand dan Inggris. Teranglah sudah bahwa Sukarno tidak
akan pernah dapat mengatasi ini. Sebab itulah maka akhir daripada 'konfrontasi'
Indonesia-Jawa terhadap Malaysia sudah dapat diterka dari semula. Tetapi satu
peperangan gerilya kecil-kecil di perbatasan Serawak dan Sabah mungkin ada
gunanya bagi Sukarno atau Suharto sekedar untuk memalingkan perhatian rakyat
yang melarat di dalam negeri kepada 'musuh-musuh' dari luar yang tentunya akan
dipersalahkan oleh kolonialis Jawa sebagai yang bertanggung jawab atas
kebrobrokan ekonomi dalam negeri Indonesia-Jawa, walau pun sebenarnya segala
kebrobrokan itu adalah buah-tangan kaum kolonialis Jawa sendiri. Demikian juga
dengan adanya peperangan di perbatasan dengan Malaya ini, Sukarno dan kaum
kolonialis Jawa yang lain mengharapkan agar dengan demikian maka, peperangan
dalam negeri yang sebenarnya lebih berbahaya bagi mereka dapat dielakkan.
Kaum
kolonialis Jawa dewasa ini sudah sampai pada taraf kedudukan kaum penjajah yang
sulit, oleh karena perkembangan sosial dan politik, mereka akan selalu mesti memilih
salah satu di antara dua perkara yang berbahaya ini: menghadapi peperangan
dalam negeri atau menghadapi peperangan dengan luar negeri. Kalau pada suatu
ketika kedua macam peperangan ini akan terjadi pada waktu yang sama dan
serentak, maka hari itu akan merupakan hari berakhirnya dan musnahnya
kolonialisme Jawa di kepulauan kita dan hari tibanya kemerdekaan yang sejati
bagi bangsa Acheh-Sumatra, Sulawesi, Maluku, Kalimantan, Papua, Bali, Sunda,
dan lain-lain ketika kedaulatan atas negara-negara mereka akan kembali ke
tangan mereka sendiri. Tetapi semua ini bergantung pada keberanian mereka untuk
bertindak. Saat bertindak ini sudah pernah dihidangkan kepada kita waktu
terjadi 'konfrontasi' antara Indonesia Jawa dengan Malaysia. Tetapi kesempatan
itu telah tidak dipergunakan untuk bangun oleh bangsa kepulauan kita, karena
mereka masih belum mengerti apa yang terjadi atas diri mereka, mereka masih
belum memahami dalam proses politik apa mereka sekarang sudah terlibat dan
sebagian besar masih belum mengerti adanya kolonialisme jawa sama sekali. Tetapi kesempatan baru akan
selalu datang atau dapat kita adakan sendiri. Sayyidina Ali telah berkata, "untuk
tiap-tiap penindasan harus ada dua pihak: pihak yang menindas dan pihak yang
mau menerima penindasan itu". Dengan perkataan lain, penindasan atau
penjajahan dapat dihancurkan bila dilawan.
Sejarah bangun dan jatuhnya
kerajaan Austria-Hongaria akan memberi pelajaran dan teladan yang sangat
berguna kepada peninjau-peninjau kehidupan kolonialisme Jawa di kepulauan kita
dan tentang kepastian kehancuran kolonialisme Jawa ini. Kerajaan
Austria-Hongaria adalah satu kerajaan yang rakyatnya terdiri dari bangsa Eropa
Tengah yang ditaklukkan, seperti bangsa Cek, bangsa Solvak, bangsa Serbia,
bangsa Croatia, bangsa Polandia, dan lain-lain. Selama masa berdirinya kerajaan
ini selalu terlibat kedalam dua macam peperangan: peperangan dalam negeri, atau
peperangan dengan luar negeri. Oleh karena ia selalu terlibat dalam peperangan
maka, kerajaan ini akhirnya berubah sifatnya dan menjadi kerajaan militer
semata-mata. Peperangan dalam negeri disebabkan oleh pemberontakan yang tiada
berhenti-hentinya dari bangsa-bangsa tertindas yang mencoba mendapatkan
kemerdekaan mereka kembali; sedang peperangan dengan luar negeri ditimbulkan
oleh usaha raja-raja Austria-Hongaria untuk memalingkan perhatian rakyat kepada
musuh dari luar, untuk dapat memelihara keamanan dalam negeri. Untuk beberapa
waktu, kekuasaan raja-raja Austria-Hongaria telah dapat dipertahankan berkat
politik pecah-dan-jajah mereka, dengan mengirimkan pasukan-pasukan Cek untuk
menindas pemberontak-pemberontak Slovakia, mengirimkan batalyon-batalyon
Slovakia untuk menundukkan pemberontak-pemberontak Polandia dan demikianlah
seterusnya sama benar sebagai perbuatan kaum kolonialis Jawa mengirimkan
pasukan-pasukan Batak dan Minangkabau untuk menyerang Acheh dan mengirimkan
pasukan-pasukan Acheh menyerang Maluku, mengirimkan pasukan-pasukan Maluku
menyerang Bugis dan demikianlah setrusnya, suatu politik pecah-dan jajah yang
sudah begitu terkenal dan sudah menjadi kejadian sehari-hari bagi kita semua
yang hidup dalam tanah jajahan Indonesia-Jawa ini. Di akhir tahun 1914,
kerajaan Austria-Hongaria membuat kesalahan besar, yaitu melibatkan dirinya
dalam peperangan luar negeri pada saat yang salah, walau pun disebabkan oleh
pancingan yang besar, yaitu dibunuhnya Putera Austria-Hongaria oleh kaum
revolusioner di Sarajevo. Peperangan yang dimulai oleh Austria-Hongaria
terhadap Serbia yang kecil itu, telah menggoncangkan keseimbangan kekuasaan
antara negara-negara besar di Eropa yang membawa kepada campur tangan mereka
dalam perang kecil itu, yang akhirnya menimbulkan Perang Dunia ke-I. Bangsa
yang tertindas dibawah penjajahan Austria-Hongaria mengambil kesempatan itu
untuk menyatakan kemerdekaan mereka atas dasar Hak Menentukan Nasib
Diri-Sendiri dari segala bangsa. Demikianlah, atas runtuhan
kerajaan Austria-Hongaria timbullah beberapa negara: Cekoslovakia, Polandia,
Yugoslavia, Austria dan Hongaria. Tetapi bangsa kepulauan Melayu sama sekali
gagal untuk memepergunakan 'konfrontasi' antara Indonesia-Jawa dengan Malaysia
untuk mencapai kemerdekaan mereka masing-masing. Mereka hanya tidur panjang membuang
masa bertahun-tahun itu. Akibatnya mereka masih hidup di bawah telapak kaki si penjajah
Jawa sampai sekarang.
KAUM KOLONIALIS
JAWA TIDAK SANGGUP MEMBANGUN KEPULAUAN KITA
Oleh
karena Indonesia-Jawa selalu terlibat dalam peperangan, baik peperangan dalam
negeri yang mereka namakan 'pemberontakan', atau peperangan luar negeri yang
mereka namakan 'konfrontasi' sebagaimana sudah terjadi di masa lampau, maka
tidak pernah ada kesempatan untuk membangun guna kepentingan rakyat dan dalam
arti yang sebenar-benarnya, sebagaimana terbukti di masa yang sudah-sudah. Apa
yang mereka namakan 'pembangunan' sekarang, tidak lain dari perampokan
besar-besaran dari kekayaan Tanah Pusaka kita untuk kepentingan kaum kapitalis
Barat yang tidak ada gunanya sedikitpun kepada rakyat dari bangsa kepulauan
Melayu yang empunya kekayaan itu. Dalam masa 20 tahun yang lampau ini, kaum
kolonialis Jawa sudah berhasil merusak segala yang sudah ada lebih dahulu di
Tanah Ibu, kampung halaman kita. Mereka sudah merampok apa yang mereka dapat
ambil dengan tangan mereka di negeri kita dan mengangkut segala yang mereka
boleh bawa ke Jawa, Mereka sedang membangun negeri mereka sendiri, pulau Jawa,
dengan kekayaaan Acheh-Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, dan lain
sebgainya.
Sebenarnya
kaum kolonialis Jawa tidak mempunyai kecakapan untuk membangun kepulauan kita,
sebagaimana telah terbukti selama 20 tahun yang silam, terutama sekali
disebabkan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, suasana yang tidak
berketentuan, ketidak-adilan, korupsi, penindasan, inflasi, birokrasi, dan
peperangan yang yang terus-menerus, yang kesemuanya adalah pertanda atau
'trademark' dari Indonesia-Jawa tidaklah memungkinkan pembangunan, kemajuan dan
peradaban (civillization). Di bawah 'pimpinan' kaum kolonialis Jawa kita
akan dipaksa kembali ke zaman jahiliyah, ke zaman kegelapan, ke zaman siksaan
dan ke zaman larangan membaca dan pembakaran kitab-kitab dan buku-buku. Kedua,
kepentingan bangsa Jawa sebagai satu bangsa adalah berlainan sekali dengan kepentingan
kita bangsa Acheh-Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan lain-lain.
Perbedaan kepentingan nasional antara kita dengan orang Jawa itu begitu besar
sehingga, kalau kita tidak bodoh sebenarnya kita tidak akan membolehkannya
mereka menentukan bagaimana rumah tangga kita dan ekonomi kita diatur.
Perbedaan antara kepentingan nasional mereka dan antara persoalan hidup mereka
dengan persoalan hidup dan kepentingan bangsa kita adalah begitu besar, hingga
kita tidak dapat mengharapkan mereka untuk menjelaskan persoalan itu untuk
kita. Sesungguhnya kita tidak ada alasan untuk berada dalam satu negara
nasional dengan mereka, lain halnya dalam satu negara Islam yang tidak
berdasarkan nasionalisme.
Sebagai
contoh, marilah kita perbincangkan satu persoalan penghidupan yang paling
penting bagi orang Jawa sekarang ini, yaitu perkara 'kelebihan' dan kepadatan
penduduk. Oleh karena persoalan ini, maka kebutuhan orang Jawa yang terpenting
sekarang ini ialah persoalan pembagian tanah. Tetapi untuk kita di Acéh-Sumatra,
Sulawesi, Kalimantan, Maluku dan lain-lain ini adalah soal yang paling kecil,
bahkan bukan satu persoalan yang perlu kita bicarakan dalam abad ini. Tetapi
oleh karena kita hidup dalam satu negara di bawah genggaman orang Jawa, maka
kepentingan kita sudah diletakkan di bawah kepentingan mereka, hak-hak kita
sudah dikorbankan untuk kesenangan mereka: karena orang Jawa memerlukan tanah,
maka Tanah Pusaka kita –bukan tanah
mereka– di Acheh-Sumatra, Sulawesi,
kalimantan, Maluku dan lain-lain yang mereka rampas untuk dibagi-bagikan kepada
orang-orang Jawa. Ini adalah satu perampokan secara besar-besaran. Tak ada
suatu bangsapun di dunia ini, baik di Timur maupun di Barat, yang akan menerima
perkosaan hak mereka dengan tidak memberi perlawanan. Tetapi sesuatu
ketidak-adilan selamanya membawa kepada seribu-satu ketidak-adilan yang jauh
lebih besar lagi. Demikianlah halnya dengan 'peraturan' pembagian tanah yang
dipaksakan ke atas kita atas nama 'kepentingan nasioanal' –sebenarnya kepentingan Jawa– mengandung bibit-bibit ketidak-adilan dan bahaya yang
semakin lebih besar lagi terhadap hak-hak kita, terhadap kehidupan kita di masa
sekarang dan terhadap kehidupan keturunan kita di masa mendatang, oleh karena
'peraturan' pembagian tanah itu dalam kenyataan berarti perampasan Tanah Pusaka
kita dan penyerahannya kepada orang-orang Jawa yang didatangkan ke tengah-tengah
kita dengan jumlah yang tidak terbatas, dengan tidak menhiraukan kepentingan
ekonomi kita bangsa asli yang berhak. Mereka yang dipindahkan ini di masa yang
sudah-sudah, merupakan alat penjajahan Jawa yang paling berbahaya dan mereka
akan lebih berbahaya lagi bagi kita di masa yang akan datang. Sampai-sampai kepada
perasaan kemanusiaan kita diperas habis-habisan untuk membuat kita membiarkan
keturunan kita hilang haknya atas Tanah Pusaka dari nenek-moyangnya.
Untuk
mencegah agar kita jangan sampai melupakan arti dan akibat politik daripada
menerima orang-orang pengungsi –transmigrants Jawa– secara tidak terbatas di negeri
kita (kita tidak keberatan menerima mereka secara terbatas) di bawah ini kita
salin beberapa peringatan dari Niccolo Machiavelli, ahli negara Italia yang
kenamaan itu dalam bukunya Il Princep, yang ditulisnya 400 tahun yang silam,
untuk menginsafkan kita kepada tipu-muslihat penjajah-penjajah besar di zaman
yang silam telah menggunakan pemindahan penduduk sebagai tipu-muslihat untuk
menjajah bangsa-bangsa lain: "Satu jalan yang mudah untuk menjajah
ialah dengan mengirim pengungsi atau melakukan pemindahan penduduk ke beberapa
tempat supaya mereka itu menjadi kunci untuk menguasai sesuatu daerah; inilah
yang harus dilakukan atau kalau tidak, maka haruslah dikirim tentara dan
pasukan-pasukan bersenjata. Penjajahan tidaklah perlu melakukan pengeluaran uang
yang banyak untuk keperluan orang-orang yang dipindahkan itu. Pengungsi-pengungsi itu
dapat dikirim keluar dengan percuma atau dengan biaya yang sedikit sekali bagi
penjajah. Mereka yang tidak senang kepada pengungsi-pengungsi itu hanyalah
penduduk-penduduk asli yang tanah dan rumah mereka telah diambil untuk
diberikan kepada pengungsi-pengungsi baru itu. Tetapi oleh orang-orang yang hak
mereka sudah dilanggar dan hati mereka sudah disakiti itu, mereka hanya
merupakan golongan penduduk yang kecil jumlahnya. Dan karena mereka itu
bercerai-berai dan miskin, maka mereka tidaklah membahyakan. Sedang golongan
lain yang dibiarkan sendiri dan tidak diganggu, dengan sendirinya mudah
didiamkan dan merekapun tidak berani membuat salah, karena mereka takut akan
mengalami nasib sebagai jiran mereka yang sudah kita rampas harta-benda dan
tanahnya. Pendeknya pemindahan penduduk ini biayanya lebih murah dari biaya
tentara; mereka lebih setia dari tentara dan mereka mendapat perlawanan yang
jauh lebih kurang dari orang setempat. Sedang penduduk asli yang sudah
disakiti, dirampas harta-benda dan tanahnya, oleh karena mereka itu
bercerai-berai dan miskin, mereka tidaklah berdaya untuk melawan si penjajah.
"Tetapi jika tentara
yang dikirim dan bukan pengungsi, biayanya akan besar sekali dan segala hasil
dari pajak dan kekayaan negeri itu akan habis dipakai untuk mengawalnya,
sehingga apa yang semestinya laba manjadi rugi. Juga penggunaan tentara akan
lebih menyakitakan hati penduduk asli, karena perpindahan tentara dari satu
tempat ke tempat yang lain menyusahkan seluruh penduduk dan karena semua mereka
merasa kesusahan dan penindasan, semuanya akan menjadi musuh………
"Oleh karena itu,
ditilik dari segala sudut, maka cara menjajah dan mempertahankan penjajahan itu
dengan pemindahan penduduk adalah jauh lebih menguntungkan dari pada dengan
memakai tentara. Kerajaan Roma telah menjalankan politik penjajahan dengan
pemindahan penduduk ini terhadap daerah-daerah yang mereka kuasai dengan cermat
sekali. Mereka mendirikan daerah-daerah kolonisasi dan daerah-daerah pemindahan
penduduk dan di lain pihak mereka membujuk bangsa yang lemah untuk lebih
melemahkan mereka itu lagi.."
Alasan ketiga, mengapa kaum kolonialis Jawa tidak mempunyai kecakapan dan
kesanggupan untuk membangun kepulauan kita ialah karena cara mereka itu
berfikir yang sangat fanatik kepada sistem ekonomi paksaan atau totaliter,
sudah terang tidak akan berhasil sebagaimana telah terbukti selama masa satu
keturunan ini dan tidak akan berhasil di masa yang akan datang, oleh karena
sebab-sebab sebagai berikut:
(a) Kebutuhan-kebutuhan hidup dan
tujuan-tujuan ekonomi dari berbagai bangsa yang berjumlah lebih 120 juta
manusia yang berserak-serak di atas permukaan bumi sepanjang 5000 kilometer di sekitar
Khattulistiwa yang satu bagiannya terpisah dan tidak mempunyai hubungan apa-apa
dengan bagian lainnya dan terdiri dari bangsa yang berlainan, yang
masing-masing mempunyai masalah ekonominya sendiri-sendiri, yang berbeda dengan
yang lain-lain, kepentingan ekonomi daripada bangsa yang terpisah dan sebanyak
ini tidak mungkin dapat direncanakan apalagi dikendalikan dari satu 'pusat' di luar
negeri-negeri itu sendiri dan oleh suatu bangsa asing, apalagi yang kepentingan
nasionalnya bertentangan dengan kepentingan bangsa yang bersangkutan ini!
Rencana pembangunan ekonomi bagi bangsa-bangsa dan negeri-negeri yang bersifat
seperti ini, yakni sifat dan kenyataan kebenua-an, hanya bisa dilakukan
sendiri-sendiri oleh bangsa dan di negeri-negeri yang bersangkutan itu sendiri.
Dalam keadaan yang sekarang satu-satu perkara yang dapat direncanakan lebih
dahulu dan yang dapat diketahui dengan pasti hanyalah kebutuhan-kebutuhan
militer saja: oleh karena itu, maka rencana 'pembangunan ekonomi' dari sesuatu
bangsa dan sesuatu negara yang semacam ini, seperti halnya dengan
Indonesia-Jawa, di alam kenyataan telah menjadi pembangunan kemiliteran,
sebagaimana yang memang sudah terjadi dan sudah merupakan satu kenyataan.
'Pembangunan' Indonesia-Jawa ini telah melahirkan militerisme di negeri-negeri
kita ini dan bukan kemakmuran rakyat bersama.
(b). Rencana pembangunan ekonomi
yang berhasil untuk sesuatu daerah yang sangat luas dan sesuatu penduduk yang
sangat banyak, menghendaki penentuan yang mutlak tentang tujuan ekonomi
nasional (national economic objectives) yang mana diambil dari
pengertian yang tegas-tegas tentang apa yang dimaksud dengan kepentingan
nasional (national interest). Oleh karena kepentingan nasional
(kebangsaan) dan karenanya kepentingan ekonomi bangsa Jawa begitu bertentangan
dengan kepentingan kebangsaan dan ekonomi kita bangsa Acheh-Sumatra, Sulawesi,
Kalimantan, Maluku, Papua dan sebagainya. Ini berarti bahwa bangsa yang bukan
Jawa akan mesti menunggu perbaikan ekonomi mereka sampai sesudah orang Jawa,
bangsa 'penguasa' atau 'bangsa tuan-tuan' sudah selesai diperbaiki kehidupan
ekonomi mereka lebih dahulu atas biaya dari bangsa lain itu. Dalam lapangan
ekonomi dan politik, ini adalah harapan-harapan yang tidak dapat diwujudkan
sama sekali.
(c). Oleh karena segala rencana
pembangunan ekonomi negara sekali sudah ditetapkan mestilah dijalankan, kalau
perlu memakai alat-alat kekuasaan negara, maka pelaksanaan rencana pembangunan
ekonomi Jawa, (Inilah hakikat dari 'pembangunan' Indonesia-Jawa) di kepulauan
kita, berarti pemakaian alat kekuasaan negara Indonesia-Jawa untuk menguasai
segala sumber kekayaan alam seluruh kepulauan kita untuk kepentingan golongan
kolonialis Jawa.
(d) Rencana pembangunan ekonomi
totaliter menghendaki segala kegiatan ekonomi pemerintah dan bukan dengan
kemauan atau keinginan golongan rakyat. Segala kegiatan ekonomi yang tidak
sesuai dengan rencana pemerintah mestilah dikontrol atau dilarang. Karena itu
maka rencana ekonomi totaliter selalu disertai oleh pemakaian kekerasan secara
besar-besaran, yang mana berarti pemerintahan sewenang-wenang dan kediktatoran.
Sekali lagi 'pembangunan' dipakai sebagai topèng untuk membenarkan penguasaan
si penjajah Jawa atas segala sumber ekonomi kepulauan kita untuk kepentingan
mereka.
(e) Dasar dan landasan tiap-tiap
ekonomi berencana ialah tata-usaha yang rapi dan cermat. Syarat inilah yang
tidak dapat dipenuhi oleh kaum kolonialis Jawa. Orang Jawa masih belum
mempunyai kecakapan untuk menyusun rencana ekonomi yang benar-benar dan mereka
belum mepunyai disiplin untuk menjalankan tata-usaha yang rapi. Apa yang mereka
pegang menjadi korupsi! Rencana-rencana ekonomi mereka yang selalu lebih
mementingkan kepentingan bangsa Jawa dan pulau Jawa sudah pasti akan mendapat
tentangan, secara terang-terangan atau diam-diam dari bangsa yang bukan Jawa.
Kaum kolonialis Jawa masih masuk golongan bangsa yang masih terkebelakang, yang
belum sanggup memecahkan masaalah-masaalah ekonomi dan politik mereka sendiri:
tetapi sekarang mereka mau 'memimpin' kita! Perbuatan mereka meruntuhkan segala
apa yang baik atas persada Tanah Pusaka kita selama 20 tahun yang lewat ini
sudah lebih dari cukup untuk membuktikan ketiadaan kesanggupan mereka dalam hal
ini. 'Pembangunan' yang mereka gembar-gemburkan itu hanya untuk memperkaya
beberapa jendral jawa dan beberapa China kaki-tangan mereka, sedang rakyat yang
terbanyak semakin menderita. Mata uang Indonesia-Jawa, Rupiah, yang sepatutnya
menjadi simbol dari kesehatan ekonomi dan prestige (kehormatan) Indonesia-Jawa,
masih belum mepunyai prestige dan tidak laku di dunia!
(f) Akhirnya, 'Rencana Pembangunan
Ekonomi Indonesia-Jawa' berarti penguasaan dari satu pusat, dari pulau Jawa,
atas ekonomi semua bangsa kepulauan Melayu ini. Kaum kolonialis Jawa telah
mencoba memakai nama 'pembangunan' untuk menutup penjajahan mereka.
'Pembangunan' Ekonomi Berencana membenarkan penguasaan dari satu pusat dan
penguasaan dari satu pusat ini meletakkan segala kekayaan bangsa Dunia Melayu –tiga
perempat dari Asia Tenggara– dalam jangkauan kaum kolonialis Jawa. Belanda
memakai waktu 350 tahun untuk membunuh, merampok dan menyerang bangsa Dunia
Melayu ini untuk dipaksakan mereka tunduk kedalam wilayah Hindia Belanda alias
'Indonesia', tetapi kaum kolonialis Jawa telah memperolehnya dari Belanda hanya
dengan satu-tanda tangan di atas secarik kertas pada 27 Desember, 1949. Menurut
Hukum Internasional, 'penyerahan kedaulatan' dari Belanda kepada Indonesia-Jawa
(RIS) itu tidak sah, sebab Belanda tidak mempunyai 'daulat' atas
wilayah-wilayah itu dan Belanda wajib mengembalikan setiap wilayah kepada
bangsa aslinya masing-masing dari siapa wilayah-wilayah itu sudah dirampasnya
dahulu dengan perang kolonial. Apa yang selama ini disebut-sebut sebagai
'pembangunan' sebenarnya tidak lain dari pada satu tabir lagi untuk
menutup-nutup kolonialisme Jawa atas Dunia Melayu.
Sekarang, jelaslah sudah bahwa
jalan Indonesia-Jawa, dilihat dari sudut manapun juga, telah dan bakal
terus-menerus meyeret Dunia Melayu kedalam kancah penindasan, korupsi,
ketidak-adilan, kekejaman, kediktatoran, peperangan dan keruntuhan. (Tambahan:
sesudah Suharto merampas kuasa (1965) nama-nama atau merek 'komunisme' dan
'sosialisme' sudah ditukar menjadi 'anti komunisme' dan 'anti-sosialisme'
tetapi dalam kenyataan dasar-dasar komunisme dan sosialisme yang terpenting
sekali –yang menguntungkan bangsa Jawa– yaitu
penguasaan dan pemilikan oleh negara kolonialis Jawa atas segala sumber
kekayaan tanah kita bangsa yang bukan Jawa tetap dijalankannya, bahkan lebih
diperkeras lagi dari masa jayanya PKI. Dan di bawah Suharto kaum kolonialis
Jawa semakin lebih merajalela lagi.



