Notification

×

Iklan

Iklan

Sifat Kolonialisme Jawa Dan Sifat Indonesia-Jawa

Selasa, 21 Oktober 2025 | Oktober 21, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-21T13:40:44Z


 

Adalah satu pelajaran sejarah bahwa, negara seperti Indonesia-Jawa dimana beberapa bangsa berada di bawah penindasan satu bangsa tertentu, negara yang demikian itu selalu terlibat dalam dua macam peperangan: peperangan dalam negeri atau peperangan dengan luar negeri. Peperangan dalam negeri disebabkan oleh perlawanan dari bangsa yang tertindas dan terjajah yang akan selalu memperjuangkan kemerdekaan mereka dari sipenjajah, tepat sebagaimana apa yang telah telah terjadi terus-menerus di kepulauan kita: di Acheh-Sumatera, Sulawesi, kalimantan, maluku, Papua Barat dan lain-lain selama lebih 10 tahun ini. Peperangan dengan luar negeri, disebabkan oleh usaha-usaha golongan yang memerintah untuk memindahkan perhatian rakyat dari kesusahan dan kesukaran hidup kepada musuh dari luar, karena sesudah terjadi pemberontakan-pemberontakan keadaan menjadi sedemikian rupa, sehingga lebih mudah untuk memelihara keamanan dalam negeri kalau golongan yang memerintah dapat menakut-nakutkan rakyat dengan adanya ‘serangan’ atau ‘bahaya’ dari luar. Apalagi kalau dapat dicari satu negara tetangga yang kecil yang dapat dijadikan sa  saran yang tidak begitu berbahaya. Satu contoh yang menyolok mata dari politik ini ialah ‘konfrontasi’-nya Indonesia-Jawa terhadap Malaysia baru-baru ini. Tetapi taktik jahat ini tidak akan selalu dapat dikendalikan karena sedikit saja terjadi kesalahan perhitungan dapat membawa negara penyerang –inilah sifat yang tak dapat dielakkan lagi oleh  Indonesia-Jawa– kepada pintu gerbang kehancurannya. Sesuatu peperangan dengan negara luar, walau pun dilakukan oleh Indonesia-Jawa, berati melibatkan diri dan bermain-main dengan keseimbangan politik dunia, dengan segala akibatnya yang berbahaya. Walau pun kekuatan militer Indonesia-Jawa lebih besar dibandingkan dengan keukuatan militer Malaysia, tetapi kekuatan militer semua negara dalam sesuatu peperangan dengan negara lain adalah adalah relative, artinya lebih-kurang bergantung kepada beberapa perkara yang lain. Kekuatan militer sesuatu negara tidaklah mempunyai arti apa-apa kecuali bila dibandingkan dengan kekuatan militer negara yang hendak diserangnya ditambah dengan kekuatan militer negara-negara sekutu dari negara yang hendak diserangnya itu. Karena itu, untuk dapat "mengganyang" Malaysia, 



Sukarno memerlukan kekuatan yang lebih besar dari kekuatan militer negara-negara sekutu dari Malaysia, yaitu Australia, New Zealand dan Inggris. Teranglah sudah bahwa Sukarno tidak akan pernah dapat mengatasi ini. Sebab itulah maka akhir daripada 'konfrontasi' Indonesia-Jawa terhadap Malaysia sudah dapat diterka dari semula. Tetapi satu peperangan gerilya kecil-kecil di perbatasan Serawak dan Sabah mungkin ada gunanya bagi Sukarno atau Suharto sekedar untuk memalingkan perhatian rakyat yang melarat di dalam negeri kepada 'musuh-musuh' dari luar yang tentunya akan dipersalahkan oleh kolonialis Jawa sebagai yang bertanggung jawab atas kebrobrokan ekonomi dalam negeri Indonesia-Jawa, walau pun sebenarnya segala kebrobrokan itu adalah buah-tangan kaum kolonialis Jawa sendiri. Demikian juga dengan adanya peperangan di perbatasan dengan Malaya ini, Sukarno dan kaum kolonialis Jawa yang lain mengharapkan agar dengan demikian maka, peperangan dalam negeri yang sebenarnya lebih berbahaya bagi mereka dapat dielakkan.

 

Kaum kolonialis Jawa dewasa ini sudah sampai pada taraf kedudukan kaum penjajah yang sulit, oleh karena perkembangan sosial dan politik, mereka akan selalu mesti memilih salah satu di antara dua perkara yang berbahaya ini: menghadapi peperangan dalam negeri atau menghadapi peperangan dengan luar negeri. Kalau pada suatu ketika kedua macam peperangan ini akan terjadi pada waktu yang sama dan serentak, maka hari itu akan merupakan hari berakhirnya dan musnahnya kolonialisme Jawa di kepulauan kita dan hari tibanya kemerdekaan yang sejati bagi bangsa Acheh-Sumatra, Sulawesi, Maluku, Kalimantan, Papua, Bali, Sunda, dan lain-lain ketika kedaulatan atas negara-negara mereka akan kembali ke tangan mereka sendiri. Tetapi semua ini bergantung pada keberanian mereka untuk bertindak. Saat bertindak ini sudah pernah dihidangkan kepada kita waktu terjadi 'konfrontasi' antara Indonesia Jawa dengan Malaysia. Tetapi kesempatan itu telah tidak dipergunakan untuk bangun oleh bangsa kepulauan kita, karena mereka masih belum mengerti apa yang terjadi atas diri mereka, mereka masih belum memahami dalam proses politik apa mereka sekarang sudah terlibat dan sebagian besar masih belum mengerti adanya kolonialisme jawa sama sekali. Tetapi kesempatan baru akan selalu datang atau dapat kita adakan sendiri. Sayyidina Ali telah berkata, "untuk tiap-tiap penindasan harus ada dua pihak: pihak yang menindas dan pihak yang mau menerima penindasan itu". Dengan perkataan lain, penindasan atau penjajahan dapat dihancurkan bila dilawan.

 

Sejarah bangun dan jatuhnya kerajaan Austria-Hongaria akan memberi pelajaran dan teladan yang sangat berguna kepada peninjau-peninjau kehidupan kolonialisme Jawa di kepulauan kita dan tentang kepastian kehancuran kolonialisme Jawa ini. Kerajaan Austria-Hongaria adalah satu kerajaan yang rakyatnya terdiri dari bangsa Eropa Tengah yang ditaklukkan, seperti bangsa Cek, bangsa Solvak, bangsa Serbia, bangsa Croatia, bangsa Polandia, dan lain-lain. Selama masa berdirinya kerajaan ini selalu terlibat kedalam dua macam peperangan: peperangan dalam negeri, atau peperangan dengan luar negeri. Oleh karena ia selalu terlibat dalam peperangan maka, kerajaan ini akhirnya berubah sifatnya dan menjadi kerajaan militer semata-mata. Peperangan dalam negeri disebabkan oleh pemberontakan yang tiada berhenti-hentinya dari bangsa-bangsa tertindas yang mencoba mendapatkan kemerdekaan mereka kembali; sedang peperangan dengan luar negeri ditimbulkan oleh usaha raja-raja Austria-Hongaria untuk memalingkan perhatian rakyat kepada musuh dari luar, untuk dapat memelihara keamanan dalam negeri. Untuk beberapa waktu, kekuasaan raja-raja Austria-Hongaria telah dapat dipertahankan berkat politik pecah-dan-jajah mereka, dengan mengirimkan pasukan-pasukan Cek untuk menindas pemberontak-pemberontak Slovakia, mengirimkan batalyon-batalyon Slovakia untuk menundukkan pemberontak-pemberontak Polandia dan demikianlah seterusnya sama benar sebagai perbuatan kaum kolonialis Jawa mengirimkan pasukan-pasukan Batak dan Minangkabau untuk menyerang Acheh dan mengirimkan pasukan-pasukan Acheh menyerang Maluku, mengirimkan pasukan-pasukan Maluku menyerang Bugis dan demikianlah setrusnya, suatu politik pecah-dan jajah yang sudah begitu terkenal dan sudah menjadi kejadian sehari-hari bagi kita semua yang hidup dalam tanah jajahan Indonesia-Jawa ini. Di akhir tahun 1914, kerajaan Austria-Hongaria membuat kesalahan besar, yaitu melibatkan dirinya dalam peperangan luar negeri pada saat yang salah, walau pun disebabkan oleh pancingan yang besar, yaitu dibunuhnya Putera Austria-Hongaria oleh kaum revolusioner di Sarajevo. Peperangan yang dimulai oleh Austria-Hongaria terhadap Serbia yang kecil itu, telah menggoncangkan keseimbangan kekuasaan antara negara-negara besar di Eropa yang membawa kepada campur tangan mereka dalam perang kecil itu, yang akhirnya menimbulkan Perang Dunia ke-I. Bangsa yang tertindas dibawah penjajahan Austria-Hongaria mengambil kesempatan itu untuk menyatakan kemerdekaan mereka atas dasar Hak Menentukan Nasib Diri-Sendiri dari segala bangsa. Demikianlah, atas runtuhan kerajaan Austria-Hongaria timbullah beberapa negara: Cekoslovakia, Polandia, Yugoslavia, Austria dan Hongaria. Tetapi bangsa kepulauan Melayu sama sekali gagal untuk memepergunakan 'konfrontasi' antara Indonesia-Jawa dengan Malaysia untuk mencapai kemerdekaan mereka masing-masing. Mereka hanya tidur panjang membuang masa bertahun-tahun itu. Akibatnya mereka masih hidup di bawah telapak kaki si penjajah Jawa sampai sekarang.

 

KAUM KOLONIALIS JAWA TIDAK SANGGUP MEMBANGUN KEPULAUAN KITA

 

Oleh karena Indonesia-Jawa selalu terlibat dalam peperangan, baik peperangan dalam negeri yang mereka namakan 'pemberontakan', atau peperangan luar negeri yang mereka namakan 'konfrontasi' sebagaimana sudah terjadi di masa lampau, maka tidak pernah ada kesempatan untuk membangun guna kepentingan rakyat dan dalam arti yang sebenar-benarnya, sebagaimana terbukti di masa yang sudah-sudah. Apa yang mereka namakan 'pembangunan' sekarang, tidak lain dari perampokan besar-besaran dari kekayaan Tanah Pusaka kita untuk kepentingan kaum kapitalis Barat yang tidak ada gunanya sedikitpun kepada rakyat dari bangsa kepulauan Melayu yang empunya kekayaan itu. Dalam masa 20 tahun yang lampau ini, kaum kolonialis Jawa sudah berhasil merusak segala yang sudah ada lebih dahulu di Tanah Ibu, kampung halaman kita. Mereka sudah merampok apa yang mereka dapat ambil dengan tangan mereka di negeri kita dan mengangkut segala yang mereka boleh bawa ke Jawa, Mereka sedang membangun negeri mereka sendiri, pulau Jawa, dengan kekayaaan Acheh-Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, dan lain sebgainya.

 

Sebenarnya kaum kolonialis Jawa tidak mempunyai kecakapan untuk membangun kepulauan kita, sebagaimana telah terbukti selama 20 tahun yang silam, terutama sekali disebabkan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, suasana yang tidak berketentuan, ketidak-adilan, korupsi, penindasan, inflasi, birokrasi, dan peperangan yang yang terus-menerus, yang kesemuanya adalah pertanda atau 'trademark' dari Indonesia-Jawa tidaklah memungkinkan pembangunan, kemajuan dan peradaban (civillization). Di bawah 'pimpinan' kaum kolonialis Jawa kita akan dipaksa kembali ke zaman jahiliyah, ke zaman kegelapan, ke zaman siksaan dan ke zaman larangan membaca dan pembakaran kitab-kitab dan buku-buku.  Kedua, kepentingan bangsa Jawa sebagai satu bangsa adalah berlainan sekali dengan kepentingan kita bangsa Acheh-Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan lain-lain. Perbedaan kepentingan nasional antara kita dengan orang Jawa itu begitu besar sehingga, kalau kita tidak bodoh sebenarnya kita tidak akan membolehkannya mereka menentukan bagaimana rumah tangga kita dan ekonomi kita diatur. Perbedaan antara kepentingan nasional mereka dan antara persoalan hidup mereka dengan persoalan hidup dan kepentingan bangsa kita adalah begitu besar, hingga kita tidak dapat mengharapkan mereka untuk menjelaskan persoalan itu untuk kita. Sesungguhnya kita tidak ada alasan untuk berada dalam satu negara nasional dengan mereka, lain halnya dalam satu negara Islam yang tidak berdasarkan nasionalisme.

 

Sebagai contoh, marilah kita perbincangkan satu persoalan penghidupan yang paling penting bagi orang Jawa sekarang ini, yaitu perkara 'kelebihan' dan kepadatan penduduk. Oleh karena persoalan ini, maka kebutuhan orang Jawa yang terpenting sekarang ini ialah persoalan pembagian tanah. Tetapi untuk kita di Acéh-Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Maluku dan lain-lain ini adalah soal yang paling kecil, bahkan bukan satu persoalan yang perlu kita bicarakan dalam abad ini. Tetapi oleh karena kita hidup dalam satu negara di bawah genggaman orang Jawa, maka kepentingan kita sudah diletakkan di bawah kepentingan mereka, hak-hak kita sudah dikorbankan untuk kesenangan mereka: karena orang Jawa memerlukan tanah, maka Tanah Pusaka kita –bukan  tanah mereka– di  Acheh-Sumatra, Sulawesi, kalimantan, Maluku dan lain-lain yang mereka rampas untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang Jawa. Ini adalah satu perampokan secara besar-besaran. Tak ada suatu bangsapun di dunia ini, baik di Timur maupun di Barat, yang akan menerima perkosaan hak mereka dengan tidak memberi perlawanan. Tetapi sesuatu ketidak-adilan selamanya membawa kepada seribu-satu ketidak-adilan yang jauh lebih besar lagi. Demikianlah halnya dengan 'peraturan' pembagian tanah yang dipaksakan ke atas kita atas nama 'kepentingan nasioanal' –sebenarnya  kepentingan Jawa– mengandung  bibit-bibit ketidak-adilan dan bahaya yang semakin lebih besar lagi terhadap hak-hak kita, terhadap kehidupan kita di masa sekarang dan terhadap kehidupan keturunan kita di masa mendatang, oleh karena 'peraturan' pembagian tanah itu dalam kenyataan berarti perampasan Tanah Pusaka kita dan penyerahannya kepada orang-orang Jawa yang didatangkan ke tengah-tengah kita dengan jumlah yang tidak terbatas, dengan tidak menhiraukan kepentingan ekonomi kita bangsa asli yang berhak. Mereka yang dipindahkan ini di masa yang sudah-sudah, merupakan alat penjajahan Jawa yang paling berbahaya dan mereka akan lebih berbahaya lagi bagi kita di masa yang akan datang. Sampai-sampai kepada perasaan kemanusiaan kita diperas habis-habisan untuk membuat kita membiarkan keturunan kita hilang haknya atas Tanah Pusaka dari nenek-moyangnya.

 

Untuk mencegah agar kita jangan sampai melupakan arti dan akibat politik daripada menerima orang-orang pengungsi –transmigrants Jawa– secara tidak terbatas di negeri kita (kita tidak keberatan menerima mereka secara terbatas) di bawah ini kita salin beberapa peringatan dari Niccolo Machiavelli, ahli negara Italia yang kenamaan itu dalam bukunya Il Princep, yang ditulisnya 400 tahun yang silam, untuk menginsafkan kita kepada tipu-muslihat penjajah-penjajah besar di zaman yang silam telah menggunakan pemindahan penduduk sebagai tipu-muslihat untuk menjajah bangsa-bangsa lain: "Satu jalan yang mudah untuk menjajah ialah dengan mengirim pengungsi atau melakukan pemindahan penduduk ke beberapa tempat supaya mereka itu menjadi kunci untuk menguasai sesuatu daerah; inilah yang harus dilakukan atau kalau tidak, maka haruslah dikirim tentara dan pasukan-pasukan bersenjata. Penjajahan tidaklah perlu melakukan pengeluaran uang yang banyak untuk keperluan orang-orang yang dipindahkan itu. Pengungsi-pengungsi itu dapat dikirim keluar dengan percuma atau dengan biaya yang sedikit sekali bagi penjajah. Mereka yang tidak senang kepada pengungsi-pengungsi itu hanyalah penduduk-penduduk asli yang tanah dan rumah mereka telah diambil untuk diberikan kepada pengungsi-pengungsi baru itu. Tetapi oleh orang-orang yang hak mereka sudah dilanggar dan hati mereka sudah disakiti itu, mereka hanya merupakan golongan penduduk yang kecil jumlahnya. Dan karena mereka itu bercerai-berai dan miskin, maka mereka tidaklah membahyakan. Sedang golongan lain yang dibiarkan sendiri dan tidak diganggu, dengan sendirinya mudah didiamkan dan merekapun tidak berani membuat salah, karena mereka takut akan mengalami nasib sebagai jiran mereka yang sudah kita rampas harta-benda dan tanahnya. Pendeknya pemindahan penduduk ini biayanya lebih murah dari biaya tentara; mereka lebih setia dari tentara dan mereka mendapat perlawanan yang jauh lebih kurang dari orang setempat. Sedang penduduk asli yang sudah disakiti, dirampas harta-benda dan tanahnya, oleh karena mereka itu bercerai-berai dan miskin, mereka tidaklah berdaya untuk melawan si penjajah.

 

"Tetapi jika tentara yang dikirim dan bukan pengungsi, biayanya akan besar sekali dan segala hasil dari pajak dan kekayaan negeri itu akan habis dipakai untuk mengawalnya, sehingga apa yang semestinya laba manjadi rugi. Juga penggunaan tentara akan lebih menyakitakan hati penduduk asli, karena perpindahan tentara dari satu tempat ke tempat yang lain menyusahkan seluruh penduduk dan karena semua mereka merasa kesusahan dan penindasan, semuanya akan menjadi musuh………

 

"Oleh karena itu, ditilik dari segala sudut, maka cara menjajah dan mempertahankan penjajahan itu dengan pemindahan penduduk adalah jauh lebih menguntungkan dari pada dengan memakai tentara. Kerajaan Roma telah menjalankan politik penjajahan dengan pemindahan penduduk ini terhadap daerah-daerah yang mereka kuasai dengan cermat sekali. Mereka mendirikan daerah-daerah kolonisasi dan daerah-daerah pemindahan penduduk dan di lain pihak mereka membujuk bangsa yang lemah untuk lebih melemahkan mereka itu lagi.."

 

Alasan ketiga, mengapa kaum kolonialis Jawa tidak mempunyai kecakapan dan kesanggupan untuk membangun kepulauan kita ialah karena cara mereka itu berfikir yang sangat fanatik kepada sistem ekonomi paksaan atau totaliter, sudah terang tidak akan berhasil sebagaimana telah terbukti selama masa satu keturunan ini dan tidak akan berhasil di masa yang akan datang, oleh karena sebab-sebab sebagai berikut:

 

(a) Kebutuhan-kebutuhan hidup dan tujuan-tujuan ekonomi dari berbagai bangsa yang berjumlah lebih 120 juta manusia yang berserak-serak di atas permukaan bumi sepanjang 5000 kilometer di sekitar Khattulistiwa yang satu bagiannya terpisah dan tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan bagian lainnya dan terdiri dari bangsa yang berlainan, yang masing-masing mempunyai masalah ekonominya sendiri-sendiri, yang berbeda dengan yang lain-lain, kepentingan ekonomi daripada bangsa yang terpisah dan sebanyak ini tidak mungkin dapat direncanakan apalagi dikendalikan dari satu 'pusat' di luar negeri-negeri itu sendiri dan oleh suatu bangsa asing, apalagi yang kepentingan nasionalnya bertentangan dengan kepentingan bangsa yang bersangkutan ini! Rencana pembangunan ekonomi bagi bangsa-bangsa dan negeri-negeri yang bersifat seperti ini, yakni sifat dan kenyataan kebenua-an, hanya bisa dilakukan sendiri-sendiri oleh bangsa dan di negeri-negeri yang bersangkutan itu sendiri. Dalam keadaan yang sekarang satu-satu perkara yang dapat direncanakan lebih dahulu dan yang dapat diketahui dengan pasti hanyalah kebutuhan-kebutuhan militer saja: oleh karena itu, maka rencana 'pembangunan ekonomi' dari sesuatu bangsa dan sesuatu negara yang semacam ini, seperti halnya dengan Indonesia-Jawa, di alam kenyataan telah menjadi pembangunan kemiliteran, sebagaimana yang memang sudah terjadi dan sudah merupakan satu kenyataan. 'Pembangunan' Indonesia-Jawa ini telah melahirkan militerisme di negeri-negeri kita ini dan bukan kemakmuran rakyat bersama.


(b). Rencana pembangunan ekonomi yang berhasil untuk sesuatu daerah yang sangat luas dan sesuatu penduduk yang sangat banyak, menghendaki penentuan yang mutlak tentang tujuan ekonomi nasional (national economic objectives) yang mana diambil dari pengertian yang tegas-tegas tentang apa yang dimaksud dengan kepentingan nasional (national interest). Oleh karena kepentingan nasional (kebangsaan) dan karenanya kepentingan ekonomi bangsa Jawa begitu bertentangan dengan kepentingan kebangsaan dan ekonomi kita bangsa Acheh-Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Papua dan sebagainya. Ini berarti bahwa bangsa yang bukan Jawa akan mesti menunggu perbaikan ekonomi mereka sampai sesudah orang Jawa, bangsa 'penguasa' atau 'bangsa tuan-tuan' sudah selesai diperbaiki kehidupan ekonomi mereka lebih dahulu atas biaya dari bangsa lain itu. Dalam lapangan ekonomi dan politik, ini adalah harapan-harapan yang tidak dapat diwujudkan sama sekali.


(c). Oleh karena segala rencana pembangunan ekonomi negara sekali sudah ditetapkan mestilah dijalankan, kalau perlu memakai alat-alat kekuasaan negara, maka pelaksanaan rencana pembangunan ekonomi Jawa, (Inilah hakikat dari 'pembangunan' Indonesia-Jawa) di kepulauan kita, berarti pemakaian alat kekuasaan negara Indonesia-Jawa untuk menguasai segala sumber kekayaan alam seluruh kepulauan kita untuk kepentingan golongan kolonialis Jawa.


(d) Rencana pembangunan ekonomi totaliter menghendaki segala kegiatan ekonomi pemerintah dan bukan dengan kemauan atau keinginan golongan rakyat. Segala kegiatan ekonomi yang tidak sesuai dengan rencana pemerintah mestilah dikontrol atau dilarang. Karena itu maka rencana ekonomi totaliter selalu disertai oleh pemakaian kekerasan secara besar-besaran, yang mana berarti pemerintahan sewenang-wenang dan kediktatoran. Sekali lagi 'pembangunan' dipakai sebagai topèng untuk membenarkan penguasaan si penjajah Jawa atas segala sumber ekonomi kepulauan kita untuk kepentingan mereka.


(e) Dasar dan landasan tiap-tiap ekonomi berencana ialah tata-usaha yang rapi dan cermat. Syarat inilah yang tidak dapat dipenuhi oleh kaum kolonialis Jawa. Orang Jawa masih belum mempunyai kecakapan untuk menyusun rencana ekonomi yang benar-benar dan mereka belum mepunyai disiplin untuk menjalankan tata-usaha yang rapi. Apa yang mereka pegang menjadi korupsi! Rencana-rencana ekonomi mereka yang selalu lebih mementingkan kepentingan bangsa Jawa dan pulau Jawa sudah pasti akan mendapat tentangan, secara terang-terangan atau diam-diam dari bangsa yang bukan Jawa. Kaum kolonialis Jawa masih masuk golongan bangsa yang masih terkebelakang, yang belum sanggup memecahkan masaalah-masaalah ekonomi dan politik mereka sendiri: tetapi sekarang mereka mau 'memimpin' kita! Perbuatan mereka meruntuhkan segala apa yang baik atas persada Tanah Pusaka kita selama 20 tahun yang lewat ini sudah lebih dari cukup untuk membuktikan ketiadaan kesanggupan mereka dalam hal ini. 'Pembangunan' yang mereka gembar-gemburkan itu hanya untuk memperkaya beberapa jendral jawa dan beberapa China kaki-tangan mereka, sedang rakyat yang terbanyak semakin menderita. Mata uang Indonesia-Jawa, Rupiah, yang sepatutnya menjadi simbol dari kesehatan ekonomi dan prestige (kehormatan) Indonesia-Jawa, masih belum mepunyai prestige dan tidak laku di dunia!


(f) Akhirnya, 'Rencana Pembangunan Ekonomi Indonesia-Jawa' berarti penguasaan dari satu pusat, dari pulau Jawa, atas ekonomi semua bangsa kepulauan Melayu ini. Kaum kolonialis Jawa telah mencoba memakai nama 'pembangunan' untuk menutup penjajahan mereka. 'Pembangunan' Ekonomi Berencana membenarkan penguasaan dari satu pusat dan penguasaan dari satu pusat ini meletakkan segala kekayaan bangsa Dunia Melayu –tiga  perempat dari Asia Tenggara– dalam  jangkauan kaum kolonialis Jawa. Belanda memakai waktu 350 tahun untuk membunuh, merampok dan menyerang bangsa Dunia Melayu ini untuk dipaksakan mereka tunduk kedalam wilayah Hindia Belanda alias 'Indonesia', tetapi kaum kolonialis Jawa telah memperolehnya dari Belanda hanya dengan satu-tanda tangan di atas secarik kertas pada 27 Desember, 1949. Menurut Hukum Internasional, 'penyerahan kedaulatan' dari Belanda kepada Indonesia-Jawa (RIS) itu tidak sah, sebab Belanda tidak mempunyai 'daulat' atas wilayah-wilayah itu dan Belanda wajib mengembalikan setiap wilayah kepada bangsa aslinya masing-masing dari siapa wilayah-wilayah itu sudah dirampasnya dahulu dengan perang kolonial. Apa yang selama ini disebut-sebut sebagai 'pembangunan' sebenarnya tidak lain dari pada satu tabir lagi untuk menutup-nutup kolonialisme Jawa atas Dunia Melayu.

 

Sekarang, jelaslah sudah bahwa jalan Indonesia-Jawa, dilihat dari sudut manapun juga, telah dan bakal terus-menerus meyeret Dunia Melayu kedalam kancah penindasan, korupsi, ketidak-adilan, kekejaman, kediktatoran, peperangan dan keruntuhan. (Tambahan: sesudah Suharto merampas kuasa (1965) nama-nama atau merek 'komunisme' dan 'sosialisme' sudah ditukar menjadi 'anti komunisme' dan 'anti-sosialisme' tetapi dalam kenyataan dasar-dasar komunisme dan sosialisme yang terpenting sekali –yang  menguntungkan bangsa Jawa– yaitu penguasaan dan pemilikan oleh negara kolonialis Jawa atas segala sumber kekayaan tanah kita bangsa yang bukan Jawa tetap dijalankannya, bahkan lebih diperkeras lagi dari masa jayanya PKI. Dan di bawah Suharto kaum kolonialis Jawa semakin lebih merajalela lagi.

TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update