Keluar negeri, sebagaimana halnya
juga kedalam negeri, Indonesia-Jawa sudah menjadi satu penyakit dan satu bahaya
yang mengancam perdamaian di Asia tenggara. Pertama
sekali, di zaman ini dimana satu bagian dunia saling bergantung dan berhubung
dengan bagian lainnya, persiapan perang dalam sesuatu negara bukan hanya
mempengaruhi kehidupan rakyat dalam negara itu sendiri tetapi juga mempengaruhi
kehidupan rakyat seluruh negara-negara tetangganya. Dalam hal ini, persiapan
perang yang terus-menerus dilakukan oleh Indonesia-Jawa, mau tidak mau akan
harus di-ikuti dengan persiapan perang pula oleh negara-negara tetangga, jika
mereka mengetahui kepentingan bangsa mereka. Tak ada satu negara pun di dunia
ini yang mengatahui kepentingannya, akan membiarkan kekuatan militer yang
berlebih-lebihan dari sesuatu negara tetangganya. Jika keadaan demikian
terjadi, maka keseimbangan kekuatan mestilah dikembalikan dengan segera, dengan
mengadakan pula kekuatan yang cukup besar untuk mengimbangi kekuatan negara
tetangga yang pertama tadi yang memulai persiapan militernya. Sedang bagi
negara tetangga yang kecil, keadaan ini harus diatasi dengan mengadakan
persekutuan dengan negara-negara lain yang mempunyai kepentingan pertahanan
yang sama. Oleh karena itu, persiapan perang Indonesia-Jawa akan langsung
mempengaruhi kehidupan politik, ekonomi dan sosial bangsa Malaysia, Filipina,
Australia, New Zealand, Papua New Guinea dan Singapura, karena negara-negara
ini haruslah memperkuat pertahanan mereka pula yang mana berarti membuang uang
yang sewajarnya dapat dipakai untuk membeli keperluan hidup, untuk membeli
senjata militer yang tidak menghasilkan apa-apa itu. Jadi politik militer kaum
kolonialis Jawa bukan saja merusakkan kemakmuran bangsa kita di Acheh-sumatra,
Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua dan lain-lain, tetapi juga merusakkan
kemakmuran rakyat negara-negara tetangga kita di sekitar negara penjajah
Indonesia-Jawa ini.
Kedua, kebutuhan yang tidak
habis-habisnya dari Indonesia-Jawa untuk selalu mempunyai alasan peperangan,
dengan luar negeri untuk memelihara keamanan di dalam negeri, menjadikan semua
negara-negara tetangga tidak aman, lebih-lebih negara-negara tetangga yang
kecil. Bahwa Malaysia sudah dijadikan mangsa yang ketiga dari serangan
Indonesia-Jawa dalam peperangan yang dinamakan 'konfrontasi', sesudah Republik
Maluku Selatan dan Papua Barat, tidaklah mengherankan sama sekali. Oleh itu
tidak mustahil pula bahwa Malaysia bukanlah sasarannya yang terakhir.
Kemungkinan sekali akan menyusul Portugis Timur dan sesudah itu Papua New
Guinea. Ketiga, akibat strategis dari
jajahannya Acheh-Sumatra, Kalimantan, sulawesi, Maluku, Papua Barat dan
lain-lain oleh kolonialis Jawa adalah, mencelakakan kesentosaan dan keamanan
bagian dunia kita ini, karena ini berarti penghancuran keseimbangan kekuasaan
dalam Dunia Melayu dan karena itu juga di Asia Tenggara. Ketiadaan keseimbangan
kekuasaan dalam Dunia Melayu yang amat luas ini –seluas Eropa Barat dan Eropa Timur disatukan– karena
didalamnya hanya tinggal dua buah negara yang sangat tidak sama kekuatannya;
yang satu, Indonesia-Jawa dengan penduduk 120 juta dan daerah yang luasnya sama
dengan satu benua dan yang satu lagi, Malaysia, dengan penduduk hanya 10 juta
dan wilayah yang kecil dibandingkan dengan kolonialis Indonesia-Jawa; menjadi
sumber yang terpenting dari keadaan dan situasi yang terjadi baru-baru ini,
yaitu percobaan dari Indonesia-Jawa untuk menelan Malaysia dengan 'konfrontasi'-nya.
Sudahlah terang bahwa Malaysia tidak akan dapat mempertahankan dirinya dari
serangan Indonesia-Jawa dengan tidak memasuki dalam sesuatu persekutuan dengan
negara-negara lain dari luar Dunia Melayu. Filipina juga tidak akan dapat
mempertahankan dirinya dari serangan Indonesia-Jawa, kecuali dengan persekutuan
dengan sesuatu negara besar dari luar Asia tenggara ini. Australia dan New
Zealand juga dalam keadaan yang sama jika Indonesia-Jawa dapat mencapai puncak
kecermatannya - yang mana belum mungkin terjadi. Jadi teranglah sudah bahwa
Indonesia-Jawa adalah satu bahaya bukan saja bagi kemerdekaan kita bangsa
Acheh-Sumatra, Sulawesi, Maluku, Kalimantan, Papua dsb, tetapi juga bagi ketenteraman
dan keamanan bangsa lain seperti Malaysia, Filipina, Papua New Guinea,
Australia, dan New Zealand. Sikap tegas dari Australia dan New Zealand yang
memihak Malaysia dan menentang Indonesia-Jawa di masa 'konfrontasi' adalah satu
pertanda yang terang-benderang tentang adanya kekhawatiran umum terhadap
Indonesia-Jawa di bagian dunia kita ini.
Keempat, dalam usahanya yang
terus-menerus memancing peperangan dengan luar negeri, sudah tentu regime
milier Indonesia-Jawa akan berusaha mencari mangsanya yang lemah agar
peperangan yang dilakukannya itu dapat dibatasi dan dikendalikannya. Tetapi
tiap-tiap peperangan adalah merupakan suatu permainan bertaruh. Tidak ada suatu
peperangan yang seratus persen dapat dikendalikan. Lebih-lebih di zaman kita
ini segala peperangan, samapai kepada peperangan kecil dapat merembet menjadi
peperangan besar, bahkan menjadi perang dunia, manakala peperangan kecil ini
menyinggung keseimbangan kekuasaan antara negara-negara besar. Misalnya, perang
dunia ke-1 telah dimulai oleh Kerajaan Austria-Hongaria sebagai satu peperangan
kecil terhadap Serbia, tetapi perang kecil terhadap Serbia inilah yang
menyebabkan terjadinya perang dunia ke -I. Perang dunia ke - II telah dimulai
pula dengan serangan kecil 'setempat' oleh Hitler atas Polandia. Tetapi
peperangan kecil ini telah menyinggung keseimbangan kekuasaan di Eropa yang
tidak dapat diterima oleh negara-negara lain hingga akhirnya menjadi perang
dunia ke-II. Karena itu sesuatu negara yang memakai peperangan sebagai alat
politik kenegaraannya –sebagaimana halnya negara kolonialis militer
Indonesia-Jawa– mungkin sekali akan menyebabkan terjadinya krisis antara negara
yang akan menyebabkan perang besar yang akan melibatkan negara-negara lain
sebagaimana yang telah terjadi waktu 'konfrontasi' dengan Malaysia dimana
Inggris, Australia, New Zealand dan Amerika membantu pihak Malaysia. Karena itu
politik kolonialis indonesia-Jawa bukan saja telah mengancam keamanan dan
kesentosaan kita di Acheh-Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Papua dan
lain-lain, tetapi juga mengancam keamanan dan kesentosaan Asia Tenggara dan
dunia.
KELEMAHAN-KELEMAHAN
IMPERIALISME JAWA
Dalam pada itu, imperialisme Jawa
adalah satu Imperialisme dan satu kolonialisme yang paling lemah dalam sejarah
dunia, sebenarnya ia merupakan satu paradox, satu perkara yang kejadiannya
bertentangan dengan segala kaidah, satu kejadian yang sempat menyolok mata di
abad ke 20 ini, yang telah dapat terjadi karena ketiadaan kesadaran politik di kalangan
bangsa Dunia Melayu pada waktu berakhirnya perang dunia ke-II, yang menyebabkan
mereka semua dapat ditipu oleh kaum kolonialis Jawa. Semua imperialisme dan kolonialisme
dalam sejarah baru adalah dari bangsa yang sudah berindustri atas bangsa yang
lemah ekonomi dan industrinya, dari bangsa yang sudah "maju"
ekonominya tetapi jahat perangainya atas bangsa yang lemah ekonominya dan baik
hati sifatnya. Kekuatan ekonomi dan industri merekalah yang telah membuat
bangsa Eropa dapat menjajah Asia, Afrika, dan Latin Amerika di masa yang
lampau. Tetapi bangsa Jawa masih satu bangsa terkebelakang yang tidak mepunyai
industri dan ekonomi sendiri. Mereka tidak tahu bagaimana membuat senjata;
ekonominya dikontrol oleh perusahaan asing; keuangannya bergantung pada hutang
dari luar negeri; biaya negara kolonialis Jawa bergantung 100% pada
Acheh-Sumatra, Kalimantan dan Papua Barat. Karena itu kaum kolonialis Jawa ini
tidaklah mempunyai kekuatan sendiri untuk terus-menerus menjajah Acheh-Sumatra,
kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua bila bangsa ini sudah memutuskan untuk
memerdekakan diri mereka.
Segala senjata yang berada dalam
telapak tangan Jawa kolonialis adalah senjata-senjata yang diberikan kepada
mereka oleh kaum kapitalis Barat untuk mengawal modal mereka yang dipergunakan
untuk merampas kekayaan negeri kita. Orang Jawa masih belum pandai membuat
sendiri walaupun sepucuk pistol sekali pun. Karena itu penjajahan Jawa tidak
akan dapat dipertahankan dengan kekuatan militer, apalagi jika bangsa yang
terjajah dari Acheh-Sumatra sampai ke Maluku dan Papua Barat akan bangun dengan
serentak memerdekakan diri mereka. Disamping itu, karena luasnya kepulauan
Melayu yang sedang dicoba menggenggamnya oleh kolonialis Jawa itu adalah
sedemikian rupa hingga jarak antara Sabang ke Maurauke adalah sama dengan
antara Lissabon ke Moskow, atau antara New York ke Los Angeles, maka sama
sekali tidak mungkin bagi kolonialis Jawa menjaga perbatasannya untuk
menghambat pemasukan senjata dari luar negeri kepada pejuang-pejuang
kemerdekaan Dunia Melayu. Hal ini cukup buruk bagi Jawa kolonialis karena,
pertama, mereka tidak ada kuasa untuk mencegah pembikinan senjata di luar
negeri; kedua, mereka tidak ada kuasa pula untuk mencegah pemasukan
senjata-senjata itu ke Dunia Melayu. Karena itulah mereka mengajak
negara-negara tetangga mengadakan ASEAN, semata-mata untuk kepentingan
kolonialis Jawa, supaya negara-negara itu mau membantu menjaga batas negara
kolonialis Indonesia-Jawa yang tidak sanggup dikawalnya sendiri itu. Disamping
itu, untuk mencoba mengontrol gerakan-gerakan kemerdekaan Dunia Melayu penjajah
Jawa sudah meminta pula kepada negara-negara ASEAN supaya menanda-tangani
perjanjian pemulangan 'penjahat' (extradition treaty) seperti dengan
Thailand dan Malaysia. Sikap Malaysia ini adalah sangat tidak patut sebab ini
berarti satu pengkhianatan terhadap sesama bangsa Melayu - Jawa bukan bangsa
Melayu menurut Ilmu bahasa (philology) dan 'bahasa adalah tanda bangsa'
- apalagi sebab bangsa Acheh-Sumatera dan Sulawesi telah berdiri di pihak
Malaysia di zaman konfrontasi dengan Indonesia-Jawa, atas permintaan bantuan
atas nama persaudaraan bangsa Melayu yang mengatakan 'susu dibalas dengan tuba'
oleh regime Malaysia.
Jadi Indonesia-Jawa adalah satu imperialisme
yang tidak mempunyai alat untuk mempertahankan dirinya sendiri karena ia tidak
mempunyai sumber industri untuk tempat berpijak. Imperialisme Jawa ini
bergantung 100% pada belas-kasihan bangsa berindustri di kedua pihak dari
'tirai besi' untuk mengakui penguasaan Jawa atas seluruh Dunia Melayu.
Satu-satunya jalan yang terbuka kepada kaum kolonialis Jawa untuk
mempertahankan kedudukan mereka di kepulauan Melayu hanyalah, dengan menjadikan
diri mereka sebagai 'satelite' - jongos dari sesuatu negara berindustri, baik
Amerika Serikat atau Uni Soviet. Inilah yang sudah terjadi selama ini dan
inilah kesimpulan dari pada 'diplomasi' Jawa. Untuk menutup kenyataan ini,
mereka selalu menamakan politik luar negeri mereka 'politik bebas dan aktif' –
pada hal itulah yang bukan. Kepada Amerika Serikat pemimpin-pemimpin Jawa
berkata: Tuan-tuan harus membantu kami supaya pengaruh Amerika dapa dibendung.
Mereka selalu berusaha untuk mendapat bantuan dari kedua-belah pihak, tetapi
jika yang satu pihak menolak, maka kaum kolonialis Jawa akan terpaksa menjual
diri mereka ke pihak yang sudi memakai mereka, karena hanya dengan jalan inilah
mereka bisa diberikan senjata untuk dapat menindas semua bangsa-bangsa yang
bukan Jawa di kepulauan kita. Inilah kesimpulan dari politik Sukarno yang
pro-Soviet dan kesimpulan dari politik Suharto yang pro-Amerika. Dalam pada itu,
kepentingan kita bangsa yang bukan Jawa, yang mempunyai hak mutlak atas tanah
kita masing-masing, telah dikorbankan untuk kepentingan bangsa Jawa memegang
kekuasaan tertinggi, untuk kepentingan Amerika membendung pengaruh Amerika.
Tegasnya kepentingan kita yang empunya negeri sudah dikorbankan oleh
orang-orang luar.
Ringkasnya, hidup-matinya dan tegak
runtuhnya kolonialis Jawa, bergantung pada kesanggupan kaum kolonialis Jawa
untuk mengontrol hubungan luar negeri kepulauan kita. Tetapi kontrol seperti
ini tidak dapat mengatasi pendidikan dan kemajuan: sebagitu lekas bangsa
Acheh-Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, dan lain-lain menjadi
terpelajar, mereka tidak akan dapat dikurung lagi oleh kolonialis Jawa dari
berhubungan langsung sendiri dengan seluruh masyarakat bangsa dunia. Dan kalau
mereka ini sudah sanggup membuat hubungan luar negeri mereka sendiri –yang
sebenarnya satu hasil pendidikan– maka kolonialis Jawa akan runtuh. Jadi berakhirnya
kolonialisme Jawa adalah satu kemestian sejarah, sebagaimana berakhirnya
kolonialisme Belanda, Inggeris, Amerika, Perancis, Spanyol dan Portugis, suatu
akibat daripada kemajuan, suatu hal yang tidak dapat dielakkan dan karena itu
suatu hal yang pasti akan datang dan kapan datangnya hanya soal waktu saja.
HAK
MENENTUKAN NASIB DIRI-SENDIRI
Bagaimana kita dapat merubah sistem
kolonialis Jawa yang tidak dapat kita terima di Tanah Pusaka, kampung halaman
kita? Dengan nasehat-nasehat dan bujukan? Tak ada orang atau golongan yang mau
melepaskan kekuasaan mereka dengan sukarela. Segala anjuran dan nasehat kepada
kaum kolonialis Jawa untuk merubah sistem penjajahan mereka, sudah lama
terbukti sia-sia belaka. Saya sendiri termasuk salah seorang yang pada
waktu-waktu yang lampau pernah mengusulkan satu cara yang adil yang dapat kita
terima pada waktu itu untuk bekerja sama dengan orang Jawa dengan membentuk
satu pemerintahan bersistem federation. Saya sudah menulis buku Demokrasi Untuk
Indonesia (1956) dalam mengusahakan penyelesaian secara damai itu. Tetapi
sebagai pandangan umum sudah mengatahui, segala usaha itu tidaklah memberi
kesan apa-apa pada kaum kolonialis Jawa yang memegang kekuasaan yang tidak sah
di Jakarta. Sebaliknya mereka memperlihatkan kesombongan yang tiada batas
dengan melarang beredarnya buku tersebut.
Apakah keadaan yang tidak adil dan
tidak diterima ini dapat dirubah dengan mengadakan perlawanan terbatas sebagai
di masa yang sudah-sudah? Segala macam langkah ini sudah diambil selama 20
tahun yang silam dan semuanya telah berakhir dengan kegagalan. Gerombolan
penguasa Jawa yang berada di Jakarta itu tidak dapat lagi ditumbangkan dengan
perlawanan terbatas dalam negeri semata-mata, karena apa yang disebut 'republik
indonesia' itu sudah berubah sifatnya menjadi satu negara kolonialis Jawa. Dan
sesuatu negara kolonialis tidak dapat digulingkan dengan perlawanan terbatas
('pemberontakan') atau dengan 'perang saudara' , karena sifat persaudaraan itu
tidak ada lagi di sana: yang ada hanya si-penguasa dengan yang dikuasainya,
si-penjajah dengan yang dijajahnya. Kehidupan kaum kolonialis Jawa di Jakarta
tidak lagi bergantung pada pilihan dan kesukaan rakyat di Acheh-Sumatra,
kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua dan lain-lain yang kedudukan mereka sudah
diturunkan menjadi anak jajahan Jawa. Sebagaimana pemberontakan rakyat di kepulauan
Melayu tidak dapat merubah pemerintah kolonialis Belanda di dan Haag dahulu,
demikian juga 'pemberontakan' di 'tanah seberang' tidak dapat merubah kedudukan
gerombolan kolonialis Jawa di Jakarta sekarang ini. Oleh karena itu mengadakan
perlawanan terbatas secara yang sudah-sudah itu, yaitu masih atas nama 'bangsa
pulau Kling' lawan 'bangsa pulau Kling' alias 'indonesia lawan indonesia'
adalah perbuatan yang sia-sia belaka.
Yang kita maksudkan dengan cara
perlawanan terbatas yang sudah-sudah itu ialah 'pemberontakan' dengan tidak
menyatakan diri mereka masing-masing MERDEKA dan BEBAS dari negara kolonialis
Indonesia-Jawa yang sebenarnya hanya sambungan dari Hindia Belanda. Dengan
demikian mereka itu sendiri yang telah membatasi perlawanan mereka,
menjadikannya hanya soal dalam negeri semata-mata, yang tidak ada hubungannya
dengan hak bangsa untuk melawan penjajah dan hak menentukan nasib diri-sendiri.
Kalau kedua perkara ini tidak menjadi soal dan bukan perkara, maka PBB dan
badan-badan internasional yang lain tidak berhak campur-tangan atau memberi
bantuan. Keadaan mereka itu sama dengan orang-orang yang berteriak meminta
bantuan karena rumah-rumah mereka sedang kebakaran: tetapi pada waktu itu juga
mereka dengan sengaja mengunci semua pintu dari dalam sehingga tidak ada
bantuan yang dapat dimasukkan. Pada hal perlawanan mereka terhadap kolonialisme
Jawa itu adalah 100% perjuangan yang bersifat internasional, yang dilindungi oleh
Hukum Internasional dalam Hak Menentukan Nasib Diri-sendiri dan Hak Melawan
penjajahan.
Pemimpin-pemimpin dari perlawanan
yang sudah-sudah itu adalah orang baik-baik dan berani tetapi mereka mengalami
urat saraf mereka 'beku' menghadapi pengertian kebangsaan 'pulau Kling´yang
sudah mereka terima selama ini dengan tidak berpikir panjang karena kekurangan
kesadaran mereka kepada sejarah, kebudayaan, bahasa, ekonomi dan politik dari
bangsa mereka masing-masing. Mereka tidak sanggup memikirkan tentang adanya
jalan lain ke masa depan bangsa kita selain lewat perairan kanal-kanal kotor
dari Ciliwung - yang digali oleh Belanda. Mereka sebenarnya sudah berperang
melawan satu gerombolan kolonialis tetapi ini dilakukan semata-mata dengan
mempergunakan strategi perang saudara. Mereka sebenarnya menghadapi satu perang
internasional –antara bangsa– melawan musuh yang datang mendarat dari seberang
lautan (invaders) dari Jawa! Tetapi perlawanan masih tetap dilakukan
atas nama satu 'bangsa' yakni 'bangsa pulau Kling' lawan 'bangsa pulau Kling'.
Pada dasarnya semua mereka mengalami penyakit tidak-mengenal-diri-sendiri atau identity
crisis yang nampaknya belum sembuh sampai sekarang.
Di luar negeri, perlawanan mereka
itu telah memberi kesan seakan-akan hanya perebutan kursi belaka antara mereka
yang tidak mempunyai kedudukan dengan mereka yang duduk di kursi pemerintahan,
karena tidak ada pernyataan kemerdekaan dan tidak ada pula tuntutan yang
tegas-tegas untuk hak menentukan nasib-diri-sendiri. Kesan-kesan yang begini di
luar negeri adalah sangat merugikan kepada perjuangan mereka sendiri.
Kebalikannya hal ini sangatlah menguntungkan kepada kaum kolonialis Jawa:
mereka telah mengatakan kepada dunia bahwa 'pemberontak-pemberontak' itu
adalah: 'rebels without a cause' - 'pemberontak-pemberontak yang tidak
mempunyai perjuangan suci'. Sedangkan perkara yang sebenarnya, yaitu soal
kolonialisme Jawa dan hak menentukan nasib diri-sendiri dari bangsa kepulauan
Melayu, tidak pernah dikemukakan dengan tegas-tegas karena pemimpin-pemimpin
perlawanan takut menyinggung perasaan bangsa Jawa tetapi tidak takut melanggar
keadilan terhadap hak kemerdekaan bangsa mereka sendiri. Sudahlah pasti bahwa
usaha-usaha perlawanan terhadap sesuatu kolonialisme secara setengah hati itu
tentu menemui kegagalan. Mereka yang setengah-setengah selalu merusakkan mereka
yang sungguh-sungguh!
Suatu jalan baru menuju kepada
kemerdekaan yang sejati, dengan mempergunakan cara-cara nasional dan
internasional mesti dicari untuk bangsa Acheh-Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,
Maluku, Papua, dan lain-lain: jalan baru ini tidak lain melainkan jalan Hak
Menentukan Nasib Diri Sendiri yang menuju kepada kemerdekaan yang sejati! Hak
menentukan nasib diri sendiri dari segala bangsa adalah, kunci kepada masa
depan politik bangsa Dunia Melayu. Kalau kita tidak menuntut dan mempertahankan
hak suci kita ini maka kita tidak mempunyai lagi masa depan. Jalan
Indonesia-Jawa adalah jalan yang langsung menuju kebodohan, kemunduran,
kehancuran dan perbudakan. Hak menentukan nasib diri-sendiri dari segala bangsa
adalah satu hak suci yang telah menjadi dasar ketertiban dunia sejak Perang
Dunia ke-I yang telah menjadi dasar ketertiban dunia sejak Perang Dunia ke-II
dengan dicantumkannya dalam Piagam Perserikatan Bangsa. Dan malah sekarang
sudah didirikan satu badan tersendiri dari PBB untuk mengamat-amati
pelaksanaannya, yaitu Decolonization Commission atau Badan Untuk
Meniadakan Penjajahan. Hak ini telah dihormati oleh hampir semua bekas
kerajaan/negara imperialis dengan mengembalikan hak menentukan nasib
diri-sendiri kepada bangsa yang pernah dijajah mereka, kecuali oleh Belanda
yang telah bekerja sama dengan kolonialis Indonesia-jawa untuk tidak
mengembalikan hak menentukan nasib diri-sendiri itu kepada kita bangsa Dunia
Melayu. Semua negara-negara baru di dunia yang berdiri sejak setengah abad ini
telah memperoleh hak hidup mereka dari pada hak bangsa Acheh Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Bali, Sunda dan lain-lain. Belumlah
dikembalikan kepada mereka sampai sekarang. Waktu untuk mengembalikan
kedaulatan atas setiap negeri di Dunia Melayu kepada bangsa asli yang berhak
sudah tiba. Penjajahan sudah dikecam di seluruh pelosok dunia yang lain, bahkan
sudah dinamakan dengan resmi sebagai satu 'kejahatan dunia' (internasional
crime) tetapi masih juga diteruskan oleh gerombolan kolonialis
Indonesia-Jawa atas bangsa Dunia Melayu.



