Notification

×

Iklan

Iklan

Indonesia-Jawa Bahaya Bagi Perdamaian Dalam Dan Luar Negeri

Selasa, 21 Oktober 2025 | Oktober 21, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-21T13:44:45Z


 

Keluar negeri, sebagaimana halnya juga kedalam negeri, Indonesia-Jawa sudah menjadi satu penyakit dan satu bahaya yang mengancam perdamaian di Asia tenggara. Pertama sekali, di zaman ini dimana satu bagian dunia saling bergantung dan berhubung dengan bagian lainnya, persiapan perang dalam sesuatu negara bukan hanya mempengaruhi kehidupan rakyat dalam negara itu sendiri tetapi juga mempengaruhi kehidupan rakyat seluruh negara-negara tetangganya. Dalam hal ini, persiapan perang yang terus-menerus dilakukan oleh Indonesia-Jawa, mau tidak mau akan harus di-ikuti dengan persiapan perang pula oleh negara-negara tetangga, jika mereka mengetahui kepentingan bangsa mereka. Tak ada satu negara pun di dunia ini yang mengatahui kepentingannya, akan membiarkan kekuatan militer yang berlebih-lebihan dari sesuatu negara tetangganya. Jika keadaan demikian terjadi, maka keseimbangan kekuatan mestilah dikembalikan dengan segera, dengan mengadakan pula kekuatan yang cukup besar untuk mengimbangi kekuatan negara tetangga yang pertama tadi yang memulai persiapan militernya. Sedang bagi negara tetangga yang kecil, keadaan ini harus diatasi dengan mengadakan persekutuan dengan negara-negara lain yang mempunyai kepentingan pertahanan yang sama. Oleh karena itu, persiapan perang Indonesia-Jawa akan langsung mempengaruhi kehidupan politik, ekonomi dan sosial bangsa Malaysia, Filipina, Australia, New Zealand, Papua New Guinea dan Singapura, karena negara-negara ini haruslah memperkuat pertahanan mereka pula yang mana berarti membuang uang yang sewajarnya dapat dipakai untuk membeli keperluan hidup, untuk membeli senjata militer yang tidak menghasilkan apa-apa itu. Jadi politik militer kaum kolonialis Jawa bukan saja merusakkan kemakmuran bangsa kita di Acheh-sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua dan lain-lain, tetapi juga merusakkan kemakmuran rakyat negara-negara tetangga kita di sekitar negara penjajah Indonesia-Jawa ini.

 


Kedua, kebutuhan yang tidak habis-habisnya dari Indonesia-Jawa untuk selalu mempunyai alasan peperangan, dengan luar negeri untuk memelihara keamanan di dalam negeri, menjadikan semua negara-negara tetangga tidak aman, lebih-lebih negara-negara tetangga yang kecil. Bahwa Malaysia sudah dijadikan mangsa yang ketiga dari serangan Indonesia-Jawa dalam peperangan yang dinamakan 'konfrontasi', sesudah Republik Maluku Selatan dan Papua Barat, tidaklah mengherankan sama sekali. Oleh itu tidak mustahil pula bahwa Malaysia bukanlah sasarannya yang terakhir. Kemungkinan sekali akan menyusul Portugis Timur dan sesudah itu Papua New Guinea. Ketiga, akibat strategis dari jajahannya Acheh-Sumatra, Kalimantan, sulawesi, Maluku, Papua Barat dan lain-lain oleh kolonialis Jawa adalah, mencelakakan kesentosaan dan keamanan bagian dunia kita ini, karena ini berarti penghancuran keseimbangan kekuasaan dalam Dunia Melayu dan karena itu juga di Asia Tenggara. Ketiadaan keseimbangan kekuasaan dalam Dunia Melayu yang amat luas ini –seluas  Eropa Barat dan Eropa Timur disatukan– karena didalamnya hanya tinggal dua buah negara yang sangat tidak sama kekuatannya; yang satu, Indonesia-Jawa dengan penduduk 120 juta dan daerah yang luasnya sama dengan satu benua dan yang satu lagi, Malaysia, dengan penduduk hanya 10 juta dan wilayah yang kecil dibandingkan dengan kolonialis Indonesia-Jawa; menjadi sumber yang terpenting dari keadaan dan situasi yang terjadi baru-baru ini, yaitu percobaan dari Indonesia-Jawa untuk menelan Malaysia dengan 'konfrontasi'-nya. Sudahlah terang bahwa Malaysia tidak akan dapat mempertahankan dirinya dari serangan Indonesia-Jawa dengan tidak memasuki dalam sesuatu persekutuan dengan negara-negara lain dari luar Dunia Melayu. Filipina juga tidak akan dapat mempertahankan dirinya dari serangan Indonesia-Jawa, kecuali dengan persekutuan dengan sesuatu negara besar dari luar Asia tenggara ini. Australia dan New Zealand juga dalam keadaan yang sama jika Indonesia-Jawa dapat mencapai puncak kecermatannya - yang mana belum mungkin terjadi. Jadi teranglah sudah bahwa Indonesia-Jawa adalah satu bahaya bukan saja bagi kemerdekaan kita bangsa Acheh-Sumatra, Sulawesi, Maluku, Kalimantan, Papua dsb, tetapi juga bagi ketenteraman dan keamanan bangsa lain seperti Malaysia, Filipina, Papua New Guinea, Australia, dan New Zealand. Sikap tegas dari Australia dan New Zealand yang memihak Malaysia dan menentang Indonesia-Jawa di masa 'konfrontasi' adalah satu pertanda yang terang-benderang tentang adanya kekhawatiran umum terhadap Indonesia-Jawa di bagian dunia kita ini.

 

Keempat, dalam usahanya yang terus-menerus memancing peperangan dengan luar negeri, sudah tentu regime milier Indonesia-Jawa akan berusaha mencari mangsanya yang lemah agar peperangan yang dilakukannya itu dapat dibatasi dan dikendalikannya. Tetapi tiap-tiap peperangan adalah merupakan suatu permainan bertaruh. Tidak ada suatu peperangan yang seratus persen dapat dikendalikan. Lebih-lebih di zaman kita ini segala peperangan, samapai kepada peperangan kecil dapat merembet menjadi peperangan besar, bahkan menjadi perang dunia, manakala peperangan kecil ini menyinggung keseimbangan kekuasaan antara negara-negara besar. Misalnya, perang dunia ke-1 telah dimulai oleh Kerajaan Austria-Hongaria sebagai satu peperangan kecil terhadap Serbia, tetapi perang kecil terhadap Serbia inilah yang menyebabkan terjadinya perang dunia ke -I. Perang dunia ke - II telah dimulai pula dengan serangan kecil 'setempat' oleh Hitler atas Polandia. Tetapi peperangan kecil ini telah menyinggung keseimbangan kekuasaan di Eropa yang tidak dapat diterima oleh negara-negara lain hingga akhirnya menjadi perang dunia ke-II. Karena itu sesuatu negara yang memakai peperangan sebagai alat politik kenegaraannya –sebagaimana  halnya negara kolonialis militer Indonesia-Jawa– mungkin sekali akan menyebabkan terjadinya krisis antara negara yang akan menyebabkan perang besar yang akan melibatkan negara-negara lain sebagaimana yang telah terjadi waktu 'konfrontasi' dengan Malaysia dimana Inggris, Australia, New Zealand dan Amerika membantu pihak Malaysia. Karena itu politik kolonialis indonesia-Jawa bukan saja telah mengancam keamanan dan kesentosaan kita di Acheh-Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Papua dan lain-lain, tetapi juga mengancam keamanan dan kesentosaan Asia Tenggara dan dunia.

 

 

KELEMAHAN-KELEMAHAN IMPERIALISME JAWA

 

Dalam pada itu, imperialisme Jawa adalah satu Imperialisme dan satu kolonialisme yang paling lemah dalam sejarah dunia, sebenarnya ia merupakan satu paradox, satu perkara yang kejadiannya bertentangan dengan segala kaidah, satu kejadian yang sempat menyolok mata di abad ke 20 ini, yang telah dapat terjadi karena ketiadaan kesadaran politik di kalangan bangsa Dunia Melayu pada waktu berakhirnya perang dunia ke-II, yang menyebabkan mereka semua dapat ditipu oleh kaum kolonialis Jawa. Semua imperialisme dan kolonialisme dalam sejarah baru adalah dari bangsa yang sudah berindustri atas bangsa yang lemah ekonomi dan industrinya, dari bangsa yang sudah "maju" ekonominya tetapi jahat perangainya atas bangsa yang lemah ekonominya dan baik hati sifatnya. Kekuatan ekonomi dan industri merekalah yang telah membuat bangsa Eropa dapat menjajah Asia, Afrika, dan Latin Amerika di masa yang lampau. Tetapi bangsa Jawa masih satu bangsa terkebelakang yang tidak mepunyai industri dan ekonomi sendiri. Mereka tidak tahu bagaimana membuat senjata; ekonominya dikontrol oleh perusahaan asing; keuangannya bergantung pada hutang dari luar negeri; biaya negara kolonialis Jawa bergantung 100% pada Acheh-Sumatra, Kalimantan dan Papua Barat. Karena itu kaum kolonialis Jawa ini tidaklah mempunyai kekuatan sendiri untuk terus-menerus menjajah Acheh-Sumatra, kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua bila bangsa ini sudah memutuskan untuk memerdekakan diri mereka.

 


Segala senjata yang berada dalam telapak tangan Jawa kolonialis adalah senjata-senjata yang diberikan kepada mereka oleh kaum kapitalis Barat untuk mengawal modal mereka yang dipergunakan untuk merampas kekayaan negeri kita. Orang Jawa masih belum pandai membuat sendiri walaupun sepucuk pistol sekali pun. Karena itu penjajahan Jawa tidak akan dapat dipertahankan dengan kekuatan militer, apalagi jika bangsa yang terjajah dari Acheh-Sumatra sampai ke Maluku dan Papua Barat akan bangun dengan serentak memerdekakan diri mereka. Disamping itu, karena luasnya kepulauan Melayu yang sedang dicoba menggenggamnya oleh kolonialis Jawa itu adalah sedemikian rupa hingga jarak antara Sabang ke Maurauke adalah sama dengan antara Lissabon ke Moskow, atau antara New York ke Los Angeles, maka sama sekali tidak mungkin bagi kolonialis Jawa menjaga perbatasannya untuk menghambat pemasukan senjata dari luar negeri kepada pejuang-pejuang kemerdekaan Dunia Melayu. Hal ini cukup buruk bagi Jawa kolonialis karena, pertama, mereka tidak ada kuasa untuk mencegah pembikinan senjata di luar negeri; kedua, mereka tidak ada kuasa pula untuk mencegah pemasukan senjata-senjata itu ke Dunia Melayu. Karena itulah mereka mengajak negara-negara tetangga mengadakan ASEAN, semata-mata untuk kepentingan kolonialis Jawa, supaya negara-negara itu mau membantu menjaga batas negara kolonialis Indonesia-Jawa yang tidak sanggup dikawalnya sendiri itu. Disamping itu, untuk mencoba mengontrol gerakan-gerakan kemerdekaan Dunia Melayu penjajah Jawa sudah meminta pula kepada negara-negara ASEAN supaya menanda-tangani perjanjian pemulangan 'penjahat' (extradition treaty) seperti dengan Thailand dan Malaysia. Sikap Malaysia ini adalah sangat tidak patut sebab ini berarti satu pengkhianatan terhadap sesama bangsa Melayu - Jawa bukan bangsa Melayu menurut Ilmu bahasa (philology) dan 'bahasa adalah tanda bangsa' - apalagi sebab bangsa Acheh-Sumatera dan Sulawesi telah berdiri di pihak Malaysia di zaman konfrontasi dengan Indonesia-Jawa, atas permintaan bantuan atas nama persaudaraan bangsa Melayu yang mengatakan 'susu dibalas dengan tuba' oleh regime Malaysia.

 


Jadi Indonesia-Jawa adalah satu imperialisme yang tidak mempunyai alat untuk mempertahankan dirinya sendiri karena ia tidak mempunyai sumber industri untuk tempat berpijak. Imperialisme Jawa ini bergantung 100% pada belas-kasihan bangsa berindustri di kedua pihak dari 'tirai besi' untuk mengakui penguasaan Jawa atas seluruh Dunia Melayu. Satu-satunya jalan yang terbuka kepada kaum kolonialis Jawa untuk mempertahankan kedudukan mereka di kepulauan Melayu hanyalah, dengan menjadikan diri mereka sebagai 'satelite' - jongos dari sesuatu negara berindustri, baik Amerika Serikat atau Uni Soviet. Inilah yang sudah terjadi selama ini dan inilah kesimpulan dari pada 'diplomasi' Jawa. Untuk menutup kenyataan ini, mereka selalu menamakan politik luar negeri mereka 'politik bebas dan aktif' – pada hal itulah yang bukan. Kepada Amerika Serikat pemimpin-pemimpin Jawa berkata: Tuan-tuan harus membantu kami supaya pengaruh Amerika dapa dibendung. Mereka selalu berusaha untuk mendapat bantuan dari kedua-belah pihak, tetapi jika yang satu pihak menolak, maka kaum kolonialis Jawa akan terpaksa menjual diri mereka ke pihak yang sudi memakai mereka, karena hanya dengan jalan inilah mereka bisa diberikan senjata untuk dapat menindas semua bangsa-bangsa yang bukan Jawa di kepulauan kita. Inilah kesimpulan dari politik Sukarno yang pro-Soviet dan kesimpulan dari politik Suharto yang pro-Amerika. Dalam pada itu, kepentingan kita bangsa yang bukan Jawa, yang mempunyai hak mutlak atas tanah kita masing-masing, telah dikorbankan untuk kepentingan bangsa Jawa memegang kekuasaan tertinggi, untuk kepentingan Amerika membendung pengaruh Amerika. Tegasnya kepentingan kita yang empunya negeri sudah dikorbankan oleh orang-orang luar.

 


Ringkasnya, hidup-matinya dan tegak runtuhnya kolonialis Jawa, bergantung pada kesanggupan kaum kolonialis Jawa untuk mengontrol hubungan luar negeri kepulauan kita. Tetapi kontrol seperti ini tidak dapat mengatasi pendidikan dan kemajuan: sebagitu lekas bangsa Acheh-Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, dan lain-lain menjadi terpelajar, mereka tidak akan dapat dikurung lagi oleh kolonialis Jawa dari berhubungan langsung sendiri dengan seluruh masyarakat bangsa dunia. Dan kalau mereka ini sudah sanggup membuat hubungan luar negeri mereka sendiri –yang sebenarnya satu hasil pendidikan– maka  kolonialis Jawa akan runtuh. Jadi berakhirnya kolonialisme Jawa adalah satu kemestian sejarah, sebagaimana berakhirnya kolonialisme Belanda, Inggeris, Amerika, Perancis, Spanyol dan Portugis, suatu akibat daripada kemajuan, suatu hal yang tidak dapat dielakkan dan karena itu suatu hal yang pasti akan datang dan kapan datangnya hanya soal waktu saja.

 

 

HAK MENENTUKAN NASIB DIRI-SENDIRI

 

Bagaimana kita dapat merubah sistem kolonialis Jawa yang tidak dapat kita terima di Tanah Pusaka, kampung halaman kita? Dengan nasehat-nasehat dan bujukan? Tak ada orang atau golongan yang mau melepaskan kekuasaan mereka dengan sukarela. Segala anjuran dan nasehat kepada kaum kolonialis Jawa untuk merubah sistem penjajahan mereka, sudah lama terbukti sia-sia belaka. Saya sendiri termasuk salah seorang yang pada waktu-waktu yang lampau pernah mengusulkan satu cara yang adil yang dapat kita terima pada waktu itu untuk bekerja sama dengan orang Jawa dengan membentuk satu pemerintahan bersistem federation. Saya sudah menulis buku Demokrasi Untuk Indonesia (1956) dalam mengusahakan penyelesaian secara damai itu. Tetapi sebagai pandangan umum sudah mengatahui, segala usaha itu tidaklah memberi kesan apa-apa pada kaum kolonialis Jawa yang memegang kekuasaan yang tidak sah di Jakarta. Sebaliknya mereka memperlihatkan kesombongan yang tiada batas dengan melarang beredarnya buku tersebut.

 


Apakah keadaan yang tidak adil dan tidak diterima ini dapat dirubah dengan mengadakan perlawanan terbatas sebagai di masa yang sudah-sudah? Segala macam langkah ini sudah diambil selama 20 tahun yang silam dan semuanya telah berakhir dengan kegagalan. Gerombolan penguasa Jawa yang berada di Jakarta itu tidak dapat lagi ditumbangkan dengan perlawanan terbatas dalam negeri semata-mata, karena apa yang disebut 'republik indonesia' itu sudah berubah sifatnya menjadi satu negara kolonialis Jawa. Dan sesuatu negara kolonialis tidak dapat digulingkan dengan perlawanan terbatas ('pemberontakan') atau dengan 'perang saudara' , karena sifat persaudaraan itu tidak ada lagi di sana: yang ada hanya si-penguasa dengan yang dikuasainya, si-penjajah dengan yang dijajahnya. Kehidupan kaum kolonialis Jawa di Jakarta tidak lagi bergantung pada pilihan dan kesukaan rakyat di Acheh-Sumatra, kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua dan lain-lain yang kedudukan mereka sudah diturunkan menjadi anak jajahan Jawa. Sebagaimana pemberontakan rakyat di kepulauan Melayu tidak dapat merubah pemerintah kolonialis Belanda di dan Haag dahulu, demikian juga 'pemberontakan' di 'tanah seberang' tidak dapat merubah kedudukan gerombolan kolonialis Jawa di Jakarta sekarang ini. Oleh karena itu mengadakan perlawanan terbatas secara yang sudah-sudah itu, yaitu masih atas nama 'bangsa pulau Kling' lawan 'bangsa pulau Kling' alias 'indonesia lawan indonesia' adalah perbuatan yang sia-sia belaka.

 


Yang kita maksudkan dengan cara perlawanan terbatas yang sudah-sudah itu ialah 'pemberontakan' dengan tidak menyatakan diri mereka masing-masing MERDEKA dan BEBAS dari negara kolonialis Indonesia-Jawa yang sebenarnya hanya sambungan dari Hindia Belanda. Dengan demikian mereka itu sendiri yang telah membatasi perlawanan mereka, menjadikannya hanya soal dalam negeri semata-mata, yang tidak ada hubungannya dengan hak bangsa untuk melawan penjajah dan hak menentukan nasib diri-sendiri. Kalau kedua perkara ini tidak menjadi soal dan bukan perkara, maka PBB dan badan-badan internasional yang lain tidak berhak campur-tangan atau memberi bantuan. Keadaan mereka itu sama dengan orang-orang yang berteriak meminta bantuan karena rumah-rumah mereka sedang kebakaran: tetapi pada waktu itu juga mereka dengan sengaja mengunci semua pintu dari dalam sehingga tidak ada bantuan yang dapat dimasukkan. Pada hal perlawanan mereka terhadap kolonialisme Jawa itu adalah 100% perjuangan yang bersifat internasional, yang dilindungi oleh Hukum Internasional dalam Hak Menentukan Nasib Diri-sendiri dan Hak Melawan penjajahan.

 


Pemimpin-pemimpin dari perlawanan yang sudah-sudah itu adalah orang baik-baik dan berani tetapi mereka mengalami urat saraf mereka 'beku' menghadapi pengertian kebangsaan 'pulau Kling´yang sudah mereka terima selama ini dengan tidak berpikir panjang karena kekurangan kesadaran mereka kepada sejarah, kebudayaan, bahasa, ekonomi dan politik dari bangsa mereka masing-masing. Mereka tidak sanggup memikirkan tentang adanya jalan lain ke masa depan bangsa kita selain lewat perairan kanal-kanal kotor dari Ciliwung - yang digali oleh Belanda. Mereka sebenarnya sudah berperang melawan satu gerombolan kolonialis tetapi ini dilakukan semata-mata dengan mempergunakan strategi perang saudara. Mereka sebenarnya menghadapi satu perang internasional –antara  bangsa– melawan  musuh yang datang mendarat dari seberang lautan (invaders) dari Jawa! Tetapi perlawanan masih tetap dilakukan atas nama satu 'bangsa' yakni 'bangsa pulau Kling' lawan 'bangsa pulau Kling'. Pada dasarnya semua mereka mengalami penyakit tidak-mengenal-diri-sendiri atau identity crisis yang nampaknya belum sembuh sampai sekarang.

 


Di luar negeri, perlawanan mereka itu telah memberi kesan seakan-akan hanya perebutan kursi belaka antara mereka yang tidak mempunyai kedudukan dengan mereka yang duduk di kursi pemerintahan, karena tidak ada pernyataan kemerdekaan dan tidak ada pula tuntutan yang tegas-tegas untuk hak menentukan nasib-diri-sendiri. Kesan-kesan yang begini di luar negeri adalah sangat merugikan kepada perjuangan mereka sendiri. Kebalikannya hal ini sangatlah menguntungkan kepada kaum kolonialis Jawa: mereka telah mengatakan kepada dunia bahwa 'pemberontak-pemberontak' itu adalah: 'rebels without a cause' - 'pemberontak-pemberontak yang tidak mempunyai perjuangan suci'. Sedangkan perkara yang sebenarnya, yaitu soal kolonialisme Jawa dan hak menentukan nasib diri-sendiri dari bangsa kepulauan Melayu, tidak pernah dikemukakan dengan tegas-tegas karena pemimpin-pemimpin perlawanan takut menyinggung perasaan bangsa Jawa tetapi tidak takut melanggar keadilan terhadap hak kemerdekaan bangsa mereka sendiri. Sudahlah pasti bahwa usaha-usaha perlawanan terhadap sesuatu kolonialisme secara setengah hati itu tentu menemui kegagalan. Mereka yang setengah-setengah selalu merusakkan mereka yang sungguh-sungguh!


 

Suatu jalan baru menuju kepada kemerdekaan yang sejati, dengan mempergunakan cara-cara nasional dan internasional mesti dicari untuk bangsa Acheh-Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, dan lain-lain: jalan baru ini tidak lain melainkan jalan Hak Menentukan Nasib Diri Sendiri yang menuju kepada kemerdekaan yang sejati! Hak menentukan nasib diri sendiri dari segala bangsa adalah, kunci kepada masa depan politik bangsa Dunia Melayu. Kalau kita tidak menuntut dan mempertahankan hak suci kita ini maka kita tidak mempunyai lagi masa depan. Jalan Indonesia-Jawa adalah jalan yang langsung menuju kebodohan, kemunduran, kehancuran dan perbudakan. Hak menentukan nasib diri-sendiri dari segala bangsa adalah satu hak suci yang telah menjadi dasar ketertiban dunia sejak Perang Dunia ke-I yang telah menjadi dasar ketertiban dunia sejak Perang Dunia ke-II dengan dicantumkannya dalam Piagam Perserikatan Bangsa. Dan malah sekarang sudah didirikan satu badan tersendiri dari PBB untuk mengamat-amati pelaksanaannya, yaitu Decolonization Commission atau Badan Untuk Meniadakan Penjajahan. Hak ini telah dihormati oleh hampir semua bekas kerajaan/negara imperialis dengan mengembalikan hak menentukan nasib diri-sendiri kepada bangsa yang pernah dijajah mereka, kecuali oleh Belanda yang telah bekerja sama dengan kolonialis Indonesia-jawa untuk tidak mengembalikan hak menentukan nasib diri-sendiri itu kepada kita bangsa Dunia Melayu. Semua negara-negara baru di dunia yang berdiri sejak setengah abad ini telah memperoleh hak hidup mereka dari pada hak bangsa Acheh Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Bali, Sunda dan lain-lain. Belumlah dikembalikan kepada mereka sampai sekarang. Waktu untuk mengembalikan kedaulatan atas setiap negeri di Dunia Melayu kepada bangsa asli yang berhak sudah tiba. Penjajahan sudah dikecam di seluruh pelosok dunia yang lain, bahkan sudah dinamakan dengan resmi sebagai satu 'kejahatan dunia' (internasional crime) tetapi masih juga diteruskan oleh gerombolan kolonialis Indonesia-Jawa atas bangsa Dunia Melayu.

 

TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update