Aceh terus berjuang untuk merebut kemerdekaan nya
Kita harus lapor ke penerbit yang telah mencetak buku Wali tanpa izin,” kata seorang pemuda bersemangat. “Tidak perlu kita lapor. Justru kita mengucapkan terima kasih kepada mereka yang telah mencetak dan mendistribusikan buku Wali ke warga. Dengan demikian rakyat paham pemikiran Wali melalui tulisan,” jelas orang lain yang ada kaitan hubungan darah dengan Wali. Wali yang dimaksud di sini adalah deklarator Acheh Merdeka Hasan Tiro, PhD dan buku yang dipersoalkan tersebut adalah, buku Demokrasi untuk Indonesia yang terbit pertama di Kutaraja pada tahun 1958 yang pada masa itu, Hasan Tiro menetap di Amerika Serikat. Cetakan kedua buku tersebut dicetak oleh Penerbit Teplok Press di Jakarta pada tahun 1999. Kabarnya, penerbit buku ini berlanjut ke cetakan ketiga. Dalam catatan saya, buku kedua karya Hasan Tiro diterbitkan di Bandung Jawa Barat oleh Penerbit Rencong Sakti pada awal tahun 2000-an maaf saya lupa judulnya. Semua bahan-bahan tulisan tentang Hasan Tiro yang saya simpan rapi hilang entah ke mana setelah dilipat Tsunami pada Ahad pagi 14 Dzulqaidah 1425 H., bertepatan pada 26 Desember 2004, lagi pun jarak rumah saya hanya sekitar 1 km dari pantai Alue Naga Banda Acheh. Selebihnya saya belum mendapat info judul karya hasan Tiro yang dicetak ulang. Berharap pada perayaan 100 Tahun Hasan Tiro tahun 2025, ada kegiatan menarik benang pemikiran kontekstual Hasan Tiro yang bisa di-aktualisasi-kan pada masa kini dan mendatang. Sebut saja semangat gigih belajar, berbagi pengalaman, etnonasionalisme Acheh dan lain-lain.
Saya percaya Hasan Tiro adalah sosok manusia yang cerdas. Di era 1940-an ketika penerbitan tidak sebanyak di masa kini, pemuda Hasan Tiro dalam usia di bawah 30 tahun sudah menulis buku termasuk menerjemahkan buku berbahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Beberapa cuplikan sampul depan buku yang digarap oleh pria kelahiran 25 September 1925 ini, sebagian sudah saya abadikan di buku biografi Hasan Tiro yang diterbitkan oleh Penerbit Bandar Publishing, Banda Acheh. Ikatlah ilmu dengan menulis. Demikian kata Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang sudah menjadi rujukan setiap penulis. Dalam berbagai pelatihan menulis populer, saya sering menyebutkan tulislah dan bukukan sebelum nama Anda ditulis di batu kuburan. Di era digitalisasi ini, mestinya dengan semakin mudah menulis dan menerbitkan buku, maka setiap orang dapat menulis dan mempublikasikan di media sosial. Jadi sebutan sejarah milik pemenang pada masa kini bisa dibantah. Pemenang menulis sejarah adalah tidak tepat lagi di masa kini. Sebab setiap orang yang menang atau kalah dalam berperang bisa menulis menurut versi masing-masing. Dalam penulisan tersebut pasti yang ditutup dan dilebih-lebihkan sesuai dengan keinginan penulis.
Begitulah
ketika sejarawan Dr. H. Yusra Habib Abdul Ghani, SH meminta saya menulis
layaknya sekapur sirih, saya terima dengan 10 jari terbuka sebagai sebuah
penghormatan. Mendokumentasikan karya-karya tulis Hasan Tiro dalam sebuah
dokumen buku adalah kerja luar biasa. Saya menduga, masih ada buku-buku karya
Hasan Tiro yang belum terjilid dalam buku ini. Sejalan dengan buku-buku karya Wali yang sudah dijahit
di buku ini dan sangat patuh diapresiasi kepada Teungku Yusra yang menetap di
Denmark, perlu langkah selanjutnya untuk mendokumentasikan surat-surat
Hasan Tiro yang dikirim kepada sahabatnya seperti kepada pejuang HAM
dunia yakni Carmel Budiarjo yang menetap di Inggris, intelektual Teuku Iskandar
yang berdomisili di Belanda, surat kepada Perdana Menteri Ali Sastroamijojo dan
lain-lain. Setidaknya, pembaca dapat mengetahui inti surat-surat yang dikirim
Hasan Tiro seperti protes kekerasan yang dilakukan oleh Indonesia dalam
menghadapi perlawanan di daerah, laporan pelanggaran HAM di Indonesia, hingga
mengajak bergabung ke Acheh Merdeka. Selama
ini kita cenderung paham Hasan Tiro adalah sosok pergerakan atau politik
mewujudkan cita-cita agar Acheh
berdaulat semula di daerahnya sendiri atau berstatus sebagai sebuah
negara. Sisi lain Hasan Tiro, juga sebagai pendidik/guru yang mendidik kadernya
di Glee Halimon Pidie pasca deklarasi kemerdekaan Acheh Merdeka pada Sabtu, 4
Desember 1976.
Hasan
Tiro juga penulis skenario dan sutradara drama/film yang hasil rekaman drama
itu dikirim ke Acheh sebagai bagian mengingat warisan sejarah endatu. Hasan
Tiro juga bagian dari sosok ulama yang paham tentang Islam. Bahkan Hasan
Tiro menerjemahkan buku dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia dengan judul
Dasar-dasar Negara Islam. Sekali lagi, kita patut
memberikan penghargaan seluas-luasnya kepada Teungku Yusra yang tengah kejelian
menghimpun beberapa karya besar Wali yang tersebar di mana-mana dalam sebuah
buku, di saat yang lain bercita-cita akan melakukan. Teungku Yusra menganut
prinsip show it, bukan tell it. Kita dukung penerbitan edisi karya-karya Hasan Tiro dalam
berjilid-jilid buku dengan membocorkan judul-judulnya agar abadi dalam ratusan
bahkan ribuan lembaran kertas. Manusia tidak abadi dengan berpulang ke
Rahmatullah. Namun karya-karyalah yang diwariskan akan tetap terpatri di
sanubari generasi muda Acheh. Hasan Tiro hanya punya satu anak tunggal biologis
yakni Dr. Karim Tiro, sementara itu anak ideologi Hasan Tiro tersebar di
mana-mana baik warga Acheh atau non Acheh lintas agama, lintas etnik dan sebagainya
sebagai warga dunia. Saya sama sekali
tidak meragukan kemampuan Teungku Yusra yang sudah menyatu darahnya bersama
Hasan Tiro. Malahan Teungku Yusra dengan nama samaran Luth Ari Linge pernah menjadi
Pemimpin Redaksi Majalah SUARA ACHEH MERDEKA yang beredar di era tahun 1990-an.
Pelaku sejarah berkewajiban menyajikan yang diketahuinya. Tulislah fakta
sebelum nama kita ditulis di batu nisan.





