Notification

×

Iklan

Iklan

Legitimasi Negara Aceh Darussalam

Khamis, 24 Julai 2025 | Julai 24, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-21T12:40:52Z


 Aceh terus berjuang untuk merebut kemerdekaan nya

Kita harus lapor ke penerbit yang telah mencetak  buku Wali tanpa izin,” kata seorang pemuda bersemangat. “Tidak perlu kita lapor. Justru kita mengucapkan terima kasih kepada mereka yang telah mencetak dan mendistribusikan buku Wali ke warga. Dengan demikian rakyat paham pemikiran Wali melalui tulisan,” jelas orang lain yang ada kaitan hubungan  darah dengan Wali. Wali yang dimaksud di sini adalah deklarator  Acheh Merdeka Hasan Tiro, PhD dan buku yang dipersoalkan tersebut adalah, buku Demokrasi untuk Indonesia yang terbit  pertama di Kutaraja pada tahun 1958 yang pada masa itu, Hasan Tiro menetap di Amerika Serikat. Cetakan kedua buku tersebut dicetak oleh Penerbit  Teplok Press di Jakarta pada  tahun 1999. Kabarnya, penerbit buku ini berlanjut ke cetakan ketiga. Dalam catatan saya, buku kedua karya Hasan Tiro diterbitkan di Bandung Jawa Barat oleh Penerbit Rencong Sakti pada awal tahun 2000-an maaf saya lupa judulnya.  Semua bahan-bahan tulisan tentang Hasan Tiro yang saya simpan rapi hilang entah ke mana setelah dilipat Tsunami pada Ahad pagi 14 Dzulqaidah 1425 H., bertepatan pada 26 Desember 2004, lagi pun jarak rumah saya hanya sekitar 1 km dari pantai Alue Naga Banda Acheh. Selebihnya saya belum mendapat info judul karya hasan Tiro yang dicetak ulang. Berharap pada  perayaan 100 Tahun Hasan Tiro tahun 2025, ada kegiatan menarik benang pemikiran kontekstual Hasan Tiro yang bisa di-aktualisasi-kan pada masa kini dan mendatang. Sebut saja semangat gigih belajar, berbagi pengalaman, etnonasionalisme Acheh dan lain-lain.




Saya percaya Hasan Tiro adalah sosok manusia yang cerdas. Di era 1940-an ketika penerbitan tidak sebanyak di masa kini, pemuda Hasan Tiro dalam usia di bawah 30 tahun sudah menulis buku termasuk menerjemahkan buku berbahasa asing ke dalam  bahasa Indonesia. Beberapa cuplikan sampul depan buku yang digarap  oleh pria kelahiran 25 September 1925 ini, sebagian sudah saya abadikan di buku  biografi Hasan Tiro yang diterbitkan oleh Penerbit Bandar  Publishing, Banda Acheh. Ikatlah ilmu dengan menulis. Demikian kata Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang sudah menjadi rujukan setiap penulis. Dalam berbagai pelatihan menulis populer, saya sering menyebutkan tulislah dan bukukan sebelum nama Anda ditulis di batu kuburan. Di era digitalisasi ini,  mestinya dengan semakin  mudah menulis dan menerbitkan buku, maka setiap orang dapat menulis dan mempublikasikan di media sosial. Jadi sebutan sejarah milik pemenang pada masa kini bisa dibantah. Pemenang menulis sejarah adalah  tidak tepat lagi di masa kini. Sebab setiap orang yang menang atau kalah dalam berperang bisa menulis menurut versi masing-masing. Dalam penulisan tersebut pasti yang ditutup dan dilebih-lebihkan sesuai dengan keinginan penulis.

 

Begitulah ketika  sejarawan Dr. H. Yusra Habib Abdul Ghani, SH meminta saya menulis layaknya sekapur sirih, saya terima dengan 10 jari terbuka sebagai sebuah penghormatan. Mendokumentasikan karya-karya tulis Hasan Tiro dalam sebuah dokumen buku adalah kerja luar biasa. Saya menduga, masih ada buku-buku karya Hasan Tiro yang belum terjilid dalam buku ini. Sejalan dengan buku-buku karya Wali yang sudah dijahit di buku ini dan sangat patuh diapresiasi kepada Teungku Yusra yang menetap di Denmark, perlu  langkah selanjutnya untuk mendokumentasikan surat-surat Hasan Tiro yang dikirim kepada sahabatnya seperti kepada  pejuang HAM dunia yakni Carmel Budiarjo yang menetap di Inggris, intelektual Teuku Iskandar yang berdomisili di Belanda, surat kepada Perdana Menteri Ali Sastroamijojo dan lain-lain. Setidaknya, pembaca dapat mengetahui inti surat-surat yang dikirim Hasan Tiro seperti protes kekerasan yang dilakukan oleh Indonesia dalam menghadapi perlawanan di daerah, laporan pelanggaran HAM di Indonesia, hingga mengajak bergabung ke Acheh Merdeka. Selama ini kita cenderung paham Hasan Tiro adalah sosok pergerakan atau politik mewujudkan cita-cita agar Acheh  berdaulat semula di daerahnya sendiri atau berstatus sebagai sebuah negara. Sisi lain Hasan Tiro, juga sebagai pendidik/guru yang mendidik kadernya di Glee Halimon Pidie pasca deklarasi kemerdekaan Acheh Merdeka pada Sabtu, 4 Desember 1976.

 



Hasan Tiro juga penulis skenario dan sutradara drama/film yang hasil rekaman drama itu dikirim ke Acheh sebagai bagian mengingat warisan sejarah endatu. Hasan Tiro juga  bagian dari sosok ulama yang paham tentang Islam. Bahkan Hasan Tiro menerjemahkan buku dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia dengan judul Dasar-dasar Negara Islam. Sekali lagi, kita patut memberikan penghargaan seluas-luasnya kepada Teungku Yusra yang tengah kejelian menghimpun beberapa karya besar Wali yang tersebar di mana-mana dalam sebuah buku, di saat yang lain bercita-cita akan melakukan. Teungku Yusra menganut prinsip show it, bukan tell it. Kita dukung penerbitan edisi karya-karya  Hasan Tiro dalam berjilid-jilid buku dengan membocorkan judul-judulnya agar abadi dalam ratusan bahkan ribuan lembaran kertas. Manusia tidak abadi dengan berpulang ke Rahmatullah. Namun karya-karyalah yang diwariskan akan tetap terpatri di sanubari generasi muda Acheh. Hasan Tiro hanya punya satu anak tunggal biologis yakni Dr. Karim Tiro, sementara itu anak ideologi Hasan Tiro tersebar di mana-mana baik warga Acheh atau non Acheh lintas agama, lintas etnik dan sebagainya sebagai warga dunia. Saya sama sekali tidak meragukan kemampuan Teungku Yusra yang sudah menyatu darahnya bersama Hasan Tiro. Malahan Teungku Yusra dengan nama samaran Luth Ari Linge pernah menjadi Pemimpin Redaksi Majalah SUARA ACHEH MERDEKA yang beredar di era tahun 1990-an. Pelaku sejarah berkewajiban menyajikan yang diketahuinya. Tulislah fakta sebelum nama kita ditulis di batu nisan.


TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update