Notification

×

Iklan

Iklan

Hubungan Antara Pahlawan Dan Nalar Kita

Selasa, 21 Oktober 2025 | Oktober 21, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-21T12:36:22Z


 

Adalah  Benar Hasan di Tiro nama seseorang yang berasal dari sebuah keturunan famili di Tiro; ... adalah benar Hasan Tiro merupakan simbol ”Bungong Jeumpa” yang berasal dari benih unggul sebagai representaive dari beberapa jenis bunga, mekar dari kelopaknya, sekaligus menyemburkan aroma keharuman dalam persada sejarah Acheh. Di atas semua itu, adalah benar Hasan Tiro sebuah idé, konsep dan matlamat dari sebuah perjuangan yang masih menyisakan masalah –belum tercapai cita-cita suci– yang  diperjuangkan. Artinya, dengan dalih dan argumentasi apapun juga, yang pasti kehadiran Tengku Hasan Tiro dalam gelanggang perjuangan mendaulatkan politik, hukum, ekonomi dan kekuasan Acheh merupakan sambungan langsung dari rèntètan sejarah masa lampau Acheh. Oleh itu –Hasan Tiro adalah kemarén, hari ini dan esoknya Acheh– yang terpatri dalam lipatan sejarah pemikiran tentang nasionalisme Acheh, tamadun dan agama Islam. Ini nampak dari prolog buku DASAR-DASAR NEGARA ISLAM yang diterjemahkan kedalam bahasa Melayu oleh Tengku Hasan di Tiro di usia belasan tahun. Sebetulnya, jikalau hendak dipetakan sejarah perjuangan Acheh yang terus berlangsung, walaupun sudah menelan masa 149 tahun (1873-2022), ”karena ditopang oleh tiga tonggak kekuatan utama: keteguhan aqidah agama Islam, merawat identitas budaya dan mendaulatkan bahasa Melayu.”[1]


Untuk menghadirkan imaginasi dan sentimen kesejarahan Acheh dan semangat kepahlawanan, sebagaaimana pernah dipaparkan dalam beberapa siri Pidato (tausiah) dan karya ilmiah Tengku Hasan Tiro, agar tetap menyala dan bersemi dalam dada bangsa Acheh, maka pada tengah hari 1 September 2012, saya campakkan perasaan malu ke sungai Krueng Daroy dari atas jembatan yang mengapit pintu gerbang Meuligoe Gubernur Acheh dengan lokasi makam Sultan-sultan Acheh, di komplek Bapperis, Banda Acheh. Biarlah hanyut ke laut lepas, asalkan daku bebas menziarahi makam para pahlawan dan melakukan ´dialog imaginer´. Didampingi Sdr. Muhammadar, kami dipandu langsung oleh Tuanku Raja Yusuf bin Tuanku Ibrahim, salah seorang cucu dari Tuanku Muhammad Daudsyah (Pemangku Sultan Acheh (1874-1903). Tuanku Raja Yusuf mengisahkan satu per satu dari delapan keluarga Sultan Acheh yang berada di lokasi ini. “Ini makam Ayah saya, Tuanku Ibrahim bin Tuanku Muhammad Daudsyah,” katanya. Di lokasi itu, Tuanku Raja Yusuf juga menunjuk makam Sultan Alaudin Ibrahim Mansyur Syah (1836-1870); Sultan Alaudin Muhammad Syah (1781-1795); 


Sultan Husin Jauhar Al-Alam Syah (1795-1824). Kemudian, kami menuju ke lokasi makam Sultan Iskandar Muda, yang lokasinya bersebelahan. Tidak tersedia brosur yang menceritakan sejarah ringkas mereka, kecuali: daftar nama-nama dan tarikh berkuasa tertulis pada marmar tipis yang tertampang. Terasa tidak ada getaran jiwa antara saya dengan para penghuni makam pahlawan itu, walau sudah berusaha mendekat, merapatkan emosional, bahkan menyentuh pusara mereka. Seakan-akan terdapat dinding yang tinggi, penghalang pandang mata-hati antara saya dan mereka. Saya akui itu! Agaknya perasaan tadi wajar menjalar dalam nalar, sebab selama mengecap pendidikan, guru sejarah yang tidak pernah mengisahkan figur kepahlawanan Acheh secara detail. “Aku generasi sesat yang disesatkan”!  , karena tidak dikenalkan.


Padahal, kalau mau jujur, di setiap jengkal tanah Acheh terhampar pusara para pejuang Acheh semasa perang melawan Portugis, Belanda, Jepang dan Indonesia, yang sebagian diketahui dan sebagiannya lagi tidak


Puluhan tahun lalu kita tidak tahu dan sekarang baru sadar, kalau muatan kurikulum pendidikan sejarah lokal begitu sarat dengan konspirasi politik pendidikan, yang tidak menyetarakan figur pahlawan Acheh dengan figur pahlawan lain di Indonesia. Supaya pasti-pasti, boleh dibuktikan dari soal ujian pelajaran sejarah, dimana pelajar lebih menguasai ketokohan Soekarno, Mohd Hatta,


 Wawancara dengan Tuan Hj. Yusof Rahmat (seorang Pengacara) berkedudukan di Negeri Melaka, Malaysia, 10 Juni 2022.


Mohd Yamin, Budi Utomo, Imam Bonjol, Patimura dan Pangeran Diponegoro, ketimbang ketokohan Sultan Ali Mughayatsyah, Merah Johan, Iskandar Muda, Mahmudsyah, Tgk Thjik di Tiro Mohd Saman, Tuanku Banta Muda Hasyim, Tgk Cut Pliëng, Aman Dimot, Tgk.Thjik Paya di Bakong, Teuku Umar, Tgk Tapa, dan Pang Cik, Malahayati, Datuberu, Inen Mayak Tri, Cut Njak Dhiën dan Tengku Daud Beureuéh dalam sejarah Acheh. Dalam skala nasional, pelajar lebih menguasai sejarah pembantaian 7 jenderal TNI oleh PKI di Lubang Buaya pada 1 Oktober 1965; ketimbang peristiwa pembunuhan massal yang dilakukan TNI terhadap lebih dari 400 orang di Cut Pulot Jeumpa tahun 1956, pembantaian terhadap lebih dari 3.000 orang dalam perang saudara (Peristiwa Cumbok, Desember 1945 - Februari 1946) dan pembantaian selama konflik Acheh sepanjang 1976-2005. Lebih menguasai sejarah “Sumpah Pemuda” 1928, ketimbang sejarah “Sumpah Taat Setia para Uleebalang dan Pejuang kepada Sultan Acheh” demi mempertahankan Acheh dari serangan Belanda, 1873 dan Ikrar Lamteh, 1957. Dalam skala internasional, peristiwa kekejaman Nazi selama perang Dunia ke-2 (1939-1945), lebih dikuasai ketimbang sejarah ‘genocide‘ yang dilakukan oleh pasukan Mareushaussee pimpinan Van Dallen yang mengorbankan 4.000 orang Gayo ( data mengikut data yang didapatkan oleh Kempees), bahkan 18.000 jiwa menjadi mangsa dalam genocide pada tahun 1904, mengikut hasil penelitian Iwan Gayo, (baca: hasil diskusi Tentang 118 tahun Pembantaian Rakyat Gayo Alas Oleh Belanda, 18 Mei 2022), yang kemudian isu genocide ini dibicarakan dalam Sidang Istimewa Parlemen Belanda pada 7-9 November 1907.




Untuk menguji dan mengukur kadar ketidak setaraan pengetahuan sejarah di kalangan pelajar, perlu pisau analisis, kajian dan penelitian komprehensif. Yang pasti, guru dan institusi pendidikan tidak boleh dipersalahkan. Ini sepenuhnya tanggung jawab penguasa bersama pakar sejarah, yang kurang memberi perhatian memajukan pendididkan sejarah. Orang tidak berpikir ke arah reformasi sylabus pendidikan sejarah bermuatan lokal. Jadi wajar; jika rentak politik berbangsa dan bernegara hanya mencetak generasi ‘binatang jalang’, kosong jiwa dari siraman dan suntikan semangat patriotisme, heroisme dan nasionalisme yang telah dipugar oleh para pahlawan. Sebenarnya, sejarah merupakan identitas dan karaterisktik kepunyaan suatu bangsa, yang sifatnya mendidik, mengenali diri dan menggapai cita-cita. Tiada masyarakat tanpa sejarah. Telah lama ditanyakan tentang sejarah yang mendidik kita. Saat ini kita hidup di zaman post-modern, yang merupakan fase terakhir dalam filosofi Barat. ”Sebagaimana kerap kali dinyatakan bahwa, tahap tersebut adalah tahap dimana segalanya dianggap relatif dan setiap sesuatu dipercayai mungkin. Akibatnya terjadi banyak tekanan, khususnya dalam kepentingan politik. Tanpa dapat dipungkiri, telah ikut mempengaruhi persepsi kita akan sejarah baik secara langsung maupun tidak.[1] Itu sebabnya, studi tentang sejarah dipandang penting; bukan saja terbatas pada aspek kognitif –yang  menekankan pada hafalan tarikh dan anatomi sejarah– melainkan lebih dari itu, menjadikan sejarah sebagai ilmu pengetahuan yang menggerakkan kesadaran dan rasa kesejarahan untuk menghidupkan jiwa dan semangat berbangsa dan bernegara. Semua artefak sejarah tak pernah mati, kecuali dikuburkan oleh yang pemilik sejarah. Dengan begitu, tercipta suatu generasi yang tetap menèntèng fragmen sejarah yang positif dan relevan untuk diaplikasi dalam peradaban kekinian kita. Akhirnya, “suatu bangsa yang tidak tahu sejarahnya, tidak punya masa depan.” Sah dan benar adanya.

 Dr. Mehmet Ozay, Makna 500 Tahun Peringatan Kesultanan Acheh Darussalam, Majalah Saman Magazine.



TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update