.jfif)
Adalah Benar Hasan di Tiro nama seseorang yang
berasal dari sebuah keturunan famili di Tiro; ... adalah benar Hasan Tiro merupakan
simbol ”Bungong Jeumpa” yang berasal dari benih unggul sebagai representaive
dari beberapa jenis bunga, mekar dari kelopaknya, sekaligus menyemburkan aroma keharuman
dalam persada sejarah Acheh. Di atas semua itu, adalah benar Hasan Tiro sebuah
idé, konsep dan matlamat dari sebuah perjuangan yang masih menyisakan masalah
–belum tercapai cita-cita suci– yang
diperjuangkan. Artinya, dengan dalih dan argumentasi apapun juga, yang
pasti kehadiran Tengku Hasan Tiro dalam gelanggang perjuangan mendaulatkan
politik, hukum, ekonomi dan kekuasan Acheh merupakan sambungan langsung dari
rèntètan sejarah masa lampau Acheh. Oleh itu –Hasan Tiro adalah kemarén, hari
ini dan esoknya Acheh– yang terpatri dalam lipatan sejarah pemikiran tentang
nasionalisme Acheh, tamadun dan agama Islam. Ini nampak dari prolog buku
DASAR-DASAR NEGARA ISLAM yang diterjemahkan kedalam bahasa Melayu oleh Tengku
Hasan di Tiro di usia belasan tahun. Sebetulnya, jikalau hendak dipetakan
sejarah perjuangan Acheh yang terus berlangsung, walaupun sudah menelan masa 149
tahun (1873-2022), ”karena ditopang oleh tiga tonggak kekuatan utama: keteguhan
aqidah agama Islam, merawat identitas budaya dan mendaulatkan bahasa Melayu.”
.jfif)
Untuk menghadirkan
imaginasi dan sentimen kesejarahan Acheh dan semangat kepahlawanan, sebagaaimana
pernah dipaparkan dalam beberapa siri Pidato (tausiah) dan karya ilmiah Tengku
Hasan Tiro, agar tetap menyala dan bersemi dalam dada bangsa Acheh, maka pada tengah
hari 1 September 2012, saya campakkan perasaan malu ke sungai Krueng Daroy dari
atas jembatan yang mengapit pintu gerbang Meuligoe Gubernur Acheh dengan lokasi
makam Sultan-sultan Acheh, di komplek Bapperis, Banda Acheh. Biarlah hanyut ke
laut lepas, asalkan daku bebas menziarahi makam para pahlawan dan melakukan
´dialog imaginer´. Didampingi Sdr. Muhammadar, kami dipandu langsung oleh
Tuanku Raja Yusuf bin Tuanku Ibrahim, salah seorang cucu dari Tuanku Muhammad
Daudsyah (Pemangku Sultan Acheh (1874-1903). Tuanku Raja Yusuf mengisahkan satu
per satu dari delapan keluarga Sultan Acheh yang berada di lokasi ini. “Ini
makam Ayah saya, Tuanku Ibrahim bin Tuanku Muhammad Daudsyah,” katanya. Di
lokasi itu, Tuanku Raja Yusuf juga menunjuk makam Sultan Alaudin Ibrahim
Mansyur Syah (1836-1870); Sultan Alaudin Muhammad Syah (1781-1795);
Sultan
Husin Jauhar Al-Alam Syah (1795-1824). Kemudian, kami menuju ke lokasi makam
Sultan Iskandar Muda, yang lokasinya bersebelahan. Tidak tersedia brosur yang
menceritakan sejarah ringkas mereka, kecuali: daftar nama-nama dan tarikh
berkuasa tertulis pada marmar tipis yang tertampang. Terasa tidak ada getaran
jiwa antara saya dengan para penghuni makam pahlawan itu, walau sudah berusaha
mendekat, merapatkan emosional, bahkan menyentuh pusara mereka. Seakan-akan
terdapat dinding yang tinggi, penghalang pandang mata-hati antara saya dan
mereka. Saya akui itu! Agaknya perasaan tadi wajar menjalar dalam nalar, sebab
selama mengecap pendidikan, guru sejarah yang tidak pernah mengisahkan figur
kepahlawanan Acheh secara detail. “Aku generasi sesat yang disesatkan”! , karena tidak dikenalkan.
Padahal, kalau mau jujur, di setiap jengkal tanah Acheh
terhampar pusara para pejuang Acheh semasa perang melawan Portugis, Belanda,
Jepang dan Indonesia, yang sebagian diketahui dan sebagiannya lagi tidak
Puluhan
tahun lalu kita tidak tahu dan sekarang baru sadar, kalau muatan kurikulum
pendidikan sejarah lokal begitu sarat dengan konspirasi politik pendidikan,
yang tidak menyetarakan figur pahlawan Acheh dengan figur pahlawan lain di
Indonesia. Supaya pasti-pasti, boleh dibuktikan dari soal ujian pelajaran
sejarah, dimana pelajar lebih menguasai ketokohan Soekarno, Mohd Hatta,
Wawancara dengan
Tuan Hj. Yusof Rahmat (seorang Pengacara) berkedudukan di Negeri Melaka,
Malaysia, 10 Juni 2022.
Mohd Yamin, Budi
Utomo, Imam Bonjol, Patimura dan Pangeran Diponegoro, ketimbang ketokohan
Sultan Ali Mughayatsyah, Merah Johan, Iskandar Muda, Mahmudsyah, Tgk Thjik di
Tiro Mohd Saman, Tuanku Banta Muda Hasyim, Tgk Cut Pliëng, Aman Dimot,
Tgk.Thjik Paya di Bakong, Teuku Umar, Tgk Tapa, dan Pang Cik, Malahayati,
Datuberu, Inen Mayak Tri, Cut Njak Dhiën dan Tengku Daud Beureuéh dalam sejarah
Acheh. Dalam skala nasional, pelajar lebih menguasai sejarah pembantaian 7
jenderal TNI oleh PKI di Lubang Buaya pada 1 Oktober 1965; ketimbang peristiwa
pembunuhan massal yang dilakukan TNI terhadap lebih dari 400 orang di Cut Pulot
Jeumpa tahun 1956, pembantaian terhadap lebih dari 3.000 orang dalam perang
saudara (Peristiwa Cumbok, Desember 1945 - Februari 1946) dan pembantaian
selama konflik Acheh sepanjang 1976-2005. Lebih menguasai sejarah “Sumpah
Pemuda” 1928, ketimbang sejarah “Sumpah Taat Setia para Uleebalang dan
Pejuang kepada Sultan Acheh” demi mempertahankan Acheh dari serangan
Belanda, 1873 dan Ikrar Lamteh, 1957. Dalam skala internasional, peristiwa
kekejaman Nazi selama perang Dunia ke-2 (1939-1945), lebih dikuasai ketimbang
sejarah ‘genocide‘ yang dilakukan oleh pasukan Mareushaussee pimpinan
Van Dallen yang mengorbankan 4.000 orang Gayo ( data mengikut data yang didapatkan
oleh Kempees), bahkan 18.000 jiwa menjadi mangsa dalam genocide pada
tahun 1904, mengikut hasil penelitian Iwan Gayo, (baca: hasil diskusi Tentang 118
tahun Pembantaian Rakyat Gayo Alas Oleh Belanda, 18 Mei 2022), yang kemudian
isu genocide ini dibicarakan dalam Sidang Istimewa Parlemen Belanda pada
7-9 November 1907.
Untuk menguji dan
mengukur kadar ketidak setaraan pengetahuan sejarah di kalangan pelajar, perlu
pisau analisis, kajian dan penelitian komprehensif. Yang pasti, guru dan
institusi pendidikan tidak boleh dipersalahkan. Ini sepenuhnya tanggung jawab
penguasa bersama pakar sejarah, yang kurang memberi perhatian memajukan
pendididkan sejarah. Orang tidak berpikir ke arah reformasi sylabus pendidikan
sejarah bermuatan lokal. Jadi wajar; jika rentak politik berbangsa dan
bernegara hanya mencetak generasi ‘binatang jalang’, kosong jiwa dari
siraman dan suntikan semangat patriotisme, heroisme dan nasionalisme yang telah
dipugar oleh para pahlawan. Sebenarnya, sejarah merupakan identitas dan
karaterisktik kepunyaan suatu bangsa, yang sifatnya mendidik, mengenali diri
dan menggapai cita-cita. Tiada masyarakat tanpa sejarah. Telah lama ditanyakan tentang
sejarah yang mendidik kita. Saat ini kita hidup di zaman post-modern,
yang merupakan fase terakhir dalam filosofi Barat. ”Sebagaimana kerap kali
dinyatakan bahwa, tahap tersebut adalah tahap dimana segalanya dianggap relatif
dan setiap sesuatu dipercayai mungkin. Akibatnya terjadi banyak tekanan,
khususnya dalam kepentingan politik. Tanpa dapat dipungkiri, telah ikut
mempengaruhi persepsi kita akan sejarah baik secara langsung maupun tidak.” Itu
sebabnya, studi tentang sejarah dipandang penting; bukan saja terbatas pada
aspek kognitif –yang menekankan pada
hafalan tarikh dan anatomi sejarah– melainkan lebih dari itu, menjadikan
sejarah sebagai ilmu pengetahuan yang menggerakkan kesadaran dan rasa
kesejarahan untuk menghidupkan jiwa dan semangat berbangsa dan bernegara. Semua
artefak sejarah tak pernah mati, kecuali dikuburkan oleh yang pemilik sejarah.
Dengan begitu, tercipta suatu generasi yang tetap menèntèng fragmen sejarah
yang positif dan relevan untuk diaplikasi dalam peradaban kekinian kita.
Akhirnya, “suatu bangsa yang tidak tahu sejarahnya, tidak punya masa depan.”
Sah dan benar adanya.