Notification

×

Iklan

Iklan

Tentang Tengku Hasan Di Tiro

Selasa, 21 Oktober 2025 | Oktober 21, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-21T12:50:07Z


Terus terang saja bahwa, kehadiran buku ini bukanlah mengisahkan biographi lengkap Tengku Hasan Muhammad di Tiro, melainkan hanya menyajikan sebagian dari keratan kisah hidup beliau berkaitan dengan karya-karya ilmiah yang dihasilkan selama hidup; hanya saja tidak dapat difungkiri bahwa di rentang masa beliau hidup ( 25 September 1925 – 3 Juni 2010), begitu rencam dengan kepelbagaian karya-karya ilmiah, bahkan dihasilkan semasa remaja lagi, hingga memasuki usia senja. Sebagaimana kita saksikan disini, karya-karya tersebut bertabur mulai sejak tahun 1950-an hingga tahun 1992. Sekali lagi, tidak semua karya beliau dihadirkan disini karena keterbatasan waktu untuk menghimpum kaya-karya yang tercècèr itu. Terimah persembahan yang tersedia ini.


 Tengku Hasan Muhammad di Tiro adalah anak kedua dari pasangan Pocut Fatimah-Tengku Muhammad, dilahirkan di Kampung Tanjong Bungong, Pidie pada 25 September 1925, merupakan garis keturunan langsung dari Tengku Thjik di Tiro Muhammad Saman. Dibesarkan dalam lingkungan famili di Tiro yang selain mewajibkan bertutur bahasa Acheh, juga bertutur dalam bahasa Arab.  Pada awalnya, Hasan Tiro menempuh Pendidikan Dasar di Madrasah Sa’adah Al- Abadiyah, Sigli pimpinan Tgk. Daud Beureueh. Seterusnya melanjutkan ke Perguruan Normal Islam Bireuen yang diasuh oleh Tgk. M. Nur El-Ibrahimy. Semasa masih belasan tahun, dikenal pasti beliau sudah aktif dalam kegiatan organisasi Kepemudaan di Kampung dan di Sekolah. Dimaklumkan, Hasan Tiro bersama abangnya, Tengku Zainal Abidin menerjunkan diri dalam kepengurusan Pemuda Republik Indonesia (PRI), bahkan pernah menjabat sebagai Ketua Muda PRI di wilayah Pidie pada 1945 dan pernah diberi tugas sebagai penggerek bendera Merah Putih. Keratan peristiwa itu menjadi bahan kajian menarik di kalangan sejarawan, selain disifatkan sebagai figure nasionalis –mau  mengobarkan dirinya untuk lebur dalam cairan semangat kemerdekaaan RI– juga  di kemudian hari, beliau meneruskan idé successor state of Acheh yang telah diperjuangkan oleh para pejuang Acheh –terutama dari kalangan famili di Tiro– yang mengorbankan beberapa generasi yang dibunuh oleh kolonial Belanda.[1] 



Hasan Tiro dikenali sebagai anak yang cerdas; betapa tidak, di usia belasan tahun, beliau sudah mampu menerjemahkan buku Assiyasatu Asyar’iyah, karya Prof. Abdul Wahab Khallaf (Guru Besar Fuad I University Cairo) berjudul Dasar-Dasar Negara Islam. Ini satu indikasi bahwa, semenjak masih kecil lagi sudah dirancang, berkecimpung dan dibentuk di atas acuan hal-ihwal Islam. Buku ini kemudiannya menjadi referensi penting sebagai sebuah konsep politik Islam, mengatur sebuah negara berteraskan syari´at. Setelah menyelesaikan pendidikan tingkat menengah di Acheh, meneruskan studi pada Universitas Islam Yogyakarta (UIY). Tidak lama kemudian, Hasan Tiro diajak bergabung bersama rombongan Wakil Perdana Menteri Syafruddin Prawiranegara bertolak ke Kutaraja (Banda Acheh) mempersiapkan kantor Wakil Perdana Menteri Republik Indonesia (WKPMRI), sebagai tindakan antisipatif jika Konferensi Meja Bundar yang berlangsung pada (23 Agustus s/d 2 November 1949) buntu. Ternyata, siri-siri dialog/rundingan antara Pemerintah RIS-Belanda mengalami kemajuan dan dinilai menguntungkan, maka kantor WKPMRI di Banda Acheh ditutup pada 21 Desember 1949. Hasan Tiro pun diperkenakan semula kembali ke Yogyakarta.


Diriwayatkan bahwa atas jasa Syafruddin, Hasan di Tiro mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi ke Universitas Columbia di Amerika. Dalam konteks ini dikatakan; “pada 1950, Pemerintah memberikan beasiswa Colombo Plan kepadanya ke Amerika Serikat. Selama berada di sana ia juga bekerja sebagai staf Bagian Penerangan Perwakilan tetap RI di PBB New York hingga September 1954. Disamping itu ia menambah pengetahuannya dalam bidang ekonomi, pemerintahan dan hukum pada Colombia Univercity.”[2] Sambil kuliah “dia diperbantukan sebagai staf penerangan Kedutaan Besar Indonesia di PBB.”[3] Selain itu, pernah menjadi orang kepercayaan Syafruddin Prawiranegara menjadi staf Atase Penerangan di Kantor Peroetoesan Tetap Pemerintah Republik Indonesia (PTRI) di New York, akan tetapi di belakang layar, beliau nekad merambah masuk dunia baru bernuansa politik praktis yang arahnya melawan arus –menentaang pemerintah Indonesia– yaitu menerima  penunjukan dirinya sebagai  Duta Besar Darul Islam Acheh (DI-Acheh) berkuasa penuh untuk PBB oleh  Tgk Daud Beureueh (pendiri gerakan Darul Islam Acheh bernaung di bawah NII pimpinan Kartosuwiryo); walaupun Trygve Halvdan Lie (Sekjen PBB peiode 1946-1952) dan Dag Hammarskjöld (Sekjen PBB peiode 1953-1961) menyatakan menolak penyerahan mandat itu. Apapun resiko yang ditimbulkan dari pengangkatan ini, Hasan Tiro berkenan menerima mandat berisiko itu. Sebagai Duta DI-Acheh/NII di Amerika Serikat, beliau mengirim surat politik kepada Ali Sastroamijojo (Perdana Menteri) pada 1 September 1954[4], yang nadanya sangat keras dan tegas (ultimatum), berhubung tidakan biadab militer Indonesia yang menangkap, mengumpul dan menembak secara brutal dan biadab terhadap ratusan penduduk sipil di kawasan Pulot, Cot Jeumpa, Acheh Besar dan mengakui tindakan itu sebagai genocide.

Beliau berani menentukan sikap dan pendirian politik dengan cara mengirim surat yang kandungannya meng-ultimatum pemerintahan Soekarno + Ali Sastroamijoyo, supaya tidak memerangi atau menggunakan pendekatan kekerasan untuk berhadapan dengan DI/TII di Acheh. Jika surat tersebut tidak di-endahkan, maka persoalan DI-Acheh/NII akan diajukan ke Sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York. Selain itu, membuka perwakilan diplomatik bagi Republik Islam Indonesia di seluruh dunia, termasuk di PBB, benua Amerika, Asia dan seluruh negara-negara Islam. Selain itu, Hasan Tiro juga mengancam akan mengajukan rezim komunis-fasis Ali Sastroamijojo kepada General Assembly PBB dan Human Right terkait pembunuhan, pelanggaran dan penganiayaan yang dilakukan TNI di Acheh. “Biarlah forum Internasional mendengarkan perbuatan-perbuatan maha kejam yang pernah dilakukan di dunia sejak zamannya Hulagu dan Jenghis Khan. Kami akan meminta PBB mengirimkan Komite ke Acheh. Biar rakyat Acheh menjadi saksi…”[5] Tembusan surat tersebut dikirimkan pula kepada Presiden Sukarno.[6] Pada pandangan Hasan di Tiro, persoalan yang dihadapi Indonesia dapat diselesaikan dengan pendekatan politik, diplomatik dan demokratis, yakni membuka ruang perundingan. Dengan begitu, stabilitas keamanan dan ketertiban tetap tercipta di seluruh wilayah Indonesia. Akan tetapi Ali Sastroamijojo sangat kaku dan berusaha merumitkan masalah pegolakan politik yang berlaku. Peringatan yang dikeluarkan Hasan Tiro tersebut disambut dengan penarikan passpor oleh Ali Sastroamijojo. Sebuhungan dengan surat politik ini, maka pemerintah Indonesia melalui Kedutaan RI di Amerika, menarik dokumen perjalanan –Passport  Hasan di Tiro dicabut– seiring dengannya, beliau kehilangan status warganegara Indonesia. Ekoran daripada kasus ini, maka pada 27 September 1954, Hasan di Tiro ditahan oleh Kantor Imigrasi New York. Namun berkat bantuan dari beberapa senator, Hasan di Tiro diterima sebagai penduduk tetap di Amerika Serikat. Diriwayatkan juga bahwa, tidak lama setelah pencabutan Passport, Hasan di Tiro pun segera memohon kepada Pemerintah Amerika secara resmi untuk menjadi warganegara Amerika Serikat. Bagaimanapun, untuk menunggu proses permohonannya, beliau diasingkan ke sebuah Kèm pemusatan orang-orang bermasalah dengan identitas diri dan baru dibebaskan sesudah membayar $500 USA. 



Dikenal pasti bahwa, Arnold Beichman (sahabat kental Hasan di Tiro) + beberapa senator yang mempunyai pengaruh, turut berperan aktif membantu meloby pihak berkuasa. Kisah Hasan di Tiro memasuki Kém pusat Imigrasi tersebut diliput oleh surat kabar Washington Post. Alhamdulillah, permohonan Hasan di Tiro memperoleh kewarganegaraan Amerika Serikat diluluskan.[7] Rèntètan kisah tersebut, semakin memberangsang semangat perlawanan Hasan di Tiro menentang pemerintah Indonesia.

Di mata beliau, aspek entelektualitas sangat penting, karena ianya dapat memberi kesan dan pengaruh bagi memulai karier di gelanggang politik dan perniagaan. Oleh itu beliau masuk kedalam ranah akademik dan berjaya menyelesaikan studinya di Universitas Columbia dengan prestasi cemerlang;[8] menyusul gelar Doktor diraihnya dari Plano University.[9] Semenjak bertukar kewarganegaraan dari WNI ke WNA, beliau mulai berjuang meniti karier dalam bidang politik dan perniagaan di Amerika; berjumpa, berkenalan dan menikah dengan Dora, seorang gadis manis keturunan Iran warganegara Belgia yang menetap di Amerika. Dari pernikahan ini dikaruniai seorang putra, Karim di Tiro[10] yang sekarang bergelar Doktor dalam bidang kajian keragaman pertuturan bahasa India, menetap di Miami, Amerika. Hasan di Tiro berhasil merintis dunia bisness melalui Perusahaan Doral International, Ltd.,[11] yang bergerak dalam pelbagai bidang usaha,[12] seperti perusahaan yang bergerak di bidang petrokimia, pengapalan, konstruksi, penerbangan dan manufaktur. Bahkan, sebagai seorang konsultan, beliau banyak memimpin delegasi pengusaha AS untuk bernegosiasi dalam transaksi bisnis besar di Timur Tengah, Eropa, dan Asia. Di antara mitra rekanan perusahaan multi usaha ini adalah sebuah perusahaan yang berpusat di Perancis.[13] Di atas kejayaan perusahaannya membangun Airport Jedah, penguasa Saudi Arabia mengucapkan terima kasih kepada Tengku Hasan di Tiro.[14]  Dikenal pasti pula bahwa di antara sahabat akrab Tengku Hasan di Tiro adalah Gerald Ford,[15] (Presiden Amerika yang memerintah (August 9, 1974 – January 20, 1977). Semenjak itu, perjalanan hidup Hasan di Tiro berubah warna secara total – memusatkan diri dengan urusan bisness dan politik tentang Acheh– di luar negeri.

 

Dalam takaran intelektualitas yang sudah disentuh di atas, maka sambil menjalankan roda perniagaan, beliau menulis beberapa buku yang berkaitan dengan isu Acheh, seperti DEMOKRASI UNTUK INDONESIA, tahun 1958. Pada masa yang sama, posisi gerakan Darul Islam Acheh di bawah NII semakin sengit dan maju ketika itu, yang ditandai dengan kerjasama antara DI-Acheh dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Republik Persatuan Indonesia (RPI) yang berpusat di Sumatera Barat, dimana Hasan Tiro tetap berjuang membantu gerakan tersebut. Malangnya kedua-dua organisasi perjuangan ini –PRRI  dan RPI– menyerah turun gunung dan menerima amnesty dari Pemerintah Pusat Indonesia pada tahun 1961. Tengku Daud Beureuéh tinggal keseorangan di Acheh sampai kemudian pada tahun 1959 ditandatangani PERJANJIAN LAMTÉH yang implemntasinya baru berjalan pada tahun 1962.

 

 

 



[1] Wali Negara Tengku Thjik Muhammad Saman di Tiro (1874-1891), Wali Negara Tengku Thjik Habib Samalanga (1891), Wali Negara Tengku Thjik Muhammad Amin di Tiro (1891-1896), Wali Negara Tengku Thjik Muhammad Ubaidillah di Tiro (1896-1899), Wali Negara Tengku Thjik Lambada di Tiro (1899-1904), Wali Negara Tengku Thjik Zainal Abidin di Tiro (1904-1907), Wali Negara Tengku Thjik Zainal Mahyeddin di Tiro (1907-1910), Wali Negara Tengku Thjik Zainal Ma’at di Tiro (1910-1911). Sementara itu Wali Negara Tengku Thjik M. Hasan di Tiro (1976-2010) meninggal di bawah pemerintahan Indonesia.

 

 

[2] M. Isa Sulaiman, Acheh Merdeka: Idiologi, Kepemimpinan dan Gerakan, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2000, hal 12.

 

[3] Isa Sulaiman, Majalah Tempo.

 

[4] Lihat dokumen A. Surat Politik yang dikirim oleh Muhammad Hasan di Tiro kepada Ali Sastroamijoyo (Perdana Menteri Indonesia) pada 1 September 1954. {Terjadi kesalahan tarikh –1 September 1945– yang tertera dalam dokumen itu.

[5] Hasan di Tiro, 1954, Teks Surat politik yang dikirim kepada Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo. Baca: Nur El Ibrahimy, …… The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan Di Tiro yang diterbitkan tahun 1984.

 

[6] Lihat dokumen B. Tembusan surat dikirim kepada Sukarno.

 

[7]  Lihat dokumen C. Sertifikat kewarganegaraan USA, atasnama Hasan Tiro.

 

[8] Lihat dokumen D. Ijazah kelulusan Tengku Hasan di Tiro dari Columbia University.

 

[9] Lihat dokumen E. Ijazah kelulusan Tengku Hasan di Tiro dari universitas Plano.

 

[10]  Lihat dokumen F. Dr. Karim di Tiro bersama Tengku Hasan di Tiro.

 

[11]  Lihat dokumen G. Doral International, Ltd, Perusahaan milik Tengku Hasan di Tiro

 

[12]  Lihat dokumen H. Jaringan bisness perusahaan Doral International, Ltd.

 

[13]  Lihat dokumen I. Salah satu Perusahaan mitra usaha Perusahaan Doral International, Ltd.

 

[14]  Lihat dokumen J. Surat Pemimpin Saudi Arabia kepada Tengku Hasan di Tiro

 

[15] Lihat dokumen K. Catatan Gerald Ford kepada Tengku Hasan di Tiro

 

TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update