Notification

×

Iklan

Iklan

: Masa Depan Politik Dunia Melayu

Selasa, 21 Oktober 2025 | Oktober 21, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-21T13:16:00Z

 


Kandungan cerita ini membuka wawasan cakrawala berfikir bangsa Melayu di luar Pulau Jawa, yang sudah semestinya memikirkan dan mengevaluasi tentang kegunaan negara Indonesia bagi bangsa-bangsa di luar Pulau Jawa, sembari manawarkan bentuk federasi yang dianggap mendekati kebebasan untuk berbuat demi kepentingan negeri sendiri dan lebih demokratis; apalagi sebagai negara baru, Indonesia tidak memiliki sejarah yang pasti-pasti dalam membina persatuan yang multi etnik dan memiliki keberagaman agama. Persoalan utama yang menjadi sorotan dalam bu ku ini antara lain isu persatuan, kesejahteraan dan profesionalisme kerja yang rapuh. Bayangkan saja, susunan Kabinet pernah mencapai 17 kali bongkar pasang dalam rentang masa yang relatif singkat; bahkan Sukarno memperkenalkan 100 Menteri. Sehubungan itu, Tengku Hasan di Tiro menyajikan hujah yang jitu. Artinya, jika menurut Soekarno yang menjadi punca kesalahan terletak pada aplikasi Demokrasi Barat sebagai acuan berbangsa dan bernegara dan oleh karenanya perlu membentuk Dewan Nasional; sebaliknya di mata Tengku Hasan di Tiro, demokrasi yang dikembangkan Soekarno sebetulnya, bukanlah Demokrasi Barat, melainkan Demokrasi Primitif yang beridentitas ke-jawa-jawa-an. Selain itu, beliau menulis buku berjudul: ACHEH BAK MATA DONJA (ACHEH DI MATA DUNIA), yang kemudian diterbitkan oleh Bandar Publishing.

 

Pada tahun 1965, beliau menulis buku berjudul: MASA DEPAN POLITIK DUNIA MELAYU, yang dicetak ulang pada tahun 1984. Kandungan buku nilah yang memberi inspirasi kepada beliau tentang teori  successor of state (negara sambungan) merupakan methode yang paling jitu digunakan sebagai perkakas politik memerdekakan semula Acheh Darussalam. Referensi ini pula yang turut memberi kekuatan jiwa dan fisik, sehingga beliau memutuskan kembali ke Acheh untuk memulai perjuangan perjuangan Acheh dan memproklamirkan kemerdekaan Acheh pada 4 Desember 1976. Untuk tujuan itu, beliau meninggakan Amerika Serikat –Isteri dan Karim di Tiro berusia 9 tahun– pada  tahun 1975 menuju rimba Acheh. Beberapa hari sebelum keberangkatan Tengku Hasan di Tiro ke Acheh, sempat menghadiri jamuan makan malam bersama konglomerat Thailand yang dihadiri oleh beberapa personil dari staff Kedutaan Amerika Serikat di Bangkok, Thailand.[1] Selanjutnya pada suatu dini hari, pasukan Angkatan Laut Thailand atas perintah Raja Thailand mengantar Tengku Hasan di Tiro memasuki dan melewati zona laut Internasional –sampai  ke perbatasan perairan Acheh– kira-kira 3km. dari pantai Pasélhôk, Pidië. ”Kisah keterlibatan Angkatan Laut diraja Thailand mengantar ke perairan Internasional hingga merapat ke perairan Acheh, takkan mungkin saya bèbèrkan, dalam buku The Price of Freedom: The Unfinished Diary (Jum Meurdhèka sekalipun.”[2] Setelah menunggu beberapa jam, barulah muncul sebuah Perahu mesin dimana M. Daud Husén (Daud Paneuk) menjemput beliau ke tengah laut. Setibanya di pantai Pasélhôk, M. Daud Husin hari itu juga beserta rombongan berangkat menuju Bukit Cokan. “Itu adalah malam pertama di tanah airku setelah selama 25 tahun aku tinggal di pengasingan di Amerika Serikat.”[3] Di Bukit Cokan-lah Tengku Hasan di Tiro menoréh lembaran sejarah perjuangan AM dengan mendeklarasi Kemerdekaan Acheh pada 4 Desember 1976, yang antara lain menyebut “Kami, rakyat Acheh, Sumatera, menggunakan hak kami untuk menentukan nasib sendiri dan melindungi hak sejarah kami akan tanahair kami, dengan ini menyatakan bahwa kami merdeka dan independen dari kontrol politik rejim asing Jakarta dan orang asing dari Pulau Jawa. Tanah Air kami, Acheh, Sumatra, selalu merdeka dan independen sebagai negara yang berdaulat sejak dunia diciptakan…[4]  




Selama berada dalam rimba Acheh, beliau aktif menulis, seprti buku berjudul DRAMA ACHEH, yang mengisahkan peperangan antara Acheh versus Belalnda pada tahun 1873; Legal Status of Acheh Sumatra, The Price of Freedom: The Unfinished Diary. Buku itu merupakan catatan harian saat berada di medan perang selama (1976-1979), setelah 25 tahun menetap di Amerika Serikat. Oleh sebab situasi keamanan amat mencekam dan terdesak, maka diadakan musyawarah Dewan Kabinet pertama. Hasil musyawarah tersebut disepakati bahwa, dr. Husaini Hasan diberi kepercayaan untuk memugar hubungan diplomasi di luar negeri; sementara Tengku Hasan di Tiro tetap bertahan di medan perang Acheh. Akan tetapi setelah menunggu beberapa bulan, dr. Husaini Hasan masih belum juga ada keputusan yang pasti-pasti –tersangkut dalam urusan keberangkatan  ke negara ketiga–  melalui UNHCR Kuala Lumpur, maka diadakan musyawarah Dewan Kabinet kedua di kawasan hutan Jiniëb. Musyawarah memutuskan bahwa Tengku Hasan Muhammad di Tiro dipercayakan berngkat keluar dari Acheh untuk membangun kembali hubungan diplomatik di luar negeri. Oleh tujuan itu, Saiman (seorang Pelaut berasal dari Jiniëb) dipercayakan mengantar Tengku Hasan di Tiro dengan Perahu mesin meredah samudera gelombang Selat Melaka dan terdampar di sebuah sungai kecil di kawasan Gelang, Singapura. Beliau segera melapor diri kepada Kepala Inteligen Singapura, seterusnya melaporkan situasi yang dihadapi kepada Lee Kuan Yew (Perdana Menteri Singapura pada masa itu). Secara rahasia, Lee Kuan Yew membantu menerbangkan Tengku Hasan di Tiro menuju Lissabon Portugal. Dari Portugal pergi Mozambik. Seterusnya diterima sebagai pelarian politik di Sweden pada tahun 1982. Di Sweden, Tengku Hasan di Tiro berjumpa kembali dengan dr. Husaini Hasan, dan dkk lain, yang sudah lebih awal diterima sebagai pelarian politik. Ada sebuah buku berjuduL: REVOLUSI DESEMBER ´45, DI ACÈH ATAU PEMBASMIAN PENGKHIANAT TANAH AIR tanpa tarikh diterbitkan,  namun berdasarkan testimoni dari Dr. M. Isa Sulaiman kepada Murizal Hamzah bahwa, buku tersebut adalah karya ilmiah Tengku Hasan di Tiro, dimuat berdasarkan teks asli, demi merawat kesahehannya. 


Sesudah hijrah ke luar negeri, beliau terus aktif menulis, misalnya: sebuah Makalah ilmiah berjudul "Indonesian Nationalism: a Western invention to subvert Islam and to prevent decolonization of the Dutch East Indies," diucapkan dalam Seminar Dunia Islam bertaraf internasional di London, pada 31 Juli, 1985, Makalah ilmiah ini kemudian diterjemahkan berjudul: NASIONALISME UNTUK INDONESIA pada tahun 1989. Di antara karya beliau yang dinilai sangat penting dan mendasar ialah Makalah berjudul PERKARA DAN ALASAN PERJUANGAN ACHEH SUMATERA MERDEKA yang dibentang dalam forum Scandinavian Associatation of Southeast Asian Social Studies, Gotenborg, pada 23 Agustus 1985. Tgk Hasan di Tiro memaparkan bahwa: “Tujuan yang tertinggi dari Angkatan Acheh Sumatera Merdeka adalah keselamatan bangsa Acheh-Sumatera, dunia dan akhirat sebagai satu bangsa merdeka dan berdaulat di bawah daulat Allah dan sebagai satu jama’ah dari pada satu ummah: ini bermakna jaminan keamanan nilai-nilai agama, politik, masyarakat, budaya dan ekonomi bangsa Acheh-Sumatra.[5] Ini merupakan intisari dari buku-buku yang sudah ditulis sebelumnya bahwa, Acheh Merdeka adalah sebuah perjuangan politik yang tidak membedakan antara kepentingan negara di satu sisi dan tuntutan agama di sisi lain. Pada bagian lain, beliau mengatakan: “Acheh mau menegakkan syari’at Islam.” Perkara ini sudahpun diutarakan dalam sebuah catatan yang ditulis sewaktu dalam rimba Acheh bahwa: “Islam mengajarkan bahwa laki-laki dan negara harus tunduk kepada hukum-hukum Allah. Menganggap adanya pemisahan antara agama dan negara, antara moralitas, politik dan ekonomi sebagai gejala skizofrenia (satu jenis penyakit kejiwaan) karena Islam bertujuan untuk menghasilkan orang bermoral. Memisahkan negara dari agama berarti mengingkari seluruh konsep Islam.”[6]


Berangkat dari anatomi dan kerangkai pemikiran Hasan Tiro tentang ajaran nasionalisme dan konsep negara Islam – Acheh Darussalam maksudnya– maka tidak  mengherankan jika ada penulis asing menyimpulkan bahwa ”seluruh perjalanan sejarah itu telah membentuk “kemenjadian Acheh” (the being of Acheh), yakni menjadi dirinya sendiri, yakni ‘satu identitas tertentu dimana orang Acheh merujuk kepada satu identitas yang lebih sempurna ketimbang identitas asalnya”[7] bahkan menyebut Tengku Hasan di Tiro sebagai ”figur yang ‘kerasukan’ tugas sejarah, dimana kepribadian Hasan di Tiro sulit keluar dari tarikan gaya syntrifugal dalam dua kutub yaitu ingatan-ingatan tentang Acheh dan peradaban Barat dimana masa kematangannya terbentuk.”[8] Akan halnya dengan isu politik identitas ke-Sumateraan dan Ke-Melayuan- dengan tegas dapat dijumpai pada Seruan beliau kepada bangsa-bangsa Melayu Sumatera tahun 1991, yang kemudian oleh sebagian penulis asing dimaknai sebagai usaha untuk ”merekonstruksi seluruh perjalanan sejarah politik sejak zaman kejayaan kerajaan Islam Acheh, masa pendudukan Belanda dan Jepang, bahwa ”ideologi GAM sedikit melompati seruan langsung tentang sentimen etnis dan kejayaan masa lalu dari Negara Acheh yang mandiri. Tujuan jangka panjang Hasan di Tiro’s untuk Acheh-Sumatera adalah mendirikan suatu konfederasi negara-negara merdeka.[9] Yang pasti –tidak  dapat dinafikan– adalah  Acheh has nothing to do with javanese ’Indonesia’. The Netherland declared war against the Kingdom of Acheh, not against ’Indonesia’ which did not exist in 1873; and ’Indonesia’ still did not exist when the Netherlands was defeated and withdrew from Acheh in March 1942. And when the Netherlands illegally transferred sovereignty to ’Indonesia’ on December 27, 1949, he had no presence in Acheh.”[10]  Fakta sejarah ini  adalah antara hal-hal yang memicu bangkitnya perjuangan menegakkan semula status Acheh sebagai sebuah negara merdeka dan berdaulat. Yang Acheh perjuangkan sekarang “bukanlah hendak mewujudkan negara baru, melainkan mendudukan status Acheh sebagai sebuah negara merdeka dan berdaulat seperti sedia-kala.”[11] Perlawanan demi perlawanan menentang kolonial dari bumi Acheh tidak akan berhenti demi mencapai kemerdekaan Acheh. Argumentasi dan apologinya sederhana saja: ”kami tidak menghendaki kemenangan dalam perang, kami hanya ingin menghentikan langkah mereka dari kemenangan.[12]  


Begitu pula, buku yang ditulis dalam Bahasa Inggeris berjudul: THE LEGAL STATUS OF ACHEH SUMATERA UNDER INTERNATIONAL LAW diterbitkan oleh Biro Penerangan ASNLF. Menyusul kemudian artikel ilmiah berjudul: SUMATERA SIAPA PUNYA 1 tahun 1991; … ACHEH KELAHIRAN BARU, 1992; … SUMATERA SIAPA PUNYA 2 tahun 1994; … naskah WAWANCARA ANTARA  NCRV-TV HILVERSUM DENGANTENGKU HASAN MUHAMMAD DI TIRO (WALI NEGARA ACHEH MERDEKA), 1996; … KONSEP-KONSEP IDEOLOGI ACHEH MERDEKA, tahun 1997. Guna melengkapi kandungan buku ini kami sendiri mengetengahkan dua artikel yang dianggap relevan dengan figure ketokohan Tengku Hasan di Tiro, berjudul: FAMILI DI TIRO DALAM UJIAN SEJARAH dan SEJENAK BERSAMA TENGKU HASAN DI TIRO, dimuat dalam Surat Kabar SERAMBI INDONESIA. Untuk mengetahui bagaimana kisah pada detik-detik terkahir kehidupan beliau, kami tulis sebuah artikel berjudul: HASAN TIRO: "THAT'S YOU, I DON'T MUSANNA, 2018, mengisahkan testimoni tiga orang berasal dari famili di Tiro yang sudah tentu kebasahan kandungannya dapat dipertanggungjawabkan. Sebetulnya, jumlah karya ilmiah beliau semuanya berjumlah 20 buah buku.[13]

 

 

Selama menetap di Sweden sebagai pelarian politik, pelbagai aktivitas dilakukan oleh Tengku Hasan di Tiro. Misalnya, menjalin hubungan politik dengan organisasi pembebasan, seperti RMS dan Papua Merdeka yang bermarkas di Belanda. Antara AM-RMS menandatangani sebuah MoU,[14] bersama-sama bangkit serentak melawan penjajah Indonesia untuk membebaskan diri dari cengkeraman kolonialisme. Di peringkat Internasional, Tengku Hasan di Tiro pernah menjadi note speaker dalam Seminar Dunia Islam dislenggarakan di London pada tahun 1984 yang dihadiri oleh perwakilan Indonesia. Ad kisah menarik dapam kesempatan itu, dimana delegasi Indonesia melancarkan protes atas kehadiran Tengku Hasan di Tiro dalam Seminar ini dan meminta kepada panitia penyelenggara untuk mengusirnya. Yang berlaku justeru sebaliknya; bukannya Tengku Hasan di Tiro yang diusir; akan tetapi Qalim Siddique (Ketua Penyelenggara) mengusir seluruh perserta delegasi Indonesia secara tidak hormat. Peristiwa naas ini diakui sendiri oleh Ridwan Saidi, salah seorang peserta Seminar dari Indonesia, yang dapat disimak dalam judul: Sejenak Bersama Tengku Hasan di Tiro.


Untuk membangun kekuatan militer Acheh, Tengku Hasan di Tiro menjalin hubungan diplomatik dan pertahanan dengan pemerintah Libya di bawah pimpinan Kolonel Muammar Qadafi pada tahun (1986 -1990). Hasil dari hubungan diplomatik –kerjasama latihan militer– tersebut, telah berhasil melatih lebih dari 1000 putera Acheh mengikuti pendidikan ideologi Acheh Merdeka dan sekaligus menjalani latihan militer yang intensif.[15] Pasukan militer AM yang dilatih di Kèm Tajura ini  kemudian diarahkan pulang dan memulakan perang fisik menentang TNI di Acheh. Pada masa yang sama, Tengku Hasan di Tiro dilantik oleh Kol. Muammar Qadafi (Presiden Libya) sebagai Direktor Politik Mathabah yang secra khusus mengurus hubungan hubungan luar negeri Libya. Saat itulah Tengku Hasan di Tiro tampil sebagai juru runding menengahi konflik tapal batas antara wilayah berdaulat negara Libya dan Chad. Alhamdulillah konflik kedua negara berhasil diselesaikan dengan damai. Selain itu Acheh (ASNLF) bergabung kedalam organisasi UNPO, yang beranggota 50 negara yang status negara masing-masing masih belum selesai urusan dengan pihak penjajah; menghadiri Sidang UNPO[16]  di Den Haaq dan Geneva, mengadakan interview dengan wartawan asing.[17] Disini dapat pula disaksikan liputan wartawan asing tentang aktivitas Tengku Hasan di Tiro dalam media sosial.[18] Untuk menggambarkan keprihatinan beliau terhadap bangsa-bangsa Sumatera, sebanyak dua kali menyampaikan Pidato berhubung isu Sumatera.[19] Acheh Merdeka menggunakan ASNLF sebagai wadah perjuangan, juga aktif menghadiri Sidang HAM di Geneva yang disponsori oleh Komisi HAM-PBB sejak awal tahun 1991, 1992 dan1993. Tepatnya pada tahun 1991, Tengku Hasan di Tiro mendapat kehormatan untuk memberikan tausiyah polirtik di Hoover Institution yang memaparkan tentang isu Acheh.[20] Memasuki era perundingan antara AM-RI yang bermula sejak tahun 2000-2002 di Geneva, Tengku Hasan di Tiro aktif mendampingi team juru runding, kecuali perundingan di Tokyo Jepang (2003) dan Helsinki (2005) tidak dapat ikut serta lagi, karena faktor kesehatan beliau yang tidak mendukung.

 

 

 

 

 

 




TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update