Kandungan cerita ini membuka wawasan cakrawala
berfikir bangsa Melayu di luar Pulau Jawa, yang sudah semestinya memikirkan dan
mengevaluasi tentang kegunaan negara Indonesia bagi bangsa-bangsa di luar Pulau
Jawa, sembari manawarkan bentuk federasi yang dianggap mendekati kebebasan
untuk berbuat demi kepentingan negeri sendiri dan lebih demokratis; apalagi sebagai
negara baru, Indonesia tidak memiliki sejarah yang pasti-pasti
dalam membina persatuan yang multi etnik dan memiliki keberagaman agama.
Persoalan utama yang menjadi sorotan dalam bu ku ini antara lain isu persatuan,
kesejahteraan dan profesionalisme kerja yang rapuh. Bayangkan saja, susunan
Kabinet pernah mencapai 17 kali bongkar pasang dalam rentang masa yang relatif
singkat; bahkan Sukarno memperkenalkan 100 Menteri. Sehubungan itu, Tengku
Hasan di Tiro menyajikan hujah yang jitu. Artinya, jika menurut Soekarno yang
menjadi punca kesalahan terletak pada aplikasi Demokrasi Barat sebagai acuan
berbangsa dan bernegara dan oleh karenanya perlu membentuk Dewan Nasional; sebaliknya
di mata Tengku Hasan di Tiro, demokrasi yang dikembangkan Soekarno sebetulnya, bukanlah
Demokrasi Barat, melainkan Demokrasi Primitif yang beridentitas ke-jawa-jawa-an.
Selain itu, beliau menulis buku berjudul: ACHEH BAK MATA DONJA (ACHEH DI MATA
DUNIA), yang kemudian diterbitkan oleh Bandar Publishing.
Pada tahun 1965, beliau menulis
buku berjudul: MASA DEPAN POLITIK DUNIA MELAYU, yang dicetak ulang pada tahun
1984. Kandungan buku nilah yang memberi
inspirasi kepada beliau tentang teori successor
of state (negara sambungan) merupakan methode yang paling jitu digunakan
sebagai perkakas politik memerdekakan semula Acheh Darussalam. Referensi ini
pula yang turut memberi kekuatan jiwa dan fisik, sehingga beliau memutuskan
kembali ke Acheh untuk memulai perjuangan perjuangan Acheh dan memproklamirkan
kemerdekaan Acheh pada 4 Desember 1976. Untuk tujuan itu, beliau
meninggakan Amerika Serikat –Isteri dan Karim di Tiro berusia 9 tahun– pada tahun 1975 menuju rimba Acheh. Beberapa hari
sebelum keberangkatan Tengku Hasan di Tiro ke Acheh, sempat menghadiri jamuan
makan malam bersama konglomerat Thailand yang dihadiri oleh beberapa personil
dari staff Kedutaan Amerika Serikat di Bangkok, Thailand.[1]
Selanjutnya pada suatu dini hari, pasukan Angkatan Laut Thailand atas perintah
Raja Thailand mengantar Tengku Hasan di Tiro memasuki dan melewati zona laut
Internasional –sampai ke perbatasan
perairan Acheh– kira-kira 3km. dari pantai Pasélhôk, Pidië. ”Kisah keterlibatan Angkatan Laut diraja
Thailand mengantar ke perairan Internasional hingga merapat ke perairan Acheh,
takkan mungkin saya bèbèrkan, dalam buku The Price of Freedom: The Unfinished Diary (Jum Meurdhèka
sekalipun.”[2]
Setelah menunggu beberapa jam, barulah muncul sebuah Perahu mesin dimana M.
Daud Husén (Daud Paneuk) menjemput beliau ke tengah laut. Setibanya di pantai
Pasélhôk, M. Daud Husin hari itu juga beserta rombongan berangkat menuju Bukit
Cokan. “Itu adalah malam pertama di tanah
airku setelah selama 25 tahun aku tinggal di pengasingan di Amerika Serikat.”[3] Di
Bukit Cokan-lah Tengku Hasan di Tiro menoréh lembaran sejarah perjuangan AM
dengan mendeklarasi Kemerdekaan Acheh pada 4 Desember 1976, yang antara lain
menyebut “Kami, rakyat Acheh, Sumatera,
menggunakan hak kami untuk menentukan nasib sendiri dan melindungi hak sejarah
kami akan tanahair kami, dengan ini menyatakan bahwa kami merdeka dan
independen dari kontrol politik rejim asing Jakarta dan orang asing dari Pulau
Jawa. Tanah Air kami, Acheh, Sumatra, selalu merdeka dan independen sebagai
negara yang berdaulat sejak dunia diciptakan…”[4]
Selama berada
dalam rimba Acheh, beliau aktif menulis, seprti buku berjudul DRAMA ACHEH,
yang mengisahkan peperangan antara Acheh versus Belalnda pada tahun 1873; Legal Status of Acheh Sumatra, The Price of
Freedom: The Unfinished Diary. Buku itu merupakan catatan harian saat berada di medan perang selama
(1976-1979), setelah 25 tahun menetap di Amerika Serikat. Oleh sebab
situasi keamanan amat mencekam dan terdesak, maka diadakan musyawarah Dewan
Kabinet pertama. Hasil musyawarah tersebut disepakati bahwa, dr. Husaini Hasan
diberi kepercayaan untuk memugar hubungan diplomasi di luar negeri; sementara
Tengku Hasan di Tiro tetap bertahan di medan perang Acheh. Akan tetapi setelah
menunggu beberapa bulan, dr. Husaini Hasan masih belum juga ada keputusan yang
pasti-pasti –tersangkut dalam urusan keberangkatan ke negara ketiga– melalui UNHCR Kuala Lumpur, maka diadakan
musyawarah Dewan Kabinet kedua di kawasan hutan Jiniëb. Musyawarah memutuskan
bahwa Tengku Hasan Muhammad di Tiro dipercayakan berngkat keluar dari Acheh
untuk membangun kembali hubungan diplomatik di luar negeri. Oleh tujuan itu,
Saiman (seorang Pelaut berasal dari Jiniëb) dipercayakan mengantar Tengku Hasan
di Tiro dengan Perahu mesin meredah samudera gelombang Selat Melaka dan
terdampar di sebuah sungai kecil di kawasan Gelang, Singapura. Beliau segera
melapor diri kepada Kepala Inteligen Singapura, seterusnya melaporkan situasi
yang dihadapi kepada Lee Kuan Yew (Perdana Menteri Singapura pada masa itu). Secara
rahasia, Lee Kuan Yew membantu menerbangkan Tengku Hasan di Tiro menuju
Lissabon Portugal. Dari Portugal pergi Mozambik.
Seterusnya diterima sebagai pelarian politik di Sweden pada tahun 1982. Di Sweden, Tengku Hasan di Tiro berjumpa kembali dengan
dr. Husaini Hasan, dan dkk lain, yang sudah lebih awal diterima
sebagai pelarian politik. Ada sebuah buku
berjuduL: REVOLUSI DESEMBER ´45, DI ACÈH ATAU PEMBASMIAN PENGKHIANAT TANAH AIR
tanpa tarikh diterbitkan, namun
berdasarkan testimoni dari Dr. M. Isa Sulaiman kepada Murizal Hamzah bahwa,
buku tersebut adalah karya ilmiah Tengku Hasan di Tiro, dimuat berdasarkan teks
asli, demi merawat kesahehannya.
Sesudah
hijrah ke luar negeri, beliau terus aktif menulis, misalnya: sebuah Makalah ilmiah
berjudul "Indonesian Nationalism: a Western
invention to subvert Islam and to prevent decolonization of the Dutch East
Indies," diucapkan dalam Seminar Dunia Islam bertaraf
internasional di London, pada 31 Juli, 1985, Makalah ilmiah ini kemudian diterjemahkan berjudul: NASIONALISME UNTUK
INDONESIA pada tahun 1989. Di antara karya beliau yang dinilai sangat
penting dan mendasar ialah Makalah berjudul PERKARA DAN ALASAN PERJUANGAN ACHEH
SUMATERA MERDEKA yang dibentang dalam forum Scandinavian
Associatation of Southeast Asian Social Studies, Gotenborg, pada 23 Agustus
1985. Tgk
Hasan di Tiro memaparkan bahwa: “Tujuan
yang tertinggi dari Angkatan Acheh Sumatera Merdeka adalah keselamatan bangsa
Acheh-Sumatera, dunia dan akhirat sebagai satu bangsa merdeka dan berdaulat di
bawah daulat Allah dan sebagai satu jama’ah dari pada satu ummah: ini bermakna
jaminan keamanan nilai-nilai agama, politik, masyarakat, budaya dan ekonomi
bangsa Acheh-Sumatra.”[5] Ini merupakan intisari dari buku-buku yang
sudah ditulis sebelumnya bahwa, Acheh Merdeka adalah sebuah perjuangan politik
yang tidak membedakan antara kepentingan negara di satu sisi dan tuntutan agama
di sisi lain. Pada bagian lain, beliau mengatakan: “Acheh mau menegakkan syari’at Islam.” Perkara ini sudahpun
diutarakan dalam sebuah catatan yang ditulis sewaktu dalam rimba Acheh bahwa: “Islam mengajarkan bahwa laki-laki dan negara
harus tunduk kepada hukum-hukum Allah. Menganggap adanya pemisahan antara agama
dan negara, antara moralitas, politik dan ekonomi sebagai gejala skizofrenia
(satu jenis penyakit kejiwaan) karena Islam bertujuan untuk menghasilkan orang
bermoral. Memisahkan negara dari agama berarti mengingkari seluruh konsep Islam.”[6]
Berangkat
dari anatomi dan kerangkai pemikiran Hasan Tiro tentang ajaran nasionalisme dan
konsep negara Islam – Acheh Darussalam maksudnya– maka tidak mengherankan jika ada penulis asing
menyimpulkan bahwa ”seluruh perjalanan
sejarah itu telah membentuk “kemenjadian Acheh” (the being of Acheh), yakni menjadi dirinya sendiri, yakni ‘satu
identitas tertentu dimana orang Acheh merujuk kepada satu identitas yang lebih
sempurna ketimbang identitas asalnya”[7]
bahkan menyebut Tengku Hasan di Tiro sebagai ”figur yang ‘kerasukan’ tugas sejarah, dimana kepribadian Hasan di Tiro
sulit keluar dari tarikan gaya syntrifugal dalam dua kutub yaitu
ingatan-ingatan tentang Acheh dan peradaban Barat dimana masa kematangannya
terbentuk.”[8] Akan halnya dengan isu politik identitas ke-Sumateraan dan Ke-Melayuan-
dengan tegas dapat dijumpai pada Seruan beliau kepada bangsa-bangsa Melayu
Sumatera tahun 1991, yang kemudian oleh sebagian penulis asing dimaknai sebagai
usaha untuk ”merekonstruksi seluruh perjalanan sejarah politik
sejak zaman kejayaan kerajaan Islam Acheh, masa pendudukan Belanda dan Jepang,
bahwa ”ideologi GAM sedikit melompati
seruan langsung tentang sentimen etnis dan kejayaan masa lalu dari Negara Acheh
yang mandiri. Tujuan jangka panjang Hasan di Tiro’s untuk Acheh-Sumatera adalah
mendirikan suatu konfederasi negara-negara merdeka.”[9] Yang pasti
–tidak dapat dinafikan– adalah “Acheh has nothing to do with javanese
’Indonesia’. The Netherland declared war against the Kingdom of Acheh, not
against ’Indonesia’ which did not exist in 1873; and ’Indonesia’ still did not
exist when the Netherlands was defeated and withdrew from Acheh in March 1942.
And when the Netherlands illegally transferred sovereignty to ’Indonesia’ on
December 27, 1949, he had no presence in Acheh.”[10] Fakta sejarah ini adalah antara hal-hal yang memicu bangkitnya
perjuangan menegakkan semula status Acheh sebagai sebuah negara merdeka dan
berdaulat. Yang Acheh perjuangkan sekarang “bukanlah
hendak mewujudkan negara baru, melainkan mendudukan status Acheh sebagai sebuah
negara merdeka dan berdaulat seperti sedia-kala.”[11]
Perlawanan demi perlawanan menentang
kolonial dari bumi Acheh tidak akan berhenti demi mencapai kemerdekaan Acheh.
Argumentasi dan apologinya sederhana saja:
”kami tidak menghendaki kemenangan dalam perang, kami hanya ingin menghentikan
langkah mereka dari kemenangan.”[12]
Begitu pula, buku yang ditulis dalam Bahasa Inggeris berjudul: THE LEGAL STATUS OF ACHEH SUMATERA UNDER
INTERNATIONAL LAW diterbitkan oleh
Biro Penerangan ASNLF. Menyusul kemudian artikel ilmiah berjudul: SUMATERA
SIAPA PUNYA 1 tahun 1991; … ACHEH KELAHIRAN BARU, 1992; … SUMATERA SIAPA PUNYA
2 tahun 1994; … naskah WAWANCARA ANTARA
NCRV-TV HILVERSUM DENGANTENGKU HASAN MUHAMMAD DI TIRO (WALI NEGARA ACHEH
MERDEKA), 1996; … KONSEP-KONSEP IDEOLOGI ACHEH MERDEKA, tahun 1997.
Guna melengkapi kandungan buku ini kami sendiri mengetengahkan dua artikel yang
dianggap relevan dengan figure ketokohan Tengku Hasan di Tiro, berjudul:
FAMILI DI TIRO DALAM UJIAN SEJARAH dan SEJENAK BERSAMA TENGKU HASAN DI TIRO, dimuat
dalam Surat Kabar SERAMBI INDONESIA. Untuk mengetahui bagaimana kisah pada
detik-detik terkahir kehidupan beliau, kami tulis sebuah artikel berjudul: HASAN TIRO: "THAT'S YOU, I DON'T MUSANNA, 2018,
mengisahkan testimoni tiga orang berasal dari famili di Tiro yang sudah tentu
kebasahan kandungannya dapat dipertanggungjawabkan.
Sebetulnya, jumlah karya
ilmiah beliau semuanya berjumlah 20 buah buku.[13]
Selama menetap di Sweden sebagai pelarian politik, pelbagai
aktivitas dilakukan oleh Tengku Hasan di Tiro. Misalnya, menjalin hubungan politik
dengan organisasi pembebasan, seperti RMS dan Papua Merdeka yang bermarkas di
Belanda. Antara AM-RMS menandatangani sebuah MoU,[14]
bersama-sama bangkit serentak melawan penjajah Indonesia untuk membebaskan diri
dari cengkeraman kolonialisme. Di peringkat Internasional, Tengku Hasan di Tiro
pernah menjadi note speaker dalam
Seminar Dunia Islam dislenggarakan di London pada tahun 1984 yang dihadiri oleh
perwakilan Indonesia. Ad kisah menarik dapam kesempatan itu, dimana delegasi Indonesia
melancarkan protes atas kehadiran Tengku Hasan di Tiro dalam Seminar ini dan
meminta kepada panitia penyelenggara untuk mengusirnya. Yang berlaku justeru
sebaliknya; bukannya Tengku Hasan di Tiro yang diusir; akan tetapi Qalim Siddique
(Ketua Penyelenggara) mengusir seluruh perserta delegasi Indonesia secara tidak
hormat. Peristiwa naas ini diakui sendiri oleh Ridwan Saidi, salah seorang
peserta Seminar dari Indonesia, yang dapat disimak dalam judul: Sejenak Bersama
Tengku Hasan di Tiro.
Untuk membangun kekuatan militer Acheh, Tengku Hasan di
Tiro menjalin hubungan diplomatik dan pertahanan dengan pemerintah Libya di
bawah pimpinan Kolonel Muammar Qadafi pada tahun (1986 -1990). Hasil dari
hubungan diplomatik –kerjasama latihan militer– tersebut, telah berhasil
melatih lebih dari 1000 putera Acheh mengikuti pendidikan ideologi Acheh
Merdeka dan sekaligus menjalani latihan militer yang intensif.[15] Pasukan
militer AM yang dilatih di Kèm Tajura ini
kemudian diarahkan pulang dan memulakan perang fisik menentang TNI di Acheh.
Pada masa yang sama, Tengku Hasan di Tiro dilantik oleh Kol. Muammar Qadafi (Presiden
Libya) sebagai Direktor Politik Mathabah yang secra khusus mengurus hubungan
hubungan luar negeri Libya. Saat itulah Tengku Hasan di Tiro tampil sebagai
juru runding menengahi konflik tapal batas antara wilayah berdaulat negara Libya
dan Chad. Alhamdulillah konflik kedua negara berhasil diselesaikan dengan damai.
Selain itu Acheh (ASNLF) bergabung kedalam organisasi UNPO, yang beranggota 50
negara yang status negara masing-masing masih belum selesai urusan dengan pihak
penjajah; menghadiri Sidang UNPO[16] di Den Haaq dan Geneva, mengadakan interview
dengan wartawan asing.[17] Disini dapat pula disaksikan liputan wartawan asing tentang
aktivitas Tengku Hasan di Tiro dalam media sosial.[18] Untuk menggambarkan keprihatinan beliau terhadap bangsa-bangsa
Sumatera, sebanyak dua kali menyampaikan Pidato berhubung isu Sumatera.[19]
Acheh Merdeka menggunakan ASNLF sebagai wadah perjuangan, juga aktif
menghadiri Sidang HAM di Geneva yang disponsori oleh Komisi HAM-PBB sejak awal
tahun 1991, 1992 dan1993. Tepatnya pada tahun 1991, Tengku Hasan di Tiro
mendapat kehormatan untuk memberikan tausiyah polirtik di Hoover Institution
yang memaparkan tentang isu Acheh.[20] Memasuki
era perundingan antara AM-RI yang bermula sejak tahun 2000-2002 di Geneva,
Tengku Hasan di Tiro aktif mendampingi team juru runding, kecuali perundingan
di Tokyo Jepang (2003) dan Helsinki (2005) tidak dapat ikut serta lagi, karena faktor
kesehatan beliau yang tidak mendukung.




