Seterusnya
dalam rapat ”AM Ban Sigom Donja”
pada 19 – 21 Juli 2002, yang dihadiri oleh perwakilan dari Acheh, Malaysia,
Australia, Belanda, Swedia, Denmark, Amerika dan Norwegia yang berlangsung di
Stavanger Norwegia. Pertemuan akbar Acheh Merdeka ini dibuka oleh Tengku Hasan
di Tiro. Beliau juga aktif mengikuti jalannya rapat setiap hari selama tiga
hari. Rapat akbar AM ini menghasilkan 14
butir "Deklarasi Stavanger", yang di antaranya ialah: merubah
struktur organisasi dari ASNLF kepada PEMERINTAH NEGARA
ACHEH (PNA) dan sayap militer AM menjadi Tentara Negara Acheh (TNA),
dll. Seiring dengannya, Malik Mahmud disetujui oleh Wali Negara menjadi Perdana
Menteri dan dr. Zaini Abdullah menjadi Menteri luar Negeri. Sejak itu,
Malik Mahmud dan Zaini Abdullah mulai tampil ke depan mengambil alih dan
menentukan sepenuhnya kebijakan perjuangan AM di dalam dan luar negeri.
Pada
15 Juni 2004, rumah kediaman Tengku Hasan di Tiro, tidak terkecuali rumah
kediamana Malik Mahmud dan Zaini Abdullah digerebeg oleh pihak Kepolisian dan Kejaksaan
Swedia, berhubung dugaan dan tuduhan melancarkan
aktivitas makar politik. Dipercayai dan dipastikan bahwa, pemerintah Indonesia memberi input kepada
pihak kepolisian dan Kejaksaan Sweden bahwasanya Acheh Merdeka termasuk gerakan
teroris yang mesti dimasukkan kedalam keranjang gerakan teroris internasional,
dimana tindakan mereka disifatkan melanggar hukum internasional. Sehubungan
itu, pemerintah Indonesia memohon agar supaya para barisan pemimpin AM
ditangkap ditahan dan diadili di Mahkamah Swedia dan atau mendeportasi ke
Indonesia. Bagaimanapun, Tengku Hasan di Tiro dibebaskan dari segala tuduhan
atas alasan kesehatan, sementara Malik Mahmud dan Zaini Abdullah ditahan dan
diadili. Dalam Sidang Mahkamah Huddinge pada 18 Juni 2004, kedua-dua pimpinan
AM tersebut ternyata diputus bebas murni tanpa syarat
dari segala tuduhan (vrijspraak). Klimaksnya
pada tahun 2008, Tengku Hasan di Tiro berserta para kombatan AM Malaysia, dengan menumpang
pesawat sewaan dari Malaysia selamat mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda
pada 11 Oktober 2008,[1] yang mendapat pengawalan ketat dari satuan
Komando Komite Peralihan Acheh.
Dua tahun kemudian,
pada bulan Mei 2010, Tengku Hasan di Tiro menderita sakit serious dan dibawa ke
RSUDZA Banda Acheh untuk mendapatkan perawatan intensif. Dalam keadaan tidak
sadarkan diri inilah, para staff dekatnya –Malik Mahmud, Zaini Abdullah, Zakarya
Saman, Muzakkir Abdul Hamid– terus berusaha agar proses penukaran status kewarganegaraan
Tengku Hasan di Tiro berjalan lancar – setidak-tidaknya– sebelum beliau
meninggal dunia. Sementara itu pihak ahli waris mengaku tidak tahu apa-apa
dalam hal penukaran kewarganegaraan beliau.[2]
Benar, 26 jam sebelum beliau menghembuaskan nafas terakhir, Sertifikat
kewarganegaraan Indonesia diserahkan kepada pihak ahli Waris + uang Rp. 15 juta
yang diterima oleh Tengku Fauzi di Tiro dan mengaku tidak tahu-menahu dalam
urusan penukaran kewarganegaraan Tengku Hasan di Tiro.[3]
Pelbagai
kisah tragis dialami oleh beliau selama berada di Acheh. Kisah ini dituangkan dalam
judul: Hasan Tiro: That’s You, I don’t
Musanna, yang begitu miris dan mengharukan. Pemerintah
Indonesia mengambil inisiatif untuk memulihkan status WNI Hasan Tiro.
Surat itu disampaikan Menkopolhukkam Joko Suyanto kepada perwakilan kerabat
dekat
didampingi oleh mantan petinggi AM, Malik Mahmud. Dalam surat itu disebutkan
salah satu pertimbangannya, yaitu alasan kemanusiaan. Pertimbangan lainnya
adalah nota kesepahaman damai antara Indonesia dan GAM. Di akhir hayat ayahnya,
Karim Di Tiro tak sempat mengiringi kepergian Hasan Tiro untuk
selamanya. Kala itu banyak orang di Acheh menunggu kepulangannya.
Tapi itu tidak pernah terjadi.[4]
[1] Lihat dokumen T. Suasana Keberangkatan
dan Ketibaan Tengku Hasan di Tiro dari Kuala Lumpur menuju Acheh.
[2] Yusra Habib Abdul Gani, 2018, Hasan Tiro: That’s you, I don’t
Musanna, Achehvision.com
[3] Ibid., Yusra Habib Abdul Gani, 2018, Hasan Tiro: That’s you, I don’t
Musanna.
[4] SERAMBINEWS.COM,
Liputan Tentang Milad Acheh Merdeka, 4 Desember 2019.



