Notification

×

Iklan

Iklan

Kolonialisme Belanda Tidak Dihapuskan Tetapi Diteruskan Dengan Nama Baru

Selasa, 21 Oktober 2025 | Oktober 21, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-21T13:35:04Z


 

MASA-DEPAN POLITIK DUNIA MELAYU sudah dikeluarkan pertama kali pada tahun 1965, dalam bahasa Inggeris, dalam bahasa mana buku ini pertama kali ditulis oleh pengarangnya dengan nama THE POLITICAL FUTURE OF THE MALAY ARCHIPELAGO. Buku ini telah banyak mendapat perhatian dunia dan isinya telah menjadi pedoman bagi banyak negara-negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa dalam menentukan sikap mereka terhadap Asia Tenggara dimana Dunia Melayu merupakan bagiannya yang terbesar. Walaupun buku ini sudah ditulis 19 tahun yang silam isinya masih tetap hangat dan mengandung ramalan-ramalan politik yang sudah kejadian dan karena itu telah merupakan satu karangan classic yang membuka tabir pertarungan dan perjuangan politik yang sesungguhnya (real politik) di Dunia Melayu. Isinya sudah masuk dalam Verbatim Records dari perdebatan antara negara dalam sidang-sidang Komité Ke-Empat (Decolonization Commission) dari Perserikatan Bangsa-bangsa. Oleh karena itu dianggap perlu untuk mengeluarkannya dalam bahasa Melayu Asli - satu bahasa resmi Negara Acheh Sumatera – untuk menjadi bahan bacaan bagi chalajak ramai Dunia Melayu.

 

 

KEMENTRIAN PENDIDIKAN NEGARA ACHEH SUMATRA

 

Wilajah Berdaulat, 16 September, 1984

 

 

 

 

 

INILAH INDONESIA-JAWA

 

Apa yang kita saksikan sekarang ini di Tanah Pusaka, kampung halaman kita, bukanlah satu kejadian yang sementara, tetapi satu keadaan yang tetap dan mungkin kekal. Satu perubahanpun tidak akan terjadi dengan sendirinya di masa yang akan datang. Dua-puluh tahun adalah satu masa yang sangat lama, sama dengan masa berlalunya satu keturunan manusia. Dalam masa dua-puluh tahun ini beberapa kerajaan sudah dibagi-bagi dan dibubarkan, lebih 60 buah negara-negara baru sudah dibangunkan, hampir seluruh bangsa yang dahulunya terjajah sudah memperoleh kembali kemerdekaan mereka, seluruh ekonomi dan industri benua Eropa dan Jepang sudah selesai dibangunkan kembali dari runtuhan puing Perang Dunia Ke-II. Apa yang sudah dan sedang terjadi di Tanah Pusaka kita dalam masa yang selama itu adalah terlalu menyedihkan untuk diperbincangkan disini. Tetapi apa yang sudah kita alami selama masa satu keturunan, bukanlah lagi satu keadaan sementara; ini adalah suatu keadaan yang kekal dari indonesia- Jawa. Inilah rupa dan wajah indonesia-Jawa yang sebenar-benarnya: dimana rakyat makin sehari makin bertambah lapar; dimana politik keuangan negara terdiri dari pemotongan uang setiap beberapa tahun berselang; dimana inflasi merupakan satu sifat yang kekal dari ekonomi yang telah meruntuhkan simpanan, harta benda, kekayaan dan kehormatan rakyat kita; dimana tidak ada lagi kebebasan menulis dan tidak ada lagi kebebasan dari ketakutan dan ancaman; dimana setiap orang terancam oleh penahanan dan penangkapan yang sewenang-wenang, bahkan oleh pembunuhan yang semena-mena oleh polisi dan tentara; dimana tidak ada lagi ke’adilan dan hukum; dimana Undang-undang Dasar negara hanyalah apa yang disebut oleh fuehrer Jawa belaka; dimana rakyat sudah kehilangan hak-hak politik dan hak-hak asasi kemanusiaan mereka, dimana pertumpahan darah terus menerus terjadi dengan tidak berhenti-hentinya kecuali di daerah-daerah bangsa Jawa; dimana semua orang baik-baik yang dahulunya sudah berjuang untuk kemerdekaan indonesia berada dan meringkuk dalam penjara, sedang mereka yang seharusnya dalam penjara berada di luar membangga-banggakan pakaian-seragam jenderal-jenderal dan kedudukan menteri-menteri. Inilah gambaran dan rupa indonesia-Jawa, “satu kerajaan pencuri dan perampok” (“a hoodlum empire”) sebagai seorang penulis Amerika sudah menggambarkannya, atau “satu sandiwara Belanda berkulit sawoh-matang”“a brown Dutchmen show”– sebagai seorang pengarang Australia sudah mensifatkannya.

 

Inilah gambaran dari Indonesia-jawa semenjak dua-puluh tahun yang silam. Inilah gambaran dari Indonesia-Jawa untuk dua-puluh abad yang akan datang, jika kita putera-putera Acheh-sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Bali, Sunda dan lain-lain, tidak bangun serentak dari tidur kita, dan tegak berdiri merebut kembali kemerdekaan kita yang selama dua-puluh tahun ini sudah diabai-abaikan dan direndah-rendahkan oleh kaum kolonialis Jawa. Waktunya sudah tiba buat kita untuk menyuruh kaum kolonialis Jawa itu pulang kenegerinya sendiri; untuk mengatakan kepada mereka supaya berhenti mendékté kepada kita tentang bagaimana memerintah Tanah Pusaka, kampung halaman kita sendiri, bagaimana mempergunakan kekayaan kita sendiri, dan bagaimana mendidik anak-keturunan kita sendiri. Kalau kita tidak segera mendapat kembali perasaan harga-diri kita, perasaan percaja pada diri kita sendiri dan mengambil kekuasaan atas Tanah ibu, kampung halaman rumah-tangga dan harta benda kekayaan kita sendiri, maka masa sekarang dan masa depan kita dan keturunan kita akan hilang untuk selama-lamanya sebagaimana halnya dengan masa silam kita seketurunan ini.

 

 

KOLONIALISME BELANDA TIDAK DIHAPUSKAN TETAPI DITERUSKAN DENGAN NAMA BARU

 

Apa yang sudah terjadi di kepulauan kita selama 20 tahun ini bukanlah penghapusan dari kolonialisme yang telah didirikan oleh Belanda, tetapi adalah penerusan dan pemeliharaannya dalam bentuk dan dasar-dasarnya yang sungguh asli. Yang berubah hanyalah orang-orang yang menduduki istana-istana di Jakarta dan Bogor. Apa yang sudah terjadi sebenarnya hanya pertukaran nama-nama pegawai seorang Belanda yang bernama Hubertus Van Mook telah diganti oleh sorang Jawa bernama Sukarno atau Suharto. Sedang seluruh sistem penjajahan Belnada dalam bentuk keluasan dan kesatuan daerahnya, dalam bentuk susunan politik dan administrasinya, semuanya pada dasarnya dipelihara bulat-bulat seperti semula. Pengorbanan terakhir, penyerahan orang Papua Barat (yang juga dicoba tukar namanya oleh Jawa menjadi “Irian”) kepada kaum kolonialis Jawa, telah dilakukan atas ‘kekuatan’ alasan yang bahwa mereka itupun dahulunya dijajah oleh Belanda dan karena itu merekapun masuk daftar ‘hak-milik” dan ‘harta-benda’ Hindia Belanda yang harus diserahkan kepada keturunan Hindia Belanda itu, yaitu Indonesia-Jawa. Sudahlah terang-benderang jika hasil dari penjajahan dan penaklukkan Belanda diserahkan kepada Jawa, maka akibatnya tidak boleh tidak, berdirinya satu imperialisme Jawa di atas tempat yang tadinya diduduki oleh imperialisme Belanda. Karena itu tidaklah mengherankan kalau inilah yang sudah terjadi. Bagaimana perkara semacam ini telah diterima sebagai satu ‘pemberian kemerdekaan’ dan sebagai satu tindakan penghapusan penjajahan atas Tanah Pusaka kita adalah satu hal yang sungguh mengherankan sekali. Tanah Pusaka kita bukan dikembalikan kepada kita masing-masing, tetapi diserahkan kepada Jawa yang membuat perjanjian dengan Belanda untuk memelihara kepentingan penjajahannya sampai akhir zaman.

 

Pada waktu penjajahan Inggeris telah diakhiri dengan mengembalikan hasil-hasil dari penaklukkan Inggeris kepada pemilik-pemilik aslinya dari siapa neger-negeri itu sudah dirampas dahulunya: India dikembalikan kepada orang India, Pakistan dikembalikan kepada orang Pakistan, Burma dikembalikan kepada orang Burma, Ceylon dikembalikan kepada orang Ceylon, Ghana dikembalikan kepada orang Ghana, Kenya kepada orang Kenya, Kuweit kepada orang Kuweit, Iraq kepada orang Iraq, dan demikianlah seterusnya. Pada waktu penjajahan Perancis sudah dihapuskan dengan mengembalikan semua hasil dari penaklukkan Perancis masing-masing kepada penduduk aslinya yang berhak: Syria dikembalikan kepada orang Syria, Lebanon dikembalikan kepada orang Lebanon, Tunisia dikembalikan kepada orang Tunisia, Aljazair dikemabalikan kepada orang Aljazair, Mauretania dikembalikan kepada orang Mauretania, Madagaskar dikembalikan kepada orang Madagaskar (Malagasy), Congo kepada orang Congo, Vietnam kepada orang Vietnam, Kamboja kepada orang Kamboja, Laos kepada orang Laos, dan demikianlah seterusnya. Bertentangan sekali dengan aliran zaman ini dan berlawanan sekali dengan segala hukum keadilan, maka penjajahan Belanda di kepulauan kita telah dipelihara bulat-bulat, daerah-daerah yang ditakluknya tidaklah dikembalikan kepada bangsa asli yang berhak atas daerah-daerah itu yang dahulunya direbut oleh Belanda dari mereka dengan peperangan yang berlumur darah: Acheh-Sumatra tidak dikembalikan kepada orang Acheh-Sumatra, Kalimantan tidak tidak dikembalikan kepada orang Kalimantan, Sulawesi tidak dikembalikan kepada orang Sulawesi, Maluku tidak dikembalikan kepada orang Maluku, Bali tidak dikembalikan kepada orang Bali, Sunda tidak dikemabalikan kepada orang Sunda, tetapi semuanya itu telah diserahkan bulat-bulat kepada kaum kolonialis Indonesia-Jawa, dengan tidak ada pertanyaan, apalagi pemilihan. Semuanya dengan serta-merta diserahkan kepada Jawa, seakan-akan kita semua adalah ‘hak-milik’ dan ‘harta-benda’ dari Hindia Belanda yang dapat diwariskan begitu saja kepada bonekanya yakni Indonesia-Jawa. Oleh karena itu tindakan pemerdekaan (decolonization) sebagaimana yang dikehendaki oleh Piagam Perserikatan Bangsa belumlah lagi dijalankan di kepeluan Melayu kita sebagaimana yang telah dijalankan di Indochina, Asia dan Afrika. Perbuatan Belanda menyerahkan ‘kedautannya’ yang sebenarnya tidak pernah ada dalam tangannya itu kepada Indonesia-Jawa adalah Illegal menurut Hukum Internasional.

 

Oleh karena republik Indonesia-Jawa yang sekarang dalam teorinya dan dalam kenyataannya adalah lanjutan dan sambungan dari penjajahan Belanda dan waris dari segala ‘hasil’ penaklukkan dan perang kolonial yang tidak sah dan perampokan belaka dari pemerintah Hindia Belanda, maka kelegalan kekuasaan dan pendiriannya adalah masalah yang sangat penting sekali, karena republik Indonesia-Jawa yang sekarang nyata-nyata satu negara yang tidak sah dan satu negara yang tidak mempunyai dasar hukum. Walaupun republik Indonesia-Jawa sekarang menduduki Acheh-Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua Barat, Bali, Pasundan, dan lain-lain, kenyataan penduduk saja teidaklah memberi hak hukum kepada kaum kolonialis Jawa untuk menguasai neger-negeri besar tsb. Kea’dilan dan hukum tidaklah berasal dari pendudukan dan tidak pula berdasarkan pada pendudukan itu, tetapi pada bagaimana hal ihwal dan asal usul terjadinya pendudukan itu dimasa yang sudah dan bagaimana hal itu dipertahankan sekarang. Untuk membuktikan ke’adilan sesuatu tuntutan (claim) terhadap sesuatu daerah (territory), kita harus memeriksa lebih dahulu tentang tata-tertib (procedure) yang dengan melaluinya daerah itu sudah diambil atau diperoleh. Dan akhirnya dengan memastikan kedudukan dari tata-tertib ini dalam Hukum Internasional (International Law).

 

Apakah tata-tertib (procedure) yang dipakai oleh Belanda dalam mengambil Acheh-Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Bali, dan lain lain dan dalam membuat negeri-negeri itu menjadi bagian dari Hindia Belanda alias Indonesia? Rasanya tidaklah perlu kita paparkan lagi di sini tentang sejarah peperangan kolonial yang kejam sekali yang telah dilakukan oleh Belanda untuk menaklukkan Acheh-Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Bali, dan lain-lain, dalam usahanya untuk merampas dan menempatkan negeri-negeri itu ke bawah penjajahan Belanda yang kemudian oleh Belanda sendiri ditukar namanya menjadi “indonesia”. Ratusan ribu nenek moyang kita telah mengorbankan jiwa mereka dengan sifat kepahlawanan yang tidak ada taranya untuk mempertahankan Tanah Pusaka kita dari serangan Belanda dan serdadu sewaannya. Ini adalah sejarah kita yang megah yang tidak boleh diubah-ubah lagi dan yang kita tidak mau mengubahnya. Ini adalah ‘tata-tertib’ dan cara yang dipakai oleh Belanda dalam mengambil Acheh-Sumatra, Sulawesi, Maluku, Bali, dan lain-lain telah dihancurkan. Ini terang-terangan satu perbuatan yang tidak sah, satu tindakan perampokan belaka. Perbuatan yang semacam ini tidak pernah dibenarkan baik menurut hukum-hukum nasional maupun Hukum International. Jika dasar Hindia Belanda adalah salah, maka Indonesia-Jawa yang 100% didasarkan atas Hindia Belanda itu, baik mengenai wilayahnya, maupun mengenai hak hukumnya, tidaklah dapat menjadi benar. Dasar Hukum Internasional yang mengatakan bahwa ex injuria jus non oritur, (hak tidak dapat berasal dari yang bukan hak, keadilan tidak dapat lahir dari kejahatan) adalah menjadi dasar hukum dunia beradab.  Kesalahan dan ketidak-adilan yang bersejarah ini hanya dapat diperbaiki dan dipulihkan dengan mengembalikan kedaulatan atas Acheh-Sumatera kepada orang Acheh-Sumatra, kedaulatan atas Kalimantan kepda orang Kalimantan, kedaulatan atas Sulawesi kepada orang Sulawesi, atas Maluku kepada orang Maluku, atas Bali kepada orang Bali, atas Pasundan kepada orang Sunda, dan lain sebgainya. Kesalahan dan ketidak-adilan ini sekali-kali tidak dapat diperbaiki dan dipulihkan dengan memelihara kesatuan wilayah Hindia Belanda - walaupun dengan memakai nama atau merek baru ‘indonesia’. Perbuatan yang sedemikian menyolok mata ini takkan diterima orang di bagian dunia yang manapun juga. Tak ada bangsa yang masih berkehormatan akan menerima penipuan yang semacam ini. Jika hal yang semacam ini berlaku di bahagian dunia yang lain, maka lebih 60 buah negara-negara baru yang telah menjadi anggota Perserikatan Bangsa takkan pernah memperoleh kembali kemerdekaan mereka. Jika demikianlah kedudukan perkara dan penyelesaiannya maka Kamboja, Vietnam dan Laos takkan pernah mendapatkan kembali kemerdekaan mereka dari Perancis, karena kedaulatan atas neger-negeri mereka dengan mudah dapat diserahkan kepada satu ‘republik indocina’ yang dibuat-buat saja, seperti halnya dengan ‘republik indonesia’; jika demikianlah gerangan duduk perkaranya, maka Pakistan, Burma, Ceylon, takkan pernah mendapat kemerdekaan mereka kembali dari Inggeris karena seluruh daerah jajahan Inggeris di benua Asia dengan mudah dapat dimasukkan dalam satu negara kesatuan India; jika demikian gerangan soalnya, maka Tunisia, Moroko, Aljazair dan Mauretania takkan pernah ada lagi karena semua mereka dapat diserahkan kepada satu negara Afrika perancis dengan suatu nama samaran yang lain pula. Jika demikianlah aturannya maka Kenya, Tanganyka, Zanzibar, Ghana, Ivory Coast, Sierra Leone, dan lain-lain, takkan pernah memperoleh kembali kemerdekaan mereka, karena semua mereka dapat diserahkan kepada sesuatu negara kesatuan Afrika Inggeris dengan memakai sesuatu nama samaran yang lain pula. Demikian juga Madagaskar (Malagasy), Congo, Mali, Togo dan lain-lain, takkan pernah dapat mencapai kemerdekaan mereka kembali karena semua mereka dapat dimasukkan dalam sesuatu Afrika Perancis dengan sesuatu nama lain yang dibuat-buat pula. Tetapi inilah bentuk dan isi dari ‘kemerdekaan’ yang telah diberikan kepada bangsa di daerah bekas Hindia Belanda.

 

Teranglah sudah jika kesatuan daerah kekuasaan (territorial integrity) dari Hindia Belanda tetap dipelihara dan tetap dipertahankan, maka tidak mungkin dan mustahil Acheh-Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Bali, dan lain-lain dapat merdeka, karena pemeliharaan kesatuan daerah kekuasaan Hindia Belanda dengan nama baru apapun, berarti perkosaan yang terus-menerus atas kedaulatan Acheh-Sumatra, sulawesi, maluku, Bali, dan lain-lain. Selama kedaulatan itu belum dikembalikan kepada kita masing-masing, maka kemerdekaan kitapun belumlah dikembalikan. Ketika Belanda pergi dari kepulauan kita, kedaulatan yang menjadi hak luhur kita itu tidak dikembalikan kepada kita. Sebaliknya kedaulatan kita itu sudah diserahkan bulat-bulat kepada regime Jawa di Jakarta. Pada hal kita mengatahui bahwa keputusan pihak kolonialis Belanda untuk memusatkan segala kekuasaan administrasinya di Jakarta dan menjadikannya sebagai ibu-kota jajahan mereka, adalah berdasarkan pada pertimbangan kaum kolonialis Belanda sendiri, untuk memudahkan pemerasan jajahan mereka dan bukan karena pertimbangan-perimbangan untuk kepentingan kita bangsa yang bukan Jawa, yang negara-negara kita sudah dirampok Belanda. Begitu juga penunjukan Jakarta sebagai ibu-kota Hindia Belanda itu dipaksakan oleh keadaan mereka sendiri pada waktu itu, dimana Acheh-Sumatra, Sulawesi, Kalimantan danlain-lain masih merdeka dan berdaulat, belum dapat dikalahkan oleh penjajahan Belanda. Sekarang ini kaum kolonialis Jawa berbicara seakan-akan Jakarta mereka sudah dijadikan Tuhan sebagai ibukota bagi kita semua. Penunjukan Jakarta sebagai ibukota Indonesia Jawa adalah 100% buatan kolonialis Belanda. Tak ada alasan sejarah, alasan hukum, alasan politik, alasan ekonomi, atau administrasi mengapa kita bangsa Acheh-Sumatra, sulawesi, Kalimantan, Maluku, Bali, Papua dan lain-lain dari luar Jawa harus menerima diktat dari mereka yang berada di Jakarta dan Jawa yang hendak meneruskan penjajahan Belanda atas kita di abad ke-20 ini.

 

Apa yang sudah terjadi di Tanah Air dan kampung halaman kita antara tahun 1945 dan 1950 adalah, satu tindakan (act) pemindahan kekuasaan dari satu kekuasaan imperialis kepada satu kekuasaan imperialis yang lain, dari imperialis lama kepada imperialis baru, yakni pemindahan kekuasaan atas seluruh kepulauan kita dari imperialisme Belanda kepada imperialisme Jawa: dengan kesatuan wilayah kekuasaan negara penjajah Hindia-Belanda dipelihara sebulat-bulatnya. Dan pemeliharaan bulat dari wilayah kekuasaan suatu negara atau kerajaan sama dengan pemeliharaan total dari negara atau kerajaan itu sendiri. Suatu negara kolonial tidaklah dibubarkan atau ditiadakan jika wilayah kekuasaannya dipelihara dan dipertahankan bulat-bulat. Tindakan penghapusan kolonialisme hanya dapat dilakukan dengan mengembalikan hak kedaulatan atas tiap-tiap wilayah kepada bangsa asli yang berhak dan ini berarti kembali kepada status quo ante bellum, sebagaimana sudah dijalankan di bagian-bagian dunia yang lain. Tindakan penghapusan kolonialisme ini belum lagi dijalankan di kepulauan kita. Tindakan penghapusan penjajahan ini tidaklah dapat dilakukan dengan hanya menukar nama Hindia Belanda dari bahasa Belanda ke bahasa Yunani, nyakni dari ‘Nederlandsch Indië’ menjadi ‘indonesia’. Penghapusan sesuatu negara jajahan tidaklah dapat dilakukan hanya dengan menukar namanya, tetapi harus dilakukan dengan menyerahkan kembali wilayah kekuasaannya kepada bangsa asli yang berhak, dari siapa wilayah-wilayah itu dahulunya sudah dirampas oleh si penjajah. Jadi teranglah sudah bahwa, Acheh-Sumatra mestilah dikembalikan kepada bangsa Acheh-Sumatra, Maluku kepada bangsa Maluku, sulawesi kepada bangsa Sulawesi, Bali kepada bangsa Bali, Papua kepada bangsa Papua dan sebagainya. Hanya sesudah itu barulah penjajahan sudah dihapuskan dari bumi kita.

 

Satu jalan legal lagi untuk membubarkan sesuatu kolonialisme ialah, dengan pemungutan suara yang bebas dari bangsa yang bersangkutan untuk memilih sesuatu bentuk pemerintahan baru yang mereka ingin sendiri. Sudah sama-samalah kita ketahui bahwa baik jalan yang pertama, maupun yang kedua ini tidaklah pernah dijalankan di kepulauan kita. Apa yang sudah terjadi ialah bahwa kita semua, dengan serta-merta, telah diserahkan oleh Belanda kebawah penguasaan kolonialisme Jawa. Kaum kolonialis Jawa tidaklah mempunyai suatu hak apapun juga, baik hak sejarah, maupun hak politik, apalagi hak moral untuk menjajah bangsa lain di kepulauan Melayu ini. Segala macam penjajahan dalam bentuk dan warna apapun juga, baik putih, kuning atau sawoh-matang, tidaklah dapat diterima oleh bangsa Acheh-Sumatera, Maluku, Sulawesi, Papua, dan lain-lain disini. Kita tidak menentang untuk bekerjasama dengan segala bangsa, termasuk dengan bangsa Jawa, tetapi kerjasama ini mestilah berdasarkan pada sama-sama berdaulat (sovereign equals). Dalam pada itu patutlah kita kemukakan dari semula bahwa kolonialisme Jawa, sebagaimana semua kolonialisme yang lain, bukanlah kolonialisme yang disokong oleh seluruh rakyatnya. Kolonialisme Jawa hanya disokong oleh satu golongan bangsa Jawa dan penyokong-penyokong ini terdiri dari dari golongan yang menerima keuntungan langsung atau tidak langsung dari penjajahan Jawa atas seluruh kepulauan kita. Mereka ini terdiri dari beberapa juta orang Jawa yang mempunyai kedudukan sebagai perwira sampai ke prajurit dalam angkatan darat, laut dan udara, kepala-kepala jawatan, pegawai, polisi, kepala perusahaan negara, diplomat, kepala-kepala partai, yang kesemua mereka bersama-sama memegang monopoli dalam segala lapangan didalam indonesia-Jawa. Tetapi sebenarnya memang tidak ada satu kolonialisme pun dalam sejarah yang disokong oleh seluruh bangsa penjajah itu. Walau pun kolonialisme Inggris, Perancis, Belanda, Spanjol dan lain-lain, tidaklah pernah mendapat sokongan lebih dari segolongan kecil dari bangsa itu. Bahkan orang-orang yang sungguh-sungguh anti kolonialisme terdapat di Inggris, seperti Jeremy Bentham, John Hobson dan lain-lain. Tetapi walau pun demikian tidaklah dapat disangkal tentang adanya kolonialis Inggris, tentang adanya kolonialisme Belanda (walau pun Multatuli) dan demikianlah seterusnya. Oleh karena itu kalau kita menyebut kolonialisme Indonesia-Jawa, maka kita tidaklah sekali-kali bermaksud untuk mengatakan bahwa semua orang Jawa itu kolonialis, walau pun sampai hari ini, 20 tahun sesudah kolonialisme Indonesia-Jawa didirikan, kita masih belum mendengar satu orang Jawa pun yang mempunyai kejujuran untuk mengecam kolonialisme Jawa itu sebagaimana John Hobson telah mengecam kolonialisme Inggeris, dan sebagai Multatuli telah mengecam kolonialisme Belanda.

 

 

 

“INDONESIA” ARTINYA “KEPULAUAN KLING” BUKAN NAMA BANGSA KITA

 

Propagandis-propagandis jawa, di dalam dan di luar negeri, sudah berusaha untuk mengabui mata kita dan mata dunia, guna untuk menutup-nutup kolonialisme Indonesia-Jawa yang sedang mereka lakukan ke atas seluruh kepualauan kita, dengan mengemukakan kepada orang-orang yang tidak mengatahui sejarah kita seakan-akan bahwa nama “indonesia” itu menunjukkan nama satu bangsa yang sesungguhnya, yang orangnya dengan tegas dapat ditunjukkan dan dibuktikan. “Indonesia” adalah kata-kata dari bahasa Yunani (Grik) yang berarti “Kepulauan Kling”. Oleh Belanda nama “Hindia Belanda” atau “Nederlandsch Indie” ditukarnya menjadi “Indonesia” pada waktu hampir pecah Perang Dunia ke-II. Nama ini paling banyak dapat diterima sebagai suatu geographic expression (semacam sebutan nama wilajah yang luas dipeta bumi) yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan tapal batas politik, bangas, bahasa atau ekonomi, yang sama artinya dengan nama-nama “Indo Cina”, “Afrika”, “Eropa” atau “Amerika”. Nama-nama ini tidaklah menunjukkan kepada sesuatu bangsa yang tertentu. Nama “Kepulauan Kling” atau “Indonesia” yang sudah diberikan bangsa asing kepada Dunia Melayu kita ini, tidaklah mempunyai sangkut-paut apa-apa dengan sejarah kita. Nama ini tidaklah mempunyai sejarah dan tidak mempunyai masa yang silam, dan orang Jawa golongan kolonialis sudah merusakkan masa sekarangnya. Karena itu nama ini tidak mempunyai masa depan lagi selain dari pada sebagai topèng belaka bagi kolonialisme Indonesia-Jawa.

 

Sesuatu dakwaan bahwa nama “Kepulauan Kling” atau dalam bahasa asing “Indonesia” itu bukan hanya sebutan daerah peta bumi saja, dakwaan yang serupa itu tidak boleh tidak akan langsung bertentangan dengan kenyataan-kenyataan ilmu sejarah (history), ilmu keturunan manusia (anthropology), ilmu bangsa (ethnology), ilmu masyarakat (sociology), dan kebudayaan (culture), dari pada bangsa yang menjadi penduduk bagian dunia kita yang amat luas ini. Mungkin bangsa penduduk bagian dunia kita yang maha luas ini pada suatu waktu akan mejadi satu bangsa, tetapi masa itu tidak akan datang sebelum bangsa Perancis, bangsa Inggris, bangsa Spanjol, bangsa Belanda, bangsa Italia, bangsa Jerman dan bangsa Rusia semuanya menjdi satu bangsa “Eropa”; bangsa Kanada, Kuba, Mexico, Brazil, Panama, Argentina, dan lain-lain, mejadi satu bangsa “Amerika”; bangsa Kamboja, Laos, dan Vietnam semuanya menjadi satu bangsa “Indo Cina”; tetapi sebelum hari itu datang, orang tidak dapat meminta kita dari Acheh-Sumatra, Maluku, Sulawesi, Papua, dan lain-lain untuk menjadi satu bangsa “Kepulauan Kling” dengan begitu saja, apalagi hanya untuk menjadi tanah jajahan dari bangsa Jawa kolonialis.

 

Begitu juga cerita-cerita sudah dikemukakan bahwa bangsa penduduk kepulauan kita itu sudah dibuat menjadi satu bangsa yang tunggal, yang tidak dapat dibeda-bedakan dan dipisah-pisahkan lagi, oleh penjajahan Belanda selama 350 tahun itu, yakni oleh apa yang disebut “persamaan nasib” (community of fate). Tak ada suatu hal yang lebih jauh dari keadaan yang sebenarnya. Pertama sekali, tak ada satu bangsa pun di seluruh kepulauan kita yang dijajah oleh Belanda selama 350 tahun kecuali bangsa Jawa sendiri. Tak ada satu bangsa pun yang lain di bagian dunia kita yang amat luas ini yang mengalami sejarah yang sangat menyesalkan ini. Bangsa yang lain di kepulauan kita sudah berperang mati-matian memprtahankan kedaulatan bangsa mereka dari serangan Belanda dan pada umumnya mereka tidak jatuh ke bawah penjajahan Belanda lebih dari rata-rata lima puluh tahun. Sedang bangsa Acheh tidak hilang kemerdekaannya kepada bangsa Belanda kecuali beberapa tahun saja, itupun sesudah peperangan yang terbesar di bagian dunia ini, yang dimulai oleh serangan Belanda ditahun 1873 dan tidak berakhir sampai tahun 1942 waktu Belanda diusir kembali oleh Bangsa Acheh. Dalam perang yang lebih setengah abad ini bangsa Acheh sudah memperlihatkan kepahlawanan yang dapat dibandingkan dengan kepahlawanan bangsa manapun dalam sejarah dunia. 10,000 tentra Belanda yang melakukan serangan dan pendaratan pertama ke Acheh dibawah pimpinan Jendral Kohler dihancur-leburkan oleh tentra Kerajaan Acheh dalam medan perang Bandar Acheh. Inilah kekalahan militer yang pertama yang dialami bangsa Eropa di tangan suatu bangsa Melayu di Asia Timur. Surat kabar THE LONDON TIMES menulis dihalaman mukanya pada hari bulan 22 April, 1873, sebagai berikut: “Suatu kejadian yang luar biasa dalam sejarah penjajahan modern sudah diberitakan dari kepulauan Melayu. Suatu kekuatan besar yang terdiri dari bangsa Eropa sudah dikalahkan dan dihancurkan oleh satu angkatan perang bumi putra…Angkatan Perang Negara Kerajaan Acheh. Orang Acheh sudah mendapat kemenangan yang memutuskan. Musuh-musuh mereka bukan saja sudah dikalahkan, tetapi dipaksa lari.” Surat kabar Amerika THE NEW YORK TIMES menulis pada 6 Mei, 1873, sebagai berikut: “Suatu peperangan yang berkubang darah sudah terjadi di Acheh, satu kerajaan bumiputra yang terletak di bahagian Utara pulau Sumatra. Tentra Belanda telah melakukan serangan besar-besaran dan kini kita sudah mengatahui hasilnya. Serangan itu telah dipukul mundur dengan penyembelihan besar-besaran. Jendral Belanda sudah dibunuh oleh tentra Acheh dan tentra Belanda terpaksa lari lintang-pukang. Menurut kenyataan, tentara Belanda sungguh-sungguh sudah dihancur-leburkan.”

 



Sebagai akibat dari kejadian ini, President Amerika Serikat Ulysses S.Grant menyatakan sikap tidak berpihak (neutral) dalam perang antara Belanda dengan Acheh. Peperangan antara Belanda dengan Acheh ini berjalan begitu lama sehingga dinamakan oleh Majalah Amerika HARPER’S MAGAZINE sebagai “PERANG SERATUS TAHUN ZAMAN IN” (“A HUNDRED YEARS WAR OF TODAY”), dalam penerbitaannya bulan Agustus, 1905. Perlawanan yang lama terhadap Belanda juga terjadi di Bali, Lombok dan Sulawesi. Oleh karena itu tidaklah mungkin bagi kita putera-putera Acheh-Sumatra, Sulawesi, Bali, dan lain-lain untuk menerima “thesis Jawa” tentang 350 tahun di bawah penjajahan itu, selama kita masih mengenal dan mengakui sejarah kita, selama kita tidak melupakan perjuangan suci nenek-moyang kita. Sebenarnya, yang memalsukan sejarah kita, mengkhianati ingatan dan kenang-kenangan kepada kepahlawanan nenek-moyang ialah kita sendiri. Itu pun jika kita mau; sebelum kita dapat menerima “thesis Jawa” yang memalukan ini. Sudah terang tidak ada manusia yang terpelajar dan berperadaban dapat diharapkan untuk mengikuti kehendak kaum kolonialis Jawa yang bukan-bukan (nonsense) ini.

 

Semua ini menunjukkan bahwa, kita sebenarnya tidaklah mempunyai hubungan dan sangkut –paut apa-apa dengan orang Jawa dalam sejarah kita, sebagaimana kita pun tidaklah mempunyai hubungan apa-apa dengan tanah mereka. Kita tidaklah mempunyai persamaan sejarah politik dengan orang-orang Jawa, kita tidaklah mempunyai satu sejarah kebangsaan yang sama dengan mereka dan karena itu, kita tidak mempunyai persamaan ingatan dan kenang-kenangan; kita tidak mempunyai persamaan kemegahan dan kehinaan yang berhubungan dengan kejadian-kejadian yang sama dalam sejarah kita dimasa yang silam atau dalam masa sekarang. Sebenarnya kita sudah melihat selama 20 tahun yang akhir-akhir ini bagaimana pahlawan-pahlawan Acheh-Sumatra, Sulawesi, Maluku dan lain-lain yang menegakkan ke’adilan dan menentang kezaliman penjajah Jawa mereka disebutkan sebagai “pengkhianat” oleh orang-orang Jawa dan surat-surat kabar mereka. Sungguh kita mempunyai penilaian yang tidak sama dengan kaum kolonialis Jawa mengenai masa depan kita, sebab kita ingin memelihara hak suci kedaulatan bangsa kita, sedang mereka ingin merampok kita seperti Belanda sudah lakukan!  Begitu juga mengenai dongeng ‘persamaan nasib’. Sudah menjadi pengetahuan umum dalam sejarah kita bahwa, penjajahan Belanda telah berhasil dipaksakan atas Tanah Ibu, kampung halaman kita dengan mempergunakan serdadu-serdadu sewaan (mercenaries) bangsa Jawa secara besar-besaran. Nama-nama mereka –dari Adikromos sampai kepada Sukarno dan Suhartos– masih terpahat atas batu-batu kuburan serdadu-serdadu Belanda seperti di Peucut, Kuta Raja, dimana tertanam ribuan bangkai serdadu-serdadu kolonialis Jawa dan Belanda itu dalam kuburan bersama mereka yang menunjukkan mereka memang sehidup-semati. Karena itu adalah satu perkara yang sewajarnya untuk kita bertanya: apakah mungkin terdapat suatu persamaan nasib antara serdadu-serdadu sewaan (mereka yang digaji untuk membunuh) dengan bangsa yang dibunuh oleh mereka, dibagian dunia manapun juga? Disamping itu patutlah diketahui dan dicamkan bahwa penjajahan tidaklah pernah mempersatukan sesuatu bangsa pada zaman apapun, dan dibagian dunia manapun juga. Bangsa Polandia, Cek, Slovak, Hongaria, Austria dan Yugoslavia tidaklah pernah menjadi satu, dan tidaklah pernah melupakan diri mereka masing-masing walaupun mereka itu semuanya berabad-abad lamanya mengalami ‘persamaan nasib’ dibawah penjajahan kerajaan Austro-Hongaria. Sebaliknya ‘persamaan nasib’ itu telah membuat mereka lebih bermusuhan satu sama lainnya karena raja-raja Austro-Hongaria selalu memperalat satu golongan untuk menindas golongan yang lain. Bila bangsa Polandia berontak, maka pasukan-pasukan Cekoslovakia yang dikirim untuk menindasnya; bila orang Yugoslavia yang berontak maka pasukan Slovak yang dikirim untuk menindasnya. Tidaklah semua ini mengingatkan kita kepada politik kaum kolonialis Jawa selama ini dimana mereka mengirim pasukan-pasukan Batak dan Minangkabau untuk menyembelih rakyat di Acheh dan mereka mengirim pasukan-pasukan Acheh untuk menyerang Maluku dan Sulawesi? Semua ini dilakukan untuk mengekalkan politik pecah dan jajah mereka: pertama untuk mengurangi jumlah jiwa bangsa yang bukan Jawa –biar mereka berbunuh-bunuhan sesama sendiri– kedua, supaya mereka semua tidak mungkin lagi bersatu untuk melawan penjajah mereka bersama: kaum kolonialis Jawa! Suatu contoh lain yang membuktikan bahwa ‘persamaan nasib’ dibawah penjajahan asing tidaklah mempersatukan bangsa yang berlainan dapat kita lihat, dengan apa yang terjadi atas bangsa Kamboja, Laos dan Vietnam. Walaupun mereka itu sudah mengalami ‘persamaan nasib’ di bawah penjajahan Perancis, mereka tidaklah menjadi satu bangsa ‘Indo Cina’ oleh karena persamaan nasib buruk itu sebagaimana kita kabarnya konon sudah menjadi satu bangsa ‘indonesia’, demi kepentingan si penjajah Jawa.

 

Walaupun demikian masih ada orang-orang yang mencoba-coba mengatakan bahwa kita bangsa Acheh-Sumatra, bangsa Maluku, bangsa Sulawesi, bangsa Kalimantan, dan lain-lain, karena ‘persamaan nasib’ di bawah Belanda, maka kita semua telah berubah sifat, telah berubah agama dan kebudayaan, telah menjadi satu jenis ‘bangsa’ baru, satu bangsa “Pulau Kling” alias “indonesia”. Semua bangsa yang terjajah di dunia tidaklah pernah melupakan dan meniadakan kebangsaan asli mereka masing-masing walaupun mereka mengalami ‘persamaan nasib’ di bawah penjajahan. Kenyataan ini dapat kita kaji di seluruh dunia meliputi benua Afrika, Amerika Latin dan Asia dimana ‘persamaan nasib’ yang dipaksakan oleh penjajahan Inggris, Perancis, Portugis dan Spanyol; tidaklah pernah mempersatukan siapa pun dan tidaklah pernah merubah sesuatu bangsa menjadi sesuatu bangsa yang lain. Apa yang disebut ‘persamaan nasib’ di bawah penjajahan asing itu telah semakin lebih memecah-belahkan bangsa itu dari pada mempersatukannya. Tetapi semua semua ‘omong-kosong’ ini sudah dipropagandakan oleh kaum kolonialis Jawa untuk mengelabui mata, supaya kita menerima penjajahan mereka.

TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update