MASA-DEPAN POLITIK DUNIA
MELAYU sudah dikeluarkan pertama kali pada tahun 1965, dalam bahasa Inggeris,
dalam bahasa mana buku ini pertama kali ditulis oleh pengarangnya dengan nama
THE POLITICAL FUTURE OF THE MALAY ARCHIPELAGO. Buku ini telah banyak mendapat
perhatian dunia dan isinya telah menjadi pedoman bagi banyak negara-negara
anggota Perserikatan Bangsa Bangsa dalam menentukan sikap mereka terhadap Asia
Tenggara dimana Dunia Melayu merupakan bagiannya yang terbesar. Walaupun buku
ini sudah ditulis 19 tahun yang silam isinya masih tetap hangat dan mengandung
ramalan-ramalan politik yang sudah kejadian dan karena itu telah merupakan satu
karangan classic yang membuka tabir pertarungan dan perjuangan politik yang
sesungguhnya (real politik) di Dunia Melayu. Isinya sudah masuk dalam Verbatim
Records dari perdebatan antara negara dalam sidang-sidang Komité Ke-Empat
(Decolonization Commission) dari Perserikatan Bangsa-bangsa. Oleh karena itu
dianggap perlu untuk mengeluarkannya dalam bahasa Melayu Asli - satu bahasa resmi
Negara Acheh Sumatera – untuk menjadi bahan bacaan bagi chalajak ramai Dunia Melayu.
KEMENTRIAN
PENDIDIKAN NEGARA ACHEH SUMATRA
Wilajah
Berdaulat, 16 September, 1984
INILAH INDONESIA-JAWA
Apa
yang kita saksikan sekarang ini di Tanah Pusaka, kampung halaman kita, bukanlah
satu kejadian yang sementara, tetapi satu keadaan yang tetap dan mungkin kekal.
Satu perubahanpun
tidak akan terjadi dengan sendirinya di masa yang akan datang. Dua-puluh tahun
adalah satu masa yang sangat lama, sama dengan masa berlalunya satu keturunan
manusia. Dalam masa dua-puluh tahun ini beberapa kerajaan sudah dibagi-bagi dan
dibubarkan, lebih 60 buah negara-negara baru sudah dibangunkan, hampir seluruh
bangsa yang dahulunya terjajah sudah memperoleh kembali kemerdekaan mereka,
seluruh ekonomi dan industri benua Eropa dan Jepang sudah selesai dibangunkan
kembali dari runtuhan puing Perang Dunia Ke-II. Apa yang sudah dan sedang
terjadi di Tanah Pusaka kita dalam masa yang selama itu adalah terlalu
menyedihkan untuk diperbincangkan disini. Tetapi apa yang sudah kita alami
selama masa satu keturunan, bukanlah lagi satu keadaan sementara; ini adalah
suatu keadaan yang kekal dari indonesia- Jawa. Inilah rupa dan wajah
indonesia-Jawa yang sebenar-benarnya: dimana rakyat makin sehari makin
bertambah lapar; dimana politik keuangan negara terdiri dari pemotongan uang
setiap beberapa tahun berselang; dimana inflasi merupakan satu sifat yang kekal
dari ekonomi yang telah meruntuhkan simpanan, harta benda, kekayaan dan
kehormatan rakyat kita; dimana tidak ada lagi kebebasan menulis dan tidak ada
lagi kebebasan dari ketakutan dan ancaman; dimana setiap orang terancam oleh
penahanan dan penangkapan yang sewenang-wenang, bahkan oleh pembunuhan yang
semena-mena oleh polisi dan tentara; dimana tidak ada lagi ke’adilan dan hukum;
dimana Undang-undang Dasar negara hanyalah apa yang disebut oleh fuehrer
Jawa belaka; dimana rakyat sudah kehilangan hak-hak politik dan hak-hak asasi
kemanusiaan mereka, dimana pertumpahan darah terus menerus terjadi dengan tidak
berhenti-hentinya kecuali di daerah-daerah bangsa Jawa; dimana semua orang
baik-baik yang dahulunya sudah berjuang untuk kemerdekaan indonesia berada dan
meringkuk dalam penjara, sedang mereka yang seharusnya dalam penjara berada di luar
membangga-banggakan pakaian-seragam jenderal-jenderal dan kedudukan
menteri-menteri. Inilah gambaran dan rupa indonesia-Jawa, “satu kerajaan
pencuri dan perampok” (“a hoodlum
empire”) sebagai seorang penulis Amerika sudah menggambarkannya, atau “satu
sandiwara Belanda berkulit sawoh-matang” –“a brown Dutchmen show”– sebagai seorang pengarang Australia sudah
mensifatkannya.
Inilah
gambaran dari Indonesia-jawa semenjak dua-puluh tahun yang silam. Inilah
gambaran dari Indonesia-Jawa untuk dua-puluh abad yang akan datang, jika kita
putera-putera Acheh-sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Bali, Sunda dan
lain-lain, tidak bangun serentak dari tidur kita, dan tegak berdiri merebut
kembali kemerdekaan kita yang selama dua-puluh tahun ini sudah diabai-abaikan
dan direndah-rendahkan oleh kaum kolonialis Jawa. Waktunya sudah tiba buat kita
untuk menyuruh kaum kolonialis Jawa itu pulang kenegerinya sendiri; untuk
mengatakan kepada mereka supaya berhenti mendékté kepada kita tentang bagaimana
memerintah Tanah Pusaka, kampung halaman kita sendiri, bagaimana mempergunakan
kekayaan kita sendiri, dan bagaimana mendidik anak-keturunan kita sendiri.
Kalau kita tidak segera mendapat kembali perasaan harga-diri kita, perasaan percaja
pada diri kita sendiri dan mengambil kekuasaan atas Tanah ibu, kampung halaman
rumah-tangga dan harta benda kekayaan kita sendiri, maka masa sekarang dan masa
depan kita dan keturunan kita akan hilang untuk selama-lamanya sebagaimana
halnya dengan masa silam kita seketurunan ini.
KOLONIALISME
BELANDA TIDAK DIHAPUSKAN
TETAPI DITERUSKAN DENGAN NAMA BARU
Apa yang sudah terjadi di kepulauan
kita selama 20 tahun ini bukanlah penghapusan dari kolonialisme yang telah
didirikan oleh Belanda, tetapi adalah penerusan dan pemeliharaannya dalam
bentuk dan dasar-dasarnya yang sungguh asli. Yang berubah hanyalah orang-orang
yang menduduki istana-istana di Jakarta dan Bogor. Apa yang sudah terjadi
sebenarnya hanya pertukaran nama-nama pegawai seorang Belanda yang bernama
Hubertus Van Mook telah diganti oleh sorang Jawa bernama Sukarno atau Suharto.
Sedang seluruh sistem penjajahan Belnada dalam bentuk keluasan dan kesatuan
daerahnya, dalam bentuk susunan politik dan administrasinya, semuanya pada
dasarnya dipelihara bulat-bulat seperti semula. Pengorbanan terakhir,
penyerahan orang Papua Barat (yang juga dicoba tukar namanya oleh Jawa menjadi
“Irian”) kepada kaum kolonialis Jawa, telah dilakukan atas ‘kekuatan’ alasan
yang bahwa mereka itupun dahulunya dijajah oleh Belanda dan karena itu
merekapun masuk daftar ‘hak-milik” dan ‘harta-benda’ Hindia Belanda yang harus
diserahkan kepada keturunan Hindia Belanda itu, yaitu Indonesia-Jawa. Sudahlah
terang-benderang jika hasil dari penjajahan dan penaklukkan Belanda diserahkan
kepada Jawa, maka akibatnya tidak boleh tidak, berdirinya satu imperialisme
Jawa di atas tempat yang tadinya diduduki oleh imperialisme Belanda. Karena itu
tidaklah mengherankan kalau inilah yang sudah terjadi. Bagaimana perkara
semacam ini telah diterima sebagai satu ‘pemberian kemerdekaan’ dan sebagai
satu tindakan penghapusan penjajahan atas Tanah Pusaka kita adalah satu hal
yang sungguh mengherankan sekali. Tanah Pusaka kita bukan dikembalikan kepada
kita masing-masing, tetapi diserahkan kepada Jawa yang membuat perjanjian
dengan Belanda untuk memelihara kepentingan penjajahannya sampai akhir zaman.
Pada waktu penjajahan Inggeris
telah diakhiri dengan mengembalikan hasil-hasil dari penaklukkan Inggeris
kepada pemilik-pemilik aslinya dari siapa neger-negeri itu sudah dirampas
dahulunya: India dikembalikan kepada orang India, Pakistan dikembalikan kepada
orang Pakistan, Burma dikembalikan kepada orang Burma, Ceylon dikembalikan
kepada orang Ceylon, Ghana dikembalikan kepada orang Ghana, Kenya kepada orang
Kenya, Kuweit kepada orang Kuweit, Iraq kepada orang Iraq, dan demikianlah
seterusnya. Pada waktu penjajahan Perancis sudah dihapuskan dengan
mengembalikan semua hasil dari penaklukkan Perancis masing-masing kepada
penduduk aslinya yang berhak: Syria dikembalikan kepada orang Syria, Lebanon
dikembalikan kepada orang Lebanon, Tunisia dikembalikan kepada orang Tunisia,
Aljazair dikemabalikan kepada orang Aljazair, Mauretania dikembalikan kepada
orang Mauretania, Madagaskar dikembalikan kepada orang Madagaskar (Malagasy),
Congo kepada orang Congo, Vietnam kepada orang Vietnam, Kamboja kepada orang
Kamboja, Laos kepada orang Laos, dan demikianlah seterusnya. Bertentangan
sekali dengan aliran zaman ini dan berlawanan sekali dengan segala hukum
keadilan, maka penjajahan Belanda di kepulauan kita telah dipelihara
bulat-bulat, daerah-daerah yang ditakluknya tidaklah dikembalikan kepada bangsa
asli yang berhak atas daerah-daerah itu yang dahulunya direbut oleh Belanda
dari mereka dengan peperangan yang berlumur darah: Acheh-Sumatra tidak
dikembalikan kepada orang Acheh-Sumatra, Kalimantan tidak tidak dikembalikan kepada
orang Kalimantan, Sulawesi tidak dikembalikan kepada orang Sulawesi, Maluku
tidak dikembalikan kepada orang Maluku, Bali tidak dikembalikan kepada orang
Bali, Sunda tidak dikemabalikan kepada orang Sunda, tetapi semuanya itu telah
diserahkan bulat-bulat kepada kaum kolonialis Indonesia-Jawa, dengan tidak ada
pertanyaan, apalagi pemilihan. Semuanya dengan serta-merta diserahkan kepada
Jawa, seakan-akan kita semua adalah ‘hak-milik’ dan ‘harta-benda’ dari Hindia
Belanda yang dapat diwariskan begitu saja kepada bonekanya yakni
Indonesia-Jawa. Oleh karena itu tindakan pemerdekaan (decolonization)
sebagaimana yang dikehendaki oleh Piagam Perserikatan Bangsa belumlah lagi
dijalankan di kepeluan Melayu kita sebagaimana yang telah dijalankan di Indochina,
Asia dan Afrika. Perbuatan Belanda menyerahkan ‘kedautannya’ yang sebenarnya
tidak pernah ada dalam tangannya itu kepada Indonesia-Jawa adalah Illegal
menurut Hukum Internasional.
Oleh karena republik Indonesia-Jawa
yang sekarang dalam teorinya dan dalam kenyataannya adalah lanjutan dan
sambungan dari penjajahan Belanda dan waris dari segala ‘hasil’ penaklukkan dan
perang kolonial yang tidak sah dan perampokan belaka dari pemerintah Hindia
Belanda, maka kelegalan kekuasaan dan pendiriannya adalah masalah yang sangat
penting sekali, karena republik Indonesia-Jawa yang sekarang nyata-nyata satu
negara yang tidak sah dan satu negara yang tidak mempunyai dasar hukum.
Walaupun republik Indonesia-Jawa sekarang menduduki Acheh-Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi, Maluku, Papua Barat, Bali, Pasundan, dan lain-lain, kenyataan
penduduk saja teidaklah memberi hak hukum kepada kaum kolonialis Jawa untuk
menguasai neger-negeri besar tsb. Kea’dilan dan hukum tidaklah berasal dari
pendudukan dan tidak pula berdasarkan pada pendudukan itu, tetapi pada
bagaimana hal ihwal dan asal usul terjadinya pendudukan itu dimasa yang sudah
dan bagaimana hal itu dipertahankan sekarang. Untuk membuktikan ke’adilan sesuatu
tuntutan (claim) terhadap sesuatu daerah (territory), kita harus
memeriksa lebih dahulu tentang tata-tertib (procedure) yang dengan
melaluinya daerah itu sudah diambil atau diperoleh. Dan akhirnya dengan
memastikan kedudukan dari tata-tertib ini dalam Hukum Internasional (International
Law).
Apakah tata-tertib (procedure)
yang dipakai oleh Belanda dalam mengambil Acheh-Sumatra, Sulawesi, Kalimantan,
Maluku, Bali, dan lain lain dan dalam membuat negeri-negeri itu menjadi bagian
dari Hindia Belanda alias Indonesia? Rasanya tidaklah perlu kita paparkan lagi
di sini tentang sejarah peperangan kolonial yang kejam sekali yang telah
dilakukan oleh Belanda untuk menaklukkan Acheh-Sumatera, Sulawesi, Kalimantan,
Bali, dan lain-lain, dalam usahanya untuk merampas dan menempatkan negeri-negeri
itu ke bawah penjajahan Belanda yang kemudian oleh Belanda sendiri ditukar
namanya menjadi “indonesia”. Ratusan ribu nenek moyang kita telah mengorbankan
jiwa mereka dengan sifat kepahlawanan yang tidak ada taranya untuk
mempertahankan Tanah Pusaka kita dari serangan Belanda dan serdadu sewaannya.
Ini adalah sejarah kita yang megah yang tidak boleh diubah-ubah lagi dan yang
kita tidak mau mengubahnya. Ini adalah ‘tata-tertib’ dan cara yang dipakai oleh
Belanda dalam mengambil Acheh-Sumatra, Sulawesi, Maluku, Bali, dan lain-lain
telah dihancurkan. Ini terang-terangan satu perbuatan yang tidak sah, satu
tindakan perampokan belaka. Perbuatan yang semacam ini tidak pernah dibenarkan
baik menurut hukum-hukum nasional maupun Hukum International. Jika dasar Hindia
Belanda adalah salah, maka Indonesia-Jawa yang 100% didasarkan atas Hindia
Belanda itu, baik mengenai wilayahnya, maupun mengenai hak hukumnya, tidaklah
dapat menjadi benar. Dasar Hukum Internasional yang mengatakan bahwa ex
injuria jus non oritur, (hak tidak dapat berasal dari yang bukan hak,
keadilan tidak dapat lahir dari kejahatan) adalah menjadi dasar hukum dunia
beradab. Kesalahan dan ketidak-adilan
yang bersejarah ini hanya dapat diperbaiki dan dipulihkan dengan mengembalikan
kedaulatan atas Acheh-Sumatera kepada orang Acheh-Sumatra, kedaulatan atas
Kalimantan kepda orang Kalimantan, kedaulatan atas Sulawesi kepada orang
Sulawesi, atas Maluku kepada orang Maluku, atas Bali kepada orang Bali, atas
Pasundan kepada orang Sunda, dan lain sebgainya. Kesalahan dan ketidak-adilan
ini sekali-kali tidak dapat diperbaiki dan dipulihkan dengan memelihara
kesatuan wilayah Hindia Belanda - walaupun dengan memakai nama atau merek baru
‘indonesia’. Perbuatan yang sedemikian menyolok mata ini takkan diterima orang
di bagian dunia yang manapun juga. Tak ada bangsa yang masih berkehormatan akan
menerima penipuan yang semacam ini. Jika hal yang semacam ini berlaku di bahagian
dunia yang lain, maka lebih 60 buah negara-negara baru yang telah menjadi
anggota Perserikatan Bangsa takkan pernah memperoleh kembali kemerdekaan
mereka. Jika demikianlah kedudukan perkara dan penyelesaiannya maka Kamboja,
Vietnam dan Laos takkan pernah mendapatkan kembali kemerdekaan mereka dari
Perancis, karena kedaulatan atas neger-negeri mereka dengan mudah dapat
diserahkan kepada satu ‘republik indocina’ yang dibuat-buat saja, seperti
halnya dengan ‘republik indonesia’; jika demikianlah gerangan duduk perkaranya,
maka Pakistan, Burma, Ceylon, takkan pernah mendapat kemerdekaan mereka kembali
dari Inggeris karena seluruh daerah jajahan Inggeris di benua Asia dengan mudah
dapat dimasukkan dalam satu negara kesatuan India; jika demikian gerangan
soalnya, maka Tunisia, Moroko, Aljazair dan Mauretania takkan pernah ada lagi
karena semua mereka dapat diserahkan kepada satu negara Afrika perancis dengan
suatu nama samaran yang lain pula. Jika demikianlah aturannya maka Kenya,
Tanganyka, Zanzibar, Ghana, Ivory Coast, Sierra Leone, dan lain-lain, takkan
pernah memperoleh kembali kemerdekaan mereka, karena semua mereka dapat
diserahkan kepada sesuatu negara kesatuan Afrika Inggeris dengan memakai
sesuatu nama samaran yang lain pula. Demikian juga Madagaskar (Malagasy),
Congo, Mali, Togo dan lain-lain, takkan pernah dapat mencapai kemerdekaan
mereka kembali karena semua mereka dapat dimasukkan dalam sesuatu Afrika
Perancis dengan sesuatu nama lain yang dibuat-buat pula. Tetapi inilah bentuk
dan isi dari ‘kemerdekaan’ yang telah diberikan kepada bangsa di daerah bekas
Hindia Belanda.
Teranglah sudah jika kesatuan
daerah kekuasaan (territorial integrity) dari Hindia Belanda tetap
dipelihara dan tetap dipertahankan, maka tidak mungkin dan mustahil
Acheh-Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Bali, dan lain-lain dapat merdeka,
karena pemeliharaan kesatuan daerah kekuasaan Hindia Belanda dengan nama baru apapun,
berarti perkosaan yang terus-menerus atas kedaulatan Acheh-Sumatra, sulawesi,
maluku, Bali, dan lain-lain. Selama kedaulatan itu belum dikembalikan kepada
kita masing-masing, maka kemerdekaan kitapun belumlah dikembalikan. Ketika
Belanda pergi dari kepulauan kita, kedaulatan yang menjadi hak luhur kita itu
tidak dikembalikan kepada kita. Sebaliknya kedaulatan kita itu sudah diserahkan
bulat-bulat kepada regime Jawa di Jakarta. Pada hal kita mengatahui bahwa
keputusan pihak kolonialis Belanda untuk memusatkan segala kekuasaan
administrasinya di Jakarta dan menjadikannya sebagai ibu-kota jajahan mereka,
adalah berdasarkan pada pertimbangan kaum kolonialis Belanda sendiri, untuk
memudahkan pemerasan jajahan mereka dan bukan karena pertimbangan-perimbangan
untuk kepentingan kita bangsa yang bukan Jawa, yang negara-negara kita sudah
dirampok Belanda. Begitu juga penunjukan Jakarta sebagai ibu-kota Hindia
Belanda itu dipaksakan oleh keadaan mereka sendiri pada waktu itu, dimana
Acheh-Sumatra, Sulawesi, Kalimantan danlain-lain masih merdeka dan berdaulat,
belum dapat dikalahkan oleh penjajahan Belanda. Sekarang ini kaum kolonialis
Jawa berbicara seakan-akan Jakarta mereka sudah dijadikan Tuhan sebagai ibukota
bagi kita semua. Penunjukan Jakarta sebagai ibukota Indonesia Jawa adalah 100%
buatan kolonialis Belanda. Tak ada alasan sejarah, alasan hukum, alasan
politik, alasan ekonomi, atau administrasi mengapa kita bangsa Acheh-Sumatra,
sulawesi, Kalimantan, Maluku, Bali, Papua dan lain-lain dari luar Jawa harus
menerima diktat dari mereka yang berada di Jakarta dan Jawa yang hendak
meneruskan penjajahan Belanda atas kita di abad ke-20 ini.
Apa yang sudah terjadi di Tanah Air
dan kampung halaman kita antara tahun 1945 dan 1950 adalah, satu tindakan (act)
pemindahan kekuasaan dari satu kekuasaan imperialis kepada satu kekuasaan
imperialis yang lain, dari imperialis lama kepada imperialis baru, yakni
pemindahan kekuasaan atas seluruh kepulauan kita dari imperialisme Belanda
kepada imperialisme Jawa: dengan kesatuan wilayah kekuasaan negara penjajah
Hindia-Belanda dipelihara sebulat-bulatnya. Dan pemeliharaan bulat dari wilayah
kekuasaan suatu negara atau kerajaan sama dengan pemeliharaan total dari negara
atau kerajaan itu sendiri. Suatu negara kolonial tidaklah dibubarkan atau
ditiadakan jika wilayah kekuasaannya dipelihara dan dipertahankan bulat-bulat.
Tindakan penghapusan kolonialisme hanya dapat dilakukan dengan mengembalikan
hak kedaulatan atas tiap-tiap wilayah kepada bangsa asli yang berhak dan ini
berarti kembali kepada status quo ante bellum, sebagaimana sudah
dijalankan di bagian-bagian dunia yang lain. Tindakan penghapusan kolonialisme
ini belum lagi dijalankan di kepulauan kita. Tindakan penghapusan penjajahan
ini tidaklah dapat dilakukan dengan hanya menukar nama Hindia Belanda dari
bahasa Belanda ke bahasa Yunani, nyakni dari ‘Nederlandsch Indië’
menjadi ‘indonesia’. Penghapusan sesuatu negara jajahan tidaklah dapat
dilakukan hanya dengan menukar namanya, tetapi harus dilakukan dengan
menyerahkan kembali wilayah kekuasaannya kepada bangsa asli yang berhak, dari
siapa wilayah-wilayah itu dahulunya sudah dirampas oleh si penjajah. Jadi teranglah
sudah bahwa, Acheh-Sumatra mestilah dikembalikan kepada bangsa Acheh-Sumatra,
Maluku kepada bangsa Maluku, sulawesi kepada bangsa Sulawesi, Bali kepada
bangsa Bali, Papua kepada bangsa Papua dan sebagainya. Hanya sesudah itu
barulah penjajahan sudah dihapuskan dari bumi kita.
Satu jalan legal lagi untuk membubarkan
sesuatu kolonialisme ialah, dengan pemungutan suara yang bebas dari bangsa yang
bersangkutan untuk memilih sesuatu bentuk pemerintahan baru yang mereka ingin
sendiri. Sudah sama-samalah kita ketahui bahwa baik jalan yang pertama, maupun
yang kedua ini tidaklah pernah dijalankan di kepulauan kita. Apa yang sudah
terjadi ialah bahwa kita semua, dengan serta-merta, telah diserahkan oleh
Belanda kebawah penguasaan kolonialisme Jawa. Kaum kolonialis Jawa tidaklah
mempunyai suatu hak apapun juga, baik hak sejarah, maupun hak politik, apalagi
hak moral untuk menjajah bangsa lain di kepulauan Melayu ini. Segala macam
penjajahan dalam bentuk dan warna apapun juga, baik putih, kuning atau
sawoh-matang, tidaklah dapat diterima oleh bangsa Acheh-Sumatera, Maluku,
Sulawesi, Papua, dan lain-lain disini. Kita tidak menentang untuk bekerjasama
dengan segala bangsa, termasuk dengan bangsa Jawa, tetapi kerjasama ini mestilah
berdasarkan pada sama-sama berdaulat (sovereign equals). Dalam pada itu
patutlah kita kemukakan dari semula bahwa kolonialisme Jawa, sebagaimana semua
kolonialisme yang lain, bukanlah kolonialisme yang disokong oleh seluruh
rakyatnya. Kolonialisme Jawa hanya disokong oleh satu golongan bangsa Jawa dan
penyokong-penyokong ini terdiri dari dari golongan yang menerima keuntungan
langsung atau tidak langsung dari penjajahan Jawa atas seluruh kepulauan kita.
Mereka ini terdiri dari beberapa juta orang Jawa yang mempunyai kedudukan
sebagai perwira sampai ke prajurit dalam angkatan darat, laut dan udara,
kepala-kepala jawatan, pegawai, polisi, kepala perusahaan negara, diplomat,
kepala-kepala partai, yang kesemua mereka bersama-sama memegang monopoli dalam
segala lapangan didalam indonesia-Jawa. Tetapi sebenarnya memang tidak ada satu
kolonialisme pun dalam sejarah yang disokong oleh seluruh bangsa penjajah itu.
Walau pun kolonialisme Inggris, Perancis, Belanda, Spanjol dan lain-lain,
tidaklah pernah mendapat sokongan lebih dari segolongan kecil dari bangsa itu.
Bahkan orang-orang yang sungguh-sungguh anti kolonialisme terdapat di Inggris,
seperti Jeremy Bentham, John Hobson dan lain-lain. Tetapi walau pun demikian
tidaklah dapat disangkal tentang adanya kolonialis Inggris, tentang adanya
kolonialisme Belanda (walau pun Multatuli) dan demikianlah seterusnya. Oleh
karena itu kalau kita menyebut kolonialisme Indonesia-Jawa, maka kita tidaklah
sekali-kali bermaksud untuk mengatakan bahwa semua orang Jawa itu kolonialis,
walau pun sampai hari ini, 20 tahun sesudah kolonialisme Indonesia-Jawa
didirikan, kita masih belum mendengar satu orang Jawa pun yang mempunyai
kejujuran untuk mengecam kolonialisme Jawa itu sebagaimana John Hobson telah
mengecam kolonialisme Inggeris, dan sebagai Multatuli telah mengecam
kolonialisme Belanda.
“INDONESIA” ARTINYA “KEPULAUAN KLING” BUKAN NAMA
BANGSA KITA
Propagandis-propagandis
jawa, di dalam dan di luar negeri, sudah berusaha untuk mengabui mata kita dan
mata dunia, guna untuk menutup-nutup kolonialisme Indonesia-Jawa yang sedang
mereka lakukan ke atas seluruh kepualauan kita, dengan mengemukakan kepada
orang-orang yang tidak mengatahui sejarah kita seakan-akan bahwa nama
“indonesia” itu menunjukkan nama satu bangsa yang sesungguhnya, yang orangnya
dengan tegas dapat ditunjukkan dan dibuktikan. “Indonesia” adalah kata-kata
dari bahasa Yunani (Grik) yang berarti “Kepulauan Kling”. Oleh Belanda nama “Hindia
Belanda” atau “Nederlandsch Indie” ditukarnya menjadi “Indonesia”
pada waktu hampir pecah Perang Dunia ke-II. Nama ini paling banyak dapat
diterima sebagai suatu geographic expression (semacam sebutan nama
wilajah yang luas dipeta bumi) yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan
tapal batas politik, bangas, bahasa atau ekonomi, yang sama artinya dengan
nama-nama “Indo Cina”, “Afrika”, “Eropa” atau “Amerika”. Nama-nama ini tidaklah menunjukkan
kepada sesuatu bangsa yang tertentu. Nama “Kepulauan Kling” atau “Indonesia”
yang sudah diberikan bangsa asing kepada Dunia Melayu kita ini, tidaklah
mempunyai sangkut-paut apa-apa dengan sejarah kita. Nama ini tidaklah mempunyai
sejarah dan tidak mempunyai masa yang silam, dan orang Jawa golongan kolonialis
sudah merusakkan masa sekarangnya. Karena itu nama ini tidak mempunyai masa
depan lagi selain dari pada sebagai topèng belaka bagi kolonialisme Indonesia-Jawa.
Sesuatu dakwaan bahwa nama
“Kepulauan Kling” atau dalam bahasa asing “Indonesia” itu bukan hanya
sebutan daerah peta bumi saja, dakwaan yang serupa itu tidak boleh tidak akan
langsung bertentangan dengan kenyataan-kenyataan ilmu sejarah (history), ilmu
keturunan manusia (anthropology), ilmu bangsa (ethnology), ilmu
masyarakat (sociology), dan kebudayaan (culture), dari pada
bangsa yang menjadi penduduk bagian dunia kita yang amat luas ini. Mungkin
bangsa penduduk bagian dunia kita yang maha luas ini pada suatu waktu akan
mejadi satu bangsa, tetapi masa itu tidak akan datang sebelum bangsa Perancis,
bangsa Inggris, bangsa Spanjol, bangsa Belanda, bangsa Italia, bangsa Jerman
dan bangsa Rusia semuanya menjdi satu bangsa “Eropa”; bangsa Kanada, Kuba,
Mexico, Brazil, Panama, Argentina, dan lain-lain, mejadi satu bangsa “Amerika”;
bangsa Kamboja, Laos, dan Vietnam semuanya menjadi satu bangsa “Indo Cina”;
tetapi sebelum hari itu datang, orang tidak dapat meminta kita dari
Acheh-Sumatra, Maluku, Sulawesi, Papua, dan lain-lain untuk menjadi satu bangsa
“Kepulauan Kling” dengan begitu saja, apalagi hanya untuk menjadi tanah
jajahan dari bangsa Jawa kolonialis.
Begitu juga cerita-cerita sudah
dikemukakan bahwa bangsa penduduk kepulauan kita itu sudah dibuat menjadi satu
bangsa yang tunggal, yang tidak dapat dibeda-bedakan dan dipisah-pisahkan lagi,
oleh penjajahan Belanda selama 350 tahun itu, yakni oleh apa yang disebut
“persamaan nasib” (community of fate). Tak ada suatu hal yang lebih jauh
dari keadaan yang sebenarnya. Pertama sekali, tak ada satu bangsa pun di seluruh
kepulauan kita yang dijajah oleh Belanda selama 350 tahun kecuali bangsa Jawa
sendiri. Tak ada satu bangsa pun yang lain di bagian dunia kita yang amat luas
ini yang mengalami sejarah yang sangat menyesalkan ini. Bangsa yang lain di kepulauan
kita sudah berperang mati-matian memprtahankan kedaulatan bangsa mereka dari
serangan Belanda dan pada umumnya mereka tidak jatuh ke bawah penjajahan
Belanda lebih dari rata-rata lima puluh tahun. Sedang bangsa Acheh tidak hilang
kemerdekaannya kepada bangsa Belanda kecuali beberapa tahun saja, itupun
sesudah peperangan yang terbesar di bagian dunia ini, yang dimulai oleh
serangan Belanda ditahun 1873 dan tidak berakhir sampai tahun 1942 waktu
Belanda diusir kembali oleh Bangsa Acheh. Dalam perang yang lebih setengah abad
ini bangsa Acheh sudah memperlihatkan kepahlawanan yang dapat dibandingkan
dengan kepahlawanan bangsa manapun dalam sejarah dunia. 10,000 tentra Belanda
yang melakukan serangan dan pendaratan pertama ke Acheh dibawah pimpinan
Jendral Kohler dihancur-leburkan oleh tentra Kerajaan Acheh dalam medan perang
Bandar Acheh. Inilah kekalahan militer yang pertama yang dialami bangsa Eropa
di tangan suatu bangsa Melayu di Asia Timur. Surat kabar THE LONDON TIMES
menulis dihalaman mukanya pada hari bulan 22 April, 1873, sebagai berikut: “Suatu
kejadian yang luar biasa dalam sejarah penjajahan modern sudah diberitakan dari
kepulauan Melayu. Suatu kekuatan besar yang terdiri dari bangsa Eropa sudah
dikalahkan dan dihancurkan oleh satu angkatan perang bumi putra…Angkatan Perang
Negara Kerajaan Acheh. Orang Acheh sudah mendapat kemenangan yang memutuskan.
Musuh-musuh mereka bukan saja sudah dikalahkan, tetapi dipaksa lari.” Surat
kabar Amerika THE NEW YORK TIMES menulis pada 6 Mei, 1873, sebagai
berikut: “Suatu peperangan yang berkubang darah sudah terjadi di Acheh, satu
kerajaan bumiputra yang terletak di bahagian Utara pulau Sumatra. Tentra
Belanda telah melakukan serangan besar-besaran dan kini kita sudah mengatahui
hasilnya. Serangan itu telah dipukul mundur dengan penyembelihan besar-besaran.
Jendral Belanda sudah dibunuh oleh tentra Acheh dan tentra Belanda terpaksa
lari lintang-pukang. Menurut kenyataan, tentara Belanda sungguh-sungguh sudah
dihancur-leburkan.”
Sebagai akibat dari kejadian ini,
President Amerika Serikat Ulysses S.Grant menyatakan sikap tidak berpihak (neutral)
dalam perang antara Belanda dengan Acheh. Peperangan
antara Belanda dengan Acheh ini berjalan begitu lama sehingga dinamakan oleh
Majalah Amerika HARPER’S MAGAZINE sebagai “PERANG SERATUS TAHUN ZAMAN
IN” (“A HUNDRED YEARS WAR OF TODAY”), dalam penerbitaannya bulan Agustus,
1905. Perlawanan yang lama terhadap Belanda juga terjadi di Bali, Lombok dan
Sulawesi. Oleh karena itu tidaklah mungkin bagi kita putera-putera
Acheh-Sumatra, Sulawesi, Bali, dan lain-lain untuk menerima “thesis Jawa”
tentang 350 tahun di bawah penjajahan itu, selama kita masih mengenal dan
mengakui sejarah kita, selama kita tidak melupakan perjuangan suci nenek-moyang
kita. Sebenarnya, yang memalsukan sejarah kita, mengkhianati ingatan dan
kenang-kenangan kepada kepahlawanan nenek-moyang ialah kita sendiri. Itu pun
jika kita mau; sebelum kita dapat menerima “thesis Jawa” yang memalukan
ini. Sudah terang tidak ada manusia yang terpelajar dan berperadaban dapat
diharapkan untuk mengikuti kehendak kaum kolonialis Jawa yang bukan-bukan (nonsense)
ini.
Semua
ini menunjukkan bahwa, kita sebenarnya tidaklah mempunyai hubungan dan sangkut
–paut apa-apa dengan orang Jawa dalam sejarah kita, sebagaimana kita pun
tidaklah mempunyai hubungan apa-apa dengan tanah mereka. Kita tidaklah
mempunyai persamaan sejarah politik dengan orang-orang Jawa, kita tidaklah
mempunyai satu sejarah kebangsaan yang sama dengan mereka dan karena itu, kita
tidak mempunyai persamaan ingatan dan kenang-kenangan; kita tidak mempunyai
persamaan kemegahan dan kehinaan yang berhubungan dengan kejadian-kejadian yang
sama dalam sejarah kita dimasa yang silam atau dalam masa sekarang. Sebenarnya
kita sudah melihat selama 20 tahun yang akhir-akhir ini bagaimana
pahlawan-pahlawan Acheh-Sumatra, Sulawesi, Maluku dan lain-lain yang menegakkan
ke’adilan dan menentang kezaliman penjajah Jawa mereka disebutkan sebagai
“pengkhianat” oleh orang-orang Jawa dan surat-surat kabar mereka. Sungguh kita
mempunyai penilaian yang tidak sama dengan kaum kolonialis Jawa mengenai masa
depan kita, sebab kita ingin memelihara hak suci kedaulatan bangsa kita, sedang
mereka ingin merampok kita seperti Belanda sudah lakukan! Begitu juga mengenai dongeng ‘persamaan
nasib’. Sudah menjadi pengetahuan umum dalam sejarah kita bahwa, penjajahan
Belanda telah berhasil dipaksakan atas Tanah Ibu, kampung halaman kita dengan
mempergunakan serdadu-serdadu sewaan (mercenaries) bangsa Jawa secara
besar-besaran. Nama-nama mereka –dari Adikromos sampai kepada Sukarno dan
Suhartos– masih terpahat atas batu-batu kuburan serdadu-serdadu Belanda seperti
di Peucut, Kuta Raja, dimana tertanam ribuan bangkai serdadu-serdadu kolonialis
Jawa dan Belanda itu dalam kuburan bersama mereka yang menunjukkan mereka
memang sehidup-semati. Karena itu adalah satu perkara yang sewajarnya untuk
kita bertanya: apakah mungkin terdapat suatu persamaan nasib antara
serdadu-serdadu sewaan (mereka yang digaji untuk membunuh) dengan bangsa yang
dibunuh oleh mereka, dibagian dunia manapun juga? Disamping itu patutlah
diketahui dan dicamkan bahwa penjajahan tidaklah pernah mempersatukan sesuatu
bangsa pada zaman apapun, dan dibagian dunia manapun juga. Bangsa Polandia, Cek,
Slovak, Hongaria, Austria dan Yugoslavia tidaklah pernah menjadi satu, dan
tidaklah pernah melupakan diri mereka masing-masing walaupun mereka itu
semuanya berabad-abad lamanya mengalami ‘persamaan nasib’ dibawah penjajahan
kerajaan Austro-Hongaria. Sebaliknya ‘persamaan nasib’ itu telah membuat mereka
lebih bermusuhan satu sama lainnya karena raja-raja Austro-Hongaria selalu
memperalat satu golongan untuk menindas golongan yang lain. Bila bangsa
Polandia berontak, maka pasukan-pasukan Cekoslovakia yang dikirim untuk
menindasnya; bila orang Yugoslavia yang berontak maka pasukan Slovak yang
dikirim untuk menindasnya. Tidaklah semua ini mengingatkan kita kepada politik
kaum kolonialis Jawa selama ini dimana mereka mengirim pasukan-pasukan Batak
dan Minangkabau untuk menyembelih rakyat di Acheh dan mereka mengirim
pasukan-pasukan Acheh untuk menyerang Maluku dan Sulawesi? Semua ini dilakukan
untuk mengekalkan politik pecah dan jajah mereka: pertama untuk
mengurangi jumlah jiwa bangsa yang bukan Jawa –biar mereka berbunuh-bunuhan
sesama sendiri– kedua, supaya mereka semua tidak mungkin lagi bersatu
untuk melawan penjajah mereka bersama: kaum kolonialis Jawa! Suatu contoh lain
yang membuktikan bahwa ‘persamaan nasib’ dibawah penjajahan asing tidaklah
mempersatukan bangsa yang berlainan dapat kita lihat, dengan apa yang terjadi
atas bangsa Kamboja, Laos dan Vietnam. Walaupun mereka itu sudah mengalami
‘persamaan nasib’ di bawah penjajahan Perancis, mereka tidaklah menjadi satu
bangsa ‘Indo Cina’ oleh karena persamaan nasib buruk itu sebagaimana kita
kabarnya konon sudah menjadi satu bangsa ‘indonesia’, demi kepentingan si penjajah
Jawa.
Walaupun
demikian masih ada orang-orang yang mencoba-coba mengatakan bahwa kita bangsa
Acheh-Sumatra, bangsa Maluku, bangsa Sulawesi, bangsa Kalimantan, dan
lain-lain, karena ‘persamaan nasib’ di bawah Belanda, maka kita semua telah berubah
sifat, telah berubah agama dan kebudayaan, telah menjadi satu jenis ‘bangsa’
baru, satu bangsa “Pulau Kling” alias “indonesia”. Semua bangsa
yang terjajah di dunia tidaklah pernah melupakan dan meniadakan kebangsaan asli
mereka masing-masing walaupun mereka mengalami ‘persamaan nasib’ di bawah
penjajahan. Kenyataan ini dapat kita kaji di seluruh dunia meliputi benua
Afrika, Amerika Latin dan Asia dimana ‘persamaan nasib’ yang dipaksakan oleh
penjajahan Inggris, Perancis, Portugis dan Spanyol; tidaklah pernah
mempersatukan siapa pun dan tidaklah pernah merubah sesuatu bangsa menjadi
sesuatu bangsa yang lain. Apa yang disebut ‘persamaan nasib’ di bawah
penjajahan asing itu telah semakin lebih memecah-belahkan bangsa itu dari pada
mempersatukannya. Tetapi semua semua ‘omong-kosong’ ini sudah dipropagandakan
oleh kaum kolonialis Jawa untuk mengelabui mata, supaya kita menerima
penjajahan mereka.




