Notification

×

Iklan

Iklan

Kolonialisme Jawa Telah Menggantikan Kolonialisme Belanda

Selasa, 21 Oktober 2025 | Oktober 21, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-21T13:37:32Z


Orang-orang Jawa yang dahulunya paling tertindas dan melarat kini sudah menukar status dan kedudukan mereka menjadi golongan yang memerintah atas seluruh Dunia Melayu, satu kedudukan yang mereka terima dari Belanda 20 tahun yang silam. Mereka sekarang memegang monopoli atas segala pekerjaan yang terpenting dan terbaik serta memegang kendali kekuasaan dalam pemerintahan negara penjajah Indonesia-Jawa. Ambillah sesuatu daftar dari nama-nama wakil Indonesia-Jawa di negara manapun di seluruh dunia atau daftar nama-nama dari sesuatu Kementerian, terutama lapangan ketentraan dan kepolisian. Jika saudara mengenal nama-nama Jawa, maka daftar-daftar itu akan hidup di hadapan mata saudara, untuk menerangkan kepada saudara apa yang dimaksudkan dengan kolonialisme Jawa, kalau saudara sendiri belum juga menyadarinya. Mereka dan nama ‘pemerintah’ ini mungkin “indonesia” - dengan tidak menyebut-nyebutkan nama Jawa-nya: tetapi orang-orang yang memegang kekuasaan di dalamnya adalah nyata-nyata orang Jawa. Mereka di luar bungkusan pura-pura menyatakan kemerdekaan, tetapi isi yang sesungguhnya di dalam adalah kolonialisme, penjajahan: penguasaan oleh satu bangsa atas bangsa yang lain.

 


Orang Jawa sudah membuat diri mereka, di atas persada Tanah Pusaka kita sendiri, sebagai golongan elite, golongan yang memerintah, pihak ‘penguasa’, golongan yang kedudukan dan pekerjaannya terjamin, sedangkan golongan yang bukan Jawa, pada umumnya mengalami pelbagai macam kesukaran untuk mendapat kedudukan dan lebih sukar lagi untuk mendapat kenaikan pangkat dalam jabatannya. Kejauhan dan perpisahan antara klass kolonialis Jawa dengan bangsa yang diperintahi mereka di daerah-daerah yang disebut mereka sebagai ‘tanah seberang’ semakin bertambah lagi dengan adanya perbedaan-perbedaan bangsa, budaya dan bahasa antara rakyat ‘tanah seberang’ dengan kaum kolonialis Jawa itu. Di tempat-tempat terbaik di atas Tanah Pusaka kita dimana dahulunya terdengar bahasa Belanda, kini sudah digantikan dengan bahasa Jawa - satu bahasa yang menurut ilmu philology (ilmu bahasa) adalah satu bahasa yang tidak masuk dalam rumpun bahasa-bahasa Melayu. Sedang pemuda-pemuda Jawa disiapkan untuk menduduki jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan dan perusahaan-perusahaan, pemuda-pemuda yang bukan Jawa dari sehari ke sehari semakin menjadi si-pemikul air dan si-pemotong kayu bagi bangsa tuan-tuan (“herrenvolk”) yang baru muncul dari bawah kolong itu. Tetapi setiap langkah yang diambil oleh kaum kolonialis Jawa untuk menjamin kekalnya kedudukan dan status mereka yang baru itu, mesti dibayar dengan harga yang semakin mahal dan dengan bahaya yang semakin bertambah besar. Perkembangan ini sudah memutuskan hubungan moral dan politik antara kaum kolonialis Jawa itu dengan bangsa yang telah ditipu menjadi anak jajahan mereka di Acheh-Sumatra, Sulawesi, Maluku, Kalimantan, Papua Barat dan lain-lain. Kenyataan bahwa semua ‘anak seberang’ itu sebenarnya adalah bangsa lain yang dahulunya harus diperangi untuk ditaklukkan ke bawah pemerintah kolonial di Jakarta, yang mempunyai sejarah mereka sendiri, kebudayaan-kebudayaan mereka sendiri, malah nama-nama mereka sendiri yang sangat berbeda dari orang Jawa, semua ini semakin memperjauh hubungan antara mereka dengan kolonialis Jawa itu. Perkembangan kesadaran bangsa ini, yang mana adalah keharusan sejarah, sudah membuat kaum kolonialis jawa menjadi sasaran yang tidak dapat dielakkan dari proses perkembangan politik dan masyarakat yang berupa perlawanan dan pemberontakan yang tidak berkesudahan, yang sudah terjadi terus-menerus di Acheh-Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Papua Barat, dan lain-lain. Jalan menuju kolonialisme Jawa yang telah diambil oleh pemimpin-pemimpin Jawa dengan maksud untuk memperkuat kedudukan bangsa mereka dengan tidak mengindahkan hak-hak bangsa lain, telah membawa bangsa Jawa bukan kepada kedudukan yang lebih selamat, tetapi kepada kedudukan yang sebenarnya lebih berbahaya dan lebih banyak mangandung anasir-anasir keruntuhan, karena mereka tidak boleh tidak, akhirnya akan mesti menghadapi perlawanan yang serentak dari bangsa yang sudah mereka jajah dan tindas itu.

 


Ada pula satu golongan kecil orang-orang bukan Jawa alias ‘orang seberang lautan’ yang diberikan pekerjaan di bawah regime jawa. Mereka ini jumlahnya kecil sekali dibandingkan dengan kita bangsa ‘seberang lautan’ dari Jawa yang berjumlah puluhan juta itu, malah jauh lebih banyak dari orang Jawa sebab bangsa Jawa bukanlah golongan majority tetapi hanya golongan plurality dari penduduk Kepulauan Melayu. Merreka itu bekerja sebagai pelayannya kaum kolonialis Jawa, diterima dan dipecat menurut kesenangan hati majikan Jawanya. Kolonialis Jawa pada umumnya mempergunakan mereka ini sebagai alat propaganda keluar dan kedalam negeri untuk menimbulkan kesan umum, seakan-akan kita bangsa ‘seberang lautan’ juga ‘diwakili’ dalam pemerintahan kolonialis Jawa. Alat yang terpenting dari kolonialis Jawa ialah negara kesatuan yang mereka paksakan atas seluruh kepulauan kita. Sebenarnya inilah langkah pertama yang diambil oleh kaum kolonialis Jawa untuk mendirikan penjajahan mereka atas kita. Satu negara kesatuan yang tidak berasas demokrasi dan anti Islam, dengan segala-galanya dipegang dan dikendalikan dari Jawa, telah dipaksakan atas kita dengan tidak ada musyawarah dan pemilihan bebas. Satu birokrasi pusat dengan dibantu oleh polisi –rahasia dan terbuka– yang dikendalikan dari Jawa pula, ditambah dengan tentara yang hampir semuanya terdiri dari orang-orang Jawa, telah melahirkan penjajahan Jawa ke alam kenyataan dengan seterang-terangnya.

 

Alat yang lain dari kolonialisme Jawa ialah, ketiga-tiga partai politik yang dikendalikan oleh orang Jawa, yaitu PKI (Partai Komunis Indonesia), NU (Nahdatul Ulama) dan PNI (Partai Nasional Indonesia). Partai-partai politik yang lain yang tidak di bawah kendali orang Jawa, seperti Masyumi (Majlis Syura Muslimin Indonesia) dan PSI (Partai Sosialis) sudah dibubarkan dan dilarang hidup oleh kaum kolonialis Jawa karena partai-partai ini mengahalang-halangi politik penjajahan mereka. Tetapi mengatahui nama-nama dari partai-partai itu tidaklah cukup. Kita harus mengetahui golongan bangsa yang menjadi anggotanya dalam bentuk darah-daging mereka. Terutama sekali pembubaran dan pelarangan partai Masyumi adalah sangat penting, karena hal itu menyingkap tabir politik kaum kolonialis Jawa untuk kesekian kalinya. Sebagaimana umum diketahui bahagian yang terbesar sekali dari anggota-anggota Masyumi terdiri dari bangsa Acheh-Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Maluku dan lain-lain yang bukan Jawa. Hal ini telah dibuktikan dengan setegas-tegasnya oleh kemenangan Masyumi dalam pemilihan umum yang silam dimana Masyumi selalu mendapat kemenanagan di luar Jawa. Karena itu Masyumi adalah satu partai yang membela kepentingan rakyat ‘seberang’, yaitu bangsa yang bukan Jawa. Inilah sebab yang sebenarnya maka Sukarno, dengan disokong oleh golongan kolonialis Jawa yang lain-lain telah melarang hidupnya Masyumi. Walau pun partai-partai PKI, PNI dan NU tiada berhenti-hentinya menyatakan diri mereka sebagai partai-partai ‘indonesia’, ketiga-tiga partai itu di alam kenyataan, di darah-dagingnya adalah, partai-partai Jawa belaka. Hasil pemilihan umum tahun 1955 umpamanya menunjukkan angka-angka suara bagi PKI sebagai berikut:

 

PROVINSI-PROVINSI: SUARA PKI: PROVINSI-PROVINSI: SUARA PKI:

Jawa Timur……

Jawa Tengah…..

Jawa Barat……

Jakarta…………

Sumatra Selatan

Sumatra Tengah

Sumatra Utara…

 

 

Jawa Timur

Jawa Tengah.

Jawa Barat

Jakarta

Sumatra Selatan

Sumatra Tengah

Sumatra Utara

2,299,602

2,326,108

755,634

96,363

176,900

90,513

258,875

 

Kalimantan Barat

Kalimantan Selatan

Kalimantan Timur

Sulawesi Utara/Tengah

Sulawesi Selatan

Maluku

Nusa Tenggara

8,526

17,210

8,209

33,204

17,831

4,792

71,075

 

Suara PKI yang datang dari Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Jawa Barat dan Provinsi-provinsi lain kebanyakan berasal dari suara kaum para pendatang ´transmigran´ Jawa yang berada di-daerah-daerah itu. Hasil pemilihan umum pada Agustus 1957, menunjukkan perbandingan suara dalam tiga provinsi-provinsi di Pulau Jawa termasuk Jakarta, sebagai berikut:

 

Partai

Jakarta

Jawa Barat

Jawa Tengah

Jawa Timur

PKI

PNI

NU

Masyumi

137,305

124,955

104,892

153,709

1,087,269

1,055,801

597,356

1,841,030

2,706,893

2,235,714

1,771,556

714,722

2,704,523

1,899,782

2,999,785

977,443

 

Sebagaimana dengan mudah dapat disaksikan, jumlah suara yang diberikan kepada ketiga-tiga partai yang menyokong kolonialisme Jawa yaitu PKI, PNI dan Nu datangnya dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, yaitu tanah air bangsa Jawa sendiri. Suara untuk ketiga partai ini yang diperoleh di Jawa Barat (tanah air bangsa Sunda) datangnya dari daerah-daerah perbatasan dengan Jawa Tengah yang diduduki oleh bangsa Jawa. Hasil pemilihan umum ini menguatkan lagi kenyataan bahwa PKI, PNI dan NU yang walaupun mereka memakai nama-nama yang berlainan, mereka itu pada hakikatnya adalah partai orang-orang Jawa: mereka tumbuh dari tanah yang sama, anggota-anggotanya terdiri dari anggota masyarakat yang sama, yang menghadapi persoalan dan kesukaran ekonomi yang sama, mereka memakai satu bahasa oleh karena mereka satu bangsa; mereka mempunyai satu kebudayaan, satu adat, satu sejarah; karena itu mereka mempunyai kepentingan kebudayaan yang sama, kepentingan politik yang sama, atau sekurang-kurangnya tidak jauh berbeda, dan kepentingan ekonomi yang sama: semua kepentingan ini terjalin rapat, tidak dapat dipisah-pisahkan, sebagaimana sudah dibuktikan oleh mereka sendiri kepada seluruh dunia, yaitu dengan sokongan mereka bersama terhadap kolonialisme Jawa di kepulauan kita ini. Mereka mempunyai satu kepentingan, yaitu kepentingan bangsa Jawa yang mempersatukan mereka menentang segala kepentingan bangsa luar Jawa atau ‘orang seberang’ sebagaimana memang mereka sendiri menamakan dan memandang kita.

 

Nampak seakan-akan penguasaan mereka atas alat-alat negara dan pemerintahan belum cukup, mereka memakai pula ketiga-tiga partai ini, PKI, NU dan PNI sebagai senjata politik yang tajam sekali untuk memecah, mengendalikan dan menjajah bangsa yang bukan Jawa. Partai-partai ini didirikan di seluruh ‘indonesia’ dan diperkenalkan sebagai partai-partai “nasional”. Artinya partai-partai yang bersifat keseluruhan ‘indonesia’,  pada hal partai-partai ini hanyalah partainya bangsa Jawa belaka. Bangsa ‘seberang’ yang memasuki partai-partai ini, dengan tidak disadarinya sudah menambah lagi suara bagi bangsa Jawa dan memecah-belahkan persatuan bangsa sendiri. Politik partai-partai ini memberi kesempatan kepada kaum kolonialis Jawa untuk campur tangan dalam soal-soal daerah, soal-soal rumah tangga dari bangsa yang bukan Jawa dengan tidak memberi kesempatan kepada bangsa yang bukan Jawa untuk campur tangan dalam politik bangsa Jawa sendiri. Sukarno telah mempersatukan ketiga-serangkai ini secara resmi –secara tidak resmi sebenarnya mereka selalu bersatu dalam membela kepentingan bersama bangsa Jawa– dalam satu kabinet ‘Nasakom’: ‘Nas’ diartikannya ‘nasionalis’ atau PNI; ‘a’ diartikannya ‘agama’ atau NU; ‘kom’ dimaksudkan ‘komunis’ atau PKI. Apa yang tidak disebutkan ialah, bahwa kabinet ‘Nasakom’ itu sebenarnya hanya satu tabir baru untuk menutup-nutup kolonialisme Jawa atas bangsa kepulauan kita ini. Tujuan daripada kabinet ‘Nasakom’ adalah untuk mangelabui mata dunia guna mengesankan seakan-akan pemerintah kolonialis Jawa di Jakarta itu didukung oleh tiga partai besar dari berbagai aliran yang tidak ada hubungan dan sangkut-pautnya dengan bangsa Jawa. Padahal sebenarnya ketiga-tiga partai itu adalah partai-partai bangsa Jawa sendiri dan aliran yang diwakili mereka adalah aliran-aliran Jawa pula. (Waktu Suharto merebut kekuasaan partai-partai lama itu dilarangnya dan didirikannya tiga-serangkai baru, yaitu ‘Golkar’, ‘PPP’ dan ‘PDI’ yang ketiga-tiganya dikendalikannya sendiri. Ini masih pementasan sandiwara Jawa lama juga hanya dengan costume (baju) baru.

 

TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update