Orang-orang Jawa yang dahulunya
paling tertindas dan melarat kini sudah menukar status dan kedudukan mereka
menjadi golongan yang memerintah atas seluruh Dunia Melayu, satu kedudukan yang
mereka terima dari Belanda 20 tahun yang silam. Mereka sekarang memegang
monopoli atas segala pekerjaan yang terpenting dan terbaik serta memegang
kendali kekuasaan dalam pemerintahan negara penjajah Indonesia-Jawa. Ambillah
sesuatu daftar dari nama-nama wakil Indonesia-Jawa di negara manapun di seluruh
dunia atau daftar nama-nama dari sesuatu Kementerian, terutama lapangan
ketentraan dan kepolisian. Jika saudara mengenal nama-nama Jawa, maka
daftar-daftar itu akan hidup di hadapan mata saudara, untuk menerangkan kepada
saudara apa yang dimaksudkan dengan kolonialisme Jawa, kalau saudara sendiri
belum juga menyadarinya. Mereka dan nama ‘pemerintah’ ini mungkin “indonesia” -
dengan tidak menyebut-nyebutkan nama Jawa-nya: tetapi orang-orang yang memegang
kekuasaan di dalamnya adalah nyata-nyata orang Jawa. Mereka di luar bungkusan
pura-pura menyatakan kemerdekaan, tetapi isi yang sesungguhnya di dalam adalah
kolonialisme, penjajahan: penguasaan oleh satu bangsa atas bangsa yang lain.
Orang Jawa sudah membuat diri
mereka, di atas persada Tanah Pusaka kita sendiri, sebagai golongan elite,
golongan yang memerintah, pihak ‘penguasa’, golongan yang kedudukan dan
pekerjaannya terjamin, sedangkan golongan yang bukan Jawa, pada umumnya
mengalami pelbagai macam kesukaran untuk mendapat kedudukan dan lebih sukar
lagi untuk mendapat kenaikan pangkat dalam jabatannya. Kejauhan dan perpisahan
antara klass kolonialis Jawa dengan bangsa yang diperintahi mereka di
daerah-daerah yang disebut mereka sebagai ‘tanah seberang’ semakin bertambah
lagi dengan adanya perbedaan-perbedaan bangsa, budaya dan bahasa antara rakyat
‘tanah seberang’ dengan kaum kolonialis Jawa itu. Di tempat-tempat terbaik di
atas Tanah Pusaka kita dimana dahulunya terdengar bahasa Belanda, kini sudah
digantikan dengan bahasa Jawa - satu bahasa yang menurut ilmu philology (ilmu
bahasa) adalah satu bahasa yang tidak masuk dalam rumpun bahasa-bahasa Melayu.
Sedang pemuda-pemuda Jawa disiapkan untuk menduduki jabatan-jabatan penting
dalam pemerintahan dan perusahaan-perusahaan, pemuda-pemuda yang bukan Jawa
dari sehari ke sehari semakin menjadi si-pemikul air dan si-pemotong kayu bagi
bangsa tuan-tuan (“herrenvolk”) yang baru muncul dari bawah kolong itu.
Tetapi setiap langkah yang diambil oleh kaum kolonialis Jawa untuk menjamin kekalnya
kedudukan dan status mereka yang baru itu, mesti dibayar dengan harga yang
semakin mahal dan dengan bahaya yang semakin bertambah besar. Perkembangan ini
sudah memutuskan hubungan moral dan politik antara kaum kolonialis Jawa itu
dengan bangsa yang telah ditipu menjadi anak jajahan mereka di Acheh-Sumatra,
Sulawesi, Maluku, Kalimantan, Papua Barat dan lain-lain. Kenyataan bahwa semua
‘anak seberang’ itu sebenarnya adalah bangsa lain yang dahulunya harus diperangi
untuk ditaklukkan ke bawah pemerintah kolonial di Jakarta, yang mempunyai
sejarah mereka sendiri, kebudayaan-kebudayaan mereka sendiri, malah nama-nama
mereka sendiri yang sangat berbeda dari orang Jawa, semua ini semakin
memperjauh hubungan antara mereka dengan kolonialis Jawa itu. Perkembangan
kesadaran bangsa ini, yang mana adalah keharusan sejarah, sudah membuat kaum
kolonialis jawa menjadi sasaran yang tidak dapat dielakkan dari proses
perkembangan politik dan masyarakat yang berupa perlawanan dan pemberontakan
yang tidak berkesudahan, yang sudah terjadi terus-menerus di Acheh-Sumatra,
Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Papua Barat, dan lain-lain. Jalan menuju
kolonialisme Jawa yang telah diambil oleh pemimpin-pemimpin Jawa dengan maksud
untuk memperkuat kedudukan bangsa mereka dengan tidak mengindahkan hak-hak bangsa
lain, telah membawa bangsa Jawa bukan kepada kedudukan yang lebih selamat,
tetapi kepada kedudukan yang sebenarnya lebih berbahaya dan lebih banyak
mangandung anasir-anasir keruntuhan, karena mereka tidak boleh tidak, akhirnya
akan mesti menghadapi perlawanan yang serentak dari bangsa yang sudah mereka
jajah dan tindas itu.
Ada pula satu golongan kecil
orang-orang bukan Jawa alias ‘orang seberang lautan’ yang diberikan pekerjaan
di bawah regime jawa. Mereka ini jumlahnya kecil sekali dibandingkan dengan
kita bangsa ‘seberang lautan’ dari Jawa yang berjumlah puluhan juta itu, malah
jauh lebih banyak dari orang Jawa sebab bangsa Jawa bukanlah golongan majority
tetapi hanya golongan plurality dari penduduk Kepulauan Melayu.
Merreka itu bekerja sebagai pelayannya kaum kolonialis Jawa, diterima dan
dipecat menurut kesenangan hati majikan Jawanya. Kolonialis Jawa pada umumnya
mempergunakan mereka ini sebagai alat propaganda keluar dan kedalam negeri
untuk menimbulkan kesan umum, seakan-akan kita bangsa ‘seberang lautan’ juga
‘diwakili’ dalam pemerintahan kolonialis Jawa. Alat yang terpenting dari
kolonialis Jawa ialah negara kesatuan yang mereka paksakan atas seluruh
kepulauan kita. Sebenarnya inilah langkah pertama yang diambil oleh kaum
kolonialis Jawa untuk mendirikan penjajahan mereka atas kita. Satu negara
kesatuan yang tidak berasas demokrasi dan anti Islam, dengan segala-galanya
dipegang dan dikendalikan dari Jawa, telah dipaksakan atas kita dengan tidak
ada musyawarah dan pemilihan bebas. Satu birokrasi pusat dengan dibantu oleh
polisi –rahasia dan terbuka– yang dikendalikan dari Jawa pula, ditambah dengan
tentara yang hampir semuanya terdiri dari orang-orang Jawa, telah melahirkan
penjajahan Jawa ke alam kenyataan dengan seterang-terangnya.
Alat yang lain dari kolonialisme
Jawa ialah, ketiga-tiga partai politik yang dikendalikan oleh orang Jawa, yaitu
PKI (Partai Komunis Indonesia), NU (Nahdatul Ulama) dan PNI (Partai Nasional
Indonesia). Partai-partai politik yang lain yang tidak di bawah kendali orang
Jawa, seperti Masyumi (Majlis Syura Muslimin Indonesia) dan PSI (Partai
Sosialis) sudah dibubarkan dan dilarang hidup oleh kaum kolonialis Jawa karena
partai-partai ini mengahalang-halangi politik penjajahan mereka. Tetapi
mengatahui nama-nama dari partai-partai itu tidaklah cukup. Kita harus mengetahui
golongan bangsa yang menjadi anggotanya dalam bentuk darah-daging mereka.
Terutama sekali pembubaran dan pelarangan partai Masyumi adalah sangat penting,
karena hal itu menyingkap tabir politik kaum kolonialis Jawa untuk kesekian
kalinya. Sebagaimana umum diketahui bahagian yang terbesar sekali dari
anggota-anggota Masyumi terdiri dari bangsa Acheh-Sumatra, Sulawesi,
Kalimantan, Maluku dan lain-lain yang bukan Jawa. Hal ini telah dibuktikan
dengan setegas-tegasnya oleh kemenangan Masyumi dalam pemilihan umum yang silam
dimana Masyumi selalu mendapat kemenanagan di luar Jawa. Karena itu Masyumi
adalah satu partai yang membela kepentingan rakyat ‘seberang’, yaitu bangsa
yang bukan Jawa. Inilah sebab yang sebenarnya maka Sukarno, dengan disokong
oleh golongan kolonialis Jawa yang lain-lain telah melarang hidupnya Masyumi.
Walau pun partai-partai PKI, PNI dan NU tiada berhenti-hentinya menyatakan diri
mereka sebagai partai-partai ‘indonesia’, ketiga-tiga partai itu di alam
kenyataan, di darah-dagingnya adalah, partai-partai Jawa belaka. Hasil
pemilihan umum tahun 1955 umpamanya menunjukkan angka-angka suara bagi PKI
sebagai berikut:
PROVINSI-PROVINSI:
SUARA PKI: PROVINSI-PROVINSI: SUARA PKI:
Jawa
Timur……
Jawa
Tengah…..
Jawa
Barat……
Jakarta…………
Sumatra Selatan
Sumatra Tengah
Sumatra Utara…
|
Jawa
Timur Jawa
Tengah. Jawa
Barat Jakarta Sumatra Selatan Sumatra Tengah Sumatra Utara |
2,299,602 2,326,108 755,634 96,363 176,900 90,513 258,875 |
|
Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara/Tengah Sulawesi Selatan Maluku Nusa Tenggara |
8,526 17,210 8,209 33,204 17,831 4,792 71,075 |
Suara PKI yang datang dari Sumatra
Utara, Sumatra Selatan, Jawa Barat dan Provinsi-provinsi lain kebanyakan
berasal dari suara kaum para pendatang ´transmigran´ Jawa yang berada
di-daerah-daerah itu. Hasil pemilihan umum pada Agustus 1957, menunjukkan
perbandingan suara dalam tiga provinsi-provinsi di Pulau Jawa termasuk Jakarta,
sebagai berikut:
|
Partai |
Jakarta |
Jawa Barat |
Jawa Tengah |
Jawa Timur |
|
PKI PNI NU Masyumi |
137,305 124,955 104,892 153,709 |
1,087,269 1,055,801 597,356 1,841,030 |
2,706,893 2,235,714 1,771,556 714,722 |
2,704,523 1,899,782 2,999,785 977,443 |
Sebagaimana dengan mudah dapat
disaksikan, jumlah suara yang diberikan kepada ketiga-tiga partai yang
menyokong kolonialisme Jawa yaitu PKI, PNI dan Nu datangnya dari Jawa Tengah
dan Jawa Timur, yaitu tanah air bangsa Jawa sendiri. Suara untuk ketiga partai
ini yang diperoleh di Jawa Barat (tanah air bangsa Sunda) datangnya dari
daerah-daerah perbatasan dengan Jawa Tengah yang diduduki oleh bangsa Jawa.
Hasil pemilihan umum ini menguatkan lagi kenyataan bahwa PKI, PNI dan NU yang walaupun
mereka memakai nama-nama yang berlainan, mereka itu pada hakikatnya adalah
partai orang-orang Jawa: mereka tumbuh dari tanah yang sama, anggota-anggotanya
terdiri dari anggota masyarakat yang sama, yang menghadapi persoalan dan
kesukaran ekonomi yang sama, mereka memakai satu bahasa oleh karena mereka satu
bangsa; mereka mempunyai satu kebudayaan, satu adat, satu sejarah; karena itu
mereka mempunyai kepentingan kebudayaan yang sama, kepentingan politik yang
sama, atau sekurang-kurangnya tidak jauh berbeda, dan kepentingan ekonomi yang
sama: semua kepentingan ini terjalin rapat, tidak dapat dipisah-pisahkan,
sebagaimana sudah dibuktikan oleh mereka sendiri kepada seluruh dunia, yaitu
dengan sokongan mereka bersama terhadap kolonialisme Jawa di kepulauan kita
ini. Mereka mempunyai satu kepentingan, yaitu kepentingan bangsa Jawa yang
mempersatukan mereka menentang segala kepentingan bangsa luar Jawa atau ‘orang
seberang’ sebagaimana memang mereka sendiri menamakan dan memandang kita.
Nampak seakan-akan penguasaan
mereka atas alat-alat negara dan pemerintahan belum cukup, mereka memakai pula
ketiga-tiga partai ini, PKI, NU dan PNI sebagai senjata politik yang tajam
sekali untuk memecah, mengendalikan dan menjajah bangsa yang bukan Jawa. Partai-partai
ini didirikan di seluruh ‘indonesia’ dan diperkenalkan sebagai partai-partai
“nasional”. Artinya partai-partai yang bersifat keseluruhan ‘indonesia’, pada hal partai-partai ini hanyalah partainya
bangsa Jawa belaka. Bangsa ‘seberang’ yang memasuki partai-partai ini, dengan
tidak disadarinya sudah menambah lagi suara bagi bangsa Jawa dan
memecah-belahkan persatuan bangsa sendiri. Politik partai-partai ini memberi
kesempatan kepada kaum kolonialis Jawa untuk campur tangan dalam soal-soal daerah,
soal-soal rumah tangga dari bangsa yang bukan Jawa dengan tidak memberi
kesempatan kepada bangsa yang bukan Jawa untuk campur tangan dalam politik
bangsa Jawa sendiri. Sukarno telah mempersatukan ketiga-serangkai ini secara
resmi –secara tidak resmi sebenarnya mereka selalu bersatu dalam membela
kepentingan bersama bangsa Jawa– dalam satu kabinet ‘Nasakom’: ‘Nas’
diartikannya ‘nasionalis’ atau PNI; ‘a’ diartikannya ‘agama’ atau NU; ‘kom’
dimaksudkan ‘komunis’ atau PKI. Apa yang tidak disebutkan ialah, bahwa kabinet
‘Nasakom’ itu sebenarnya hanya satu tabir baru untuk menutup-nutup kolonialisme
Jawa atas bangsa kepulauan kita ini. Tujuan daripada kabinet ‘Nasakom’ adalah
untuk mangelabui mata dunia guna mengesankan seakan-akan pemerintah kolonialis
Jawa di Jakarta itu didukung oleh tiga partai besar dari berbagai aliran yang
tidak ada hubungan dan sangkut-pautnya dengan bangsa Jawa. Padahal sebenarnya
ketiga-tiga partai itu adalah partai-partai bangsa Jawa sendiri dan aliran yang
diwakili mereka adalah aliran-aliran Jawa pula. (Waktu Suharto merebut
kekuasaan partai-partai lama itu dilarangnya dan didirikannya tiga-serangkai
baru, yaitu ‘Golkar’, ‘PPP’ dan ‘PDI’ yang ketiga-tiganya dikendalikannya
sendiri. Ini masih pementasan sandiwara Jawa lama juga hanya dengan
costume (baju) baru.



