Sebagaimana yang terjadi, sesudah kekalahannya dalam
serangan pertama itu, Belanda melakukan serangan yang kedua, ketiga, ke-empat,
kelima dan keenam, dengan tidak pernah mencapai kemenangan yang sesungguhnya
terhadap bangsa Acheh yang mempertahankan dirinya. Perang Belanda (sebagai
bangsa Acheh melihatnya) atau Perang Acheh (sebagai bangsa Belanda melihatnya)
berjalan hampir satu abad, sehingga oleh Majalah Amerika, HARPER´S MAGAZINE, menyebutnya sebagai perang “SERATUS TAHUN MASA INI”[12].
Akhirnya bangsa Belanda sudah dikalahkan oleh bangsa Acheh dalam
pertempuran-pertempuran yang terjadi di seluruh Acheh pada bulan Mart, 1942,
sebelum Jepang masuk ke Acheh dalam perang Dunia ke-II. Demikianlah, Belanda
tidak pernah mencapai tujuan perangnya di Acheh: negara Acheh tidak pernah
menandatangani surat menyerah kepada Belanda dan perlawanan tidak pernah
dihentikan sampai achirnya Belanda diusir dari bumi Acheh dengan segala
kehinaan. Tetapi di antara 26 Mart, 1873 (ketika Belanda menjatakan perang
kepada kerajaan Acheh yang merdeka dan berdaulat) dan bulan Maret 1942 (ketika
semua Belanda dan kaki-tangan-nja di usir dari Acheh), Belanda pernah membuat
propaganda bohong yang mengatakan bahwa mereka sudah dapat “menaklukan” Negara
Acheh dan bahwa mereka sudah sah menduduki Acheh, yaitu secara “legal”.
Propaganda Belanda ini adalah palsu dan bohong sama sekali. Belanda tidak
pernah dapat berbuat sebagai apa yang di-propagandakan-nya itu. Sebagaimana
sudah di ketahui, serangan Belanda yang pertama di bawah pimpinan Jenderal Kohler, sudah dihancur-leburkan oleh
tentara Acheh dan Kohler sendiri
ditembak mati di Kuta Raja. Serangan Belanda yang kedua di bawah pimpinan Jenderal
Van Swieten yang dimulai pada 25 Desember 1873, dengan kekuatan yang jauh lebih
besar lagi dari serangan pertama, juga tidak mendapat kemenangan, sebagai mana
yang sudah diakui sendiri oleh Van Swieten dalam bukunya[13]. Dalam bulan Januari, 1874,
segera sesudah ia mendarat di pantai Acheh, Van Swieten menyatakan kepada dunia
bahwa ia sudah mengambil (annexed)
kerajaan Acheh dan mamasukannya kedalam Hindia Belanda (alias Indonesia). Ini telah dilakukannya untuk menyenangkan hati
bangsa Belanda yang telah begitu malu di mata dunia atas kekalahan-kekalahan
yang mereka terima dari tangan bangsa Acheh. Tetapi karena negara Acheh dan tentara
Acheh yang sangat kuat itu masih berdiri dan mengalahkan tentara Belanda dalam
setiap medan perang yang terjadi sesudah nya, maka propaganda bohong dari Van
Swieten itu tidak dapat disembunyikan kebohongannya di mata dunia, sehingga
pernyatan Van Swieten itu menjadi masyhur dengan nama “Van Swieten Illegal Annexation of Acheh”[14].
Kemudian daripada itu, pada tahun 1879, Van Swieten
sendiri mengaku bahwa dia sebenarnya tidak pernah dapat menaklukkan Acheh dan
meminta kepada bangsanya supaya dia jangan lagi dipanggil dengan nama julukan
“Penakluk Acheh” sebab katanya dia malu karena tidak pernah dapat menaklukan
bangsa Acheh. Berdasarkan atas pengalamannya sebagai Panglima tertinggi
Angkatan perang Belanda di Acheh, Van Swieten mengatakan bahwa, dia sudah yakin
bangsa Acheh itu tidak mungkin dapat dikalahkan dalam medan perang. Sekarang dia mengatakan
perang Acheh itu suatu kesalahan dari pemerintah Belanda. Belanda wajib menarik
diri dari Acheh dan mengakui Acheh sebagai Negara Merdeka kembali. Perang Acheh
bukan saja menghancurkan tentara Belanda di Acheh, tetapi akan menghancurkan
kekuasan Belanda di “Indonesia”. Van Swieten begitu yakin pada pendiriannya itu
hingga dia menyusun satu gerakan politik di negeri Belanda untuk mempengaruhi
pemerintahan Belanda supaya mengikuti kebijaksanaan politik yang dianjurkanya.
Kata Van Swieten: “une nation ne meurt
pas de reconnaitre une faute, mais d’y persister” –satu bangsa tidak akan mati karena menginsafi satu
kesalahan yang sudah dibuatnya, tetapi akan mati jika bangsa itu terus menerus
melakukan kesalahan itu– Inilah testimoni seorang Jenderal Belanda yang menyatakan bahwa dia
sudah “megambil” dan sudah “menaklukan” dan sudah “memasukkan” Negara Acheh
Merdeka kedalam “indonesia”-nya, kini
menuntut supaya Acheh diakui sebagai Negara Merdeka kembali![15] Pemerintah
Belanda tidak mengikuti nasihatnya dan perang berjalan terus.
Tetapi
lagi-lagi, pada tahun 1881, pemerintah Belanda menyatakan bahwa Acheh sudah
dapat ditaklukan dan bahwa perang Acheh sudah selesai dengan kemenangan bagi
pihak Belanda. “Ini adalah angan-angan yang bukan-bukan, yang tidak
berdasarkan kenyataan, yang dibikin-bikin oleh kaum penjajah,” tulis Prof.
M.C. Ricklefs. Seterusnya dia memberi komentar sebagai berikut: „Perang
Acheh adalah suatu peperangan yang lama dan pahit sekali. Ketika tentara
Belanda maju sambil menjatuhkan bom dan membakar kampung-kampung, penduduk lari
ke gunung-gunung tetapi tetap meneruskan perlawanan mereka. Perlawanan dipimpim
oleh ulama-ulama dan yang paling masyhur adalah Tengku Thjik di Tiro Muhammad
Saman (1836-1891) dan perlawanan menjadi perang suci antara umat Islam dan
kafir. Akhirnya Belanda menjadi sadar bahwa mereka tidak menang apa-apa, dan
tidak menguasai sejengkal tanah dari tangsi-tangsi mereka. Biaya peperangan ini
besar sehingga pada tahun 1884-5 Belanda terpaksa menarik mundur tentaranya ke
benteng-benteng dan dengan demikian maka negeri Acheh kembali ke dalam tangan
bangsa Acheh sendiri.”[16]
Surat kabar
London MORNING POST, dalam
editorialnya pada 2 Juli 1874 menulis: „Sudah menjadi satu kenyataan bahwa
bangsa Acheh itu bukanlah satu bangsa yang mudah dikalahkan orang. Mereka sudah
memperlihatkan kekuatan dan kesanggupan yang hampir-hampir tidak ada contohnya
dalam melawan dan menentang si penjajah negeri mereka. Laporan terakhir yang
kami terima dari suber-sumber yang dipercayai, memperlihatkan betapa besar
kekuatan dan bagaimana keras tekad mereka untuk meneruskan peperangan: mereka
muncul kembali di tempat-tempat dimana tadinya mereka sudah dikalahkan dan dan
ditempat-tempat yang sama sekali tidak di sangka-sangka oleh Belanda. Kabarnya
kenyataan-kenyataan ini sudah begitu besar mempengaruhi dan mengubah pendapat
Jenderal Van Swieten mengenai semangat perang bangsa Acheh. Satu bangsa yang
sanggup berperang dengan semangat yang semacam ini tidak akan segera menyerah
dan kini sudah terang bahwa Belanda sudah salah terka dengan
pernyataan-pernyataannya yang mengatakan peperangan akan segera berakhir.
Keberanian bangsa Acheh memaksa kita mengangkat tangan, memberi hormat dan ada
sesuatu dalam semangat bangsa yang baik ini yang menyebabkan mereka tidak mau
merendahkan diri kepada sipenjajah dan musuh-musuh mereka. Dengan penuh
kesabaran orang Acheh memperbaiki kembali benteng-benteng mereka yang
sudah rusak atau mendirikan yang baru di tempat benteng lama yang sudah roboh
dan dari sana membalas tembakan-tembakan Belanda walaupun tidak kena, tetapi
mesti ada balasan! Oleh karena itu apakah pernah diherankan bahwa “kemenangan”
Belanda itu begitu tidak menyakinkan? Ketika sejarah perang Belanda dengan
Acheh ini ditulis dan sibukukan, kita pikir, hal itu tidak akan menambah
kebesaran bangsa Belanda.”
Perkara ini
sebenarnya sudah kejadian. Sampai sekarang sudah lebih 500 buku sejarah ditulis
dalam bahasa Belanda mengenai Perang Belanda dengan Acheh dan sungguhlah bangsa
Belanda tidak keluar dari halaman-halaman sejarah itu lebih baik dari sudut
moral dan militer. Sebaliknya bangsa Acheh-lah yang ternyata lebih besar dan
lebih baik dari sudut moral dan militer, dalam tekadnya untuk hidup sebagai
bangsa yang merdeka. Dalam satu di antara buku-buku sejarah Perang Acheh
(Perang Belanda) yang terakhir, pengarangnya, Paul Van´t Veer, membuat
kesimpulan sebagai berikut: “Bangsa Belanda dan negeri Belanda tidak pernah
menghadapi satu peperangan yang lebih besar daripada peperangan dengan Acheh.
Menurut rentang waktunya, perang ini dapat dinamakan perang delapan puluh
tahun. Menurut jumlah korbannya - lebih seratus ribu orang yang mati -perang
ini adalah satu kejadian militer yang tidak ada bandingnya dalam sejarah bangsa
Belanda. Untuk negeri dan bangsa Belanda, Perang Acheh itu lebih daripada hanya
pertikaian militer selama satu abad inilah persoalan pokok politik internasional,
politik nasional dan politik kolonial Belanda.”[17] Paul Van´t Veer menimpali: “Acheh bukanlah
Jawa. Sebenarnya sudahlah terang benderang bahwa dalam bagian dunia yang secara
umum dan yang tidak berketentuan disebut Hindia Belanda („indonesia“) tidak ada
satu kerajaan yang dapat dibandingkan dengan Acheh. Ini kita tahu sekarang ini.
Satu peperangan yang lamanya lebih setengah abad, seratus ribu orang mati dan
setengah miljar rupiah Belanda abad ke19 yang mahal itu, sudah menjadi bukti
dari hal ini. Kita sudah tahu ini sekarang, tetapi kita tidak tahu itu di tahun
1873. Biarlah kenyataan-kenyatan ini tegak berdiri -jangan sembunjikan- supaya
orang-orang di negeri Belanda, atau lebih-lebih lagi di pulau Jawa, dapat
mengetahui manusia yang bagaimana bangsa Acheh itu.”[18] Paul Van´t Veer menulis dalam
bukunya semua kejadian-kejadian di Acheh antara tahun 1873 hingga 1942 ketika
bangsa Belanda diusir dari Acheh untuk kali yang terachir. Ia membuat
kesimpulan: “Acheh adalah yang paling akhir ditaklukkan tetapi yang pertama
sekali merdeka kembali!” - sebab sehabis perang dunia yang ke-II, ketika
Belanda kembali menduduki tanah jajahan mereka yang kini sudah diberi nama baru
sebagai “indonesia” mereka tidak
berani kembali ke-Acheh. Sebab itu adalah sebagai hak bangsa Acheh untuk
merdeka dan berdaulat semula, seperti di masa sebelum Belanda datang
menyerangnya. Tetapi
hal yang adil dan lumrah ini tidak terjadi karena kedustaan dan tipuan bangsa
Belanda dan bangsa Jawa atas bangsa Acheh.
PENJAJAHAN BELANDA DIGANTIKAN
DENGAN PENJAJAHAN JAWA
Pada 27
Desember, 1949 Belanda menandatangani
satu perjanjian dengan rezim Jawa di Jakarta yang menamakan dirinya “Republik
Indonesia” supaya dapat mendakwakan wilayah-wilayah di luar Jawa sebagai
“miliknya” padahal mereka adalah orang-orang Jawa belaka yang tidak pernah
dipilih atau diberi kuasa oleh bangsa-bangsa yang bukan Jawa, apalagi oleh
bangsa Acheh. Nama “Indonesia” yang mereka pakai itu adalah nama pura-pura,
dalam bahasa Grik (Yunani) yang bermakna “kepulauan Kling”, yang tidak pernah hubungan apa-apa dengan
bahasa, sejarah, budaya kita penduduk Dunia Melayu yang amat luas ini.
Perjanjian antara Belanda dengan Jawa inilah yang menjadi “alat” pemindahan
kekuasan Belanda kepada Jawa dan yang menjadi “sumber” kekuasan Jawa atas Dunia
Melayu. Oleh karena Belanda sebagai penjajah tidaklah mempunyai hak legal atas
tanah-tanah orang yang dirampasnya, maka “Republik Indonesia-Jawa“ inipun
tidaklah mempunyai hak legal apa-apa atas wilayah Kepulauan Melayu yang
masing-masing pulau itu adalah milik rakyatnya masing-masing. Belanda telah
membuat perjanjian illegal itu dengan Jawa sebab rezim Jakarta bersedia
menjamin kepentingan ekonomi Belanda sampai hari kiamat di sini: membajar
hutang negeri Belanda, memberi gaji pegawai-pegawai Belanda, membyar pensiun
mereka, dls. Itulah perjanjian yang membuat dan mengesahkan „indonesia-Jawa“
sebaagai neo-colony bagi Belanda dan merampas hak menentukan nasib
diri-sendiri daripada penduduk Kepulauan Melayu seluruhnya, termasuk bangsa
Acheh sendiri yang sudah merdeka sejak ribuan tahun, sebelum Belanda sendiri
mendapat kemerdekaannya.
Dalam
Perjanjian Belanda-Indonesia Jawa ini, Belanda pura-pura “menyerahkan”
kedaulatannya atas Acheh yang tidak pernah ada itu, kepada rezim “Republik
Indonesia”, se-akan-akan Acheh adalah adalah satu bagian dari Hindia Belanda
dan se-akan-akan Acheh pernah ditaklukkan dan dikuasai oleh Belanda,
se-akan-akan perang Acheh/Belanda yang hampir seratus tahun itu tidak pernah
terjadi. Semua ini dilakukan dengan tidak ada pemilihan, permusyawaratan atau
mufakat dengan bangsa Acheh. Hal ini telah dilakukan walaupun diketahui Belanda
tidak pernah mempunyai kekuasaan de jure atau
de facto ke atas Acheh. Apalagi
ketika Belanda menandatangani Perjanjian itu dengan Indonesia-Jawa. Belanda
sudah tujuh tahun -dari tahun 1942 sampai 1949- tidak menginjakan kaki kotornya
di atas bumi Acheh. Sungguhpun demikian Perjanjian illegal antara Belanda
dengan Indonesia-Jawa ini disahkan oleh negara-negara imperalis Barat, sehingga
negeri Acheh diletakkan di bawah penjajahan Indonesia-Jawa secara illegal.
Semua ini adalah berlawanan 100% dan bertentangan langsung dengan hukum
dekolonisasi PBB dan hukum Internasional. Perbuatan Belanda-Indonesia-Jawa ini
melanggar semua Keputusan
(Resolusi) Sidang Umum PBB mengenai penjajahan. Kerjasama antara penjajah
Belanda yang lama dengan penjajah Indonesia-Jawa yang baru untuk menghilangkan
hak bangsa Acheh untuk merdeka kembali tidak ada contohnya dalam sejarah,
apalagi karena ketentuan-ketentuan Hukum Internasional dan Hukum Decolonisasi
PBB dalam soal ini adalah tegas sekali:
(a) Kedaulatan
atas wilayah-wilayah jajahan ada dalam tangan bangsa-bangsa penduduk wilayah
itu sendiri –bukan dalam tangan
sipenjajah atau pemerintah asing– Keputusan Sidang Umum PBB 1514-XV;
(b) Kedaulatan
atas setiap tanah jajahan tidak boleh diserahkan oleh satu penjajah atau
penguasa yang lain - Keputusan PBB 1514-XV; dalam hubungan ini, Belanda sama
sekali tidak berhak menyerahkan kedaulatan atas Acheh kepada rezim
Indonesia-Jawa. Demikian juga atas pulau luar Jawa yang lain;
(c) Semua
kekuasaan wajib dikembalikan oleh sipenjajah kepada bangsa asli dari tiap tanah
jajahan: dalam hal ini kekuasaan atas Acheh wajib dikembalikan kepada bangsa
Acheh dan demikian juga di negeri-negeri lain dan bukan sekali-kali kepada
bangsa Jawa - Keputusan PBB 1514-XV;
(d) Semua
negara anggota PBB berkewajiban mengakhiri penjajahan dan wajib melarang
siapapun menggunakan kekerasan terhadap bangsa-bangsa yang sedang
memperjuangkan kemerdekaan mereka: dalam hal ini apa yang dilakukan oleh
sipenjajah Indonesia-Jawa di Acheh, Papua, Maluku Selatan dan Timor adalah
sebaliknya Keputusan PBB 2625-XXV;
(e) Kepada
bangsa-bangsa terjajah diberi hak melawan sipenjajah mereka dan penjajahan
dipandang sebagai kejahatan internasional - keputusan PBB 2621-XXV;
(f) Dilarang
menggunakan kekerasan senjata atas mereka yang sedang memperjuangkan
kemerdekaan - Keputusan PBB 3314-XXIX; bandingkan ini dengan apa yang sedang
dilakukan oleh sipenjajah Indonesia-Jawa sekarang ini dimana-mana di kepulauan
Melayu.
(g) Setiap
wilayah jajahan mempunjai hak hukum (legal status) yang terpisah dari
wilayah jajahan yang lain dan hak ini tidak boleh ditiadakan oleh sipenjajah
yang lain dan hak ini tidak boleh ditiadakan oleh si penjajah dengan alasan
mempersatukan administrasi dls., sebagai yang dilakukan Belanda di “Indonesia”
- Keputusan PBB 2625-XXV;
(h)
Semua bangsa mempunjai hak
menentukan nasib diri-sendiri dan hak kemerdekaan. Menurut
piagam PBB, artikel 1, bagian 2 dan 55; menurut piagam Hak Bangsa-bangsa (Universal
Declaration of the Rights of the Peoples) artikel 5, 6, dan 11: menurut
Piagam Hak Manusia (Universal Declaration of Human Rights); menurut
Piagam Hak Ekonomi, Kemasyarakatan dan Kebudayaan (Internasional Convenant
on Economic, Social, and Cutural Rights); dan menurut piagam Hak dan
Politik (International Covenant on Civil and Political Rights).[19] Menurut
semua aturan dan hukum ini yang sudah dijalankan di seluruh dunia -kecuali di Hindia Belanda atau “Indonesia”- maka
Acheh sudah lama berhak merdeka kembali.




