Notification

×

Iklan

Iklan

Serangan Belanda Yang Kedua dan Kekalahannya Yang Terakhir

Selasa, 21 Oktober 2025 | Oktober 21, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-29T03:57:20Z


 

Sebagaimana yang terjadi, sesudah kekalahannya dalam serangan pertama itu, Belanda melakukan serangan yang kedua, ketiga, ke-empat, kelima dan keenam, dengan tidak pernah mencapai kemenangan yang sesungguhnya terhadap bangsa Acheh yang mempertahankan dirinya. Perang Belanda (sebagai bangsa Acheh melihatnya) atau Perang Acheh (sebagai bangsa Belanda melihatnya) berjalan hampir satu abad, sehingga oleh Majalah Amerika, HARPER´S MAGAZINE, menyebutnya sebagai perang “SERATUS TAHUN MASA INI”[12]. Akhirnya bangsa Belanda sudah dikalahkan oleh bangsa Acheh dalam pertempuran-pertempuran yang terjadi di seluruh Acheh pada bulan Mart, 1942, sebelum Jepang masuk ke Acheh dalam perang Dunia ke-II. Demikianlah, Belanda tidak pernah mencapai tujuan perangnya di Acheh: negara Acheh tidak pernah menandatangani surat menyerah kepada Belanda dan perlawanan tidak pernah dihentikan sampai achirnya Belanda diusir dari bumi Acheh dengan segala kehinaan. Tetapi di antara 26 Mart, 1873 (ketika Belanda menjatakan perang kepada kerajaan Acheh yang merdeka dan berdaulat) dan bulan Maret 1942 (ketika semua Belanda dan kaki-tangan-nja di usir dari Acheh), Belanda pernah membuat propaganda bohong yang mengatakan bahwa mereka sudah dapat “menaklukan” Negara Acheh dan bahwa mereka sudah sah menduduki Acheh, yaitu secara “legal”. Propaganda Belanda ini adalah palsu dan bohong sama sekali. Belanda tidak pernah dapat berbuat sebagai apa yang di-propagandakan-nya itu. Sebagaimana sudah di ketahui, serangan Belanda yang pertama di bawah pimpinan Jenderal Kohler, sudah dihancur-leburkan oleh tentara Acheh dan Kohler sendiri ditembak mati di Kuta Raja. Serangan Belanda yang kedua di bawah pimpinan Jenderal Van Swieten yang dimulai pada 25 Desember 1873, dengan kekuatan yang jauh lebih besar lagi dari serangan pertama, juga tidak mendapat kemenangan, sebagai mana yang sudah diakui sendiri oleh Van Swieten dalam bukunya[13]. Dalam bulan Januari, 1874, segera sesudah ia mendarat di pantai Acheh, Van Swieten menyatakan kepada dunia bahwa ia sudah mengambil (annexed) kerajaan Acheh dan mamasukannya kedalam Hindia Belanda (alias Indonesia). Ini telah dilakukannya untuk menyenangkan hati bangsa Belanda yang telah begitu malu di mata dunia atas kekalahan-kekalahan yang mereka terima dari tangan bangsa Acheh. Tetapi karena negara Acheh dan tentara Acheh yang sangat kuat itu masih berdiri dan mengalahkan tentara Belanda dalam setiap medan perang yang terjadi sesudah nya, maka propaganda bohong dari Van Swieten itu tidak dapat disembunyikan kebohongannya di mata dunia, sehingga pernyatan Van Swieten itu menjadi masyhur dengan nama “Van Swieten Illegal Annexation of Acheh”[14].

 

Kemudian daripada itu, pada tahun 1879, Van Swieten sendiri mengaku bahwa dia sebenarnya tidak pernah dapat menaklukkan Acheh dan meminta kepada bangsanya supaya dia jangan lagi dipanggil dengan nama julukan “Penakluk Acheh” sebab katanya dia malu karena tidak pernah dapat menaklukan bangsa Acheh. Berdasarkan atas pengalamannya sebagai Panglima tertinggi Angkatan perang Belanda di Acheh, Van Swieten mengatakan bahwa, dia sudah yakin bangsa Acheh itu tidak mungkin dapat dikalahkan dalam medan perang. Sekarang dia mengatakan perang Acheh itu suatu kesalahan dari pemerintah Belanda. Belanda wajib menarik diri dari Acheh dan mengakui Acheh sebagai Negara Merdeka kembali. Perang Acheh bukan saja menghancurkan tentara Belanda di Acheh, tetapi akan menghancurkan kekuasan Belanda di “Indonesia”. Van Swieten begitu yakin pada pendiriannya itu hingga dia menyusun satu gerakan politik di negeri Belanda untuk mempengaruhi pemerintahan Belanda supaya mengikuti kebijaksanaan politik yang dianjurkanya. Kata Van Swieten: “une nation ne meurt pas de reconnaitre une faute, mais d’y persister” –satu  bangsa tidak akan mati karena menginsafi satu kesalahan yang sudah dibuatnya, tetapi akan mati jika bangsa itu terus menerus melakukan kesalahan itu– Inilah testimoni seorang  Jenderal Belanda yang menyatakan bahwa dia sudah “megambil” dan sudah “menaklukan” dan sudah “memasukkan” Negara Acheh Merdeka kedalam “indonesia”-nya, kini menuntut supaya Acheh diakui sebagai Negara Merdeka kembali![15] Pemerintah Belanda tidak mengikuti nasihatnya dan perang berjalan terus.

 

Tetapi lagi-lagi, pada tahun 1881, pemerintah Belanda menyatakan bahwa Acheh sudah dapat ditaklukan dan bahwa perang Acheh sudah selesai dengan kemenangan bagi pihak Belanda. “Ini adalah angan-angan yang bukan-bukan, yang tidak berdasarkan kenyataan, yang dibikin-bikin oleh kaum penjajah,” tulis Prof. M.C. Ricklefs. Seterusnya dia memberi komentar sebagai berikut: „Perang Acheh adalah suatu peperangan yang lama dan pahit sekali. Ketika tentara Belanda maju sambil menjatuhkan bom dan membakar kampung-kampung, penduduk lari ke gunung-gunung tetapi tetap meneruskan perlawanan mereka. Perlawanan dipimpim oleh ulama-ulama dan yang paling masyhur adalah Tengku Thjik di Tiro Muhammad Saman (1836-1891) dan perlawanan menjadi perang suci antara umat Islam dan kafir. Akhirnya Belanda menjadi sadar bahwa mereka tidak menang apa-apa, dan tidak menguasai sejengkal tanah dari tangsi-tangsi mereka. Biaya peperangan ini besar sehingga pada tahun 1884-5 Belanda terpaksa menarik mundur tentaranya ke benteng-benteng dan dengan demikian maka negeri Acheh kembali ke dalam tangan bangsa Acheh sendiri.[16]

 

Surat kabar London MORNING POST, dalam editorialnya pada 2 Juli 1874 menulis: „Sudah menjadi satu kenyataan bahwa bangsa Acheh itu bukanlah satu bangsa yang mudah dikalahkan orang. Mereka sudah memperlihatkan kekuatan dan kesanggupan yang hampir-hampir tidak ada contohnya dalam melawan dan menentang si penjajah negeri mereka. Laporan terakhir yang kami terima dari suber-sumber yang dipercayai, memperlihatkan betapa besar kekuatan dan bagaimana keras tekad mereka untuk meneruskan peperangan: mereka muncul kembali di tempat-tempat dimana tadinya mereka sudah dikalahkan dan dan ditempat-tempat yang sama sekali tidak di sangka-sangka oleh Belanda. Kabarnya kenyataan-kenyataan ini sudah begitu besar mempengaruhi dan mengubah pendapat Jenderal Van Swieten mengenai semangat perang bangsa Acheh. Satu bangsa yang sanggup berperang dengan semangat yang semacam ini tidak akan segera menyerah dan kini sudah terang bahwa Belanda sudah salah terka dengan pernyataan-pernyataannya yang mengatakan peperangan akan segera berakhir. Keberanian bangsa Acheh memaksa kita mengangkat tangan, memberi hormat dan ada sesuatu dalam semangat bangsa yang baik ini yang menyebabkan mereka tidak mau merendahkan diri kepada sipenjajah dan musuh-musuh mereka. Dengan penuh kesabaran orang Acheh memperbaiki kembali benteng-benteng mereka   yang sudah rusak atau mendirikan yang baru di tempat benteng lama yang sudah roboh dan dari sana membalas tembakan-tembakan Belanda walaupun tidak kena, tetapi mesti ada balasan! Oleh karena itu apakah pernah diherankan bahwa “kemenangan” Belanda itu begitu tidak menyakinkan? Ketika sejarah perang Belanda dengan Acheh ini ditulis dan sibukukan, kita pikir, hal itu tidak akan menambah kebesaran bangsa Belanda.”

 

Perkara ini sebenarnya sudah kejadian. Sampai sekarang sudah lebih 500 buku sejarah ditulis dalam bahasa Belanda mengenai Perang Belanda dengan Acheh dan sungguhlah bangsa Belanda tidak keluar dari halaman-halaman sejarah itu lebih baik dari sudut moral dan militer. Sebaliknya bangsa Acheh-lah yang ternyata lebih besar dan lebih baik dari sudut moral dan militer, dalam tekadnya untuk hidup sebagai bangsa yang merdeka. Dalam satu di antara buku-buku sejarah Perang Acheh (Perang Belanda) yang terakhir, pengarangnya, Paul Van´t Veer, membuat kesimpulan sebagai berikut: “Bangsa Belanda dan negeri Belanda tidak pernah menghadapi satu peperangan yang lebih besar daripada peperangan dengan Acheh. Menurut rentang waktunya, perang ini dapat dinamakan perang delapan puluh tahun. Menurut jumlah korbannya - lebih seratus ribu orang yang mati -perang ini adalah satu kejadian militer yang tidak ada bandingnya dalam sejarah bangsa Belanda. Untuk negeri dan bangsa Belanda, Perang Acheh itu lebih daripada hanya pertikaian militer selama satu abad inilah persoalan pokok politik internasional, politik nasional dan politik kolonial Belanda.”[17] Paul Van´t Veer menimpali: “Acheh bukanlah Jawa. Sebenarnya sudahlah terang benderang bahwa dalam bagian dunia yang secara umum dan yang tidak berketentuan disebut Hindia Belanda („indonesia“) tidak ada satu kerajaan yang dapat dibandingkan dengan Acheh. Ini kita tahu sekarang ini. Satu peperangan yang lamanya lebih setengah abad, seratus ribu orang mati dan setengah miljar rupiah Belanda abad ke19 yang mahal itu, sudah menjadi bukti dari hal ini. Kita sudah tahu ini sekarang, tetapi kita tidak tahu itu di tahun 1873. Biarlah kenyataan-kenyatan ini tegak berdiri -jangan sembunjikan- supaya orang-orang di negeri Belanda, atau lebih-lebih lagi di pulau Jawa, dapat mengetahui manusia yang bagaimana bangsa Acheh itu.”[18] Paul Van´t Veer menulis dalam bukunya semua kejadian-kejadian di Acheh antara tahun 1873 hingga 1942 ketika bangsa Belanda diusir dari Acheh untuk kali yang terachir. Ia membuat kesimpulan: “Acheh adalah yang paling akhir ditaklukkan tetapi yang pertama sekali merdeka kembali!” - sebab sehabis perang dunia yang ke-II, ketika Belanda kembali menduduki tanah jajahan mereka yang kini sudah diberi nama baru sebagai “indonesia” mereka tidak berani kembali ke-Acheh. Sebab itu adalah sebagai hak bangsa Acheh untuk merdeka dan berdaulat semula, seperti di masa sebelum Belanda datang menyerangnya. Tetapi hal yang adil dan lumrah ini tidak terjadi karena kedustaan dan tipuan bangsa Belanda dan bangsa Jawa atas bangsa Acheh.

 

PENJAJAHAN BELANDA DIGANTIKAN DENGAN PENJAJAHAN JAWA

 

Pada 27 Desember, 1949 Belanda  menandatangani satu perjanjian dengan rezim Jawa di Jakarta yang menamakan dirinya “Republik Indonesia” supaya dapat mendakwakan wilayah-wilayah di luar Jawa sebagai “miliknya” padahal mereka adalah orang-orang Jawa belaka yang tidak pernah dipilih atau diberi kuasa oleh bangsa-bangsa yang bukan Jawa, apalagi oleh bangsa Acheh. Nama “Indonesia” yang mereka pakai itu adalah nama pura-pura, dalam bahasa Grik (Yunani) yang bermakna “kepulauan Kling”,  yang tidak pernah hubungan apa-apa dengan bahasa, sejarah, budaya kita penduduk Dunia Melayu yang amat luas ini. Perjanjian antara Belanda dengan Jawa inilah yang menjadi “alat” pemindahan kekuasan Belanda kepada Jawa dan yang menjadi “sumber” kekuasan Jawa atas Dunia Melayu. Oleh karena Belanda sebagai penjajah tidaklah mempunyai hak legal atas tanah-tanah orang yang dirampasnya, maka “Republik Indonesia-Jawa“ inipun tidaklah mempunyai hak legal apa-apa atas wilayah Kepulauan Melayu yang masing-masing pulau itu adalah milik rakyatnya masing-masing. Belanda telah membuat perjanjian illegal itu dengan Jawa sebab rezim Jakarta bersedia menjamin kepentingan ekonomi Belanda sampai hari kiamat di sini: membajar hutang negeri Belanda, memberi gaji pegawai-pegawai Belanda, membyar pensiun mereka, dls. Itulah perjanjian yang membuat dan mengesahkan „indonesia-Jawa“ sebaagai neo-colony bagi Belanda dan merampas hak menentukan nasib diri-sendiri daripada penduduk Kepulauan Melayu seluruhnya, termasuk bangsa Acheh sendiri yang sudah merdeka sejak ribuan tahun, sebelum Belanda sendiri mendapat kemerdekaannya.

 

Dalam Perjanjian Belanda-Indonesia Jawa ini, Belanda pura-pura “menyerahkan” kedaulatannya atas Acheh yang tidak pernah ada itu, kepada rezim “Republik Indonesia”, se-akan-akan Acheh adalah adalah satu bagian dari Hindia Belanda dan se-akan-akan Acheh pernah ditaklukkan dan dikuasai oleh Belanda, se-akan-akan perang Acheh/Belanda yang hampir seratus tahun itu tidak pernah terjadi. Semua ini dilakukan dengan tidak ada pemilihan, permusyawaratan atau mufakat dengan bangsa Acheh. Hal ini telah dilakukan walaupun diketahui Belanda tidak pernah mempunyai kekuasaan de jure atau de facto ke atas Acheh. Apalagi ketika Belanda menandatangani Perjanjian itu dengan Indonesia-Jawa. Belanda sudah tujuh tahun -dari tahun 1942 sampai 1949- tidak menginjakan kaki kotornya di atas bumi Acheh. Sungguhpun demikian Perjanjian illegal antara Belanda dengan Indonesia-Jawa ini disahkan oleh negara-negara imperalis Barat, sehingga negeri Acheh diletakkan di bawah penjajahan Indonesia-Jawa secara illegal. Semua ini adalah berlawanan 100% dan bertentangan langsung dengan hukum dekolonisasi PBB dan hukum Internasional. Perbuatan Belanda-Indonesia-Jawa ini melanggar semua Keputusan (Resolusi) Sidang Umum PBB mengenai penjajahan. Kerjasama antara penjajah Belanda yang lama dengan penjajah Indonesia-Jawa yang baru untuk menghilangkan hak bangsa Acheh untuk merdeka kembali tidak ada contohnya dalam sejarah, apalagi karena ketentuan-ketentuan Hukum Internasional dan Hukum Decolonisasi PBB dalam soal ini adalah tegas sekali:

 

(a)   Kedaulatan atas wilayah-wilayah jajahan ada dalam tangan bangsa-bangsa penduduk wilayah itu sendiri –bukan  dalam tangan sipenjajah atau pemerintah asing– Keputusan Sidang Umum PBB 1514-XV;

(b)   Kedaulatan atas setiap tanah jajahan tidak boleh diserahkan oleh satu penjajah atau penguasa yang lain - Keputusan PBB 1514-XV; dalam hubungan ini, Belanda sama sekali tidak berhak menyerahkan kedaulatan atas Acheh kepada rezim Indonesia-Jawa. Demikian juga atas pulau luar Jawa yang lain;

(c)   Semua kekuasaan wajib dikembalikan oleh sipenjajah kepada bangsa asli dari tiap tanah jajahan: dalam hal ini kekuasaan atas Acheh wajib dikembalikan kepada bangsa Acheh dan demikian juga di negeri-negeri lain dan bukan sekali-kali kepada bangsa Jawa - Keputusan PBB 1514-XV;

(d)   Semua negara anggota PBB berkewajiban mengakhiri penjajahan dan wajib melarang siapapun menggunakan kekerasan terhadap bangsa-bangsa yang sedang memperjuangkan kemerdekaan mereka: dalam hal ini apa yang dilakukan oleh sipenjajah Indonesia-Jawa di Acheh, Papua, Maluku Selatan dan Timor adalah sebaliknya Keputusan PBB 2625-XXV;

(e)   Kepada bangsa-bangsa terjajah diberi hak melawan sipenjajah mereka dan penjajahan dipandang sebagai kejahatan internasional - keputusan PBB 2621-XXV;

(f)    Dilarang menggunakan kekerasan senjata atas mereka yang sedang memperjuangkan kemerdekaan - Keputusan PBB 3314-XXIX; bandingkan ini dengan apa yang sedang dilakukan oleh sipenjajah Indonesia-Jawa sekarang ini dimana-mana di kepulauan Melayu.

(g)   Setiap wilayah jajahan mempunjai hak hukum (legal status) yang terpisah dari wilayah jajahan yang lain dan hak ini tidak boleh ditiadakan oleh sipenjajah yang lain dan hak ini tidak boleh ditiadakan oleh si penjajah dengan alasan mempersatukan administrasi dls., sebagai yang dilakukan Belanda di “Indonesia” - Keputusan PBB 2625-XXV;

(h)   Semua bangsa mempunjai hak menentukan nasib diri-sendiri dan hak kemerdekaan. Menurut piagam PBB, artikel 1, bagian 2 dan 55; menurut piagam Hak Bangsa-bangsa (Universal Declaration of the Rights of the Peoples) artikel 5, 6, dan 11: menurut Piagam Hak Manusia (Universal Declaration of Human Rights); menurut Piagam Hak Ekonomi, Kemasyarakatan dan Kebudayaan (Internasional Convenant on Economic, Social, and Cutural Rights); dan menurut piagam Hak dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights).[19] Menurut semua aturan dan hukum ini yang sudah dijalankan di seluruh dunia -kecuali di Hindia Belanda atau “Indonesia”- maka Acheh sudah lama berhak merdeka kembali.

TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update