Sebagai suatu kearifan lokal dan menjadi bagian dari kekhasan adat di Aceh, Peradilan adat merupakan alat perwujudan keharmonisan dan ketentraman hidup masyarakat. Peradilan adat dimaksudkan adalah proses penyelesaian perkara yang terjadi dalam masyarakat oleh lembaga adat pada tingkat gampong dan mukim.
Di luar peradilan formal, seperti Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Hubungan Industrial, Mahkamah Syar'iah dan lainnya, juga dikenal berbagai alternatif penyelesaian sengketa, melalui mediasi, arbitrase dan lainnya. Peradilan adat adalah salah satu diantara alternatif tersebut. Khususnya di Aceh, dalam kehidupan masyarakat berbasis adat, kita menegenal adanya mekanisme penyelesaian sengketa secara damai oleh lembaga Adat. Penyelesaian sengketa oleh lembaga adat inilah yang dimaksudkan sebagai Peradilan Adat.
Dengan demikian, Peradilan adat dapat dimaknai sebagai proses penyelesaian sengketa, perkara atau persoalan hukum yang terjadi dalam masyarakat oleh lembaga adat yang dilakukan dengan pendekatan musyawarah dan bertujuan damai. Jadi, Istilah Peradilan Adat bukanlah menggambarkan suatu jenis peradilan formal di antara berbagai peradilan formal, seperti disebutkan di atas, yang diatur dan diakui dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman (Abdurrahman, Peradilan Adat Di Aceh Sebagai Sarana Kerukunan Masyarakat, 2009)
Pelaksanaan Peradilan didasari pada filosofi penyelesaian masalah, bukan sekedar memutuskan perkara. Menurut Prof. Hakim Nyak Pha Peradilan adat didasari pada ajaran "menyelesaikan bukan pada ajaran "memutuskan". Lebih jauh Hakim Nyak Pha menerangkan bahwa "ajaran memutuskan berpendirian bahwa suatu perselisihan harus diselesaikan secara tegas, jelas dan pasti., sehingga masalah kerukunan dan keseimbangan hidup bermasyarakat kurang menjadi perhatian. Akibatnya setiap sengketa atau perselisihan yang diselesaikan melalui Pengadilan Formal sulit atau tidak akan berhasil meredam rasa sakit hati, dendam, kesal, benci, amarah dan sebagainya, diantara mereka yang berselisih atau bersengketa itu. Sebaliknya "ajaran menyelesaikan berpendirian bahwa suatu persengketaan atau perselisihan atau perkara, pemprosesannya haruslah sedemikian rupa, sehingga pihak-pihak yang bersengketa atau berselisih itu di kemudian hari dapat meneruskan kehidupan bersama mereka kembali sebagaimana sebelumnya. Dengan kata lain proses itu mampu mengembalikan keadaan semula diantara mereka (Hakim Nyak Pha dalam Abdurrahman, Peradilan Adat di Aceh sebagai Sarana Kerukunan Masyarakat, 2009).
Mendasari pada filosofi di atas maka tujuan Peradilan Adat dimaksudkan adalah untuk mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat, merukunkan dan mengharmoniskan meraka yang bersengketa. Kerukunan, ketentraman, dan keharmonisan masyarakat menjadi tujuan utama pelaksanaan Peradilan Adat.
Peradilan Adat dalam konteks tersebut di atas telah dan sedang terus berlangsung di Aceh. Ditemui banyak persoalan sosial kemasyarakatan atau persengketaan masyarakat dapat diselesaikan melalui mekanisme ini. Dalam perkembangan pelakasanaannya, Peradilan Adat berhadapan dengan dua persoalan global yang harus diapresiasi, yakni isu "hak dan perlindungan perempuan dan isu "perlindungan anak". Dalam realitas Peradilan Adat, untuk konteks issu hak perempuan, memang belum sepenuhnya, dalam arti belum semua Majelis Peradilan Adat yang ada di tingkat gampong dan mukim melibatkan unsur perempuan. Untuk issu perlindungan perempuan dan anak masih harus ditingkatkan pembinaanya, dan harus ada perhatian khusus pada issu pentingnya perlindungan perempuan dan anak dalam Peradilan Adat.
PERAN PEREMPUAN DALAM PERADILAN ADAT
1. Pentingnya peran perempuan dalam Peradilan Adat
Dalam Peradilan Adat dibutuhkan peran perempuan sebagai salah satu anggota majelis/fungsionaris Peradilan Adat. Hal ini sangat penting karena keterlibatan perempuan di satu sisi memang untuk menyikapi issu persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, sehingga laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama untuk berpartisipasi dalam menjaga kerukunan masyarakat melalui Peradilan Adat. Di sisi lain kehadiran perempuan sebagai fungsionaris Peradilan Adat dibutuhkan terutama dalam penyelesaian masalah-masalah yang salah satu pihak atau kedua belah pihak melibatkan perempuan.
Dalam hal terjadi kasus di mana para pihak yang bersengketa adalah perempuan, maka keikutsertaan para perempuan sangat penting. Keterlibatan perempuan disini selain sebagai anggota majelis perdamaian/fungsionaris Peradilan Adat, dapat juga menjadi pendamping atau dapat menjadi mediator yang berfungsi sebagai penengah atau penasehat, sehingga perlakuan terhadap kasus-kasus perempuan lebih aman dan perempuan pun tidak akan merasa diperlakukan secara diskriminatif.
Dinamika kehidupan masyarakat Aceh sudah sangat terbuka, di mana kaum perempuan telah memiliki sumber daya manusia yang trampil dan cerdas, memiliki ilmu pengetahuan dan komunikasi dengan masyarakat global yang luas dan bermartabat. Di samping itu, juga banyak kasus-kasus/ sengketa yang melibatkan perempuan, maka sudah sepantasnya kepada perempuan diberikan kesempatan untuk duduk dalam perangkat gampong menjadi Keuchik, Tuha Peuet dan lain-lain, sehingga dengan demikian para perempuan dapat terlibat langsung untuk berperan dalam berbagai penyelesaian sengketa.
2. Pengakuan Peran Perempuan sebagai Anggota Majelis Peradilan Adat dalam Qanun.
Perkembangan hukum di Aceh mendorong regulasi beberapa kaidah hokum adat di bidang penyelesaian sengketa dalam peraturan tertulis pada tingkat Peraturan Daerah (Qanun). Pengaturan ini terakhir dimuat dalam Qanun Aceh Nomor 9 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat.
Dalam Qanun ini diatur beberapa hal yang berkaitan dengan pelaksanaan Peradilan Adat, antara lain:
Aparat penegak hukum memberikan kesempatan agar sengketa/perselisihan diselesaikan terlebih dahulu secara adat di gampong atau nama lain.
Penyelesaian secara adat meliputi penyelesaian secara adat di gampong atau nama lain, penyelesaian secara adat di mukim dan penyelesaian secara adat di Laot.
Penyelesaian secara adat di gampong atau nama lain dilaksanakan oleh tokoh-tokoh adat yang terdiri atas:
a. Keuchik atau nama lain:
b. Imeum Meunasah atau nama lain;
c. Tuha Peuet atau nama lain;
d. Sekretaris Gampong atau nama lain; dan
e. Ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya di gampong atau nama lain yang bersangkutan, sesuai dengan kebutuhan.
Penyelesaian secara adat di mukim dilaksanakan oleh tokoh-tokoh adat yang terdiri atas:
a. Imeum Mukim atau nama lain:
b. Imeum Chiek atau nama lain
c. Tuha Peuet atau nama lain:
d. Sekretaris Mukim: dan
e. Ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya di mukim yang bersangkutan, sesuai dengan kebutuhan.
Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tersebut telah menentukan siapa-siapa saja yang dapat menjadi anggota majleis hakim perdamaian/ fungsionaris Peradilan Adat baik pada tingkat gampang ataupun pada tingkat mukim. Tidak ada satu pasal pun yang secara eksplisit menyebutkan 'perempuan sebagai anggota majelis Peradilan Adat. Peran perempuan di sini memang tidak disebutkan secara eksplisit dengan kata-kata perempuan, tetapi ini tidak berarti tidak ada tempat bagi peran perempuan. Perempuan bisa saja menjadi salah satu dari unsur fungsionaris apakah sebagai Tuha Peuet atau sebagai tokoh adat lainnya, atau sebagai cendikiawan.
Untuk penyelesaian sengketa yang menyangkut perempuan dan anak (perempuan dan anak merupakan orang yg diadili secara adat, atau menjadi salah satu pihak yang bersengeta) maka keterlibatan perempuan sebagai anggota mejelis atau fungsionaris Peradilan mutlak harus ada. Kalau dalam gampong atau mukim tersebut tidak ada anggota Tuha Peuet yang perempuan maka Keuchik atau Imuem Mukim "mengangkat" anggota fungsionaris dari tokoh adat yang perempuan setempat. Sebenarnya dalam Qanun tentang Pemerintahan Gampong dikehendaki setiap Tuha Peuet harus ada unsur perempuan.
3. Kualifikasi Perempuan sebagai Anggota Majelis Perdilan Adat
Untuk menjadi anggota majelis/ fungsionaris Peradilan Adat dibutuhkan pengetahuan dan kemampuan yang memadai dalam bidang kehidupan sosial kemasyarakatan dan memahami adat istiadat setempat. Demikian juga, bagi seorang perempuan yang akan menjadi fungsionaris Peradilan Adat. Pengetahuan dan kemampuan ini tentunya tidak dapat diukur secara kuantatif dan tidak perlu sudah melewati ujian kualitatif. Secara arif dan bijak harus dipilih tokoh-tokoh perempuan yang ada di gampong atau mukim tersebut yang mempunyai pengetahuan dan kemampuan yang relatif dan tentunya yang bijak dan arif dan melebihi dari orang lain. Akan lebih baik dipilih tokoh-tokoh perempuan yang berkemampuan dan ditambah sudah pernah mengkuti pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan Peradilan Adat ataupun yang berkaitan dengan itu, misalnya pelatihan-pelatihan paralegal dan Mediasi.
4. Peran aktif Perempuan dalam Majelis Peradilan Adat
Kehadiran tokoh perempuan sebagai anggota majelis/ fungsionaris Peradilan Adat dimaksudkan untuk memperkuat majelis Peradilan Adat, oleh karena itu kehadirannya tidak boleh sekedar memenuhi formalitas. Siapapun tokoh perempuan yang menjadi anggota majelis/fungsionaris Peradilan Adat harus bisa berperan aktif menjalankan fungsinya.
Dalam penyelesaian sengketa pada umumnya, peran aktif unsur perempuan hendaknya bisa sama dengan fungsionaris lainya. Lebih dari itu, dalam penyelesaian sengketa yang melibatkan perempuan, apalagi dalam persoalan di mana perempuan merupakan korban seperti dalam kekerasan rumah tangga, maka peran unsur perempuan sebagai anggota majelis/ fungsionaris Peradilan Adat benar-benar harus berperan. Peran yang sangat diperlukan disini adalah untuk melakukan penelusuran duduk masalah dan sebagai mediator untuk penyelesaiannya. Biasanya kalau pendekatan perempuan terhadap perempuan akan lebih mudah dan akan lebih berhasil guna.
C. PERLINDUNGAN PEREMPUAN DALAM PERADILAN ADAT
Perlindungan perempuan menjadi salah satu issu global yang harus diperhatikan dalam berbagai segi kehidupan. Perempuan dan anak masih masuk dalam katagori "kaum rentan", karena berpotensi diperlakukan tidak adil dan didiskriminasi. Oleh karena itu, dalam berbagai pergaulan dan perlakukan masih harus dilakukan usaha-usaha perlindungan perempuan, termasuk dalam pelaksanaan Peradilan Adat.
Perlindungan perempuan dalam pelaksanaan Peradilan Adat dilakukan dengan cara melakukan pendekatan atau perlakuan khusus, kalau yang bermasalah dengan hukum itu adalah perempuan. Majelis Peradilan Adat melakukan perlakukan dan pendekatan khusus yang mungkin saja berbeda dengan peradilan pada umumnya. Beberapa perlakuan khusus itu adalah sebagai berikut:
1. Pendampingan
Sebagaimana peradilan formal, maka dalam Peradilan Adat juga dibutuhkan keaktifan para pihak, baik kehadiran ketika melapor, memberi keterangan pada saat diperiksa duduk sengketa ataupun keaktifan membela diri atau membela hak-haknya didepan Majelis Peradilan Adat. Dalam konteks tertentu, khususnya kalau perempuan adalah pihak yang diadili, apalagi sebagai pihak korban, maka dibutuhkan adanya "pendampingan" oleh orang-orang yang berkemampuan untuk itu.
Pendampingan untuk perempuan ini diperlukan guna memperkuat posisi dan memberi dukungan agar adanya keseimbangan dalam hal perempuan yang berperkara kurang berdaya/di bawah tekanan seperti sering terjadi dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga.Pendampingan dapat dilakukan oleh anggota keluarga atau orang lain yang dipercayakan untuk itu.
2. Penanganan Awal oleh Fungsionaris Peradilan Adat yang Perempuan
Setiap terjadi sengketa atau kasus yang melibatkan perempuan sebagai para pihak, apalagi sebagai pihak korban, sebaiknya penanganan awal untuk penyelesaian secara adat dilakukan oleh fungsionaris Peradilan Adat yang perempuan. Hal ini penting dilakukan untuk adanya pendekatan khusus sesama perempuan, yang dengan pendekatan khusus ini akan bisa memberikan rasa lebih aman dan nyaman bagi perempuan tersebut.
3. Pengamanan di Rumah Aman
Dalam banyak kasus yang terjadi terutama dalam kasus sengketa dalam rumah tangga, sering pihak perempuan berada pada posisi yang tidak aman. Untuk itu, jika diperlukan, maka harus dilakukan pengamanan terhadap pihak perempuan tersebut. Pengamanan ini dapat dilakukan dengan menempatkan sementara di rumah salah satu fungsionaris Peradilan Adat, dalam hai ini akan sangat baik jika ditempatkan di rumah Keuchik atau Imeum Menasah, atau di rumah tokoh adat lainnya yang disegani. Sementara dilakukan pendekatan untuk penyelesaian senggketa, maka sementara waktu perlu pihak perempuan tersebut diamankan untuk tidak terjadi kekerasan lebih lanjut. Penempatan para pihak untuk pengamanan di rumah tokoh adat terutama di rumah Keuchik merupakan kearifan lokal yang sudah lama dikenal dan hidup dalam adat Aceh.
4. Membangun Sistem Rujukan
Penyelesaian secara adat melalui Peradilan Adat hanya merupakan salah satu usaha penyelesaian sengketa di luar pengadilan formal. Dalam hal tidak mungkin atau tidak bisa diselesaikan secara adat, maka tidak salah kalau sengketa tersebut diminta untuk diselesaikan oleh lembaga formal. Dalam menangani sengketa yang melibatkan perempuan, khususnya dalam sengketa atau kasus dalam rumah tangga yang berisiko pada pelanggaran hak dan keamanan perempuan, maka Majelis Peradilan Adat perlu membangun sistem rujukan untuk penyelesaian lebih lanjut diluar Peradilan Adat baik oleh lembaga formal atau penyelesaian secara lainnya.
Sistem rujukan dibangun dengan membantu pihak perempuan yang bermasalah untuk dirujukkan ke lembaga lainnya, tergantung pada masalah hukum yang ingin diselesaikan.
a. Dalam hal sengketa yang masuk dalam katagori Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang tidak mungkin diselesaikan secara adat atau yang memungkinkan diselesaikan secara adat, tetapi setelah diusahakan secara maksimal tetap tidak selesai dan berisiko pada keamanan salah satu pihak terutama perempuan, maka perlu dibantu untuk diteruskan ke aparatur penegak hukum. Dalam hal sudah tidak bisa didamaikan untuk keutuhan rumah tangga, dan jika pihak perempuan sudah sangat berkeinginan untuk berpisah/bercerai maka tidak salah perangkat adat membantu pihak perempuan merujuk ke system peradilan formal (Mahkamah Syar'iah). Dalam hal ini, harus diingat bahwa Peradilan Adat tidak boleh untuk menceraikan seseorang dari pasangannya, karena itu bukan tugas Peradilan Adat. Membantu untuk merujuk ke Peradilan formal hanya dilakukan dalam hal sangat diinginkan oleh salah satu pihak.
b. Dalam sengketa yang berkaitan dengan harta warisan Sengketa warisan bisa menjadi salah satu sengketa yang dapat diselesaikan oleh Peradilan Adat. Dalam hal tidak bisa diselesaikan sekalipun sudah diusahakan secara maksimal, karena para pihak ada yang tidak bisa menerima, dan ada pihak ahli waris yang perempuan yang benar-benar memerlukan perlindungan, maka Fungsionaris Peradilan Adat dapat membatu merujuk ke peradilan Formal (Mahkamah Syar'iah).
Membantu membangun rujukan ini sebenarnya bukan merupakan bagian dari tugas Peradilan Adat, tetapi kalaupun ini dilakukan semata-mata hanya untuk memberi perlindungan kepada pihak perempuan yang memerlukan bantuan.
c. Dalam sengketa perdata pada umumnya Semua sengketa keperdataan bisa menjadi salah satu sengketa yang dapat diselesaikan oleh Peradilan Adat. Dalam hal tidak bisa diselesaikan sekalipun sudah diusahakan secara maksimal, karena para pihak ada yang tidak bisa menerima, dan ada pihak yang perempuan yang benar-benar memerlukan perlindungan maka Fungsionaris Peradilan Adat dapat membantu merujuk ke peradilan Formal.
Membantu membangun rujukan ini sebenarnya bukan merupakan bagian dari tugas Peradilan Adat, tetapi kalaupun ini dilakukan semata-mata hanya untuk memberi perlindungan kepada pihak perempuan yang memerlukan bantuan.




