saya mulakan penulisan berita ini, semoga mendatangkan faedah bagi kita semua. KOTA BATAVIA, selain menjadi epicentrum politik kolonial Belanda (1598-1949) dan Jepang (1942-1945), Batavia juga dipakai oleh aktivis pro-Islam dan kaum nasionalis sebagai epicentrum dan spektrum politik yang mempertaruhkan idé tentang konsep bernegara dan berbangsa, yang pada masa itu (1902–1942) siapapun belum mampu memastikan: apa bentuk negara dan pemerintahan yang dikehendaki; hingga kemudian dikenal pasti:
siapakah yang kecundang dan pemenang. Batavia geografis adalah juga Batavia politis, belum sempat disamak dari najis politik kolonial, yang sejak awal lagi sudah memperkenalkan dan menyemai konsep demokrasi dan nasionalisme yang berasal dari Europah, diternakkan dalam kandang fikiran Inlander (Pribumi) dan Timur Asing di kawasan Netherlands Indie (Hindia Belanda), yang terbukti kemudia mengotori, sekaligus mencederai alam fikiran aktivis muslim –trutama alumny Hijaz (Mekkah) dan Kiyay-kiyay Jawa yang dianggap tradisional. Memang ada dua mazhab fikiran yang bertarung sengit di kalangan kaum Inlander dan Timur Asing pada awal abad 20 di di Batavia khususnya, yakni alumny dari Universitas negeri Belanda dan alumny kajian Islam Hijaz (sekarang: Saudi Arabia). Antara keunggulan alumny Universitas negeri Belanda adalah, ketajaman mantiq (logika) untuk menganalisis, merumuskan atau menulis suatu topik, sekaligus merubahnya menjadi sebuah konsep untuk dibaca dan difahami; sementara keunggulan alumny kajian Islam negeri Hijaz, terletak pada aspek hafalan, kemahiran bertutur dan muzakarah, tidak cakap menulis atau merumuskan sesuatu v perkara untuk menjadi konsep berbangsa dan bernegara.
Kontestasi idé inilah yang berlangsung sepanjang periode (1902–1945). Klimaksnya, pada saat bersabung gagasan untuk merumuskan konstitusi Indonesia, hazanah fikiran dan kadar keilmuan sosial-politik alumny Hijaz dalam konteks bernegara dan berbangsa sangat dhaif, karena mengamalkan tradisi mengemas ilmi dalam lipatan Purdahnya; sementara konsep yang disodorkan oleh kaum nasionalis sekuler diakui lebih logis dan realistis. Kontestasi gagasan antara kedua-dua kubu ini berlangsung sengit, walau kurang setara. Masing-masing berusaha menyeludupkan kepentingan politik kedalam rumusan Piagam Jakarta. Tokoh akhirnya, konsep kaum nasionalis-lah yang memenangkan kontestasi ini. Barisan Alumny Hijaz yang hanya mampu bertahan hingga tahun 1950-an, untuk kemudian satu-persatu jatuh berguguran dan terkapar. Posisi mereka selanjutnya disambung dan diperkuat oleh alumny Al-Azhar, Mesir, Universitas Yordan dan Universitas Al-Ahliyya Amman, Yordan; manakala kaum nasionalis diperkuat oleh alumny dari pelbagai Universitas di Eropah dan USA.
Dalam realitasnya, kadar kualitas untuk merumuskan sebuah konsep ekonomi, hukum nasional, tehnologi dan disciplin ilmu pengetahuan sosial lainnya, tetap didominasi oleh alumny lulusan dari Universitas di Eropah dan USA dibandingkan lulusan Timur Tengah. {Intelektual muslim gagal mengulangi kegemilangan dan kecemerlangan intelektual muslim pada era Bani Umayyah dan Abbasiyah suatu masa dahulu}. Kontestasi fikiran antara kalangan nasionalis dan aktivis pro-Islam yang berputar sekitar idé atau konsep bernegara dan berbangsa, hukum positif, politik, demokrasi, nasionalisme, ekonomi dan mendaulatkan syaria´at Islam, dikupas secara mendetail dalam buku ini. Phase-phase perdebatan tersebut disusun secara kronologis. Di atas segala-galanya, kehadiran buku ini bukan untuk MELAYANI, MENYENANGKAN DAN MEMUASKAN HATI pembaca; melainkan mengganggu sinyal dan gelombang fikiran pembaca dan sekaligus memberi maklumat yang benar demi mensucikan fikiran dari najis-najis ajaran demokrasi dan nasionalisme yang sudah satu setengah abad lebih mengotori alam berfikir muslim Indonesia.
Akhirnya KOTA BATAVIA, digunakan oleh kaum inlander dan Timur Asing sebagai epicentrum melakukan kemaksiatan berfikir dan pengkhianatan untuk mengkerdilkan keagungan vi Islam. Bagaimana pun, kandungan buku sudah tentu ada pihak yang merasa tidak puas –setidak tidaknya– keilmuan sejarahnya terusik. Itu hak saudara! Yang pasti: giliranku kini mementaskan literasi ilmiah di atas panggung sejarah. Saksikanlah! Aarhus, Kjærslund, 2025 Penulis



