Ketika kota Batavia menjadi epicentrum politik kolonial Belanda dan Jepang; Batavia juga dipakai oleh aktivis pro-Islam dan kaum nasionalis sebagai epicentrum untuk bersabung idé dan pandangan tentang konsep bernegara dan berbangsa, yang pada masa itu (1900 – 1942) siapapun belum mampu memastikan: apa bentuk negara dan pemerintahan yang di-idamkan dan dikehendaki; hingga kemudian dikenal pasti: siapa yang kecundang dan siapa pemenang. Batavia sosiologis dan geografis adalah juga Batavia politis, yang belum sempat disamak dari najis politik kolonial,
Memang ada dua mazhab fikiran yang bertarung sengit di kalangan kaum Inlander dan Timur Asing pada awal abad-20 di kawasan Netherlands Indie (Hindia Belanda) – khususnya di Batavia– yakni alumny dari Universitas negeri Belanda dan alumny kajian Islam negeri Hijaz (sekarang: Saudi Arabia). Antara keunggulan alumny dari Universitas negeri Belanda adalah kemampuan mempertajam mantiq, merumuskan atau menulis sesuatu perkara dan merubahnya menjadi sebuah konsep yang boleh dibaca dan difahami; sementara keunggulan alumny kajian Islam negeri Hijaz, terletak pada aspek hafalan, kemahiran bertutur dan muzakarah, tidak cakap menulis atau merumuskan sesuatu untuk menjadi konsep. Pertarungan inilah yang disaksikan sepanjang tahun (1901–1945) pada tahun 1945.
Klimaksnya adalah pada saat bersabung gagasan untuk merumuskan konstitusi
Indonesia. Perbendaharaan fikiran alumny Hijaz dalam konteks bernegara dan
berbangsa, ternyata disembunyiak, dikemas rapi dalam lipatan Sorban dan Purdahnya;
sementara konsep yang paparkan oleh kalangan nasionalis lebih realistis.
Kontestasi gagasan antara kedua-dua kubu ini berlangsung sengit. Masing-masing berusaha
menyeludupkan atau meloloskan kepentingan politik kedalam rumusan Piagam
Jakarta. Akhirnya, konsep kaum nasionalis-lah yang memenangkan kontestasi ini.
Barisan Alumny Hijaz yang hanya mampu bertahan hingga tahun 1950-an, untuk kemudian satu-persatu berguguran dan terkapar. Posisi mereka selanjutnya disambung dan diperkuat oleh alumny Al-Azhar, Mesir dan Universitas Yordan dan Universitas Al-Ahliyya Amman, Yordan; manakala kaum nasionalis diperkuat oleh alumny dari pelbagai Universitas di Eropah dan USA. Dalam realitasnya, kadar kualitas untuk merumuskan sebuah konsep ekonomi, hukum nasional, tehnologi dan disiplin ilmu pengetahuan sosial lainnya, tetap saja didominasi oleh alumny lulusan dari Universitas di Eropah dan USA berbanding lulusan Timur Tengah.



