Notification

×

Iklan

Iklan

Kemaksiatan Berfikir Penyebab kehancuran

Selasa, 28 Oktober 2025 | Oktober 28, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-29T04:07:50Z


 Ketika kota Batavia menjadi epicentrum politik kolonial Belanda dan Jepang; Batavia juga dipakai oleh aktivis pro-Islam dan kaum nasionalis sebagai epicentrum untuk bersabung idé dan pandangan tentang konsep bernegara dan berbangsa, yang pada masa itu (1900 – 1942) siapapun belum mampu memastikan: apa bentuk negara dan pemerintahan yang di-idamkan dan dikehendaki; hingga kemudian dikenal pasti: siapa yang kecundang dan siapa pemenang. Batavia sosiologis dan geografis adalah juga Batavia politis, yang belum sempat disamak dari najis politik kolonial, 



Sejak awal lagi sudah menyemai konsep demokrasi dan nasionalisme yang berasal dari Europah, diternakkan dalam kandang Inlander (Pribumi) di kawasan Netherlands Indie (Hindia Belanda), yang ternyata mengotori dan sekaligus mencederai alam fikiran aktivis muslim -trutama alumny Hijaz (Mekkah) yang dianggap orthodok, tradisional dan premitif.

 

Memang ada dua mazhab fikiran yang bertarung sengit di kalangan kaum Inlander dan Timur Asing pada awal abad-20 di kawasan Netherlands Indie (Hindia Belanda) – khususnya  di Batavia– yakni alumny dari Universitas negeri Belanda dan alumny kajian Islam negeri Hijaz (sekarang: Saudi Arabia). Antara keunggulan alumny dari Universitas negeri Belanda adalah kemampuan mempertajam mantiq, merumuskan atau menulis sesuatu perkara dan merubahnya menjadi sebuah konsep yang boleh dibaca dan difahami; sementara keunggulan alumny kajian Islam negeri Hijaz, terletak pada aspek hafalan, kemahiran bertutur dan muzakarah, tidak cakap menulis atau merumuskan sesuatu untuk menjadi konsep.  Pertarungan inilah yang disaksikan sepanjang tahun (1901–1945) pada tahun 1945.


 Klimaksnya adalah pada saat bersabung gagasan untuk merumuskan konstitusi Indonesia. Perbendaharaan fikiran alumny Hijaz dalam konteks bernegara dan berbangsa, ternyata disembunyiak, dikemas rapi dalam lipatan Sorban dan Purdahnya; sementara konsep yang paparkan oleh kalangan nasionalis lebih realistis. Kontestasi gagasan antara kedua-dua kubu ini berlangsung sengit. Masing-masing berusaha menyeludupkan atau meloloskan kepentingan politik kedalam rumusan Piagam Jakarta. Akhirnya, konsep kaum nasionalis-lah yang memenangkan kontestasi ini.

 

Barisan Alumny Hijaz yang hanya mampu bertahan hingga tahun 1950-an, untuk kemudian satu-persatu berguguran dan terkapar. Posisi mereka selanjutnya disambung dan diperkuat oleh alumny Al-Azhar, Mesir dan Universitas Yordan dan Universitas Al-Ahliyya Amman, Yordan; manakala kaum nasionalis diperkuat oleh alumny dari pelbagai Universitas di Eropah dan USA. Dalam realitasnya, kadar kualitas untuk merumuskan sebuah konsep ekonomi, hukum nasional, tehnologi dan disiplin ilmu pengetahuan sosial lainnya, tetap saja didominasi oleh alumny lulusan dari Universitas di Eropah dan USA berbanding lulusan Timur Tengah. 



Perjalanan kontestasi fikiran antara kalangan nasionalis dan aktivis pro-Islam yang berputar sekitar isu hukum positif, ekonomi dan mendaulatkan syaria´at Islam inilah yang dikupas secara mendalam dalam buku ini. Phase-phase perdebatan tersbut disusun secara kronologis. Di atas segala-galanya, sudah pasti ada perkara diperselisihkan dan ada pihak yang tidak merasa puas dengan paparan ini. Itu hak mereka. Yang pasti giliranku menari di atas panggung ini. Saksikanlah
TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update