Notification

×

Iklan

Iklan

Amanah Perdanamentri Negara Acheh Darussalam Tengku Hasan M. di Tiro pada 4 Desember 1976.

Isnin, 3 November 2025 | November 03, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-11-03T09:08:39Z
Hari ini genap berumur 49 tahun perjuangan Acheh Merdeka, yang dipugar oleh 
Tengku Hasan M. di Tiro pada 4 Desember 1976. Dalam rentang masa itu, bangsa Acheh rencam dengan pelbagai pengalaman. 

Semua itu adalah Yum Meurdéhka! Namun suatu hal yang mesti cermati bahwa, sebagai pejuang, kita mesti berani mengakui kelemahan, kesilapan dan kesalahan; melakukan koreksi dan evaluasi: apa saja sebetulnya faktor-faktor penyebab, 
sehingga belum juga berakhir konflik vertikal ini. 

Tanpa melakukan koreksi dan evaluasi, 
dipastikan kita akan selamanya tidak dapat keluar dari lingkaran syaithain ini, tanpa 
penghujung dan pastinya menemui jalan buntu. Kita tahu berdasarkan dokumen yang kita miliki bahwa, status Acheh Darussalam merupakan sebuah negara merdeka dan berdaulat jauh sebelum Belanda menyerang Kesultanan Acheh Darussalam (1873-1942) dan pendudukan Jepang (1942-1945). Menjelang berakhir kuasanya, Jepang serahkan kuasa politik/Sipil Acheh 
Darussalam kepada Pemerintah Indonesia di penghujung tahun 1945

Sementara kuasa militer, Jepang serahkan kepada kuasa asing (Tentara Sekutu) bermarkas di Singapura. Tindakan 
Jepang menyerahkan dan Pemerintah Indonesia menerima, merupakan tindakan illegal dan jenayah Perang yang berseberangan dengan Piagam PBB tahun 1945 dan Ketentuan Hukum 
Internasional, seperti Geneva Convention tahun 1949 dan Vienna Convention 1978.

Oleh itu, sengketa politik ini mesti diselesaikan di Mahkamah Internasional 
Justice (ICJ)– di Den Haaq, Netherlands.
–International Court of, Suatu hal yang mesti difahami adalah, walau pun dijajah oleh tiga negara, status negara Acheh Darussalam tidak berubah –tetap merdeka dan berdaulat– hanya saja bangsa Acheh tidak memiliki Pemimpin Nasional selama 65 tahun (1911-1976), disusul 10 tahun lagi 
(2010-2020) –hingga dipilih dengan suara mayoritas (13 Perwakilan dari 17 Wilayah seluruh Acheh Darussalam) dan bersamaan dengannya, Dr. H. Yusra Habib Abdul Gani, S.H. dilantik sebagai Perdana Menteri pada 3 Desember 2020, sekaligus menandai bersambung semula Pemimpin Nasional Acheh Darussalam di Pengasingan setelah terputus selama 10 tahun lamanya. 


Dalam kapasitas sebagai Pemerintahan Acheh Darussalam yang sah, PNAD dengan 
bangga menyahut aspirasi politik bangsa Acheh untuk mengibarkan Bendera Bulan Bintang (Bendera Negara) pada 4 Desember 2025 ini. Kesadaran dan tekad ini merupakan refleksi dari kematangan jiwa patriotisme dan heroisme bangsa Acheh terhadap kebangaan memiliki Bendera, symbol negara Acheh Darussalam. Namun begitu, bangsa Acheh mesti faham bahwa,  di mata Penguasa Indonesia, Pengibaran Bendera Bulan Bintang merupakan perbuatan melawan hukum.


 Adalah Benar point 1.1.5 MoU Helsinki menyebut: “Aceh memiliki hak untuk 
menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang dan himne.” Akan tetapi ketentuan ini sudah ditebas oleh UUPA, Pasal 246 (1) yang menyebut: “Bendera Merah Putih adalah bendera nasional dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UndangUndang Dasar Negara ... “ Tidak ada yang lain! Bahkan PP No. 77/2007 “melarang desain bendera dan logo daerah yang menyerupai lambang organisasi terlarang atau kelompok 
separatis...” Bendera Bulan Bintang dimasukkan kedalam klasifikasi Bendera separatis. 


Soal Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengesahkan Qanun Nomor 3 Tahun 2013, yang memperbolehkan penggunaan bendera "Bulan Bintang" sebagai bendera resmi Aceh 
berdasarkan MoU Helsinki dan argumen symbol ini adalah representasi sejarah Aceh; itu perkara lain. 


Berdasarkan UU. No. 12/2011 menetapkan bahwa, hierarki perundang-undangan 
Indonesia, urutannya sbb: UUD-1945 sebagai yang tertinggi, Ketetapan MPR, UndangUndang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai yang terendah. Artinya, Qanun (setara dengan Perda) merupakan perundangan yang 
terendah yang isinya tidak berlawanan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi. 


Perseteruan antara Acheh Darussalam versus Indonesia adalah konflik politik menyangkut 
perkara perkakas negara (Bendera), melibatkan NEGARA versus NEGARA, bukan konflik antara NEGARA versus ORGANISASI POLITIK PRO MERDEKA/WARGANEGARA. Solusinya mesti diselesaikan di Mahkamah Internasional –International Court of Justice (ICJ)– di Den Haaq, Belanda. Demonstrasi massal ini baru memiliki legalitas hukum yang pasti-pasti, jikalau dilakukan atas nama Negara Acheh Darussalam, … jika tidak: dianggap sebagai organisasi 
terlarang atau gerombolan Ikan Bilis yang tidak mempunyai IMAM, mencoba merempuh 
ketentuan hukum RI. 


Anda semua bukanlah gerombolan IKAN BILIS, melainkan anak bangsa yang memiliki hak mutlak untuk meminta Penguasa Indonesia supaya MENGEMBALIKAN 
KEDAULATAN NEGARA ACHEH DARUSSALAM kepada bangsa Acheh, sembari disaksikan oleh
Badan Dunia PBB atau pun yang mewakilinya.
TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update