Hanya satu perkara saja yang ada persamaan, yang dapat mempersatukan
berbagai bangsa yang menjadi penduduk Hindia Belanda, yaitu Islam: yang menjadi
agama 95% dari mereka itu. Tetapi sudah terang, mustahil bagi Belanda untuk
mendasarkan persatuan penduduk jajahannya itu atas dasar Islam, yang sejak masa
kedatangannya yang pertama kali sudah menjadi musuhnya yang nomor satu!(2). Bukankah
sebenarnya Belanda sudah merampas wilayah-wilayah ini dari tangan
Kerajaan-kerajaan Islam, dalam perang penjajahan yang berlumur darah? Hindia
Belanda alias "indonesia" telah didirikan atas perampasan wilayah
Kerajaan-kerajaan Islam: Banten, Demak, dan Mataram di pulau Jawa; Banjar di
Kalimantan; Bone dan Makassar di Sulawesi; Ternate di Maluku; dan akhirnya
Kerajaan Islam Acheh di Sumatera, dimana Belanda mangalami peperangan yang
paling besar dalam sejarahnya! Sebagaimana sudah ditulis oleh ahli sejarah
Belanda sendiri, Paul Van’t Veer bahwa "Bangsa Belanda dan negeri
Belanda tidak pernah menghadapi satu peperangan yang lebih besar dari pada
peperangan dengan Acheh. Menurut panjang waktunya, Perang Acheh dapat dinamakan
Perang delapan-puluh tahun. Menurut jumlah korbannya - lebih seartus-ribu orang
yang mati - Perang Acheh ini adalah satu kejadian militer yang tidak ada
bandingannya dalam sejarah bangsa Belanda. Untuk negeri dan bangsa
Belanda, Perang Acheh ini lebih dari hanya pertikaian militer: selama satu abad
inilah masalah dan persoalan pokok politik internasional, politik nasional, dan
politik kolonial Kerajaan Belanda.
"Sebenarnya
sudahlah menjadi terang-benderang bahwa dalam bagian dunia yang secara umum dan
tidak berketentuan disebut sebagai Hindia Belanda ("indonesia") tidak
ada satu kerajaanpun yang dapat disamakan atau yang dapat dibandingkan dengan
Kerajaan Acheh. Ini sudah kita tahu sekarang. Satu peperangan yang lamanya
lebih setengah abad, seratus ribu orang mati, dan setengah milyar Rupiah
Belanda abad ke-19 yang mahal itu sudah habis untuk biaya, sudahlah menjadi
bukti dari perkara ini. Kita sudah tahu ini sekarang. Tetapi kita tidak tahu
itu di tahun 1873. Biarlah kenyataan-kenyataan ini tegak berdiri - jangan
disembunyikan! - supaya orang-orang di negeri Belanda, atau lebih-lebih lagi di
pulau Jawa, dapat mengetahui dan dapat memahami, manusia yang bagaimana bangsa
Acheh itu!"(3)
Tetapi bangsa Acheh
adalah Ummat Islam yang sungguh-sungguh dan sebenarnya. Mereka adalah bukti
yang hidup dari kekuatan Islam di Dunia Melayu. Panglima besar tentera Belanda,
General Van Swieten, yang memimpin serangan Belanda yang kedua ke Acheh, tahun
1873-1874 (General Kohlër yang memimpin serangan Belanda yang pertama dihukum
mati oleh Negara Acheh!) dan dialah yang sudah dialu-alukan di negeri Belanda
sebagai "Penakluk Acheh" ("Conqueror of Acheh") - ternyata
agak tergesa-gesa - akhirnya Van Swieten telah membuat kesimpulannya sebagai
berikut, yang mana telah diumumkannya dengan terang-terangan: "Tidak
ada jalan untuk mengalahkan bangsa Acheh dalam perang!" Sebab itu ia
mengusulkan kepada pemerintah Belanda untuk menarik mundur tentera Belanda dari
Tanah Acheh dan supaya menyelesaikan permusuhan dengan Kerajaan Acheh ditempuh
secara diplomasi, dengan perundingan".(4) Usul Van Swieten tersebut
tidak diterima oleh pemerintah Belanda. Dan peperangan telah berjalan
terus-menerus berbilang keturunan.
Kekalahan Belanda yang terus-menerus di Acheh
akhirnya membawa Christian Snouck Hurgronje ke depan. Ia adalah seorang
orientalist (ahli dalam ihwal negeri-negeri Timur) dan ahli ilmu agama Islam -
menurut ukuran mereka. Pemerintah Belanda meminta nasihatnya: bagaimana akal,
tipu-muslihat, untuk dapat menaklukkan bangsa Acheh, kalau dia benar-benar tahu
Ilmu-ilmu agama Islam. Hurgronje dianggap sebagai seorang "genius"
oleh bangsa Belanda, hingga oleh Multatuli, seorang penulis Belanda yang
terkenal mengatakan, bahwa Hurgronje adalah orang nomor dua pentingnya dalam
sejarah penjajahan Belanda, dalam abad ke-19. Ini menunjukkan pula betapa
pentingnya kedudukan Islam di Hindia Belanda - bahkan dalam pandangan Belanda
sendiri. Kunci kekuasaan di Dunia Melayu adalah bagaimana mengendalikan Politik
Islam. Dikalangan kaum orientalist dunia memang Hurgronje dianggap sebagai satu
diantara dua orientalist Eropa yang paling terkemuka di abad ke-19.
Yang satu lagi ialah Ignac Goldziher, dari Hongaria. Oleh pemerintah
Belanda diminta supaya Hurgronje memakai ilmu Islam-nya untuk menaklukkan Ummat
Islam bangsa Acheh, yang sudah ternyata tidak dapat ditaklukkan dengan
kekuasaan militer itu. Surat-perintah dari Kerajaan Belanda kepada Horgronje
berbunyi sebagai berikut: "Untuk mempelajari dan menyelidiki hal-ihwal
atau keadaan partai-partai agama di Acheh, sesudah sjahid Tengku Chik di Tiro
(Muhammad Saman), dan untuk mengatahui kedudukan mereka yang baru serta
rencana-rencana mereka, dan membuat usul-usul, anjuran-anjurannya kepada
Kerajaan Belanda".(5) Oleh pemerintah Belanda
sudah diharap-harapkan bahwa dengan syahidnya Wali Negara Acheh, Tengku Chik di
Tiro Mohammad Saman, pada tanggal 25 January, 1891, perlawanan bangsa Acheh
akan berakhir. Tetapi ternyata hal itu tidak terjadi. Perlawanan terhadap Belanda
berjalan terus. Itulah sebabnya maka Hurgronje telah dikirim ke Acheh. Akhirnya
Hurgronje gagal juga di Acheh, tidak berhasil mencapai maksud dan tujuannya
sebab Ummat Islam Acheh tidak bersedia bekerja sama dengan dia. Tetapi walaupun
kegagalannya di Acheh, Hurgronje juga muncul sebagai pembuat "Politik
Islam" Kerajaan Belanda di "indonesia". Usul-usulnya
diterima dan menjadi politik rasmi dari Kerajaan Belanda sampai saat yang
terakhir, waktu Belanda menyerahkan "kedaulatan"-nya kepada
boneka-boneka Jawa-nya pada 27 Desember, 1949.
"POLITIK
ISLAM" BELANDA
Oleh Christian Snouck
Hurgronje sudah digariskan satu "Politik Islam" yang tegas-tegas
sekali memusuhi Islam, untuk dijalankan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda
atau "indonesia"-Jawa, yang garis besarnya sebagai berikut: Islam sebagai agama politik harus dihancurkan
sama sekali, dengan cara perlahan-lahan dan tidak terang-terangan, tegasnya
dengan cara "bijaksana": segala sesuatu di Hindia Belanda atau
"indonesia" harus dipisahkan dari agama, untuk menghilangkan pengaruh
Islam, dan memasukkan pengaruh Barat sehingga akhirnya kebudayaan penduduk
Hindia Belanda atau "indonesia" akan sama dengan kebudayaan bangsa
Belanda. Atas dasar persamaan kebudayaan itu nanti maka akan diadakan satu
"kesatuan" atau "uni" - satu pemerintahan bersama yang
tetap dan kekal antara negeri Belanda dan Hindia Belanda atau
"indonesia" dibawah mahkota Belanda. Dengan demikian Hindia
Belanda atau "indonesia" akan menjadi jajahan Belanda sampai akhir
zaman. Untuk berhasilnya politik ini, maka ummat Islam di Hindia
Belanda atau "indonesia" harus dipisahkan dari ummat Islam di bagian
dunia yang lain; Jema’ah Haji "indonesia" ke Makkah harus
dikendalikan; pelajar-pelajar yang pergi ke Mesir, dan negara-negara Islam yang
lain, harus dipersukar dan semua dicatat dan diamat-amati bila mereka kembali
ke wilayah mereka masing-masing di Hindia Belanda atau "indonesia".
Hurgronje mengizinkan pemakaian kekerasan atau kekuasaan untuk memisahkan agama
dari politik, dan sebagai musuh yang paling berbahaya bagi Belanda dibidang
agama dan politik, yang tidak dapat dipengaruhinya, supaya dipukul, dianianya
sesakit-sakitnya, dihina semalu-malunya, supaya kepercayaan kepada diri-sendiri
yang besar bagi bangsa Acheh dapat dihancurkan, demikian kehormatan kepada
diri-sendiri yang begitu besar pada bangsa Acheh dapat dikikis, ditiadakan.
Kata Snouck Hurgronje: "De Achehers gevoelig te slaan en zon hun
superioriteitswaan te ontnemen." ("Orang-orang Acheh mesti dipukul
sesakit-sakitnya dan sepedih-pedihnya hingga melukai badan dan perasaannya
untuk menghancurkan perasaan harga-diri mereka yang tinggi itu") (6)
Ini adalah satu nasihat yang ganjil sekali, yang datang dari seorang ahli ilmu
ketuhanan, dari seorang ahli agama, dari seorang orientalist, seorang
Professor, seorang cerdik: semua ini adalah topeng belaka yang dipakai oleh
Hurgronje, yang sebenarnya, tidak lain dari pada seorang algojo, seorang
"intellectual mercenary", polisi dan mata-mata rahsia kolonialisme
Barat yang menyamar dibalik gelar-gelar "academics". Dari apa yang
sudah ditulis oleh Hurgronje kita ketahui bahwa ia membenarkan terrorisme
negara (state terrorism) yang dirancang oleh Hurgronje masih dijalankan sampai
sekarang oleh negara penjajahan "indonesia"-Jawa.
Sebagaimana Hurgronje
sendiri sudah gagal di Acheh, taktik terrornya terhadap Ummat Islam Acheh juga
gagal sama sekali, sebab hal itu makin memperkuat tekad bangsa Acheh untuk mati
syahid, dan memperhebat perlawanan mereka terhadap Belanda. Hurgronje, sesudah
beberapa tahun hidup di Acheh, di asrama-asrama serdadu Belanda, dan ia kembali
ke Jawa dengan tidak mendapat hasil apa-apa. Di Jawa ia menyambung pekerjaannya
sebagai penyusun "Politik Islam"-nya yang gagal di Acheh, ternyata
dapat dijalankan di wilayah-wilayah Hindia Belanda atau "indonesia"
lain, di luar Acheh.
Kesimpulannya, Islam yang diizinkan di Hindia
Belanda atau "indonesia"-Jawa menurut penetapan Hurgronje ialah yang
bersifat ibadat saja. Pendidikan anak-anak dipisahkan dari Islam. Pelaksanaan
politik anti-Islam ini, dengan pengurus yang dipilih sendiri oleh Hurgronje,
dipercayakan kepada golongan "bangsawan" Jawa, satu golongan yang
menurut Hurgronje, bersedia dan sanggup membuat ummat Islam untuk menjadi
tidak-Islam lagi, dan membuat mereka menjadi kebarat-baratan sebagaimana
dikehendaki oleh rencana "Politik Islam" Belanda. (7) Tetapi ketika Hurgronje mengizinkan hanya apa yang
disebutnya "Islam Ibadat" atau "Islam Upacara" saja, ia
sebagaimana sudah mengizinkan segala-galanya juga, sebab ibadat dalam Islam
tidak sama dengan ibadat dalam agama-agama lain, yang hanya bersifat upacara
belaka. Ibadat bagi ummat Islam adalah sumber, laksana mata air, yang hidup,
bergerak dan mengalir, menyiram akar-akar Iman, dan menghidupkannya kembali,
dalam segala keadaan, dimana saja. Ibadat dalam Islam adalah satu pembaharuan
tahunan, bulanan, mingguan, harian, sampai kepada jam dan detik, bagi seorang
Muslim yang menjalankannya, akan memperbaharui iktikad dan semangatnya untuk
hidup dan mati dalam Islam! Hal ini yang tidak dipahami oleh Hurgronje sebab ia
bukan seorang Muslim!
Bagaimanapun juga,
rencana Hurgronje sudah dijalankan dengan paksaan sebagai "Politik
Islam" Belanda atas ummat Islam di Hindia Belanda atau
"indonesia" sampai pecah Perang Dunia ke-II, dan kembali dijalankan
ketika Belanda datang lagi dari tahun 1945 sampai tahun 1949. Dan dari tahun
1949 sampai sekarang, "Politik Islam" Belanda ini sudah diteruskan
sebagai "Politik Islam" ‘indonesia’-Jawa" atas ummat Islam. Sudah
tentu Belanda ingin tetap memelihara setiap jengkal tanah jajahannya, yang
sudah dirampasnya agar kekal dalam kekuasaannya dibawah satu pemerintahan yang
berpusat di Jakarta, karena itulah cara yang paling murah dan paling banyak
mendatangkan wang masuk kepadanya. Tetapi hal ini tidak dapat dikekalkan kalau
bukan dengan satu ikatan batin, ikatan kepercayaan, persamaan ideologi, yang
dapat mempersatukan penduduk yang terdiri dari berbagai bangsa itu. Sedangkan
persatuan atas dasar Islam sama sekali tidak dapat diterima oleh Belanda, sebab
akhirnya akan membahayakan penjajahannya sendiri. Sebab itu Belanda harus
memajukan satu budaya dan ideologi baru yang berakiblat ke Barat dan jauh dari
Islam. Ideologi yang diperlukan ini tidak lain dari pada mengadakan satu
"nasionalisme indonesia" - kalau bisa diadakan.
Tetapi satu pertanyaan
yang besar masih belum dapat dijawab: bagaimana mungkin dapat diadakan satu
"nasionalisme" dalam sebuah kerajaan penjajahan, yang penduduknya
terdiri dari berbagai bangsa dan mempunyai berbagai budaya, serta dalam wilayah
yang begitu luas, sama luasnya dengan benua Eropa? Jika satu "nasionalisme
Eropa" masih belum dapat diwujudkan hingga sekarang, walaupun adanya
latar-belakang kebudayaan Eropa yang dianut dan diterima oleh semua, dengan
sistem perhubungannya yang lancar, dan wilayahnya yang bersambung-sambung,
bagaimana dapat diangan-angankan wujudnya satu "nasionalisme
indonesia" atas permukaan bumi yang tidak bersambung-sambung ini, 93% dari
padanya terletak diseberang lautan, lepas dari pulau Jawa, sampai dua-tiga ribu
kilometer jauhnya, yang terdiri dari pulau-pulau, hampir tidak mempunyai alat
perhubungan antara satu dengan yang lainnya, berbahasa berbeda-beda, berbudaya
berlainan, ber-ekonomi lain, dan bersejarah lain-lain pula? Persatuan dibawah
naungan bendera Islam adalah yang sepatut-patutnya dan memang dikehendaki oleh
golongan yang terbanyak dari segala bangsa, tetapi itu bertentangan 100% dengan
tujuan Belanda dan akan dilawannya habis-habisan! Suatu "persatuan"
yang semata-mata berdasarkan atas pedang Belanda yang berlumur darah itu, tidak
akan kekal: hal ini diakui oleh semua orang Belanda. Sebab itulah maka
pembikinan satu "nasionalisme indonesia" yang sudah dibersihkan dari
semua pengaruh Islam mendapat tunjangan dari semua pihak Belanda, kiri, kanan,
dan tengah, kecuali yang sangat keras kepala.



