Notification

×

Iklan

Iklan

Islam Dan Hindia Belanda

Selasa, 21 Oktober 2025 | Oktober 21, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-21T13:48:19Z


 

Hanya satu perkara saja yang ada persamaan, yang dapat mempersatukan berbagai bangsa yang menjadi penduduk Hindia Belanda, yaitu Islam: yang menjadi agama 95% dari mereka itu. Tetapi sudah terang, mustahil bagi Belanda untuk mendasarkan persatuan penduduk jajahannya itu atas dasar Islam, yang sejak masa kedatangannya yang pertama kali sudah menjadi musuhnya yang nomor satu!(2). Bukankah sebenarnya Belanda sudah merampas wilayah-wilayah ini dari tangan Kerajaan-kerajaan Islam, dalam perang penjajahan yang berlumur darah? Hindia Belanda alias "indonesia" telah didirikan atas perampasan wilayah Kerajaan-kerajaan Islam: Banten, Demak, dan Mataram di pulau Jawa; Banjar di Kalimantan; Bone dan Makassar di Sulawesi; Ternate di Maluku; dan akhirnya Kerajaan Islam Acheh di Sumatera, dimana Belanda mangalami peperangan yang paling besar dalam sejarahnya! Sebagaimana sudah ditulis oleh ahli sejarah Belanda sendiri, Paul Van’t Veer bahwa "Bangsa Belanda dan negeri Belanda tidak pernah menghadapi satu peperangan yang lebih besar dari pada peperangan dengan Acheh. Menurut panjang waktunya, Perang Acheh dapat dinamakan Perang delapan-puluh tahun. Menurut jumlah korbannya - lebih seartus-ribu orang yang mati - Perang Acheh ini adalah satu kejadian militer yang tidak ada bandingannya dalam sejarah bangsa Belanda. Untuk negeri dan bangsa Belanda, Perang Acheh ini lebih dari hanya pertikaian militer: selama satu abad inilah masalah dan persoalan pokok politik internasional, politik nasional, dan politik kolonial Kerajaan Belanda.

"Sebenarnya sudahlah menjadi terang-benderang bahwa dalam bagian dunia yang secara umum dan tidak berketentuan disebut sebagai Hindia Belanda ("indonesia") tidak ada satu kerajaanpun yang dapat disamakan atau yang dapat dibandingkan dengan Kerajaan Acheh. Ini sudah kita tahu sekarang. Satu peperangan yang lamanya lebih setengah abad, seratus ribu orang mati, dan setengah milyar Rupiah Belanda abad ke-19 yang mahal itu sudah habis untuk biaya, sudahlah menjadi bukti dari perkara ini. Kita sudah tahu ini sekarang. Tetapi kita tidak tahu itu di tahun 1873. Biarlah kenyataan-kenyataan ini tegak berdiri - jangan disembunyikan! - supaya orang-orang di negeri Belanda, atau lebih-lebih lagi di pulau Jawa, dapat mengetahui dan dapat memahami, manusia yang bagaimana bangsa Acheh itu!"(3)

 

Tetapi bangsa Acheh adalah Ummat Islam yang sungguh-sungguh dan sebenarnya. Mereka adalah bukti yang hidup dari kekuatan Islam di Dunia Melayu. Panglima besar tentera Belanda, General Van Swieten, yang memimpin serangan Belanda yang kedua ke Acheh, tahun 1873-1874 (General Kohlër yang memimpin serangan Belanda yang pertama dihukum mati oleh Negara Acheh!) dan dialah yang sudah dialu-alukan di negeri Belanda sebagai "Penakluk Acheh" ("Conqueror of Acheh") - ternyata agak tergesa-gesa - akhirnya Van Swieten telah membuat kesimpulannya sebagai berikut, yang mana telah diumumkannya dengan terang-terangan: "Tidak ada jalan untuk mengalahkan bangsa Acheh dalam perang!" Sebab itu ia mengusulkan kepada pemerintah Belanda untuk menarik mundur tentera Belanda dari Tanah Acheh dan supaya menyelesaikan permusuhan dengan Kerajaan Acheh ditempuh secara diplomasi, dengan perundingan".(4) Usul Van Swieten tersebut tidak diterima oleh pemerintah Belanda. Dan peperangan telah berjalan terus-menerus berbilang keturunan. Kekalahan Belanda yang terus-menerus di Acheh akhirnya membawa Christian Snouck Hurgronje ke depan. Ia adalah seorang orientalist (ahli dalam ihwal negeri-negeri Timur) dan ahli ilmu agama Islam - menurut ukuran mereka. Pemerintah Belanda meminta nasihatnya: bagaimana akal, tipu-muslihat, untuk dapat menaklukkan bangsa Acheh, kalau dia benar-benar tahu Ilmu-ilmu agama Islam. Hurgronje dianggap sebagai seorang "genius" oleh bangsa Belanda, hingga oleh Multatuli, seorang penulis Belanda yang terkenal mengatakan, bahwa Hurgronje adalah orang nomor dua pentingnya dalam sejarah penjajahan Belanda, dalam abad ke-19. Ini menunjukkan pula betapa pentingnya kedudukan Islam di Hindia Belanda - bahkan dalam pandangan Belanda sendiri. Kunci kekuasaan di Dunia Melayu adalah bagaimana mengendalikan Politik Islam. Dikalangan kaum orientalist dunia memang Hurgronje dianggap sebagai satu diantara dua orientalist Eropa yang paling terkemuka di abad ke-19.

 

Yang satu lagi ialah Ignac Goldziher, dari Hongaria. Oleh pemerintah Belanda diminta supaya Hurgronje memakai ilmu Islam-nya untuk menaklukkan Ummat Islam bangsa Acheh, yang sudah ternyata tidak dapat ditaklukkan dengan kekuasaan militer itu. Surat-perintah dari Kerajaan Belanda kepada Horgronje berbunyi sebagai berikut: "Untuk mempelajari dan menyelidiki hal-ihwal atau keadaan partai-partai agama di Acheh, sesudah sjahid Tengku Chik di Tiro (Muhammad Saman), dan untuk mengatahui kedudukan mereka yang baru serta rencana-rencana mereka, dan membuat usul-usul, anjuran-anjurannya kepada Kerajaan Belanda".(5) Oleh pemerintah Belanda sudah diharap-harapkan bahwa dengan syahidnya Wali Negara Acheh, Tengku Chik di Tiro Mohammad Saman, pada tanggal 25 January, 1891, perlawanan bangsa Acheh akan berakhir. Tetapi ternyata hal itu tidak terjadi. Perlawanan terhadap Belanda berjalan terus. Itulah sebabnya maka Hurgronje telah dikirim ke Acheh. Akhirnya Hurgronje gagal juga di Acheh, tidak berhasil mencapai maksud dan tujuannya sebab Ummat Islam Acheh tidak bersedia bekerja sama dengan dia. Tetapi walaupun kegagalannya di Acheh, Hurgronje juga muncul sebagai pembuat "Politik Islam" Kerajaan Belanda di "indonesia". Usul-usulnya diterima dan menjadi politik rasmi dari Kerajaan Belanda sampai saat yang terakhir, waktu Belanda menyerahkan "kedaulatan"-nya kepada boneka-boneka Jawa-nya pada 27 Desember, 1949.

 

 

"POLITIK ISLAM" BELANDA

 

Oleh Christian Snouck Hurgronje sudah digariskan satu "Politik Islam" yang tegas-tegas sekali memusuhi Islam, untuk dijalankan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda atau "indonesia"-Jawa, yang garis besarnya sebagai berikut: Islam sebagai agama politik harus dihancurkan sama sekali, dengan cara perlahan-lahan dan tidak terang-terangan, tegasnya dengan cara "bijaksana": segala sesuatu di Hindia Belanda atau "indonesia" harus dipisahkan dari agama, untuk menghilangkan pengaruh Islam, dan memasukkan pengaruh Barat sehingga akhirnya kebudayaan penduduk Hindia Belanda atau "indonesia" akan sama dengan kebudayaan bangsa Belanda. Atas dasar persamaan kebudayaan itu nanti maka akan diadakan satu "kesatuan" atau "uni" - satu pemerintahan bersama yang tetap dan kekal antara negeri Belanda dan Hindia Belanda atau "indonesia" dibawah mahkota Belanda. Dengan demikian Hindia Belanda atau "indonesia" akan menjadi jajahan Belanda sampai akhir zaman. Untuk berhasilnya politik ini, maka ummat Islam di Hindia Belanda atau "indonesia" harus dipisahkan dari ummat Islam di bagian dunia yang lain; Jema’ah Haji "indonesia" ke Makkah harus dikendalikan; pelajar-pelajar yang pergi ke Mesir, dan negara-negara Islam yang lain, harus dipersukar dan semua dicatat dan diamat-amati bila mereka kembali ke wilayah mereka masing-masing di Hindia Belanda atau "indonesia". Hurgronje mengizinkan pemakaian kekerasan atau kekuasaan untuk memisahkan agama dari politik, dan sebagai musuh yang paling berbahaya bagi Belanda dibidang agama dan politik, yang tidak dapat dipengaruhinya, supaya dipukul, dianianya sesakit-sakitnya, dihina semalu-malunya, supaya kepercayaan kepada diri-sendiri yang besar bagi bangsa Acheh dapat dihancurkan, demikian kehormatan kepada diri-sendiri yang begitu besar pada bangsa Acheh dapat dikikis, ditiadakan. Kata Snouck Hurgronje: "De Achehers gevoelig te slaan en zon hun superioriteitswaan te ontnemen." ("Orang-orang Acheh mesti dipukul sesakit-sakitnya dan sepedih-pedihnya hingga melukai badan dan perasaannya untuk menghancurkan perasaan harga-diri mereka yang tinggi itu") (6) Ini adalah satu nasihat yang ganjil sekali, yang datang dari seorang ahli ilmu ketuhanan, dari seorang ahli agama, dari seorang orientalist, seorang Professor, seorang cerdik: semua ini adalah topeng belaka yang dipakai oleh Hurgronje, yang sebenarnya, tidak lain dari pada seorang algojo, seorang "intellectual mercenary", polisi dan mata-mata rahsia kolonialisme Barat yang menyamar dibalik gelar-gelar "academics". Dari apa yang sudah ditulis oleh Hurgronje kita ketahui bahwa ia membenarkan terrorisme negara (state terrorism) yang dirancang oleh Hurgronje masih dijalankan sampai sekarang oleh negara penjajahan "indonesia"-Jawa.

 

Sebagaimana Hurgronje sendiri sudah gagal di Acheh, taktik terrornya terhadap Ummat Islam Acheh juga gagal sama sekali, sebab hal itu makin memperkuat tekad bangsa Acheh untuk mati syahid, dan memperhebat perlawanan mereka terhadap Belanda. Hurgronje, sesudah beberapa tahun hidup di Acheh, di asrama-asrama serdadu Belanda, dan ia kembali ke Jawa dengan tidak mendapat hasil apa-apa. Di Jawa ia menyambung pekerjaannya sebagai penyusun "Politik Islam"-nya yang gagal di Acheh, ternyata dapat dijalankan di wilayah-wilayah Hindia Belanda atau "indonesia" lain, di luar Acheh. Kesimpulannya, Islam yang diizinkan di Hindia Belanda atau "indonesia"-Jawa menurut penetapan Hurgronje ialah yang bersifat ibadat saja. Pendidikan anak-anak dipisahkan dari Islam. Pelaksanaan politik anti-Islam ini, dengan pengurus yang dipilih sendiri oleh Hurgronje, dipercayakan kepada golongan "bangsawan" Jawa, satu golongan yang menurut Hurgronje, bersedia dan sanggup membuat ummat Islam untuk menjadi tidak-Islam lagi, dan membuat mereka menjadi kebarat-baratan sebagaimana dikehendaki oleh rencana "Politik Islam" Belanda. (7) Tetapi ketika Hurgronje mengizinkan hanya apa yang disebutnya "Islam Ibadat" atau "Islam Upacara" saja, ia sebagaimana sudah mengizinkan segala-galanya juga, sebab ibadat dalam Islam tidak sama dengan ibadat dalam agama-agama lain, yang hanya bersifat upacara belaka. Ibadat bagi ummat Islam adalah sumber, laksana mata air, yang hidup, bergerak dan mengalir, menyiram akar-akar Iman, dan menghidupkannya kembali, dalam segala keadaan, dimana saja. Ibadat dalam Islam adalah satu pembaharuan tahunan, bulanan, mingguan, harian, sampai kepada jam dan detik, bagi seorang Muslim yang menjalankannya, akan memperbaharui iktikad dan semangatnya untuk hidup dan mati dalam Islam! Hal ini yang tidak dipahami oleh Hurgronje sebab ia bukan seorang Muslim!

 

Bagaimanapun juga, rencana Hurgronje sudah dijalankan dengan paksaan sebagai "Politik Islam" Belanda atas ummat Islam di Hindia Belanda atau "indonesia" sampai pecah Perang Dunia ke-II, dan kembali dijalankan ketika Belanda datang lagi dari tahun 1945 sampai tahun 1949. Dan dari tahun 1949 sampai sekarang, "Politik Islam" Belanda ini sudah diteruskan sebagai "Politik Islam" ‘indonesia’-Jawa" atas ummat Islam. Sudah tentu Belanda ingin tetap memelihara setiap jengkal tanah jajahannya, yang sudah dirampasnya agar kekal dalam kekuasaannya dibawah satu pemerintahan yang berpusat di Jakarta, karena itulah cara yang paling murah dan paling banyak mendatangkan wang masuk kepadanya. Tetapi hal ini tidak dapat dikekalkan kalau bukan dengan satu ikatan batin, ikatan kepercayaan, persamaan ideologi, yang dapat mempersatukan penduduk yang terdiri dari berbagai bangsa itu. Sedangkan persatuan atas dasar Islam sama sekali tidak dapat diterima oleh Belanda, sebab akhirnya akan membahayakan penjajahannya sendiri. Sebab itu Belanda harus memajukan satu budaya dan ideologi baru yang berakiblat ke Barat dan jauh dari Islam. Ideologi yang diperlukan ini tidak lain dari pada mengadakan satu "nasionalisme indonesia" - kalau bisa diadakan.

 

Tetapi satu pertanyaan yang besar masih belum dapat dijawab: bagaimana mungkin dapat diadakan satu "nasionalisme" dalam sebuah kerajaan penjajahan, yang penduduknya terdiri dari berbagai bangsa dan mempunyai berbagai budaya, serta dalam wilayah yang begitu luas, sama luasnya dengan benua Eropa? Jika satu "nasionalisme Eropa" masih belum dapat diwujudkan hingga sekarang, walaupun adanya latar-belakang kebudayaan Eropa yang dianut dan diterima oleh semua, dengan sistem perhubungannya yang lancar, dan wilayahnya yang bersambung-sambung, bagaimana dapat diangan-angankan wujudnya satu "nasionalisme indonesia" atas permukaan bumi yang tidak bersambung-sambung ini, 93% dari padanya terletak diseberang lautan, lepas dari pulau Jawa, sampai dua-tiga ribu kilometer jauhnya, yang terdiri dari pulau-pulau, hampir tidak mempunyai alat perhubungan antara satu dengan yang lainnya, berbahasa berbeda-beda, berbudaya berlainan, ber-ekonomi lain, dan bersejarah lain-lain pula? Persatuan dibawah naungan bendera Islam adalah yang sepatut-patutnya dan memang dikehendaki oleh golongan yang terbanyak dari segala bangsa, tetapi itu bertentangan 100% dengan tujuan Belanda dan akan dilawannya habis-habisan! Suatu "persatuan" yang semata-mata berdasarkan atas pedang Belanda yang berlumur darah itu, tidak akan kekal: hal ini diakui oleh semua orang Belanda. Sebab itulah maka pembikinan satu "nasionalisme indonesia" yang sudah dibersihkan dari semua pengaruh Islam mendapat tunjangan dari semua pihak Belanda, kiri, kanan, dan tengah, kecuali yang sangat keras kepala.

 

 

TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update