Meskipun segala
pertentangan diatas tidak dapat diatasi sama sekali, namun satu
"nasionalisme indonesia" pura-pura, yang tidak berketentuan asal,
tanah, akar, dan batangnya, apakah di Sabang, atau Marauke, maupun Menado, dan
Kupang, ke-empat penjuru dunia ini jauhnya ribuan kilometer dari satu dengan
yang lain, dan terdiri dari bukan saja, bangsa-bangsa yang berlain-lainan,
tetapi juga dari jenis manusia (race) yang berbeda pula, sehingga kalau ini
dinamakan "nasionalisme indonesia", maka seluruh bulatan bumi ini
dapat dimasukkan "indonesia": tegasnya dapat
di-"indonesia"-kan. Dari pandangan geografy, ini satu
kemustahilan; dari pandangan sociology ini satu perbuatan pura-pura;
dari pandangan ilmu ekonomi hal ini mengetawakan. Ini namanya bukan
"nasionalisme" tetapi imperialisme: untuk membenarkan
penjajahan belaka, yaitu penjajahan oleh bangsa yang menguasai pusat
pemerintahan di pulau Jawa. Nasionalisme yang sebenarnya berarti pembatasan
wilayah atau daerah, dan pembatasan siapa-siapa yang dapat ikut setia. Tetapi
"nasionalisme indonesia" bermakna penguasaan wilayah atau daerah, dan
penghancuran bangsa-bangsa yang memiliki wilayah atau daerah itu. Teranglah
sudah bahwa "nasionalisme indonesia" bermakna perluasan wilayah atau
daerah, dan penghancuran bangsa-bangsa yang memiliki wilayah atau daerah itu.
Teranglah sudah bahwa "nasionalisme indonesia" itu mula-mula diadakan
untuk memelihara kesatuan Hindia Belanda, dan sekarang untuk membenarkan
penjajahan Jawa. Sekarang ini "nasionalisme indonesia" sudah dijadikan
dasar ideologi negara untuk menjamin atau membenarkan penguasaan bangsa Jawa
atas tanah-tanah bangsa-bangsa lain di luar pulau Jawa!
Apa yang sudah terjadi
ialah bahwa "nasionalisme indonesia" yang mustahil dan tidak mungkin
diwujudkan itu, sudah dijadikan topeng untuk menutup-nutupi nasionalisme Jawa,
dari golongan yang sekarang menguasai negara "indonesia", yang maksud,
tujuan, dan kepentingan mereka dikemukakan sebagai tujuan dari
"nasionalisme indonesia" tersebut, supaya mudah diterima oleh
bangsa-bangsa lain yang bukan Jawa, yang sudah dijajah. Semua simbol dari apa
yang dinamakan "nasionalisme indonesia" sebenarnya adalah simbol kejawen,
- simbol dari pada nasionalisme Jawa dan mencerminkan kepentingan politik,
ekonomi, dan budaya bangsa Jawa semata-mata. Nama "nasionalisme
indonesia" hanya dipakai sebagai topeng, semata-mata untuk menipu
bangsa-bangsa di seberang lautan, yang kesadaran politik mereka masih dalam
angka Nol, Zero, Kosong! Apa yang sudah terjadi ialah kepentingan dari
hanya satu bangsa (bangsa Jawa!), kepentingan dari hanya satu daerah (pulau
Jawa!), kepentingan dari hanya dua provinsi (Jawa Tengah dan Jawa Timur!), kepentingan
dari hanya 3,5% dari wilayah apa yang disebut "indonesia" sudah
dikemukakan, sudah ditonjolkan sebagai kepentingan "nasional
indonesia"! Sedang kepentingan dari 96,5% dari wilayah-wilayah
"indonesia" yang bukan Jawa, dan kepentingan dari bangsa-bangsa yang
bukan Jawa sudah dipersetan sama sekali! Tegasnya - kalau perkara ini
bisa lebih ditegaskan lagi - kepentingan khusus bangsa Jawa sudah dibiarkan
memperkosa kepentingan umum bangsa-bangsa Dunia Melayu di luar pulau Jawa! Perhatikanlah:
semua simbol dari "nasionalisme indonesia" itu dinyatakan dengan
lidah Jawa: ideologi negara disebut "pancasila"; semboyan
"nasional indonesia" disebut dalam bahasa Jawa "Bhinneka Tunggal
Ika"; nama bintang-bintang kehormatan negara "indonesia" semua
dalam bahasa Jawa; kedudukan pahlawan "nasional indonesia" kelas satu
diberikan hanya kepada orang-orang Jawa, walaupun mereka itu, menurut
sejarahnya, lebih patut diberi nama satu budak-belian, dari pada satu bangsa
pahlawan; semua jabatan-jabatan penting dalam negara "indonesia"
hanya dipegang oleh orang-orang Jawa, dari Presiden sampai ke Menteri-Menteri
dan bawahannya; orang-orang yang bukan Jawa hanya diberikan jabatan-jabatan
yang tidak penting dan bersifat sebagai patung saja; sistem dan nama-nama simbolis
dalam administrasi negara disebut dalam bahasa Jawa, seakan-akan ini adalah
satu negara Jawa, bukan satu negara "indonesia". Umpamanya: "desa", "lurah", "kecamatan",
"camat", "kabupaten", "bupati", dan lain-lain
sebagainya. Bahasa rasmi dari negara "indoensia" masih belum bahasa
Jawa, tetapi ini karena dipaksa oleh keadaan semata-mata: tak ada orang yang
mengerti bahasa Jawa dalam 96,5% dari wilayah "indonesia". Karena itu
mereka masih terpaksa memakai bahasa Melayu! Itupun sudah ditukar
namanya menjadi "bahasa indonesia" - seakan-akan untuk menjamin
kepalsuan 100% dari segala apa yang disebut dengan nama "indonesia"
itu!
Bangsa Jawa adalah dalam kedudukan yang paling baik untuk memperalatkan
"nasionalisme indonesia" untuk kepentingan mereka sendiri oleh karena
beberapa sebab: pertama, mereka adalah golongan yang sengaja dipilih oleh
Belanda untuk mengekalkan dan menyambung penjajahannya dan menjalankan
"Politik Islam"-nya. Ingat kepada apa yang telah dikatakan oleh
Snouck Hurgronje. Tetapi bukan Hurgronje saja yang berkata demikian. Edward
D. Dekker, seorang pengarang Belanda yang kenamaan telah menulis pula: "Melayani
Tuan-nya, itulah Agama bangsa Jawa!" Kedua, mereka adalah termasuk
golongan yang lebih ramai, walaupun bukan yang terbanyak, bukan majority,
tetapi hanya plurality, dalam istilah democracy. Ketiga, sebab negeri mereka di
pulau Jawa yang telah dipilih oleh Belanda menjadi "pusat" pemerintah
penjajahannya, karena pulau Jawa-lah yang lebih dahulu dapat dijajahnya, karena
bangsa Jawa tidak memberi perlawanan kepada Belanda, dan sebab Belanda percaya
kepada kesetiaan orang-orang Jawa kepadanya. Semua ini memberi kemudahan kepada
bangsa Jawa untuk merebut pemerintah "pusat" dari kerajaan kolonial
yang diberi nama "indonesia". Dan ke-empat, memang kepada bangsa
Jawalah Belanda telah menyerahkan "kedaulatan" yang dimilikinya atas
seluruh Hindia Belanda ("indonesia") pada tanggal 27 Desember, 1949,
- dengan tidak mengindahkan hak bangsa-bangsa lain yang sudah dijajahnya, dan
dengan tidak mengindahkan kedudukan hukum yang terpisah dari pulau Jawa dengan
Kepulauan Melayu yang lainnya.
Sampai-sampai Negeri Acheh yang tidak pernah ditaklukkan oleh Belanda,
dan Belanda tidak pernah menginjakkan kakinya disana sejak tahun 1942, juga
dimasukkan - diatas kertas - sebagai satu dari wilayah tanah jajahannya yang
pada tahun 1949 diserahkan kepada regime Jawa yang sama sekali tidak berhak
menerimanya, dan Belanda tidak berhak memberinya. Dengan terusirnya Belanda
dari Acheh pada tahun 1942, maka Negeri Acheh dengan sendirinya, automatic,
sudah merdeka kembali, sebagaimana sebelum Belanda datang. Inilah status Acheh
dalam Hukum Internasional! Dengan perbuatannya itu, Kerajaan Belanda sudah
melanggar segala Aturan Hukum Internasional yang berlaku dan juga melanggar
Hukum Decolonization (Hukum Wajib Memerdekakan Segala Jajahan) PBB, yang
melarang pemindahan kedaulatan atas tanah jajahan dari satu penjajah kepada
penjajah yang lain, dan yang menyatakan bahwa kedaulatan atas setiap tanah
jajahan ada pada bangsa asli tanah itu sendiri, dan tidak ada pada tangan
sipenjajah yang wajib memerdekakan tanah jajahan itu dengan tidak bersyarat
apa-apa. (8) Tetapi alasan-alasan
ideologi Belanda mungkin berjalan lebih jauh dari pada perhitungan ekonomi dan
politiknya semata-mata: sebab jika Belanda menyerahkan Negeri Acheh kembali
kepada bangsa Acheh pada waktu itu, maka Acheh akan menjadi Negara Islam yang
pertama didirikan kembali di Asia Tenggara dan Dunia Melayu!
Semua yang sudah terjadi itu tidak mengubah kenyataan bahwa tanah bangsa
Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur) hanya merupakan 3,5% dari wilayah
"indonesia"; dan kalau dihitung termasuk tanah Sunda (Jawa Barat)
maka menjadi 7% dari wilayah "indonesia". Jadi 93% dari wilayah
"indonesia" adalah di seberang laut lepas, ribuan kilometer jauhnya
dari pulau Jawa, dengan penduduknya terdiri dari berbagai bangsa yang tidak
mempunyai hubungan bahasa, budaya, dan sejarah dengan bangsa Jawa.
Kenyataan-kenyataan ini bermakna bahwa 93% dari wilayah "indonesia"
adalah wilayah-wilayah seberang lautan. "Makna yang paling singkat dari
pada istilah kolonialisme (penjajahan) ialah pemerintahan yang dilakukan atas
bangsa-bangsa yang berlainan, yang mendiam wilayah-wilayah yang dipisahkan oleh
air masin (lautan) dari pemerintah pusat kaum imperialis (penjajah)."
("Colonialism is rule over peoples of different race inhabiting lands
separated by salt water from the Imperial center.") (9)
Demikianlah, untuk membuat satu
"nasionalisme" palsu kelihatan dan kedengaran seakan-akan benar, maka
sebuah nama sebutan-arah dipeta bumi sudah dipanggil sebagai satu
"negara" dan sebagai satu nama "bangsa" seolah benua Eropa
bisa dinamakan satu "bangsa" dan "Timur Tengah" bisa
dipanggil satu "negara". Bahasa Melayu, satu bahasa Sumatera, sudah
dirampas dan disandra, sesudah itu ditukar namanya menjadi "bahasa
indonesia" walaupun bangsa Jawa tidak pandai memakainya, apalagi menulis
dan memahaminya, maka akibatnya sekarang mereka sudah merusak-binasakan bahasa
dan sastera Melayu hingga tidak dapat kita kenal lagi: mereka sudah membuat
bahasa Melayu kita sebagai bahasa "Pidgin English" - bahasa
Inggeris-Pulau-Pidgin, yang menertawakan orang-orang yang mendengarnya. Apa
yang sekarang mereka sebutkan sebagai bahasa "bahasa indonesia" alias
bahasa Melayu-Jawa adalah semacam "Pidgin Malay" yang tata-bahasa,
saraf dan adabnya - satu bahasa yang bersejarah dan berperadaban Islam - sudah
dilanggar, susunan dan tata-tertibnya sudah dikacau-balaukan. Sekarang bahasa
kita ini sudah dicampur-adukkan dengan bahasa asing yang tidak dapat dikunyah
dan tidak dapat dicernakan, laksana beras yang sudah dicampur-adukkan dengan
kerikil dan kotoran sampah asing hingga tak dapat dipahami lagi oleh
orang-orang kita di kampung-kampung ataupun di kota-kota. Apa yang dinamakan
sebagai "bahasa indonesia" sekarang sudah menjadi satu bahasa yang
kasar, yang tidak sesuai lagi untuk menulis syair, sastera, atau pertukaran
fikiran yang mendalam untuk bangsa-bangsa Melayu. Untuk maksud-maksud ini kita
harus kembali kepada bahasa Melayu yang asli sebagaimana yang terdapat di
Sumatera.
Sekarang marilah kita lanjutkan penjelasan dari alat-alat yang dipakai
untuk memajukan propaganda "nasionalisme indonesia" pura-pura itu:
sebuah bendera Polandia yang dibalikkan dari atas ke bawah dinaikkan sebagai
"bendera indonesia". Inilah satu bendera dengan tidak ada sejarah dan dengan tidak ada
kemegahan. Tetapi sampai sekarang sudah begitu banyak pembunuhan dan
penyembelihan atas bangsa-bangsa yang bukan Jawa sudah dilakukan dibawah
naungan "bendera indonesia" ini, seperti di Acheh, Sulawesi, Maluku,
Papua Barat dan Timor Timur, sehingga bendera "indonesia" Jawa ini
sudah melambangkan simbol perampok dan simbol pembunuh di seluruh Kepulauan
Melayu. Disamping itu ada pula lagu kebangsaan "indonesia
raya" yang dicuri dari lagu berbaris anak-anak sekolah di Amerika Serikat,
yang dikenal sebagai "Yale Boola-boola", di Amerika sering dimainkan
waktu pertandingan sepak bola. Dan simbolisme kelas tiga ini ditutup dengan
satu pernyataan kemerdekaan (proklamasi!) yang terdiri dari dua kalimat, kosong
dari segala cita-cita politik dan filosofi. Di kalangan bangsa-bangsa yang
beradab dan bertamaddun, pernyataan kemerdekaan adalah satu simbol, disamping
benderanya, disana dinyatakan dan dibuktikan ketinggian moralnya dan kebenaran
perjuangannya. Tetapi "proklamasi" kemerdekaan "indonesia"-Jawa
hanya berupa satu warta berita pendek, satu news bulletin!
Keseluruhannya, hampir bisa dianggap sebagai satu lelucon yang berhasil kalau
tidak karena darah bangsa-bangsa yang tidak bersalah, yang telah ditumpahkan
oleh regime penjajah "indonesia"-Jawa itu sejak hari pernyataan
penjajahan baru kepada bangsa-bangsa yang bukan "Jawa" di Kepulauan
Melayu! Kejadian-kejadian di atas telah
membawa kepada pertumpahan darah yang berkepenjangan selama 40 tahun (dua
keturunan), terrorisme negara, perlawanan dan penindasan, yang akhirnya membawa
gerombolan-gerombolan serdadu Jawa ke pucuk pemerintahan
"indonesia"-Jawa. Kini pedang Belanda yang berlumur darah sudah
diganti dengan ujung senapang serdadu-serdadu Jawa dengan propaganda untuk menjaga
kesatuan "bangsa indonesia" untuk menjamin "indonesia"
tetap terbuka untuk diperas oleh Belanda dan kaum imperialis Barat yang lain
sebagai sumber bahan mentah yang murah untuk industri mereka. Wartawan-wartawan
Barat memuji-muji keadaan ini sebagai satu "kemajuan ekonomi" dan
"pembangunan"! (10)
"NASIONALISME
INDONESIA" DAN
NEGARA SERDADU JAWA
Bahwa telah berdirinya
negara serdadu Jawa kolonialis adalah satu bukti tentang tidak adanya
"nasionalisme indonesia" tersebut, dari dahulu sampai sekarang.
"Indonesia" - tidak termasuk Acheh - adalah dari abad ke-16 sudah
menjadi kerajaan penjajahan, sampai sekarang, walaupun dibawah nama yang
berlainan. Dan tiap-tiap kerajaan penjajahan hanya bisa diperintah dengan
kekuatan senjata semata-mata. Maka kolonialisme dan negara serdadu tidaklah
dapat dipisah-pisahkan. Yang satu tidak dapat hidup dengan tidak ada yang lain.
Belanda telah mendirikan dan mempertahankan kerajaan penjajahan ini dengan
kekerasan untuk 350 tahun lamanya, dari tahun 1599 sampai tahun 1949, ketika
Belanda menyerahkannya kepada bangsa Jawa. Mulai tahun 1949, serdadu-serdadu
kolonialis Jawa sudah meneruskan perbuatan durjana bangsa kulit putih itu,
dengan akibat yang menghancurkan bangsa-bangsa yang bukan Jawa yang dijajah
oleh "indonesia"-Jawa, dari Acheh sampai ke Papua Barat, dan dari
Maluku sampai ke Timor. Mulai dari waktu Belanda menyerahkan kedaulatan secara
illegal kepada bangsa Jawa sampai hari ini, tidak ada satu pulau yang penting
yang tidak menjadi medan perang, dan tidak ada satu bangsa yang bukan Jawa,
yang darah mereka tidak ditumpahkan oleh serdadu-serdadu Jawa penjajah. Di
setiap pulau sudah terjadi perlawanan atau ’pemberontakan’ melawan sipenjajah
Jawa sama sebagaimana sudah terjadi perlawanan atau ’pemberontakan’ terhadap
Belanda dahulu.
Sebagaimana sudah kita
sebutkan, Hindia Belanda atau "indonesia"-Jawa tidaklah dimerdekakan
menurut Hukum Decolonization PBB sebagaimana yang sudah dilakukan atas semua
tanah-tanah jajahan lain di seluruh dunia. Apa yang dibuat oleh Belanda hanya
diberikannya seluruh Hindia Belanda kepada bangsa Jawa, dengan tidak
mengembalikannya, walaupun satu jengkal-tanah jajahan kepada bangsa asli dari
siapa tanah-tanah itu sudah dirampasnya dahulu. Dalam hal ini Belanda telah
melanggar Aturan PBB 100%. Kebalikan dan bertentangan dengan segala Aturan PBB,
Belanda telah membuat bangsa Jawa sebagai ahli-warisnya yang menerima pusaka
dari padanya, - dengan janji-janji yang tertentu dari pihak Jawa, - dan oleh
Belanda sama sekali tidak diperdulikannya, tentang hak menentukan nasib
diri-sendiri dari bangsa-bangsa yang bukan Jawa. Tegasnya Belanda dan Jawa
sudah berkomplot untuk melawan Hukum Internasional, dan melawan Hukum
Decolonization dari PBB, dengan propaganda sebab sudah adanya "bangsa
indonesia" dan adanya "nasionalisme indonesia" yang dibuat-buat
oleh Belanda dan Jawa untuk kepentingan jahat dari kedua bangsa penjajah ini.
Dan perlawanan keras yang diberikan oleh setiap bangsa, di setiap pulau melawan
penjajahan Jawa tidak pernah diberitakan dengan benar oleh surat-surat kabar
dunia Barat. Perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa bukan Jawa mereka sifatkan
sebagai gerakan "separatist", atau gerakan orang-orang
"fanatik". Sampai ada seorang penulis Barat yang
mengarang buku bernama Rebels Without A Cause ( Pemberontak Tak Bersebab).
Seakan-akan
ada orang yang mau mati dengan tidak ada sebab dan alasan yang kuat dan benar!
Semua perlawanan ini menunjukkan bahwa semua bangsa-bangsa bukan Jawa
mengetahui bahwa "nasionalisme indonesia" itu, hanya propaganda Jawa
belaka untuk dapat menjajah mereka.
Banyak sekali
kejadian-kejadian lain didalam negara kolonialis "indonesia" yang
menunjukkan bahwa "nasionalisme indonesia" yang digembar-gemborkan
oleh regime itu sama sekali tidak ada pengaruhnya dalam politik. Dengan tidak
ada kecualinya, segala persoalan dan persengketaan politik telah diselesaikan
dengan kekerasan semata-mata yang diambil oleh negara serdadu Jawa ini terhadap
tuntutan Ummat Islam., yang merupakan 95% dari rakyat negara ini, untuk
mendirikan negara Islam. Persoalan politik ini tidak pernah diselesaikan secara
politik, tetapi dari permulaan sampai ke akhirnya diselesaikan dengan kekuatan
senjata. Kemenangan negara serdadu Jawa telah dicapai dengan kekuatan senjata
semata-mata, bukan karena adanya "nasionalisme indonesia". Demikian
juga gerakan untuk mendirikan Negara Islam di Pasundan, yang dipimpin oleh
Kartosuwirjo di tahun 1947, gerakan untuk mendirikan Negara Islam di Sulawesi
yang dipimpin oleh Abdul Kahar Muzakkar di tahun 1952, gerakan yang serupa di
Kalimantan yang dipimpin oleh Ibnu Hajar, dalam waktu yang sama, dan di Acheh
di tahun 1953, dibawah pimpinan Tengku Muhammad Daud Beureuéh, semuanya telah
dihadapi oleh negara serdadu Jawa dengan kekerasan senjata, yang mengakibatkan
ratusan ribu orang syahid, termasuk Kartosuwirjo, Abdul Kahar Muzakkar, dan
Ibnu Hajar.
Perlawanan yang merata
terhadap negara "indonesia"-Jawa ini, yang sudah terjadi dalam 93%
dari wilayahnya atau jajahannya, sudah cukup menjadi bukti, bagi mereka yang
dapat berfikir, tentang tidak adanya "nasionalisme indonesia" itu. Oleh
regime penjajah "indonesia" pejuang-pejuang kemerdekaan ini dinamakan
"pengacau" dan "pengkhianat", tetapi oleh bangsa-bangsa
mereka sendiri, di negara mereka sendiri, mereka dinamakan pemimpin dan
pahlawan bangsa bagi mereka masing-masing. Dapatkah ini terjadi kalau benar-benar
ada satu "nasionalisme indonesia" yang mempersatukan semua
bangsa-bangsa seberang lautan yang bukan Jawa itu. Perasaan-perasan ini,
menurut John Stuart Mill, ahli falsafah Inggeris, adalah, tanda
adanya sesuatu nasionalisme yang sungguh-sungguh. Selama berdirinya negara
penjajah republik "indonesia"-Jawa siapa yang dianggap pahlawan di
Acheh, Sulawesi, Maluku atau Papua Barat sudah di anggap "pengacau"
dan "pengkhianat" di pulau Jawa. Ini menunjukkan bahwa apa yang
dipropagandakan sebagai "nasionalisme indonesia" sebenarnya tidak
ada: yang ada dan yang berkuasa ialah nasionalisme-Jawa yang memperalat negara
"indonesia" untuk kepentingannya.
Disamping itu masih ada
lagi kenyataan-kenyataan yang membuktikan kepalsuan "nasionalisme
indonesia" itu. Dan ini ialah kekejaman atau kebiadaban
yang dilakukan oleh Tentera "Nasional" indonesia (TNI) terhadap
sesama "bangsa indonesia". Pembunuhan terhadap umum baik dengan
terang-terangan maupun dengan cara diam-diam sudah menjadi kebiasaan
sehari-hari, sejak keluarnya "warta berita" alias
"proklamasi" kemerdekaan "indonesia" pada 17 Agustus, 1945,
sampai hari ini: kira-kira lima juta orang sudah menemui ajalnya, dan luka-luka
yang disebabkan oleh alat-alat negara "indonesia"-Jawa di seluruh
Kepulauan Melayu. Dua juta diantaranya tercatat dalam waktu enam bulan pada
akhir tahun 1964 dan permulaan tahun 1965, ketika serdadu-serdadu Jawa merebut
kekuasaan dengan rasmi. Sebelum dan sesudahnya korban-korban tidak begitu dicatat dan
tidak begitu dihiraukan lagi. Misalnya, pada tahun 1965, di Pulôt Cot Jeumpa,
Acheh, "Tentera Nasional Indonesia" mengumpulkan 200 orang penduduk
yang terdiri dari: kanak-kanak, orang tua, laki-laki maupun perempuan, yang
tidak bersalah apa-apa, dan tidak melakukan perlawanan terhadap mereka, tetapi
semuanya ditembak mati dengan senapang mesin. Ini bukan satu kejadian yang
jarang di "indonesia"-Jawa. Banyak lagi pembunuhan atau penyembelihan
semacam ini dilakukan di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua Barat dan Timor
Timur. Penganiayaan yang tidak berpri-kemanusiaan tersebut dilakukan setiap
hari dalam penjara-penjara yang oleh "Tentera Nasional Indonesia"
atas sesama "bangsa indonesia" yang mereka tangkap sesuka hati
mereka. Seorang manusia yang mempunyai perasaan kebangsaan, tidak akan sampai
hatinya menyakiti sesama bangsanya, sebagaimana yang dilakukan oleh
"Tentera Nasional Indonesia" tersebut. Ini semua membuktikan bahwa
perasaan "nasionalisme indonesia" yang sesungguhnya tidak ada. Ahli
ilmu sociology Jerman, Franz Oppenheimer, sudah berhasil
merumuskan penjelasan atau kaidah yang tepat, katanya: "Kita tidak
boleh mengambil kesimpulan adanya kesadaran nasional, dari pada adanya satu
bangsa, tetapi kebalikan dari itu: adanya satu bangsa dari pada adanya
kesadaran nasional". ("Wir mussen nicht aus der Nation das
Nationalbewusstsein, sondern umgekehrt aus dem Natioonalbewusstsein die Nation
ableiten". (11)
Walaupun tentera
"indonesia" dinamakan TNI (Tentera "Nasional" Indonesia),
bagian yang terbesar sekali dari anggotanya adalah terdiri dari algojo-algojo
Jawa, yang memandang rendah bangsa-bangsa yang bukan Jawa, yang mereka anggap
sebagai bangsa asing dari seberang lautan, alias "orang seberang"
yang wajib tunduk kepada bangsa Jawa sebagai "herrenvolk"
("bangsa Tuan-tuan") di "indonesia". Pada hakikatnya
tentera "indonesia" disusun atas dasar penguasaan oleh bangsa Jawa
untuk menindas perlawanan atau pemberontakan dari bangsa-bangsa lain:
inilah yang menjadi tugas TNI yang nomor satu, bukan untuk melawan serangan
dari luar negeri, atau dari negara asing. Kalau menghadapi serangan asing,
mereka akan menyerah saja., sebagaimana adat (tradisi) bangsa Jawa dalam sejarahnya!
Pasukan-pasukan yang terdiri dari serdadu-serdadu yang bukan Jawa dipakai
sebagai pembantu saja untuk menjalankan politik memecah dan menjajah: kalau
bangsa Acheh yang melawan ("berontak"), maka pasukan-pasukan Batak
yang dikirim untuk menghadapinya; kalau Maluku Selatan yang
"berontak", maka pasukan Acheh yang dipakai untuk menundukkannya;
demikianlah seterusnya untuk menghidupkan permusuhan antara bangsa-bangsa yang
bukan Jawa, supaya mereka saling benci membenci dan tidak akan dapat bersatu
membuat satu front melawan penjajahan Jawa dimasa depan. Taktik penjajah Jawa
ini mengigatkan kita kepada politik pecah dan jajah Kerajaan Austria-Hongaria
dimasa Raja-raja Hasburg, dimana bila bangsa Chek yang berontak, maka
pasukan-pasukan Slovak yang dikirim untuk menundukkannya; apabila bangsa Croats
yang berontak maka pasukan Hongaria yang dikirim untuk menindasnya. Dalam
jangka pendek, politik ini menjamin berhasilnya penindasan Jawa; dalam jangka
panjang menjamin kekalnya permusuhan antara bangsa-bangsa terjajah, tegasnya
antara bangsa-bangsa yang bukan Jawa. Politik ini akan menjamin tetapnya
kekuasaan pada pemerintah "pusat" di pulau Jawa. Politik ini akan
menjamin kekuasaan negara atau serdadu Jawa di Jakarta atas jajahannya
"tanah seberang" - yang disebut sebagai "provinsi". Dalam keadaan yang seperti ini maka adalah satu kebodohan berbicara
tentang adanya satu "nasionalisme indonesia".
Satu bukti yang lain tentang tidak adanya "nasionalisme
indonesia" yang sebenar-benarnya, sudah nyata dimasa masih ada
partai-partai politik yang sesungguhnya, sebelum munculnya negara serdadu Jawa,
sebagaimana sekarang ini. Pemilihan umum yang agak bebas, terakhir pernah
dilakukan di "indonesia" pada tahun-tahun 1955 dan 1957. Hasil dari
pada kedua pemilihan umum tersebur, walaupun ada dua tahun berselang,
menunjukkan bahwa PNI (Partai "Nasionalis" Indonesia) memperoleh suara
yang terbanyak sekali, tetapi hanya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yakni di
tanah air bangsa Jawa sendiri. Partai ini mendapat suara yang sedikit sekali di
luar pulau-pulau Jawa, suara yang sedikit itupun, berasal dari bangsa Jawa yang
sudah berpindah ke sana sebagai immigrant (tetapi disebut
"transmigrants" untuk menunjukkan ada "hak" bangsa Jawa
atas tanah bangsa-bangsa lain di luar Jawa). Kebalikan dari PNI, Masjumi
(partai umat Islam), yang dipimpin oleh orang-orang luar Jawa, hanya mendapat
suara sedikit di Jawa Tengah dan Jawa Timur, tetapi sebaliknya mendapat suara
yang banyak sekali di luar Jawa dan di seluruh "indonesia". Hal ini
menunjukkan bahwa Masyumilah satu partai yang bersifat nasional, njakni
diterima oleh seluruh negara, sedang PNI masih bersifat partai setempat, lokal
dan hanya diterima di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ini menunjukkan adanya
pengaruh Islam dikalangan segala bangsa yang ada di Kepulauan Melayu, dan tidak
adanya pengaruh "nasionalisme indonesia" di luar wilayah bangsa Jawa.



