Notification

×

Iklan

Iklan

Nasionalisme Indonesia

Selasa, 21 Oktober 2025 | Oktober 21, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-21T13:50:13Z


 

Meskipun segala pertentangan diatas tidak dapat diatasi sama sekali, namun satu "nasionalisme indonesia" pura-pura, yang tidak berketentuan asal, tanah, akar, dan batangnya, apakah di Sabang, atau Marauke, maupun Menado, dan Kupang, ke-empat penjuru dunia ini jauhnya ribuan kilometer dari satu dengan yang lain, dan terdiri dari bukan saja, bangsa-bangsa yang berlain-lainan, tetapi juga dari jenis manusia (race) yang berbeda pula, sehingga kalau ini dinamakan "nasionalisme indonesia", maka seluruh bulatan bumi ini dapat dimasukkan "indonesia": tegasnya dapat di-"indonesia"-kan. Dari pandangan geografy, ini satu kemustahilan; dari pandangan sociology ini satu perbuatan pura-pura; dari pandangan ilmu ekonomi hal ini mengetawakan. Ini namanya bukan "nasionalisme" tetapi imperialisme: untuk membenarkan penjajahan belaka, yaitu penjajahan oleh bangsa yang menguasai pusat pemerintahan di pulau Jawa. Nasionalisme yang sebenarnya berarti pembatasan wilayah atau daerah, dan pembatasan siapa-siapa yang dapat ikut setia. Tetapi "nasionalisme indonesia" bermakna penguasaan wilayah atau daerah, dan penghancuran bangsa-bangsa yang memiliki wilayah atau daerah itu. Teranglah sudah bahwa "nasionalisme indonesia" bermakna perluasan wilayah atau daerah, dan penghancuran bangsa-bangsa yang memiliki wilayah atau daerah itu. Teranglah sudah bahwa "nasionalisme indonesia" itu mula-mula diadakan untuk memelihara kesatuan Hindia Belanda, dan sekarang untuk membenarkan penjajahan Jawa. Sekarang ini "nasionalisme indonesia" sudah dijadikan dasar ideologi negara untuk menjamin atau membenarkan penguasaan bangsa Jawa atas tanah-tanah bangsa-bangsa lain di luar pulau Jawa!

 

Apa yang sudah terjadi ialah bahwa "nasionalisme indonesia" yang mustahil dan tidak mungkin diwujudkan itu, sudah dijadikan topeng untuk menutup-nutupi nasionalisme Jawa, dari golongan yang sekarang menguasai negara "indonesia", yang maksud, tujuan, dan kepentingan mereka dikemukakan sebagai tujuan dari "nasionalisme indonesia" tersebut, supaya mudah diterima oleh bangsa-bangsa lain yang bukan Jawa, yang sudah dijajah. Semua simbol dari apa yang dinamakan "nasionalisme indonesia" sebenarnya adalah simbol kejawen, - simbol dari pada nasionalisme Jawa dan mencerminkan kepentingan politik, ekonomi, dan budaya bangsa Jawa semata-mata. Nama "nasionalisme indonesia" hanya dipakai sebagai topeng, semata-mata untuk menipu bangsa-bangsa di seberang lautan, yang kesadaran politik mereka masih dalam angka Nol, Zero, Kosong! Apa yang sudah terjadi ialah kepentingan dari hanya satu bangsa (bangsa Jawa!), kepentingan dari hanya satu daerah (pulau Jawa!), kepentingan dari hanya dua provinsi (Jawa Tengah dan Jawa Timur!), kepentingan dari hanya 3,5% dari wilayah apa yang disebut "indonesia" sudah dikemukakan, sudah ditonjolkan sebagai kepentingan "nasional indonesia"! Sedang kepentingan dari 96,5% dari wilayah-wilayah "indonesia" yang bukan Jawa, dan kepentingan dari bangsa-bangsa yang bukan Jawa sudah dipersetan sama sekali! Tegasnya - kalau perkara ini bisa lebih ditegaskan lagi - kepentingan khusus bangsa Jawa sudah dibiarkan memperkosa kepentingan umum bangsa-bangsa Dunia Melayu di luar pulau Jawa! Perhatikanlah: semua simbol dari "nasionalisme indonesia" itu dinyatakan dengan lidah Jawa: ideologi negara disebut "pancasila"; semboyan "nasional indonesia" disebut dalam bahasa Jawa "Bhinneka Tunggal Ika"; nama bintang-bintang kehormatan negara "indonesia" semua dalam bahasa Jawa; kedudukan pahlawan "nasional indonesia" kelas satu diberikan hanya kepada orang-orang Jawa, walaupun mereka itu, menurut sejarahnya, lebih patut diberi nama satu budak-belian, dari pada satu bangsa pahlawan; semua jabatan-jabatan penting dalam negara "indonesia" hanya dipegang oleh orang-orang Jawa, dari Presiden sampai ke Menteri-Menteri dan bawahannya; orang-orang yang bukan Jawa hanya diberikan jabatan-jabatan yang tidak penting dan bersifat sebagai patung saja; sistem dan nama-nama simbolis dalam administrasi negara disebut dalam bahasa Jawa, seakan-akan ini adalah satu negara Jawa, bukan satu negara "indonesia". Umpamanya: "desa", "lurah", "kecamatan", "camat", "kabupaten", "bupati", dan lain-lain sebagainya. Bahasa rasmi dari negara "indoensia" masih belum bahasa Jawa, tetapi ini karena dipaksa oleh keadaan semata-mata: tak ada orang yang mengerti bahasa Jawa dalam 96,5% dari wilayah "indonesia". Karena itu mereka masih terpaksa memakai bahasa Melayu! Itupun sudah ditukar namanya menjadi "bahasa indonesia" - seakan-akan untuk menjamin kepalsuan 100% dari segala apa yang disebut dengan nama "indonesia" itu!

 

Bangsa Jawa adalah dalam kedudukan yang paling baik untuk memperalatkan "nasionalisme indonesia" untuk kepentingan mereka sendiri oleh karena beberapa sebab: pertama, mereka adalah golongan yang sengaja dipilih oleh Belanda untuk mengekalkan dan menyambung penjajahannya dan menjalankan "Politik Islam"-nya. Ingat kepada apa yang telah dikatakan oleh Snouck Hurgronje. Tetapi bukan Hurgronje saja yang berkata demikian. Edward D. Dekker, seorang pengarang Belanda yang kenamaan telah menulis pula: "Melayani Tuan-nya, itulah Agama bangsa Jawa!" Kedua, mereka adalah termasuk golongan yang lebih ramai, walaupun bukan yang terbanyak, bukan majority, tetapi hanya plurality, dalam istilah democracy. Ketiga, sebab negeri mereka di pulau Jawa yang telah dipilih oleh Belanda menjadi "pusat" pemerintah penjajahannya, karena pulau Jawa-lah yang lebih dahulu dapat dijajahnya, karena bangsa Jawa tidak memberi perlawanan kepada Belanda, dan sebab Belanda percaya kepada kesetiaan orang-orang Jawa kepadanya. Semua ini memberi kemudahan kepada bangsa Jawa untuk merebut pemerintah "pusat" dari kerajaan kolonial yang diberi nama "indonesia". Dan ke-empat, memang kepada bangsa Jawalah Belanda telah menyerahkan "kedaulatan" yang dimilikinya atas seluruh Hindia Belanda ("indonesia") pada tanggal 27 Desember, 1949, - dengan tidak mengindahkan hak bangsa-bangsa lain yang sudah dijajahnya, dan dengan tidak mengindahkan kedudukan hukum yang terpisah dari pulau Jawa dengan Kepulauan Melayu yang lainnya.

 

Sampai-sampai Negeri Acheh yang tidak pernah ditaklukkan oleh Belanda, dan Belanda tidak pernah menginjakkan kakinya disana sejak tahun 1942, juga dimasukkan - diatas kertas - sebagai satu dari wilayah tanah jajahannya yang pada tahun 1949 diserahkan kepada regime Jawa yang sama sekali tidak berhak menerimanya, dan Belanda tidak berhak memberinya. Dengan terusirnya Belanda dari Acheh pada tahun 1942, maka Negeri Acheh dengan sendirinya, automatic, sudah merdeka kembali, sebagaimana sebelum Belanda datang. Inilah status Acheh dalam Hukum Internasional! Dengan perbuatannya itu, Kerajaan Belanda sudah melanggar segala Aturan Hukum Internasional yang berlaku dan juga melanggar Hukum Decolonization (Hukum Wajib Memerdekakan Segala Jajahan) PBB, yang melarang pemindahan kedaulatan atas tanah jajahan dari satu penjajah kepada penjajah yang lain, dan yang menyatakan bahwa kedaulatan atas setiap tanah jajahan ada pada bangsa asli tanah itu sendiri, dan tidak ada pada tangan sipenjajah yang wajib memerdekakan tanah jajahan itu dengan tidak bersyarat apa-apa. (8) Tetapi alasan-alasan ideologi Belanda mungkin berjalan lebih jauh dari pada perhitungan ekonomi dan politiknya semata-mata: sebab jika Belanda menyerahkan Negeri Acheh kembali kepada bangsa Acheh pada waktu itu, maka Acheh akan menjadi Negara Islam yang pertama didirikan kembali di Asia Tenggara dan Dunia Melayu!

 

Semua yang sudah terjadi itu tidak mengubah kenyataan bahwa tanah bangsa Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur) hanya merupakan 3,5% dari wilayah "indonesia"; dan kalau dihitung termasuk tanah Sunda (Jawa Barat) maka menjadi 7% dari wilayah "indonesia". Jadi 93% dari wilayah "indonesia" adalah di seberang laut lepas, ribuan kilometer jauhnya dari pulau Jawa, dengan penduduknya terdiri dari berbagai bangsa yang tidak mempunyai hubungan bahasa, budaya, dan sejarah dengan bangsa Jawa. Kenyataan-kenyataan ini bermakna bahwa 93% dari wilayah "indonesia" adalah wilayah-wilayah seberang lautan. "Makna yang paling singkat dari pada istilah kolonialisme (penjajahan) ialah pemerintahan yang dilakukan atas bangsa-bangsa yang berlainan, yang mendiam wilayah-wilayah yang dipisahkan oleh air masin (lautan) dari pemerintah pusat kaum imperialis (penjajah)." ("Colonialism is rule over peoples of different race inhabiting lands separated by salt water from the Imperial center.") (9) Demikianlah, untuk membuat satu "nasionalisme" palsu kelihatan dan kedengaran seakan-akan benar, maka sebuah nama sebutan-arah dipeta bumi sudah dipanggil sebagai satu "negara" dan sebagai satu nama "bangsa" seolah benua Eropa bisa dinamakan satu "bangsa" dan "Timur Tengah" bisa dipanggil satu "negara". Bahasa Melayu, satu bahasa Sumatera, sudah dirampas dan disandra, sesudah itu ditukar namanya menjadi "bahasa indonesia" walaupun bangsa Jawa tidak pandai memakainya, apalagi menulis dan memahaminya, maka akibatnya sekarang mereka sudah merusak-binasakan bahasa dan sastera Melayu hingga tidak dapat kita kenal lagi: mereka sudah membuat bahasa Melayu kita sebagai bahasa "Pidgin English" - bahasa Inggeris-Pulau-Pidgin, yang menertawakan orang-orang yang mendengarnya. Apa yang sekarang mereka sebutkan sebagai bahasa "bahasa indonesia" alias bahasa Melayu-Jawa adalah semacam "Pidgin Malay" yang tata-bahasa, saraf dan adabnya - satu bahasa yang bersejarah dan berperadaban Islam - sudah dilanggar, susunan dan tata-tertibnya sudah dikacau-balaukan. Sekarang bahasa kita ini sudah dicampur-adukkan dengan bahasa asing yang tidak dapat dikunyah dan tidak dapat dicernakan, laksana beras yang sudah dicampur-adukkan dengan kerikil dan kotoran sampah asing hingga tak dapat dipahami lagi oleh orang-orang kita di kampung-kampung ataupun di kota-kota. Apa yang dinamakan sebagai "bahasa indonesia" sekarang sudah menjadi satu bahasa yang kasar, yang tidak sesuai lagi untuk menulis syair, sastera, atau pertukaran fikiran yang mendalam untuk bangsa-bangsa Melayu. Untuk maksud-maksud ini kita harus kembali kepada bahasa Melayu yang asli sebagaimana yang terdapat di Sumatera.

 

Sekarang marilah kita lanjutkan penjelasan dari alat-alat yang dipakai untuk memajukan propaganda "nasionalisme indonesia" pura-pura itu: sebuah bendera Polandia yang dibalikkan dari atas ke bawah dinaikkan sebagai "bendera indonesia". Inilah satu bendera dengan tidak ada sejarah dan dengan tidak ada kemegahan. Tetapi sampai sekarang sudah begitu banyak pembunuhan dan penyembelihan atas bangsa-bangsa yang bukan Jawa sudah dilakukan dibawah naungan "bendera indonesia" ini, seperti di Acheh, Sulawesi, Maluku, Papua Barat dan Timor Timur, sehingga bendera "indonesia" Jawa ini sudah melambangkan simbol perampok dan simbol pembunuh di seluruh Kepulauan Melayu. Disamping itu ada pula lagu kebangsaan "indonesia raya" yang dicuri dari lagu berbaris anak-anak sekolah di Amerika Serikat, yang dikenal sebagai "Yale Boola-boola", di Amerika sering dimainkan waktu pertandingan sepak bola. Dan simbolisme kelas tiga ini ditutup dengan satu pernyataan kemerdekaan (proklamasi!) yang terdiri dari dua kalimat, kosong dari segala cita-cita politik dan filosofi. Di kalangan bangsa-bangsa yang beradab dan bertamaddun, pernyataan kemerdekaan adalah satu simbol, disamping benderanya, disana dinyatakan dan dibuktikan ketinggian moralnya dan kebenaran perjuangannya. Tetapi "proklamasi" kemerdekaan "indonesia"-Jawa hanya berupa satu warta berita pendek, satu news bulletin! Keseluruhannya, hampir bisa dianggap sebagai satu lelucon yang berhasil kalau tidak karena darah bangsa-bangsa yang tidak bersalah, yang telah ditumpahkan oleh regime penjajah "indonesia"-Jawa itu sejak hari pernyataan penjajahan baru kepada bangsa-bangsa yang bukan "Jawa" di Kepulauan Melayu! Kejadian-kejadian di atas telah membawa kepada pertumpahan darah yang berkepenjangan selama 40 tahun (dua keturunan), terrorisme negara, perlawanan dan penindasan, yang akhirnya membawa gerombolan-gerombolan serdadu Jawa ke pucuk pemerintahan "indonesia"-Jawa. Kini pedang Belanda yang berlumur darah sudah diganti dengan ujung senapang serdadu-serdadu Jawa dengan propaganda untuk menjaga kesatuan "bangsa indonesia" untuk menjamin "indonesia" tetap terbuka untuk diperas oleh Belanda dan kaum imperialis Barat yang lain sebagai sumber bahan mentah yang murah untuk industri mereka. Wartawan-wartawan Barat memuji-muji keadaan ini sebagai satu "kemajuan ekonomi" dan "pembangunan"! (10)

 

 

"NASIONALISME INDONESIA" DAN NEGARA SERDADU JAWA

 

Bahwa telah berdirinya negara serdadu Jawa kolonialis adalah satu bukti tentang tidak adanya "nasionalisme indonesia" tersebut, dari dahulu sampai sekarang. "Indonesia" - tidak termasuk Acheh - adalah dari abad ke-16 sudah menjadi kerajaan penjajahan, sampai sekarang, walaupun dibawah nama yang berlainan. Dan tiap-tiap kerajaan penjajahan hanya bisa diperintah dengan kekuatan senjata semata-mata. Maka kolonialisme dan negara serdadu tidaklah dapat dipisah-pisahkan. Yang satu tidak dapat hidup dengan tidak ada yang lain. Belanda telah mendirikan dan mempertahankan kerajaan penjajahan ini dengan kekerasan untuk 350 tahun lamanya, dari tahun 1599 sampai tahun 1949, ketika Belanda menyerahkannya kepada bangsa Jawa. Mulai tahun 1949, serdadu-serdadu kolonialis Jawa sudah meneruskan perbuatan durjana bangsa kulit putih itu, dengan akibat yang menghancurkan bangsa-bangsa yang bukan Jawa yang dijajah oleh "indonesia"-Jawa, dari Acheh sampai ke Papua Barat, dan dari Maluku sampai ke Timor. Mulai dari waktu Belanda menyerahkan kedaulatan secara illegal kepada bangsa Jawa sampai hari ini, tidak ada satu pulau yang penting yang tidak menjadi medan perang, dan tidak ada satu bangsa yang bukan Jawa, yang darah mereka tidak ditumpahkan oleh serdadu-serdadu Jawa penjajah. Di setiap pulau sudah terjadi perlawanan atau ’pemberontakan’ melawan sipenjajah Jawa sama sebagaimana sudah terjadi perlawanan atau ’pemberontakan’ terhadap Belanda dahulu.

 

Sebagaimana sudah kita sebutkan, Hindia Belanda atau "indonesia"-Jawa tidaklah dimerdekakan menurut Hukum Decolonization PBB sebagaimana yang sudah dilakukan atas semua tanah-tanah jajahan lain di seluruh dunia. Apa yang dibuat oleh Belanda hanya diberikannya seluruh Hindia Belanda kepada bangsa Jawa, dengan tidak mengembalikannya, walaupun satu jengkal-tanah jajahan kepada bangsa asli dari siapa tanah-tanah itu sudah dirampasnya dahulu. Dalam hal ini Belanda telah melanggar Aturan PBB 100%. Kebalikan dan bertentangan dengan segala Aturan PBB, Belanda telah membuat bangsa Jawa sebagai ahli-warisnya yang menerima pusaka dari padanya, - dengan janji-janji yang tertentu dari pihak Jawa, - dan oleh Belanda sama sekali tidak diperdulikannya, tentang hak menentukan nasib diri-sendiri dari bangsa-bangsa yang bukan Jawa. Tegasnya Belanda dan Jawa sudah berkomplot untuk melawan Hukum Internasional, dan melawan Hukum Decolonization dari PBB, dengan propaganda sebab sudah adanya "bangsa indonesia" dan adanya "nasionalisme indonesia" yang dibuat-buat oleh Belanda dan Jawa untuk kepentingan jahat dari kedua bangsa penjajah ini. Dan perlawanan keras yang diberikan oleh setiap bangsa, di setiap pulau melawan penjajahan Jawa tidak pernah diberitakan dengan benar oleh surat-surat kabar dunia Barat. Perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa bukan Jawa mereka sifatkan sebagai gerakan "separatist", atau gerakan orang-orang "fanatik". Sampai ada seorang penulis Barat yang mengarang buku bernama Rebels Without A Cause ( Pemberontak Tak Bersebab). Seakan-akan ada orang yang mau mati dengan tidak ada sebab dan alasan yang kuat dan benar! Semua perlawanan ini menunjukkan bahwa semua bangsa-bangsa bukan Jawa mengetahui bahwa "nasionalisme indonesia" itu, hanya propaganda Jawa belaka untuk dapat menjajah mereka.

 

Banyak sekali kejadian-kejadian lain didalam negara kolonialis "indonesia" yang menunjukkan bahwa "nasionalisme indonesia" yang digembar-gemborkan oleh regime itu sama sekali tidak ada pengaruhnya dalam politik. Dengan tidak ada kecualinya, segala persoalan dan persengketaan politik telah diselesaikan dengan kekerasan semata-mata yang diambil oleh negara serdadu Jawa ini terhadap tuntutan Ummat Islam., yang merupakan 95% dari rakyat negara ini, untuk mendirikan negara Islam. Persoalan politik ini tidak pernah diselesaikan secara politik, tetapi dari permulaan sampai ke akhirnya diselesaikan dengan kekuatan senjata. Kemenangan negara serdadu Jawa telah dicapai dengan kekuatan senjata semata-mata, bukan karena adanya "nasionalisme indonesia". Demikian juga gerakan untuk mendirikan Negara Islam di Pasundan, yang dipimpin oleh Kartosuwirjo di tahun 1947, gerakan untuk mendirikan Negara Islam di Sulawesi yang dipimpin oleh Abdul Kahar Muzakkar di tahun 1952, gerakan yang serupa di Kalimantan yang dipimpin oleh Ibnu Hajar, dalam waktu yang sama, dan di Acheh di tahun 1953, dibawah pimpinan Tengku Muhammad Daud Beureuéh, semuanya telah dihadapi oleh negara serdadu Jawa dengan kekerasan senjata, yang mengakibatkan ratusan ribu orang syahid, termasuk Kartosuwirjo, Abdul Kahar Muzakkar, dan Ibnu Hajar.

 

Perlawanan yang merata terhadap negara "indonesia"-Jawa ini, yang sudah terjadi dalam 93% dari wilayahnya atau jajahannya, sudah cukup menjadi bukti, bagi mereka yang dapat berfikir, tentang tidak adanya "nasionalisme indonesia" itu. Oleh regime penjajah "indonesia" pejuang-pejuang kemerdekaan ini dinamakan "pengacau" dan "pengkhianat", tetapi oleh bangsa-bangsa mereka sendiri, di negara mereka sendiri, mereka dinamakan pemimpin dan pahlawan bangsa bagi mereka masing-masing. Dapatkah ini terjadi kalau benar-benar ada satu "nasionalisme indonesia" yang mempersatukan semua bangsa-bangsa seberang lautan yang bukan Jawa itu. Perasaan-perasan ini, menurut John Stuart Mill, ahli falsafah Inggeris, adalah, tanda adanya sesuatu nasionalisme yang sungguh-sungguh. Selama berdirinya negara penjajah republik "indonesia"-Jawa siapa yang dianggap pahlawan di Acheh, Sulawesi, Maluku atau Papua Barat sudah di anggap "pengacau" dan "pengkhianat" di pulau Jawa. Ini menunjukkan bahwa apa yang dipropagandakan sebagai "nasionalisme indonesia" sebenarnya tidak ada: yang ada dan yang berkuasa ialah nasionalisme-Jawa yang memperalat negara "indonesia" untuk kepentingannya.

 

Disamping itu masih ada lagi kenyataan-kenyataan yang membuktikan kepalsuan "nasionalisme indonesia" itu. Dan ini ialah kekejaman atau kebiadaban yang dilakukan oleh Tentera "Nasional" indonesia (TNI) terhadap sesama "bangsa indonesia". Pembunuhan terhadap umum baik dengan terang-terangan maupun dengan cara diam-diam sudah menjadi kebiasaan sehari-hari, sejak keluarnya "warta berita" alias "proklamasi" kemerdekaan "indonesia" pada 17 Agustus, 1945, sampai hari ini: kira-kira lima juta orang sudah menemui ajalnya, dan luka-luka yang disebabkan oleh alat-alat negara "indonesia"-Jawa di seluruh Kepulauan Melayu. Dua juta diantaranya tercatat dalam waktu enam bulan pada akhir tahun 1964 dan permulaan tahun 1965, ketika serdadu-serdadu Jawa merebut kekuasaan dengan rasmi. Sebelum dan sesudahnya korban-korban tidak begitu dicatat dan tidak begitu dihiraukan lagi. Misalnya, pada tahun 1965, di Pulôt Cot Jeumpa, Acheh, "Tentera Nasional Indonesia" mengumpulkan 200 orang penduduk yang terdiri dari: kanak-kanak, orang tua, laki-laki maupun perempuan, yang tidak bersalah apa-apa, dan tidak melakukan perlawanan terhadap mereka, tetapi semuanya ditembak mati dengan senapang mesin. Ini bukan satu kejadian yang jarang di "indonesia"-Jawa. Banyak lagi pembunuhan atau penyembelihan semacam ini dilakukan di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua Barat dan Timor Timur. Penganiayaan yang tidak berpri-kemanusiaan tersebut dilakukan setiap hari dalam penjara-penjara yang oleh "Tentera Nasional Indonesia" atas sesama "bangsa indonesia" yang mereka tangkap sesuka hati mereka. Seorang manusia yang mempunyai perasaan kebangsaan, tidak akan sampai hatinya menyakiti sesama bangsanya, sebagaimana yang dilakukan oleh "Tentera Nasional Indonesia" tersebut. Ini semua membuktikan bahwa perasaan "nasionalisme indonesia" yang sesungguhnya tidak ada. Ahli ilmu sociology Jerman, Franz Oppenheimer, sudah berhasil merumuskan penjelasan atau kaidah yang tepat, katanya: "Kita tidak boleh mengambil kesimpulan adanya kesadaran nasional, dari pada adanya satu bangsa, tetapi kebalikan dari itu: adanya satu bangsa dari pada adanya kesadaran nasional". ("Wir mussen nicht aus der Nation das Nationalbewusstsein, sondern umgekehrt aus dem Natioonalbewusstsein die Nation ableiten". (11)

 

Walaupun tentera "indonesia" dinamakan TNI (Tentera "Nasional" Indonesia), bagian yang terbesar sekali dari anggotanya adalah terdiri dari algojo-algojo Jawa, yang memandang rendah bangsa-bangsa yang bukan Jawa, yang mereka anggap sebagai bangsa asing dari seberang lautan, alias "orang seberang" yang wajib tunduk kepada bangsa Jawa sebagai "herrenvolk" ("bangsa Tuan-tuan") di "indonesia". Pada hakikatnya tentera "indonesia" disusun atas dasar penguasaan oleh bangsa Jawa untuk menindas perlawanan atau pemberontakan dari bangsa-bangsa lain: inilah yang menjadi tugas TNI yang nomor satu, bukan untuk melawan serangan dari luar negeri, atau dari negara asing. Kalau menghadapi serangan asing, mereka akan menyerah saja., sebagaimana adat (tradisi) bangsa Jawa dalam sejarahnya! Pasukan-pasukan yang terdiri dari serdadu-serdadu yang bukan Jawa dipakai sebagai pembantu saja untuk menjalankan politik memecah dan menjajah: kalau bangsa Acheh yang melawan ("berontak"), maka pasukan-pasukan Batak yang dikirim untuk menghadapinya; kalau Maluku Selatan yang "berontak", maka pasukan Acheh yang dipakai untuk menundukkannya; demikianlah seterusnya untuk menghidupkan permusuhan antara bangsa-bangsa yang bukan Jawa, supaya mereka saling benci membenci dan tidak akan dapat bersatu membuat satu front melawan penjajahan Jawa dimasa depan. Taktik penjajah Jawa ini mengigatkan kita kepada politik pecah dan jajah Kerajaan Austria-Hongaria dimasa Raja-raja Hasburg, dimana bila bangsa Chek yang berontak, maka pasukan-pasukan Slovak yang dikirim untuk menundukkannya; apabila bangsa Croats yang berontak maka pasukan Hongaria yang dikirim untuk menindasnya. Dalam jangka pendek, politik ini menjamin berhasilnya penindasan Jawa; dalam jangka panjang menjamin kekalnya permusuhan antara bangsa-bangsa terjajah, tegasnya antara bangsa-bangsa yang bukan Jawa. Politik ini akan menjamin tetapnya kekuasaan pada pemerintah "pusat" di pulau Jawa. Politik ini akan menjamin kekuasaan negara atau serdadu Jawa di Jakarta atas jajahannya "tanah seberang" - yang disebut sebagai "provinsi". Dalam keadaan yang seperti ini maka adalah satu kebodohan berbicara tentang adanya satu "nasionalisme indonesia".

 

Satu bukti yang lain tentang tidak adanya "nasionalisme indonesia" yang sebenar-benarnya, sudah nyata dimasa masih ada partai-partai politik yang sesungguhnya, sebelum munculnya negara serdadu Jawa, sebagaimana sekarang ini. Pemilihan umum yang agak bebas, terakhir pernah dilakukan di "indonesia" pada tahun-tahun 1955 dan 1957. Hasil dari pada kedua pemilihan umum tersebur, walaupun ada dua tahun berselang, menunjukkan bahwa PNI (Partai "Nasionalis" Indonesia) memperoleh suara yang terbanyak sekali, tetapi hanya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yakni di tanah air bangsa Jawa sendiri. Partai ini mendapat suara yang sedikit sekali di luar pulau-pulau Jawa, suara yang sedikit itupun, berasal dari bangsa Jawa yang sudah berpindah ke sana sebagai immigrant (tetapi disebut "transmigrants" untuk menunjukkan ada "hak" bangsa Jawa atas tanah bangsa-bangsa lain di luar Jawa). Kebalikan dari PNI, Masjumi (partai umat Islam), yang dipimpin oleh orang-orang luar Jawa, hanya mendapat suara sedikit di Jawa Tengah dan Jawa Timur, tetapi sebaliknya mendapat suara yang banyak sekali di luar Jawa dan di seluruh "indonesia". Hal ini menunjukkan bahwa Masyumilah satu partai yang bersifat nasional, njakni diterima oleh seluruh negara, sedang PNI masih bersifat partai setempat, lokal dan hanya diterima di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ini menunjukkan adanya pengaruh Islam dikalangan segala bangsa yang ada di Kepulauan Melayu, dan tidak adanya pengaruh "nasionalisme indonesia" di luar wilayah bangsa Jawa.

 

TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update