Tersembunyi dibelakang layar, "nasionalisme indonesia" yang
mustahil tersebut, telah diambil kesempatan untuk menghidupkan nasionalisme
Jawa yang sesungguhnya. Walaupun "nasionalisme indonesia" hanya nama
dan propaganda saja, tetapi telah dipakai sebagai tabir atau topeng untuk
menyembunyikan kegiatan bangsa Jawa, untuk merebut kekuasaan negara dan
memajukan kepentingan setempat (lokal) mereka, sebagai kepentingan nasional,
menempatkan kepentingan daerah mereka di atas kepentingan semua daerah lain di
seluruh "indonesia". Dan karena mereka yang memegang monopoli
hubungan luar-negeri di Kepulauan Melayu ini, - karena kemunduran bangsa-bangsa
lain, - maka mereka sudah dapat mengadakan hubungan dengan negara-negara asing
dan mengatur kepentingan negara-negara asing itu di pulau-pulau luar Jawa
(dengan menjual murah sumber-sumber kekayaan alam kepada kaum kapitalis Barat),
asal bangsa-bangsa Barat mengakui pertuanan Jawa atas pulau-pulau
"seberang". Sesudah 20 tahun bergerak dibalik tabir
"nasionalisme indonesia" tersebut, akhirnya pada tahun 1965,
nasionalisme Jawa yang sudah memegang semua tampuk kekuasaan
"indonesia", dengan tidak malu-malu dan tidak sembunyi-sembunyi lagi
mereka menggunakan kekuasaannya mendirikan Negara Serdadu Jawa, yang sekarang
hanya tinggal namanya saja "indonesia", tetapi segala kekuasaan sudah
berada ditangan bangsa Jawa. Sebagai biasa dalam sejarah, tiap-tiap
nasionalisme yang sudah merasa dirinya kuat dengan sendirinya maju setapak demi
setapak menjadi imperialisme!
Tetapi kedudukan imperialisme Jawa ini tidak mungkin dapat
dipertahankan, apalagi dilanjutkan, dengan tidak ada persetujuan dari
negara-negara tetangga, baik besar ataupun kecil, seperti: Singapura, Brunei,
Malaysia, Filipina, Papua New Guinea, Australia, Thailand, Vietnam dan India.
Ini adalah disebabkan oleh kelemahan kedudukan strategis
"indonesia"-Jawa, yang diterimanya sebagai pusaka dari Hindia
Belanda. Sebab walaupun Hindia Belanda tidaklah dapat hidup satu hari kalau
tidak ada perlindungan politik, diplomatik, dan militer dari Kerajaan Inggeris,
Perancis, dan Amerika. Ini disebabkan karena Hindia Belanda dahulu, dan
"indonesia"-Jawa sekarang bukanlah bersifat kesatuan geopolitic (ilmu
bumi politik) dan karena itu tidak dapat dipertahankan, sebagaimana sudah kita
sebutkan dalam kata pengantar buku ini. Satu akibat lain dari keadaan ini,
ialah "indonesia"-Jawa tidak tidak akan mampu mempunyai politik luar
negeri yang sesungguhnya, yang boleh bertentangan dengan politik luar negeri
negara-negara lain, lebih-lebih negara-negara tetangga, walau bagaimanapun
kecil negaranya. Sebab, "indonesia"-Jawa tidak akan dapat
mempertahankan dirinya dari serangan luar. "ABRI" hanya ada artinya
untuk menghadapi pemberontakan dalam negeri, tetapi tidak ada artinya dalam
mengahadapi serangan dari luar, atau dalam menghadapi pemberontakan yang
mempunyai hubungan luar-negeri!
Dahulu, Hindia Belanda
telah dapat berdiri dengan belas-kasihan dari Inggeris. Ketika Inggeris marah
kepada Belanda, seperti waktu peperangan Napoleon di Eropa, Stamford Raffles
terus berlayar ke Jakarta dari Singapura dan menduduki Jawa dalam beberapa hari
saja dan menawan segala tentera Belanda. Kenyataan bahwa Inggeris memutuskan
untuk menghadiahkan kembali Hindia Belanda alias "indonesia" kepada
Belanda atau "indonesia" itu telah dan masih berdiri semata-mata atas
belas-kasihan negara tetangga. Jika masih diperlukan bukti yang lain, maka
inilah dia: dalam Perang Dunia II, Hindia Belanda aatau "indonesia"
tidak pernah dapat dipertahankan oleh Belanda dari serangan Jepang. Sebenarnya
Jepang tidak pernah menyerang "indonesia" - sebab pemerintah Belanda
di "indonesia" dan serdadu KNIL "Jawa"-nya hilang laksana
asap ketika tentera Jepang sudah mendarat di Singapura! Hari ini kelanjutan berdirinya negara-negara tetangga: Singapura,
Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina, Papua New Guinea, Australia dan India.
Walaupun kekuasaan besar seperti Amerika Serikat dan Uni Sovyet tidak dapat
melindungi "indonesia" -Jawa dari negara tetangganya walaupun yang
kecil. Inilah sebabnya mengapa "indonesia" Jawa yang lebih memerlukan
ASEAN dari siapapun juga.
"Indonesia"-Jawa adalah satu negara kolonialis atau imperialis
yang tidak dapat memusuhi siapapun juga, walaupun hanya sebuah negara yang
kecil. Ia tidak bisa berhadap-hadapan melawan atau memusuhi negara manapun
juga, sebab "konfrontasi" begitu bermakna, akan menamatkan riwayat
"indonesia"-Jawa, sebagai kita kenal sekarang. Pada masa yang lalu,
mereka beruntung karena telah dapat menyelesaikan "konfrontasi"
dengan Malaysia tepat pada waktunya. Kalau tidak, maka hari ini tidak ada lagi
"indonesia". Akibat dari keadaan terseebut:
"indonesia"-Jawa tidak boleh bebas menjalankan politik
luar-negerinya: ia wajib berbaik-baik dengan siapaun juga! Jawa,
sebagai Belanda sebelumnya, terlalu loba dan tamak, mencoba merampas
wilayah-wilayah yang demikian luas dan besar itu, dan sama sekali tidak
mungkin, mustahil, untuk dipertahankannya. Tidak ada negeri sekecil Belanda,
atau sekecil pulau Jawa, - apalagi Jawa dengan tidak memiliki industri dan
termasuk negeri yang paling miskin dan termundur di dunia! - dapat mempertahankan
satu kerajaan kolonial, yang panjang pantai lautnya lebih setengah juta
kilometer, dimana penduduk selalu memusuhinya, siap sedia mengambil senjata
melawan bangsa Jawa, sebagai penjajah, kapan saja, sebagaimana sebelumnya,
mereka dahulu siap sedia melawan Belanda! Rencana "perang wilayah"
yang digembar-gemborkan oleh Jawa sebagai taktik mereka untuk melawan serangan
luar, adalah omong-kosong belaka. "Sebab kamu tidak bisa melakukan perang
gerilya apabila rakyat setempat juga melawan kamu!" Tidak akan pernah ada
serdadu kolonialis Jawa mengadakan perang gerilya terhadap siapapun, baik di
Acheh, Maluku, Papua, Timor, atau dimanapun di luar Jawa, dimana rakyat
negeri-negeri itu melawan penjajahan "indonesia"-Jawa. Keadaan ini
rupanya tidak diketahui oleh pihak-pihak Barat yang sekarang sibuk
mempersenjatai serdadu Jawa, atau mereka sebenarnya hanya ingin mengambil duit
curian, yang masih ada ditangan Negara Serdadu Jawa, sebelum habis sama-sekali!
James Loudon, Menteri
Urusan Jajahan Belanda, menulis kata-kata berikut pada waktu sedang memuncaknya
pertikaian antara Kerajaan Belanda dengan Kerajaan Acheh, sebelum penyerangan
Belanda yang pertama, yang menunjukkan kecemasannya akan akibat perluasan
wilayah. Ia tidak setuju dengan serangan Belanda terhadap Acheh. James
Loudon menulis: "Saya memandang tiap perluasan wilayah
kekuasaan kita di Kepulauan Melayu sebagai mengambil satu langkah lagi menuju
kepada kejatuhan kita, lebih-lebih lagi sebab sekarang, kita sudah menguasai
wilayah yang luasnya lebih dari kekuatan kita untuk
mempertahankannya."(12) Ketika beberapa tahun kemudian, Belanda
menyerang Acheh, pada 26 Mart, 1873, dan tentera Belanda dihancur-leburkan oleh
tentera Kerajaan Acheh dalam Medan Perang Bandar Acheh, 23 April, 1873, seorang
anggota Parlemen Belanda mengatakan dalam pidatonya: "Kekalahan Belanda
di Acheh, dan peperangan yang sedang diteruskan dengan Acheh akan meruntuhkan
kekuasaan Belanda di Dunia Timur." (13) "Kerajaan-kerajaan
besar mati karena sakit perut: tidak dapat mencerna apa yang sudah dimakannya." kata Napoleon.
Begitulah nasib Kerajaan Rome. Begitulah nasib Hindia Belanda. Dan begitu juga
bakal nasib "indonesia"-Jawa - walaupun masih berdiri sebentar lagi,
karena adanya belas-kasihan atau perlindungan negara-negara tetangganya,
besar-kecil. "Indonesia"-Jawa yang digambarkan dalam surat-surat
kabar sebagai "negara teladan" sebenarnya adalah orang sakit dari
Asia Tenggara!
Catatan:
1.
Henry
Kissinger, Nuclear Weapons and Foreign Policy, halaman 256.
2. Tengku Hasan M. di Tiro, 385 Years of
Confrontation Between Islam and Kufr in "indonesia": 1599 - 1984. London, 1984
3. Paul Van’t Veer, De Acheh-Oorlog, Amsterdam, 1969, halaman 10, 76.
4.
J.
Van Swieten, De Waarheid over Onze Vestiging in Acheh, Amsterdam, 1879.
5. Paul Van’t Veer, De Acheh-Oorlog, halaman, 187; C.Snouck
Hurgronje, De Acheher, Amsterdam, 1906
6. C. Snouck Hurgronje, De Acheher, 1906.
7. C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften, jilid IV, halaman
111-248; Bonn & Leipzig, 1927; Amtelijke; Ambtelijke Adviezen: 1889-1936,
den Haag, Nijhof, 1965; Nederland en Islam, Leiden, E.J.Brill, 1915.
8.
United
Nation, General Assembly Resolution 1514-XV, Declaration on the Granting of
Independence to Colonial Countries and Peoples, December 14, 1960.
9.
Rupert
Emerson, "Colonialism: Political Aspects", Encyclopedia of Social
Sciences.
10. Tengku Hasan M.di Tiro, "Indonesia as
a Model Neo-colony, London, 1984.
11. Franz Oppenheimer, System der Soziologie, jilid-1, halaman 6.
12. Paul Van’t Veer, De Acheh-Oorlog, halaman 15.
13. The New York Times, 6 Mei, 1873.



