Notification

×

Iklan

Iklan

Nasionalisme Jawa Dan Imperialisme Jawa

Selasa, 21 Oktober 2025 | Oktober 21, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-21T13:51:56Z


 

Tersembunyi dibelakang layar, "nasionalisme indonesia" yang mustahil tersebut, telah diambil kesempatan untuk menghidupkan nasionalisme Jawa yang sesungguhnya. Walaupun "nasionalisme indonesia" hanya nama dan propaganda saja, tetapi telah dipakai sebagai tabir atau topeng untuk menyembunyikan kegiatan bangsa Jawa, untuk merebut kekuasaan negara dan memajukan kepentingan setempat (lokal) mereka, sebagai kepentingan nasional, menempatkan kepentingan daerah mereka di atas kepentingan semua daerah lain di seluruh "indonesia". Dan karena mereka yang memegang monopoli hubungan luar-negeri di Kepulauan Melayu ini, - karena kemunduran bangsa-bangsa lain, - maka mereka sudah dapat mengadakan hubungan dengan negara-negara asing dan mengatur kepentingan negara-negara asing itu di pulau-pulau luar Jawa (dengan menjual murah sumber-sumber kekayaan alam kepada kaum kapitalis Barat), asal bangsa-bangsa Barat mengakui pertuanan Jawa atas pulau-pulau "seberang". Sesudah 20 tahun bergerak dibalik tabir "nasionalisme indonesia" tersebut, akhirnya pada tahun 1965, nasionalisme Jawa yang sudah memegang semua tampuk kekuasaan "indonesia", dengan tidak malu-malu dan tidak sembunyi-sembunyi lagi mereka menggunakan kekuasaannya mendirikan Negara Serdadu Jawa, yang sekarang hanya tinggal namanya saja "indonesia", tetapi segala kekuasaan sudah berada ditangan bangsa Jawa. Sebagai biasa dalam sejarah, tiap-tiap nasionalisme yang sudah merasa dirinya kuat dengan sendirinya maju setapak demi setapak menjadi imperialisme!

 

Tetapi kedudukan imperialisme Jawa ini tidak mungkin dapat dipertahankan, apalagi dilanjutkan, dengan tidak ada persetujuan dari negara-negara tetangga, baik besar ataupun kecil, seperti: Singapura, Brunei, Malaysia, Filipina, Papua New Guinea, Australia, Thailand, Vietnam dan India. Ini adalah disebabkan oleh kelemahan kedudukan strategis "indonesia"-Jawa, yang diterimanya sebagai pusaka dari Hindia Belanda. Sebab walaupun Hindia Belanda tidaklah dapat hidup satu hari kalau tidak ada perlindungan politik, diplomatik, dan militer dari Kerajaan Inggeris, Perancis, dan Amerika. Ini disebabkan karena Hindia Belanda dahulu, dan "indonesia"-Jawa sekarang bukanlah bersifat kesatuan geopolitic (ilmu bumi politik) dan karena itu tidak dapat dipertahankan, sebagaimana sudah kita sebutkan dalam kata pengantar buku ini. Satu akibat lain dari keadaan ini, ialah "indonesia"-Jawa tidak tidak akan mampu mempunyai politik luar negeri yang sesungguhnya, yang boleh bertentangan dengan politik luar negeri negara-negara lain, lebih-lebih negara-negara tetangga, walau bagaimanapun kecil negaranya. Sebab, "indonesia"-Jawa tidak akan dapat mempertahankan dirinya dari serangan luar. "ABRI" hanya ada artinya untuk menghadapi pemberontakan dalam negeri, tetapi tidak ada artinya dalam mengahadapi serangan dari luar, atau dalam menghadapi pemberontakan yang mempunyai hubungan luar-negeri!

 

Dahulu, Hindia Belanda telah dapat berdiri dengan belas-kasihan dari Inggeris. Ketika Inggeris marah kepada Belanda, seperti waktu peperangan Napoleon di Eropa, Stamford Raffles terus berlayar ke Jakarta dari Singapura dan menduduki Jawa dalam beberapa hari saja dan menawan segala tentera Belanda. Kenyataan bahwa Inggeris memutuskan untuk menghadiahkan kembali Hindia Belanda alias "indonesia" kepada Belanda atau "indonesia" itu telah dan masih berdiri semata-mata atas belas-kasihan negara tetangga. Jika masih diperlukan bukti yang lain, maka inilah dia: dalam Perang Dunia II, Hindia Belanda aatau "indonesia" tidak pernah dapat dipertahankan oleh Belanda dari serangan Jepang. Sebenarnya Jepang tidak pernah menyerang "indonesia" - sebab pemerintah Belanda di "indonesia" dan serdadu KNIL "Jawa"-nya hilang laksana asap ketika tentera Jepang sudah mendarat di Singapura! Hari ini kelanjutan berdirinya negara-negara tetangga: Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina, Papua New Guinea, Australia dan India. Walaupun kekuasaan besar seperti Amerika Serikat dan Uni Sovyet tidak dapat melindungi "indonesia" -Jawa dari negara tetangganya walaupun yang kecil. Inilah sebabnya mengapa "indonesia" Jawa yang lebih memerlukan ASEAN dari siapapun juga.

 

"Indonesia"-Jawa adalah satu negara kolonialis atau imperialis yang tidak dapat memusuhi siapapun juga, walaupun hanya sebuah negara yang kecil. Ia tidak bisa berhadap-hadapan melawan atau memusuhi negara manapun juga, sebab "konfrontasi" begitu bermakna, akan menamatkan riwayat "indonesia"-Jawa, sebagai kita kenal sekarang. Pada masa yang lalu, mereka beruntung karena telah dapat menyelesaikan "konfrontasi" dengan Malaysia tepat pada waktunya. Kalau tidak, maka hari ini tidak ada lagi "indonesia". Akibat dari keadaan terseebut: "indonesia"-Jawa tidak boleh bebas menjalankan politik luar-negerinya: ia wajib berbaik-baik dengan siapaun juga! Jawa, sebagai Belanda sebelumnya, terlalu loba dan tamak, mencoba merampas wilayah-wilayah yang demikian luas dan besar itu, dan sama sekali tidak mungkin, mustahil, untuk dipertahankannya. Tidak ada negeri sekecil Belanda, atau sekecil pulau Jawa, - apalagi Jawa dengan tidak memiliki industri dan termasuk negeri yang paling miskin dan termundur di dunia! - dapat mempertahankan satu kerajaan kolonial, yang panjang pantai lautnya lebih setengah juta kilometer, dimana penduduk selalu memusuhinya, siap sedia mengambil senjata melawan bangsa Jawa, sebagai penjajah, kapan saja, sebagaimana sebelumnya, mereka dahulu siap sedia melawan Belanda! Rencana "perang wilayah" yang digembar-gemborkan oleh Jawa sebagai taktik mereka untuk melawan serangan luar, adalah omong-kosong belaka. "Sebab kamu tidak bisa melakukan perang gerilya apabila rakyat setempat juga melawan kamu!" Tidak akan pernah ada serdadu kolonialis Jawa mengadakan perang gerilya terhadap siapapun, baik di Acheh, Maluku, Papua, Timor, atau dimanapun di luar Jawa, dimana rakyat negeri-negeri itu melawan penjajahan "indonesia"-Jawa. Keadaan ini rupanya tidak diketahui oleh pihak-pihak Barat yang sekarang sibuk mempersenjatai serdadu Jawa, atau mereka sebenarnya hanya ingin mengambil duit curian, yang masih ada ditangan Negara Serdadu Jawa, sebelum habis sama-sekali!

 

James Loudon, Menteri Urusan Jajahan Belanda, menulis kata-kata berikut pada waktu sedang memuncaknya pertikaian antara Kerajaan Belanda dengan Kerajaan Acheh, sebelum penyerangan Belanda yang pertama, yang menunjukkan kecemasannya akan akibat perluasan wilayah. Ia tidak setuju dengan serangan Belanda terhadap Acheh. James Loudon menulis: "Saya memandang tiap perluasan wilayah kekuasaan kita di Kepulauan Melayu sebagai mengambil satu langkah lagi menuju kepada kejatuhan kita, lebih-lebih lagi sebab sekarang, kita sudah menguasai wilayah yang luasnya lebih dari kekuatan kita untuk mempertahankannya."(12) Ketika beberapa tahun kemudian, Belanda menyerang Acheh, pada 26 Mart, 1873, dan tentera Belanda dihancur-leburkan oleh tentera Kerajaan Acheh dalam Medan Perang Bandar Acheh, 23 April, 1873, seorang anggota Parlemen Belanda mengatakan dalam pidatonya: "Kekalahan Belanda di Acheh, dan peperangan yang sedang diteruskan dengan Acheh akan meruntuhkan kekuasaan Belanda di Dunia Timur." (13) "Kerajaan-kerajaan besar mati karena sakit perut: tidak dapat mencerna apa yang sudah dimakannya." kata Napoleon. Begitulah nasib Kerajaan Rome. Begitulah nasib Hindia Belanda. Dan begitu juga bakal nasib "indonesia"-Jawa - walaupun masih berdiri sebentar lagi, karena adanya belas-kasihan atau perlindungan negara-negara tetangganya, besar-kecil. "Indonesia"-Jawa yang digambarkan dalam surat-surat kabar sebagai "negara teladan" sebenarnya adalah orang sakit dari Asia Tenggara!

 

Catatan:

1.      Henry Kissinger, Nuclear Weapons and Foreign Policy, halaman 256.

2.      Tengku Hasan M. di Tiro, 385 Years of Confrontation Between Islam and Kufr in "indonesia": 1599 - 1984. London, 1984

3.      Paul Van’t Veer, De Acheh-Oorlog, Amsterdam, 1969, halaman 10, 76.

4.      J. Van Swieten, De Waarheid over Onze Vestiging in Acheh, Amsterdam, 1879.

5.      Paul Van’t Veer, De Acheh-Oorlog, halaman, 187; C.Snouck Hurgronje, De Acheher, Amsterdam, 1906

6.      C. Snouck Hurgronje, De Acheher, 1906.

7.      C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften, jilid IV, halaman 111-248; Bonn & Leipzig, 1927; Amtelijke; Ambtelijke Adviezen: 1889-1936, den Haag, Nijhof, 1965; Nederland en Islam, Leiden, E.J.Brill, 1915.

8.      United Nation, General Assembly Resolution 1514-XV, Declaration on the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples, December 14, 1960.

9.      Rupert Emerson, "Colonialism: Political Aspects", Encyclopedia of Social Sciences.

10.  Tengku Hasan M.di Tiro, "Indonesia as a Model Neo-colony, London, 1984.

11.  Franz Oppenheimer, System der Soziologie, jilid-1, halaman 6.

12.  Paul Van’t Veer, De Acheh-Oorlog, halaman 15.

13.  The New York Times, 6 Mei, 1873.

 

TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update