Notification

×

Iklan

Iklan

Perkara & Alasan Perjuangan Angkatan Acheh Sumatera Merdeka

Selasa, 21 Oktober 2025 | Oktober 21, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-21T13:53:44Z


 

Lama sekali sebelum kedatangan penjajah-penjajah Eropa Barat ke Dunia Melayu (Asia Tenggara) Acheh sudah menjadi satu Negara merdeka yang berdaulat yang diakui di dunia internasioanal di Sumatera. Pada waktu itu, negara merdeka itu lebih terkenal dengan nama kerajaan Acheh, tetapi kemudian menjadi lebih terkenal dengan nama sebuah pelabuhannya yang sering dikunjungi oleh kapal–kapal Eropa, yaitu pelabuhan “Samudra” di Acheh Utara, yang daripadanya berasal nama Sumatera. Buku LAROUSE GRAND DICTIONNAIRE UNIVERSELLE; menggambarkan kerajaan Acheh pada waktu itu sebagai “bangsa yang paling berkuasa di Dunia Melayu atau di Hindia Timur, pada achir abad ke-16 dan sampai pertengahan abad ke-17.”[1] Sebuah sumber sejarah yang besar yang lain, LA GRAND ENCYCLOPEDIE; menulis sebagai berikut: “pada tahun 1582, bangsa Acheh sudah meluaskan kekuasaannya atas pulau-pulau Sunda (Sumatera, Jawa, Borneo, dll), atas satu bagian dari Semenanjung Tanah Melayu, dan mempunjai hubungan dengan segala bangsa yang melayari Lutan Hindia , dari Jepang sampai ke Arab. Sejarah peperangan yang lama sekali yang dilancarkan oleh bangsa Acheh terhadap bangsa Portugis yang menduduki Malaka sejak permulaan abad ke-16, adalah halaman-halaman yang tidak kurang kemegahan dan kebesarannya dalam sejarah bangsa Acheh. Pada tahun 1586, seorang Sultan Acheh menyerang Portugis di Malaka dengan sebuah armada yang terdiri 500 buah kapal perang dan 60,000 tentera laut.”[2] Tiga ratus tahun sesudah Belanda menduduki dan menjajah pulau Jawa dan pulau-pulau yang lain di Hindia Timur atau “Indonesia”. Acheh masih satu negara merdeka yang berdaulat yang mempunyai hubungan diplomatik dengan seluruh dunia. “Pada waktu itu” kata Prof. M.C Ricklefs, ”Acheh berdiri sebagai suatu kekuasaan besar, paling berkuasa, kaya dan bertamadun di kawasan Asia Tenggara.[3]

 

 

ANGGOTA DARI PADA CHALIFAH ISLAMIAH

Sebagai sebuah Negara Islam, Acheh tidak pernah berdiri sendirian di dunia, tetapi selamanya berhubungan dan bekerja sama dengan negara-negara Islam yang lain di dunia, terutama sekali dengan Chalifah Osmaniah di Turki yang berbendera Bulan Bintang yang sama dengan Acheh dan menegakkan Hukum Sjari’ah Islam yang sama pula dengan Acheh, pada jaman itu Acheh selalu memihak Turki dalam segala peperangan dengan negara-negara Barat. Mengenai kedudukan Acheh dalam dunia Islam pada waktu itu, professor Wilfred Cantwell Smith menulis: “Pada abad ke-16, Dunia Islam sudah menjadi berkuasa kembali kaja raja, mewah dan penuh kebesaran. Orang-orang Islam masa itu - di Maroko, Istambul, Isfahan, Agra, Acheh - adalah pembina-pembina sejarah yang berhasil.[4] Seorang ahli sejarah yang lain, Anthony Reid, telah menulis: ”Dimasa sebelum Islam, dan dimasa Indonesia baru, Sumatera sebelah utara chatulistiwa – Acheh - kelihatannja tidak penting. Tetapi dari kacamata sejarah Islam, Acheh adalah pusat kepulauan Melayu selama lima abad lamanja.[5]

 

PERJANJIAN PERTAHANAN DENGAN KERAJAAN INGGERIS

 

Pada tahun 1819 Kerajaan Acheh dan Kerajaan Inggeris menandatangani sebuah Perjanjian Pertahananan. Tujuan daripada Kerajaan Acheh ialah supaya ada satu negara sahabat yang kuat. Tujuan dari Kerajaan Inggeris adalah untuk dapat menguasai selat Malaka. Maksud daripada Inggeris itu sudah diterangkan dengan jelas sekali oleh seorang anggota parlemen Inggeris, Thomas Gibson Bowles, sebagai berikut: ”Selat Malaka itu adalah pintu gerbang perniagaan antara Eropa dan Laut China. Hal ini dapat dipahami dengan selayang pandang pada peta dunia. Dan di masa kerajaan Inggeris masih mempunyai ahli-ahli negara, Selat Malaka itu dipandang dan diperlakukan sebagai tujuan yang penting sekali, satu pintu dunia yang tidak boleh ditutup orang terhadap perdagangan kita, dalam masa damai atau dalam masa perang. Tujuan ini sudah kita jamin dengan menduduki Penang, Singapura dan tempat-tempat penting (strategis) yang lain di sebelah utara-timur dari Selat Malaka dan dengan membuat satu Perjanjian Pertahanan dengan Raja Islam Acheh yang memerintah pulau Sumatera. Dengan demikian satu pihak dari Selat Malaka ada dalam tangan kita sendiri, sedang pihak yang lain ada dalam tangan negara sahabat kita yang dapat dipercayai. Semua ini sudah kita capai dan kita buat menjadi satu kenyataan pada tahun 1819, dengan Perjanjian Pertahanan dengan Kerajaan Acheh itu. Perjanjian itu dianggap sebagai satu kemenangan diplomasi kita yang gilang-gemilang atas Belanda dengan siapa kita sudah berlomba-lomba selama 200 tahun belakangan ini untuk menentukan siapa sebenarnya yang berkuasa diperairan seberang lautan itu. Dengan adanya perjanjian pertahanan dengan Sultan Acheh itu kita memperoleh Selat Malaka berada penuh dalam tangan kita.”[6] Yang mengusahakan Perjanjian Pertahanan Acheh-Inggeris ini adalah tidak lain dari Sir Stamford Raffles, pembangun Singapura yang kenamaan itu.

PEPERANGAN DENGAN BELANDA: KEMENANGAN ACHEH – KEKALAHAN BELANDA

 

Belanda, yang pada masa itu sudah lebih 300 tahun menjajah pulau Jawa, selalu berusaha dengan tiada berhenti-hentinya untuk merebut wilayah Kerajaan Acheh di sepanjang pantai selatan pulau Sumatera untuk dimasukkan kedalam daerah jajahannya. Pada 26 Mart, 1873, Belanda mengirim satu Ultimatum kepada Kerajaan Acheh yang masih tetap merdeka dan berdaulat itu dan mempunjai perjanjian Pertahanan dengan Kerajaan Ingeris, supaya menjerahkan Negeri Acheh kepada Belanda dengan tiada melawan dan supaya Negeri Acheh menjadi satu bagian dari Hindia Belanda alias Indonesia. Waktu Kerajaan Acheh menolak Ultimatum-nja itu, maka Belanda menyerang Acheh dengan mendaratkan 10,000 tentara Belanda, dibawah pimpinan Jenderal Kohler. Itu adalah pasukan Eropa yang terbesar yang pernah dikumpulkan di Asia Tenggara untuk melakukan serangan dalam sejarah. Pada 23 April, 1873, dalam medan perang Bandar Acheh, tentara Belanda dihancur leburkan oleh tentara Negara Acheh dan panglima besar Belanda, Jenderal Kohler dihukum mati oleh tentara Acheh sebagai penjahat perang di Kuta Raja. Ini adalah kekalahan penjajah Belanda atau Eropa yang paling besar di Asia Tenggara dalam sejarah penjajahan mereka. Surat kabar LONDON TIMES, pada 22 April, 1873, memuat laporan lengkap dari Medan Perang Bandar Acheh, dimana antara lain ditulis: “Suatu kejadian yang luar biasa dalam sejarah penjajahan baru sudah terjadi di kepulaun Melayu. Suatu kekuatan Eropa yang besar sudah dikalahkan oleh tentara anak negeri, Tentara Negara Acheh. Bangsa Acheh sudah mencapai kemenangan yang menentukan. Musuh mereka bukan saja sudah kalah tetapi dipaksa lari.” Dalam laporan lengkap itu ditulis lagi oleh surat kabar London itu bahwa, Acheh bukanlah tanah jajahan Belanda dan Belanda sama sekali tidak mempunjai hak menyerang Acheh. Surat kabar Amerika, THE NEW YORK TIMES, pada 6 Mei 1873, menulis sebagai berikut: “Suatu pertempuran yang belumur darah sudah terjadi di Acheh. Serangan Belanda sudah ditangkis dengan penyembelihan besar-besaran terhadap tentara Belanda. Panglima Belanda sudah dibunuh dan tentaranya lari lintang-pungkang. Kekalahan Belanda itu dianggap hebat sekali dan ini terbukti dengan debat yang sudah terjadi dalam parlemen Belanda di Den Haag, dimana seorang anggota Parlemen sudah menyatakan bahwa kekalahan di Acheh ini adalah permulaan dari kejatuhan kekuasaan Belanda di dunia Timur.“

 

Pada 15 Mei 1873, surat kabar THE NEW YORK TIMES, mengeluarkan sebuah tajuk rencana (editorial) dimana antara lain tertulis:

 

A T J E H

„Sekarang boleh dikatakan bahwa sudah dimulai pendidikan Acheh kepada keturunan Keristen yang baru. “Segera akan di ketahui umum bahwa bangsa Acheh itu bukanlah satu bangsa biadab yang tidak berurat saraf (tidak pandai berpikir), tetapi mereka adalah bangsa Islam yang baik sekali dan bangsa pahlawan.  “Segera akan terbukti bahwa mereka sebagai musuh mereka sekarang, juga mempunyai tanah jajahan mereka sendiri pada suatu masa dan ada waktu-waktu ketika mereka begitu kuat hingga dapat mengepung armada Portugis di kota Malaka. Begitu juga akan menjadi pengetahuan umum bahwa pada suwaktu waktu, Sultan Acheh adalah sahabat karib dari Raja Inggeris, James I, yang pernah memberikan dua buah meriam besar kapada Acheh. Meriam-meriam itu sekarang turut mempertahankan istana penggantinya di Sumatera.“ Kekalahan Belanda sangat memalukan itu ditangan bangsa Acheh menimbulkan komentar-komentar yang luar biasa dari pada ahli-ahli sejarah di seluruh dunia. Misalnja Prof. Ricklefs menulis: “Baru sekarang kaum Kolonialis sudah berhadap-hadapan muka dengan lawan yang paling kaya, paling kuat, paling beraturan dan berdisiplin, paling lengkap bersenjata dan paling keras bersifat merdeka.”[7]

 

 

KEDUDUKAN KEBESARAN ACHEH DALAM DUNIA INTERNASIONAL

 

Adalah satu tanda daripada kedudukan Kerajaan Acheh yang terkemuka dan menduduki tempat penting dalam dunia ketika President Ulysses S. Grant dari Amerika Serikat mengeluarkan satu pernyataan yang luar biasa, yang dinamakan, “Pernyataan Berdiri Sama-tengah Yang Tidak Memihak“ (Proclamation of Impartial Neutrality) dalam perang antara Belanda dengan Acheh. Dalam pernyataan ini dinyatakan pula bahwa Amerika Serikat tidak mau membenarkan serangan Belanda atas Acheh.[8] Sesudah kemenangan di Bandar Acheh barulah pemerintah Kerajaan Acheh menuntut kepada pemerintah Inggeris supaya menunaikan tugasnya membantu kerajaan Acheh menurut Perjanjian Pertahanan antara kedua negara. Menurut perjanjian itu Inggeris mempunjai kewajiban untuk membantu Acheh melawan serangan Belanda. Tetapi amat disesalkan bahwa, pemerintah Inggeris pada waktu itu mengkhianati Perjanjian yang sudah ditandatangani oleh wakil-wakilnya yang berkuasa penuh itu. Kejadian ini akan tetap menjadi bukti dan saksi sejarah bagaimana janji-janji kerajaan Inggeris itu tidak dapat dipercayai. Debat yang terjadi di parlemen Inggeris perkara perjanjian Pertahanan dengan kerajaan Acheh ini kemudian membuktikan bahwa pemerintah Inggeris sudah menerima suapan dari Belanda supaya tidak menepati dan menghormati janjinya dengan kerajaan Acheh, dengan Belanda menyerahkan satu tanah jajahannya di Afrika kepada Inggeris: jajahan itu ialah Gold Coast, sekarang Ghana. Lord Granville, Menteri Luar Negeri Inggeris pada waktu itu, dalam Jawabanya kepada Habib Abdulrahman Zahir, Menteri Luar Negeri Acheh, pada 15 Juli 1873, tidak pernah mengatakan bahwa Perjanjian partahanan Acheh-Inggeris itu tidak sah, atau tidak berlaku lagi, atau sudah dibatalkan, tetapi ia hanja mengatakan bahwa Inggeris tidak mau memenuhi kewajibannya menurut perjanjian itu. Oleh Menteri luar Negeri Inggeris itu dibantahnya perkara ada dan sahnya perjanjian itu. Alasan yang diberikannya untuk berkhianat itu oleh karena Inggeris “sudah mendatangani satu perjanjian lain dengan Belanda yang isinya berlawanan dengan Perjanjian dengan Acheh itu” dan juga dengan alasan bahwa Inggeris “telah tidak menjalankan dengan terus menerus kewajibannya terhadap Acheh dalam perjanjian itu”.

 

Politik pemerintah Inggeris untuk tidak menghormati dan mengkhianati perjanjiannya dengan Kerajaan Acheh itu mendapat kecaman yang amat keras dalam surat-surat kabar Inggeris dan dalam parlemen Inggeris hingga hal itu menjadi perdebatan besar dalam pemilihan umum beberapa tahun lamanya, hal ini juga menjadi suatu bukti tentang kuatnya kedudukan Acheh dalam politik dunia Internasional sebagai satu Negara merdeka yang kedaulatannya diakui dunia dan tidak pernah menjadi persoalan atau perdebatan. Thomas Gibson Bowles, seorang pimpinan partai politik dan anggota parlemen menulis sebuah artikel dalam majalah FRAZER´S MAGAZIN, yang terbit di London, dimana ia menamakan jawaban Lord Granville kepada Acheh sebagai “satu dokumen yang paling tidak mempunyai rasa malu, yang pernah di tulis manusia”. Dia menamakan perjanjian Inggeris-Belanda dimana Belanda menyerahkan satu daerah di Afrika kepada Inggeris untuk merugikan Acheh sebagai “satu tawar menawar haram“ dan jawaban Menteri Luar negeri Inggeris kepada Acheh dinamakannya “satu pengakuan yang memalukan untuk meninggalkan kewajiban terhadap Acheh yang mencerminkan sikap orang-orang Kementerian Luar Negeri yang lalu sedia mengkhianati perjanjian antara negara.” Thomas Gibson Bowles membuat kesimpulan: ”Surat dari Lord Enfield (Wakil dari Lord Granville) kepada Sultan Acheh bersifat sama dengan di atas juga sebab waktu oleh Sultan Acheh diminta bantuan Inggeris, menurut perjanjian, supaya Inggeris membantu Acheh, oleh Enfield dikatakan bahwa Inggeris tidak dapat memenuhi Perjanjian itu sebab Inggeris sudah lebih dahulu melanggarnya, dan dia menasehati Sultan Acheh supaya berbaik-baik dengan Belanda yang menyerangnya. Dalam kedua perkara ini, pihak yang bersalah yang pura-pura berkhutbah kepada pihak menjadi korban, dan meletakkan atas pundak yang tidak bersalah, tanggungjawab dari pihak yang bersalah. Kami menyatakan yang bersalah adalah pemerintah Inggeris.”[9]

Lord Stanley of Alderley, seorang bangsawan Inggeris, berdiri dalam Majelis Tinggi Parlemen Inggeris (House of Lords) membela Acheh dan mengancam Pemerintahan Inggeris sebab telah melanggar Perjanjian Pertahanan dengan Acheh. Beliau menuntut supaya Pemerintah Inggeris menghormati dan memenuhi kewajibannya menurut Perjanjian Pertahanan tersebut dan supaya Inggeris membantu Acheh melawan Belanda. Dalam sebuah Pidato pada 28 Juli 1873, beliau berkata: „Belanda tidak mempunyai alasan dan tidak mempunyai sebab untuk menyerang Acheh yang tidak berbuat apa-apa kepada Belanda. Sekarang Belanda sudah menyerang Negara Acheh dan sudah dikalahkan dan digagalkan. Kejatuhan Acheh akan menyebabkan kehancuran kemuliaan kita di seluruh Asia Timur dan Asia Tenggara: kekecewaan besar akan dirasa oleh warga Inggeris di Asia Tenggara dan oleh orang-orang Melayu di Malaya, yang kesan baik dari mereka adalah sangat penting bagi kita. Perjanjian baru antara Inggeris dengan Belanda ini bukan saja merusakkan kemuliaan Negara Inggeris tatapi juga merusakkan kepentingan ekonomi kita. Sistem Penjajahan Belanda di Jawa bukan saja berlawanan sekali dengan kebebasan perdagangan, tetapi hampir tidak berbeda dari perbudakan - Belanda menamakannya “kerja tidak bergaji” - sehingga tidak ada alasan sama sekali mengapa pemerintah Inggeris mau menolong meluaskan sistem ini sampai ke Sumatera Utara, atau sekurang-kurangnya mengapa tidak dibuat pengecualian untuk Acheh, sebab Acheh berhak mengharap kita tidak melupakan kemerdekaannya yang dari zaman purbakala, dan sejarah yang gilang gemilang, sebab Acheh sudah wujud sebagai sebuah Negara Merdeka ketika Belanda masih merupakan satu provinsi Spanjol.

Semenjak waktu itu Acheh sudah mempunyai pengaruh besar sekali atas Selat Malaka dan mengirim armada besar-besar, yang sering mengalahkan armada Portugis dalam setiap peperangan. Lebih 300 tahun yang lalu Acheh sudah meletakkan dirinya di bawah perlindungan Chalifah Osmaniah (Turki) dan meriam besar-besar yang dikirimkan oleh Sultan Salim sebagai hadiah kepada raja-raja Acheh masih dapat dilihat sampai sekarang di Pidie dan Pasè. Perlu kita tanya: mengapa Belanda telah menyerang satu negara merdeka dan berdaulat yang tidak berbuat apa-apa terhadap negeri Belanda dan ini dilakukan pada waktu dimana Belanda sendiri masih takut kemerdekaannya yang baru diperoleh itu mungkin dirampas oleh negara lain, lebih-lebih sesudah perang Perancis - sebab semua kita mengetahui bahwa, di Jerman ada partai politik yang ingin mengambil negeri Belanda, merampas tanah jajahannya sekaligus dan sebagian besar orang Jerman sudah yakin bahwa golongan terbanyak dari bangsa Belanda memang ingin bersatu dengan Jerman. Dalam hal ini Jerman mempunyai hak yang sama besar atau sama kecilnya seperti „hak“ Belanda untuk menyerang dan menjajah Acheh. Jika Jawa tidak menjadi urusan, tetapi kalau Sumatera dimasukkan ke bawah kuasa Jawa maka mungkin baru Inggeris tidak akan mengakuinya. Dalam suatu keadaan, sikap pemerintah Inggeris sudah dapat diterka, misalnya seperti waktu negeri Belanda jatuh ke tangan Perancis pada awal abad ini (dimana Inggeris menduduki Jawa supaya Jawa jangan diambil oleh Perancis). Inggeris masih mungkin membiarkan Jawa jatuh ke tangan Tuan-nya yang lain, tapi mustahil Inggeris dapat menerima Acheh jatuh ke dalam tangan sesuatu kekuasaan militer yang kuat. Sebab sebagai sudah di katakan oleh Admiral Sherard Osborn baru-baru ini, ”Acheh adalah satu tempat yang amat penting sekali dalam strategi perang lautan”[10]

Dalam perdebatan terus-menerus di Inggeris perkara perjanjian Pertahanan dengan Acheh yang sudah dilanggar Inggeris itu, ada juga yang memakai alasan bahwa Perjanjian Belanda-Inggeris tahun 1871 sudah membatalkan Perjanjian Acheh-Inggeris tahun 1819. Thomas Gibson Bowles menjawab soal ini dalam satu suratnya kepada surat kabar LONDON TIMES, 3 Februari 1874, sebagai berikut: “Perjanjian Belanda-Inggeris tahun 1871 sama sekali tidak membebaskan pemerintah Inggeris dari kewajibannya menepati janji untuk mempertahankan Acheh menurut Perjanjian Pertahanan tahun1819. Maka adalah satu pelanggaran kepercayaan umum yang luar biasa dan hina sekali untuk menolak menepati kewajiban yang timbul dari Perjanjian yang sudah ditandatangani itu.[11] Sementara itu, Surat kabar London, VANITY FAIR, 12 September 1874 mengeluarkan tajuk rencana (editorial) mengenai perjanjian pertahanan Acheh Inggeris yang sudah dikhianati itu: „Perhatian sudah diminta berulang-ulang oleh banyak penulis-penulis kepada surat kabar ini mengenai pelanggaran yang besar sekali kepada perjanjian Negara antara Inggeris dengan Acheh dimana Inggeris telah menolak kewajiban untuk membantu satu negara sahabat yaitu kerajaan Acheh. Perbuatan ini telah dimulai oleh pemerintah Gladstone dan diteruskan lagi oleh Pemerintah Disraeli sampai kini. Keduannya menolak memenuhi kontrak yang sudah ditandatangani atas nama Kerajaan Inggeris pada tahun 1819 dengan kerajaan Acheh, untuk membantu negara itu kalau diserang musuh. Perdana Menteri Disraeli, ketika ditanya dalam sidang Parlemen perkara itu, tidak berani membantah tentang adanya perjanjian itu -sebab ia tidak dapat- karena Perjanjian itu masih tetap legal dan mengikat, tetapi masih terus menerus di langgar. Perkara ini hendak didiamkan oleh orang-orang tertentu dalam kabinet, tetapi menyebabkan malu dan amarah orang-orang yang mengetahui apa yang sudah terjadi dalam soal ini.” Keterangan tambahan yang sangat berharga datang lagi dari Singapura dan telah dikeluarkan oleh surat kabar MORNING POST, hari Senin yang lalu - satu surat yang rupanya ditulis oleh seorang yang mengetahui segala apa yang terjadi sekitar soal itu. Dalam surat itu di tulis: ”Dewasa ini semua kami yang ada disini sependapat perkara politik busuk -itulah istilah yang terbaik yang dapat kami pakai- yang diikuti oleh pemerintah di London dalam perjuangan yang sedang berlaku antara Belanda dengan bangsa Acheh. Inggeris mestinya tidak berdiri menonton saja, dengan tidak berbuat apa-apa melihat mitra dagang lama (Acheh bukan hanya mitra dagang lama tetapi masih mitra dagang baru sampai sekarang menurut hukum Perjajian antara negara) ditaklukan dengan tidak mengatakan apa-apa, apalagi berbuat sesuatu membantu mereka. Sikap Inggeris ini sedang meruntuhkan nama, kemuliaan dan kepentingan di bagian dunia ini. “Dikatakan bahwa Inggeris adalah neutral dalam perang ini, tetapi Belanda dibiarkan memperguanakan wilayah jajahan kita disini sebagai basis operasi mereka menyerang Acheh. Jadi Inggeris bukan saja tidak membantu Acheh, sebagai kewajibannya menurut Perjanjian, tetapi ia memberikan kepada Belanda segala bantuan untuk menaklukan Acheh. Sudah pasti ini adalah puncak dari pengkhianatan. Dan Perdana Menteri baru, Tuan Disraeli, sesudah mencela Perdana Menteri lama, Tuan Gladstone, dalam perkara ini, sekarang dia sendiri juga berbuat demikian: membantu Belanda menundukkan Acheh. Walaupun demikian masih banyak orang yang menyangka bahwa dalam demokrasi semua dapat diperbaiki dan dirubah dengan menggantikan satu kabinet dengan kabinet baru, partai pemerintah dengan partai oposisi. Satu bangsa sudah menjadi rendah sekali apabila ia tidak perduli lagi kepada kehormatannya dan kepada perkara-perkara seperti ini.

“Perkara kenyataan dalam soal ini tidak mungkin ada perdebatan: sebab semuanya adalah terang menderang. Inggeris terikat dengan Perjandian Pertahanan untuk mempertahankan Acheh. Mula-mula Lord Granville berusaha menolak perjanjian itu. Lord Derby, yang seharusnya memperbaiki nama baik negerinya dan bangsanya tetap berbuat sebagai orang-orang yang digantinya. Mereka adalah pantas menjadi Menteri-menteri daripada suatu bangsa yang sudah hilang perasaan kehormatanya.” Surat kabar London, PALL MALL GAZETTE, pada 30 Januari, 1874, menulis sebagai berikut: “Pada tahun 1819, pemerintah kita dapat menguasai Selat Melaka. Segala perdangangan dengan China dan Jepang mesti melalui Selat yang penting ini. Kita memperoleh kontrol yang penuh atas Selat Melaka dengan adanya perjanjian pertahanan 1819 dengan Kerajaan Acheh. Bagian tepi pantai Melaka kita kuasai sendiri langsung. Tepi pantai sebelah Sumatera kita amankan dengan Perjanjian Pertahanan dengan Sultan Acheh yang menguasai seluruh pantai Sumatera. Tiga tahun yang lalu Belanda datang kepada kita. Mereka mengatakan jika kita biarkan mereka menyerang Sultan Acheh dan merebut Negeri Acheh. Mereka akan memberikan kepada kita negeri jajahan Belanda di Afrika di Gold Coast. Jika kita serahkan Selat Melaka kepada mereka, mereka akan memberikan sekeping tanah Gold Coast yang tidak berharga apa-apa kepada mereka, dan lebih tidak berharga lagi kepada kita. Dan jika kita terima hadiah mereka, kita akan terlibat peperangan dengan Raja Kofi. Ini adalah usul gila, tetapi kementerian kita menerimanya dan mengorbankan Sultan Acheh kepada serangan Belanda, walaupun kita sudah menandatangani Perjanjian untuk mempertahankan kemerdekaan Acheh. Tidak pernah satu tawar menawar semacam ini dalam sejarah negeri Inggeris. Tetapi sudah diterima oleh Menteri-menteri kita. Perdana Menteri Gladstone membuat seakan-akan satu rahasia besar yang katanya mengingatkannya kepada surat-menyurat diplomatik. Jika sebagai kata tuan Gladstone: adalah satu kesalahan Pemerintah Konservatif yang telah lama memberikan Siak kepada Belanda dan itu adalah salah; tetapi itu tidak membuat politiknya terhadap Acheh benar. Kita tidak bersumpah membela Siak, tetapi kita telah bersumpah membela Acheh. Sebab itu Inggeris-lah bertangung jawab atas darah yang bercucuran di Acheh.” Patut kita singgung disini juga satu kenyataan lain bahwa, Belanda mesti menghadapi kesukaran-kesukaran diplomatik yang bukan kecil dalam dunia Islam dalam menghadapi Acheh, lebih-lebih di Turki, oleh karena kedudukan Acheh yang kuat sebagai bagian dari pada Khalifah Islamiah. Di Turki pada waktu itu besar gerakan untuk campur tangan langsung membantu Acheh. Surat-surat kabar Turki pada masa itu seperti BASIRAT; JEVAIB; LA TURQUI; semua terbit di Istanbul, penuh dengan artikel-artikel dan editorial yang membantu Acheh. Semua ini menunjukkan kekuatan diplomasi Acheh di Dunia.

TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update