Lama sekali sebelum kedatangan penjajah-penjajah Eropa
Barat ke Dunia Melayu (Asia Tenggara) Acheh sudah menjadi satu Negara merdeka
yang berdaulat yang diakui di dunia internasioanal di Sumatera. Pada waktu itu,
negara merdeka itu lebih terkenal dengan nama kerajaan Acheh, tetapi kemudian
menjadi lebih terkenal dengan nama sebuah pelabuhannya yang sering dikunjungi
oleh kapal–kapal Eropa, yaitu pelabuhan “Samudra” di Acheh Utara, yang
daripadanya berasal nama Sumatera. Buku LAROUSE
GRAND DICTIONNAIRE UNIVERSELLE; menggambarkan kerajaan Acheh pada waktu itu
sebagai “bangsa yang paling berkuasa di Dunia Melayu atau di Hindia Timur,
pada achir abad ke-16 dan sampai pertengahan abad ke-17.”[1] Sebuah
sumber sejarah yang besar yang lain, LA
GRAND ENCYCLOPEDIE; menulis sebagai berikut: “pada tahun 1582, bangsa
Acheh sudah meluaskan kekuasaannya atas pulau-pulau Sunda (Sumatera, Jawa,
Borneo, dll), atas satu bagian dari Semenanjung Tanah Melayu, dan mempunjai
hubungan dengan segala bangsa yang melayari Lutan Hindia , dari Jepang sampai
ke Arab. Sejarah peperangan yang lama sekali yang dilancarkan oleh bangsa Acheh
terhadap bangsa Portugis yang menduduki Malaka sejak permulaan abad ke-16,
adalah halaman-halaman yang tidak kurang kemegahan dan kebesarannya dalam
sejarah bangsa Acheh. Pada tahun 1586, seorang Sultan Acheh menyerang Portugis
di Malaka dengan sebuah armada yang terdiri 500 buah kapal perang dan 60,000
tentera laut.”[2]
Tiga ratus tahun sesudah Belanda menduduki dan menjajah pulau Jawa dan
pulau-pulau yang lain di Hindia Timur atau “Indonesia”. Acheh masih satu negara
merdeka yang berdaulat yang mempunyai hubungan diplomatik dengan seluruh dunia.
“Pada waktu itu” kata Prof. M.C Ricklefs, ”Acheh berdiri sebagai suatu
kekuasaan besar, paling berkuasa, kaya dan bertamadun di kawasan Asia Tenggara.”[3]
ANGGOTA DARI PADA CHALIFAH
ISLAMIAH
Sebagai
sebuah Negara Islam, Acheh tidak pernah berdiri sendirian di dunia, tetapi
selamanya berhubungan dan bekerja sama dengan negara-negara Islam yang lain di
dunia, terutama sekali dengan Chalifah Osmaniah di Turki yang berbendera Bulan
Bintang yang sama dengan Acheh dan menegakkan Hukum Sjari’ah Islam yang sama
pula dengan Acheh, pada jaman itu Acheh selalu memihak Turki dalam segala
peperangan dengan negara-negara Barat. Mengenai kedudukan Acheh dalam dunia
Islam pada waktu itu, professor Wilfred
Cantwell Smith menulis: “Pada abad ke-16, Dunia Islam sudah menjadi
berkuasa kembali kaja raja, mewah dan penuh kebesaran. Orang-orang Islam masa
itu - di Maroko, Istambul, Isfahan, Agra, Acheh - adalah pembina-pembina
sejarah yang berhasil.”[4] Seorang ahli sejarah yang lain, Anthony Reid, telah menulis: ”Dimasa
sebelum Islam, dan dimasa Indonesia baru, Sumatera sebelah utara chatulistiwa –
Acheh - kelihatannja tidak penting. Tetapi dari kacamata sejarah Islam, Acheh
adalah pusat kepulauan Melayu selama lima abad lamanja.”[5]
PERJANJIAN PERTAHANAN DENGAN
KERAJAAN INGGERIS
Pada tahun 1819 Kerajaan Acheh dan
Kerajaan Inggeris menandatangani sebuah Perjanjian Pertahananan. Tujuan
daripada Kerajaan Acheh ialah supaya ada satu negara sahabat yang kuat. Tujuan
dari Kerajaan Inggeris adalah untuk dapat menguasai selat Malaka. Maksud
daripada Inggeris itu sudah diterangkan dengan jelas sekali oleh seorang
anggota parlemen Inggeris, Thomas Gibson
Bowles, sebagai berikut: ”Selat Malaka itu adalah pintu gerbang
perniagaan antara Eropa dan Laut China. Hal ini dapat dipahami dengan selayang
pandang pada peta dunia. Dan di masa kerajaan Inggeris masih mempunyai
ahli-ahli negara, Selat Malaka itu dipandang dan diperlakukan sebagai tujuan
yang penting sekali, satu pintu dunia yang tidak boleh ditutup orang terhadap
perdagangan kita, dalam masa damai atau dalam masa perang. Tujuan ini sudah
kita jamin dengan menduduki Penang, Singapura dan tempat-tempat penting
(strategis) yang lain di sebelah utara-timur dari Selat Malaka dan dengan
membuat satu Perjanjian Pertahanan dengan Raja Islam Acheh yang memerintah
pulau Sumatera. Dengan demikian satu pihak dari Selat Malaka ada dalam tangan
kita sendiri, sedang pihak yang lain ada dalam tangan negara sahabat kita yang
dapat dipercayai. Semua ini sudah kita capai dan kita buat menjadi satu
kenyataan pada tahun 1819, dengan Perjanjian Pertahanan dengan Kerajaan Acheh
itu. Perjanjian itu dianggap sebagai satu kemenangan diplomasi kita yang
gilang-gemilang atas Belanda dengan siapa kita sudah berlomba-lomba selama 200
tahun belakangan ini untuk menentukan siapa sebenarnya yang berkuasa diperairan
seberang lautan itu. Dengan adanya perjanjian pertahanan dengan Sultan Acheh
itu kita memperoleh Selat Malaka berada penuh dalam tangan kita.”[6] Yang
mengusahakan Perjanjian Pertahanan Acheh-Inggeris ini adalah tidak lain dari Sir Stamford Raffles, pembangun
Singapura yang kenamaan itu.
PEPERANGAN DENGAN BELANDA:
KEMENANGAN ACHEH – KEKALAHAN BELANDA
Belanda,
yang pada masa itu sudah lebih 300 tahun menjajah pulau Jawa, selalu berusaha
dengan tiada berhenti-hentinya untuk merebut wilayah Kerajaan Acheh di
sepanjang pantai selatan pulau Sumatera untuk dimasukkan kedalam daerah
jajahannya. Pada 26 Mart, 1873, Belanda mengirim satu Ultimatum kepada Kerajaan
Acheh yang masih tetap merdeka dan berdaulat itu dan mempunjai perjanjian
Pertahanan dengan Kerajaan Ingeris, supaya menjerahkan Negeri Acheh kepada
Belanda dengan tiada melawan dan
supaya Negeri Acheh menjadi satu bagian dari Hindia Belanda alias Indonesia. Waktu Kerajaan Acheh menolak
Ultimatum-nja itu, maka Belanda menyerang Acheh dengan mendaratkan 10,000
tentara Belanda, dibawah pimpinan Jenderal Kohler.
Itu adalah pasukan Eropa yang terbesar yang pernah dikumpulkan di Asia Tenggara
untuk melakukan serangan dalam sejarah. Pada 23 April, 1873, dalam medan perang
Bandar Acheh, tentara Belanda dihancur leburkan oleh tentara Negara Acheh dan
panglima besar Belanda, Jenderal Kohler
dihukum mati oleh tentara Acheh sebagai penjahat perang di Kuta Raja. Ini
adalah kekalahan penjajah Belanda atau Eropa yang paling besar di Asia Tenggara
dalam sejarah penjajahan mereka. Surat kabar LONDON TIMES, pada 22 April, 1873, memuat laporan lengkap dari
Medan Perang Bandar Acheh, dimana antara lain ditulis: “Suatu kejadian yang
luar biasa dalam sejarah penjajahan baru sudah terjadi di kepulaun Melayu.
Suatu kekuatan Eropa yang besar sudah dikalahkan oleh tentara anak negeri,
Tentara Negara Acheh. Bangsa Acheh sudah mencapai kemenangan yang menentukan.
Musuh mereka bukan saja sudah kalah tetapi dipaksa lari.” Dalam laporan
lengkap itu ditulis lagi oleh surat kabar London itu bahwa, Acheh bukanlah
tanah jajahan Belanda dan Belanda sama sekali tidak mempunjai hak menyerang
Acheh. Surat kabar Amerika, THE NEW YORK TIMES, pada 6 Mei 1873, menulis sebagai berikut: “Suatu
pertempuran yang belumur darah sudah terjadi di Acheh. Serangan Belanda sudah
ditangkis dengan penyembelihan besar-besaran terhadap tentara Belanda. Panglima
Belanda sudah dibunuh dan tentaranya lari lintang-pungkang. Kekalahan Belanda
itu dianggap hebat sekali dan ini terbukti dengan debat yang sudah terjadi
dalam parlemen Belanda di Den Haag, dimana seorang anggota Parlemen sudah
menyatakan bahwa kekalahan di Acheh ini adalah permulaan dari kejatuhan
kekuasaan Belanda di dunia Timur.“
Pada
15 Mei 1873, surat kabar THE NEW YORK
TIMES, mengeluarkan sebuah tajuk rencana (editorial) dimana antara lain
tertulis:
A T J E H
„Sekarang
boleh dikatakan bahwa sudah dimulai pendidikan Acheh kepada keturunan Keristen
yang baru. “Segera akan di ketahui umum bahwa bangsa Acheh itu bukanlah satu
bangsa biadab yang tidak berurat saraf (tidak pandai berpikir), tetapi mereka
adalah bangsa Islam yang baik sekali dan bangsa pahlawan. “Segera akan terbukti bahwa mereka sebagai
musuh mereka sekarang, juga mempunyai tanah jajahan mereka sendiri pada suatu
masa dan ada waktu-waktu ketika mereka begitu kuat hingga dapat mengepung
armada Portugis di kota Malaka. Begitu juga akan menjadi pengetahuan umum bahwa
pada suwaktu waktu, Sultan Acheh adalah sahabat karib dari Raja Inggeris, James
I, yang pernah memberikan dua buah meriam besar kapada Acheh. Meriam-meriam itu
sekarang turut mempertahankan istana penggantinya di Sumatera.“
Kekalahan Belanda sangat memalukan itu ditangan bangsa Acheh menimbulkan
komentar-komentar yang luar biasa dari pada ahli-ahli sejarah di seluruh dunia.
Misalnja Prof. Ricklefs menulis: “Baru
sekarang kaum Kolonialis sudah berhadap-hadapan muka dengan lawan yang paling
kaya, paling kuat, paling beraturan dan berdisiplin, paling lengkap bersenjata
dan paling keras bersifat merdeka.”[7]
KEDUDUKAN
KEBESARAN ACHEH DALAM DUNIA INTERNASIONAL
Adalah satu tanda daripada kedudukan Kerajaan Acheh
yang terkemuka dan menduduki tempat penting dalam dunia ketika President
Ulysses S. Grant dari Amerika Serikat mengeluarkan satu pernyataan yang luar
biasa, yang dinamakan, “Pernyataan Berdiri Sama-tengah Yang Tidak Memihak“
(Proclamation of Impartial Neutrality)
dalam perang antara Belanda dengan Acheh. Dalam pernyataan ini dinyatakan pula
bahwa Amerika Serikat tidak mau membenarkan serangan Belanda atas Acheh.[8] Sesudah
kemenangan di Bandar Acheh barulah pemerintah Kerajaan Acheh menuntut kepada
pemerintah Inggeris supaya menunaikan tugasnya membantu kerajaan Acheh menurut
Perjanjian Pertahanan antara kedua negara. Menurut perjanjian itu Inggeris
mempunjai kewajiban untuk membantu Acheh melawan serangan Belanda. Tetapi amat
disesalkan bahwa, pemerintah Inggeris pada waktu itu mengkhianati Perjanjian
yang sudah ditandatangani oleh wakil-wakilnya yang berkuasa penuh itu. Kejadian
ini akan tetap menjadi bukti dan saksi sejarah bagaimana janji-janji kerajaan
Inggeris itu tidak dapat dipercayai. Debat yang terjadi di parlemen Inggeris
perkara perjanjian Pertahanan dengan kerajaan Acheh ini kemudian membuktikan
bahwa pemerintah Inggeris sudah menerima suapan dari Belanda supaya tidak
menepati dan menghormati janjinya dengan kerajaan Acheh, dengan Belanda
menyerahkan satu tanah jajahannya di Afrika kepada Inggeris: jajahan itu ialah Gold
Coast, sekarang Ghana. Lord Granville,
Menteri Luar Negeri Inggeris pada waktu itu, dalam Jawabanya kepada Habib
Abdulrahman Zahir, Menteri Luar Negeri Acheh, pada 15 Juli 1873, tidak pernah
mengatakan bahwa Perjanjian partahanan Acheh-Inggeris itu tidak sah, atau tidak
berlaku lagi, atau sudah dibatalkan, tetapi ia hanja mengatakan bahwa Inggeris
tidak mau memenuhi kewajibannya menurut perjanjian itu. Oleh Menteri luar Negeri Inggeris
itu dibantahnya perkara ada dan sahnya perjanjian itu. Alasan yang diberikannya
untuk berkhianat itu oleh karena Inggeris “sudah mendatangani satu
perjanjian lain dengan Belanda yang isinya berlawanan dengan Perjanjian dengan
Acheh itu” dan juga dengan alasan bahwa Inggeris “telah tidak menjalankan
dengan terus menerus kewajibannya terhadap Acheh dalam perjanjian itu”.
Politik pemerintah Inggeris untuk
tidak menghormati dan mengkhianati perjanjiannya dengan Kerajaan Acheh itu
mendapat kecaman yang amat keras dalam surat-surat kabar Inggeris dan dalam
parlemen Inggeris hingga hal itu menjadi perdebatan besar dalam pemilihan umum
beberapa tahun lamanya, hal ini juga menjadi suatu bukti tentang kuatnya
kedudukan Acheh dalam politik dunia Internasional sebagai satu Negara merdeka
yang kedaulatannya diakui dunia dan tidak pernah menjadi persoalan atau
perdebatan. Thomas Gibson Bowles,
seorang pimpinan partai politik dan anggota parlemen menulis sebuah artikel
dalam majalah FRAZER´S MAGAZIN, yang
terbit di London, dimana ia menamakan jawaban Lord Granville kepada Acheh sebagai “satu dokumen yang paling
tidak mempunyai rasa malu, yang pernah di tulis manusia”. Dia menamakan
perjanjian Inggeris-Belanda dimana Belanda menyerahkan satu daerah di Afrika
kepada Inggeris untuk merugikan Acheh sebagai “satu tawar menawar haram“
dan jawaban Menteri Luar negeri Inggeris kepada Acheh dinamakannya “satu
pengakuan yang memalukan untuk meninggalkan kewajiban terhadap Acheh yang
mencerminkan sikap orang-orang Kementerian Luar Negeri yang lalu sedia
mengkhianati perjanjian antara negara.” Thomas
Gibson Bowles membuat kesimpulan: ”Surat dari Lord Enfield (Wakil dari
Lord Granville) kepada Sultan Acheh bersifat sama dengan di atas juga sebab
waktu oleh Sultan Acheh diminta bantuan Inggeris, menurut perjanjian, supaya
Inggeris membantu Acheh, oleh Enfield dikatakan bahwa Inggeris tidak dapat
memenuhi Perjanjian itu sebab Inggeris sudah lebih dahulu melanggarnya, dan dia
menasehati Sultan Acheh supaya berbaik-baik dengan Belanda yang menyerangnya.
Dalam kedua perkara ini, pihak yang bersalah yang pura-pura berkhutbah kepada
pihak menjadi korban, dan meletakkan atas pundak yang tidak bersalah,
tanggungjawab dari pihak yang bersalah. Kami menyatakan yang bersalah adalah
pemerintah Inggeris.”[9]
Lord
Stanley of Alderley,
seorang bangsawan Inggeris, berdiri dalam Majelis Tinggi Parlemen Inggeris (House of Lords) membela Acheh dan
mengancam Pemerintahan Inggeris sebab telah melanggar Perjanjian Pertahanan
dengan Acheh. Beliau menuntut supaya Pemerintah Inggeris menghormati dan
memenuhi kewajibannya menurut Perjanjian Pertahanan tersebut dan supaya
Inggeris membantu Acheh melawan Belanda. Dalam sebuah Pidato pada 28 Juli 1873,
beliau berkata: „Belanda tidak mempunyai alasan dan tidak mempunyai sebab
untuk menyerang Acheh yang tidak berbuat apa-apa kepada Belanda. Sekarang
Belanda sudah menyerang Negara Acheh dan sudah dikalahkan dan digagalkan.
Kejatuhan Acheh akan menyebabkan kehancuran kemuliaan kita di seluruh Asia
Timur dan Asia Tenggara: kekecewaan besar akan dirasa oleh warga Inggeris di
Asia Tenggara dan oleh orang-orang Melayu di Malaya, yang kesan baik dari
mereka adalah sangat penting bagi kita. Perjanjian baru antara Inggeris dengan
Belanda ini bukan saja merusakkan kemuliaan Negara Inggeris tatapi juga
merusakkan kepentingan ekonomi kita. Sistem Penjajahan Belanda di Jawa bukan
saja berlawanan sekali dengan kebebasan perdagangan, tetapi hampir tidak
berbeda dari perbudakan - Belanda menamakannya “kerja tidak bergaji” - sehingga
tidak ada alasan sama sekali mengapa pemerintah Inggeris mau menolong meluaskan
sistem ini sampai ke Sumatera Utara, atau sekurang-kurangnya mengapa tidak
dibuat pengecualian untuk Acheh, sebab Acheh berhak mengharap kita tidak
melupakan kemerdekaannya yang dari zaman purbakala, dan sejarah yang gilang
gemilang, sebab Acheh sudah wujud
sebagai sebuah Negara Merdeka ketika Belanda masih merupakan satu provinsi
Spanjol.”
Semenjak waktu itu Acheh sudah mempunyai
pengaruh besar sekali atas Selat Malaka dan mengirim armada besar-besar, yang
sering mengalahkan armada Portugis dalam setiap peperangan. Lebih 300 tahun
yang lalu Acheh sudah meletakkan dirinya di bawah perlindungan Chalifah
Osmaniah (Turki) dan meriam besar-besar yang dikirimkan oleh Sultan Salim
sebagai hadiah kepada raja-raja Acheh masih dapat dilihat sampai sekarang di
Pidie dan Pasè. Perlu kita tanya: mengapa Belanda telah menyerang satu negara merdeka
dan berdaulat yang tidak berbuat apa-apa terhadap negeri Belanda dan ini
dilakukan pada waktu dimana Belanda sendiri masih takut kemerdekaannya yang
baru diperoleh itu mungkin dirampas oleh negara lain, lebih-lebih sesudah
perang Perancis - sebab semua kita mengetahui bahwa, di Jerman ada partai politik
yang ingin mengambil negeri Belanda, merampas tanah jajahannya sekaligus dan
sebagian besar orang Jerman sudah yakin bahwa golongan terbanyak dari bangsa
Belanda memang ingin bersatu dengan Jerman. Dalam hal ini Jerman mempunyai hak
yang sama besar atau sama kecilnya seperti „hak“ Belanda untuk menyerang dan
menjajah Acheh. Jika Jawa tidak menjadi urusan, tetapi kalau Sumatera
dimasukkan ke bawah kuasa Jawa maka mungkin baru Inggeris tidak akan
mengakuinya. Dalam suatu keadaan, sikap pemerintah Inggeris sudah dapat
diterka, misalnya seperti waktu negeri Belanda jatuh ke tangan Perancis pada
awal abad ini (dimana Inggeris menduduki Jawa supaya Jawa jangan diambil oleh
Perancis). Inggeris masih mungkin membiarkan Jawa jatuh ke tangan Tuan-nya yang
lain, tapi mustahil Inggeris dapat menerima Acheh jatuh ke dalam tangan sesuatu
kekuasaan militer yang kuat. Sebab sebagai sudah di katakan oleh Admiral Sherard Osborn baru-baru
ini, ”Acheh adalah satu tempat yang amat
penting sekali dalam strategi perang lautan”[10]
Dalam perdebatan terus-menerus di
Inggeris perkara perjanjian Pertahanan dengan Acheh yang sudah dilanggar
Inggeris itu, ada juga yang memakai alasan bahwa Perjanjian Belanda-Inggeris
tahun 1871 sudah membatalkan Perjanjian Acheh-Inggeris tahun 1819. Thomas Gibson Bowles menjawab soal ini dalam satu suratnya
kepada surat kabar LONDON TIMES, 3
Februari 1874, sebagai berikut: “Perjanjian Belanda-Inggeris tahun 1871 sama
sekali tidak membebaskan pemerintah Inggeris dari kewajibannya menepati janji
untuk mempertahankan Acheh menurut Perjanjian Pertahanan tahun1819. Maka adalah
satu pelanggaran kepercayaan umum yang luar biasa dan hina sekali untuk menolak
menepati kewajiban yang timbul dari Perjanjian yang sudah ditandatangani itu.”[11] Sementara
itu, Surat kabar London, VANITY FAIR,
12 September 1874 mengeluarkan tajuk rencana (editorial) mengenai perjanjian
pertahanan Acheh Inggeris yang sudah dikhianati itu: „Perhatian sudah
diminta berulang-ulang oleh banyak penulis-penulis kepada surat kabar ini
mengenai pelanggaran yang besar sekali kepada perjanjian Negara antara Inggeris
dengan Acheh dimana Inggeris telah menolak kewajiban untuk membantu satu negara
sahabat yaitu kerajaan Acheh. Perbuatan ini telah dimulai oleh pemerintah
Gladstone dan diteruskan lagi oleh Pemerintah Disraeli sampai kini. Keduannya
menolak memenuhi kontrak yang sudah ditandatangani atas nama Kerajaan Inggeris
pada tahun 1819 dengan kerajaan Acheh, untuk membantu negara itu kalau diserang
musuh. Perdana Menteri Disraeli, ketika ditanya dalam sidang Parlemen perkara
itu, tidak berani membantah tentang adanya perjanjian itu -sebab ia tidak dapat-
karena Perjanjian itu masih tetap legal dan mengikat, tetapi masih terus
menerus di langgar. Perkara ini hendak didiamkan oleh orang-orang tertentu
dalam kabinet, tetapi menyebabkan malu dan amarah orang-orang yang mengetahui
apa yang sudah terjadi dalam soal ini.” Keterangan tambahan yang sangat
berharga datang lagi dari Singapura dan telah dikeluarkan oleh surat kabar MORNING POST, hari Senin yang lalu -
satu surat yang rupanya ditulis oleh seorang yang mengetahui segala apa yang
terjadi sekitar soal itu. Dalam surat itu di tulis: ”Dewasa ini semua kami
yang ada disini sependapat perkara politik busuk -itulah istilah yang terbaik
yang dapat kami pakai- yang diikuti oleh pemerintah di London dalam perjuangan
yang sedang berlaku antara Belanda dengan bangsa Acheh. Inggeris mestinya tidak
berdiri menonton saja, dengan tidak berbuat apa-apa melihat mitra dagang lama
(Acheh bukan hanya mitra dagang lama tetapi masih mitra dagang baru sampai
sekarang menurut hukum Perjajian antara negara) ditaklukan dengan tidak
mengatakan apa-apa, apalagi berbuat sesuatu membantu mereka. Sikap Inggeris ini
sedang meruntuhkan nama, kemuliaan dan kepentingan di bagian dunia ini.
“Dikatakan bahwa Inggeris adalah neutral dalam perang ini, tetapi Belanda
dibiarkan memperguanakan wilayah jajahan kita disini sebagai basis operasi
mereka menyerang Acheh. Jadi Inggeris bukan saja tidak membantu Acheh, sebagai
kewajibannya menurut Perjanjian, tetapi ia memberikan kepada Belanda segala
bantuan untuk menaklukan Acheh. Sudah pasti ini adalah puncak dari
pengkhianatan. Dan Perdana Menteri baru, Tuan Disraeli, sesudah mencela Perdana
Menteri lama, Tuan Gladstone, dalam perkara ini, sekarang dia sendiri juga
berbuat demikian: membantu Belanda menundukkan Acheh. Walaupun demikian masih
banyak orang yang menyangka bahwa dalam demokrasi semua dapat diperbaiki dan
dirubah dengan menggantikan satu kabinet dengan kabinet baru, partai pemerintah
dengan partai oposisi. Satu bangsa sudah menjadi rendah sekali apabila ia tidak
perduli lagi kepada kehormatannya dan kepada perkara-perkara seperti ini.
“Perkara kenyataan dalam soal ini
tidak mungkin ada perdebatan: sebab semuanya adalah terang menderang. Inggeris
terikat dengan Perjandian Pertahanan untuk mempertahankan Acheh. Mula-mula Lord
Granville berusaha menolak perjanjian itu. Lord Derby, yang seharusnya
memperbaiki nama baik negerinya dan bangsanya tetap berbuat sebagai orang-orang
yang digantinya. Mereka adalah pantas menjadi Menteri-menteri daripada suatu
bangsa yang sudah hilang perasaan kehormatanya.” Surat kabar London, PALL MALL GAZETTE, pada 30 Januari,
1874, menulis sebagai berikut: “Pada tahun 1819, pemerintah kita dapat
menguasai Selat Melaka. Segala perdangangan dengan China dan Jepang mesti
melalui Selat yang penting ini. Kita memperoleh kontrol yang penuh atas Selat Melaka
dengan adanya perjanjian pertahanan 1819 dengan Kerajaan Acheh. Bagian tepi
pantai Melaka kita kuasai sendiri langsung. Tepi pantai sebelah Sumatera kita
amankan dengan Perjanjian Pertahanan dengan Sultan Acheh yang menguasai seluruh
pantai Sumatera. Tiga tahun yang lalu Belanda datang kepada kita. Mereka
mengatakan jika kita biarkan mereka menyerang Sultan Acheh dan merebut Negeri
Acheh. Mereka akan memberikan kepada kita negeri jajahan Belanda di Afrika di
Gold Coast. Jika kita serahkan Selat Melaka kepada mereka, mereka akan
memberikan sekeping tanah Gold Coast yang tidak berharga apa-apa kepada mereka,
dan lebih tidak berharga lagi kepada kita. Dan jika kita terima hadiah mereka,
kita akan terlibat peperangan dengan Raja Kofi. Ini adalah usul gila, tetapi
kementerian kita menerimanya dan mengorbankan Sultan Acheh kepada serangan
Belanda, walaupun kita sudah menandatangani Perjanjian untuk mempertahankan
kemerdekaan Acheh. Tidak pernah satu tawar menawar semacam ini dalam sejarah
negeri Inggeris. Tetapi sudah diterima oleh Menteri-menteri kita. Perdana
Menteri Gladstone membuat seakan-akan satu rahasia besar yang katanya
mengingatkannya kepada surat-menyurat diplomatik. Jika sebagai kata tuan
Gladstone: adalah satu kesalahan Pemerintah Konservatif yang telah lama
memberikan Siak kepada Belanda dan itu adalah salah; tetapi itu tidak membuat
politiknya terhadap Acheh benar. Kita tidak
bersumpah membela Siak, tetapi kita telah bersumpah membela Acheh. Sebab itu
Inggeris-lah bertangung jawab atas darah yang bercucuran di Acheh.”
Patut kita singgung disini juga satu kenyataan lain bahwa, Belanda mesti
menghadapi kesukaran-kesukaran diplomatik yang bukan kecil dalam dunia Islam
dalam menghadapi Acheh, lebih-lebih di Turki, oleh karena kedudukan Acheh yang
kuat sebagai bagian dari pada Khalifah Islamiah. Di Turki pada waktu itu besar
gerakan untuk campur tangan langsung membantu Acheh. Surat-surat kabar Turki
pada masa itu seperti BASIRAT; JEVAIB; LA
TURQUI; semua terbit di Istanbul, penuh dengan artikel-artikel dan
editorial yang membantu Acheh. Semua ini menunjukkan kekuatan diplomasi Acheh
di Dunia.



