Notification

×

Iklan

Iklan

Konsep-Konsep Ideologi Acheh Merdeka

Selasa, 21 Oktober 2025 | Oktober 21, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-21T14:03:01Z


 

Sejarah Acheh wajiblah dipahami sedalam-dalamnya dan sebenar-benarnya sebagai sebuah sejarah yang tidak boleh dipertentangkan (undisputed history), sama sebagai Sunnah dalam Islam. Sejarah Acheh adalah satu sejarah yang berdiri sendiri, yang terang benderang, yang diketahui oleh seluruh dunia dan tertulis dalam segala Bahasa dengan segala bukti dan dokumentasi Hukum dan politik yang diperlukan. Sejarah Acheh bukanlah satu sejarah yang boleh dan dapat dipertikaikan (a disputed history). Ini mesti diketahui dan disadari oleh semua dan setiap bangsa Acheh. Di sinilah asal-usul mereka. Inilah akar mereka. Dari sinilah timbul pusaka dan hak mereka di muka bumi.

 

 

            Selama 50 tahun penjajahan Indonesia-Jawa sejarah Acheh sudah dibuat oleh si penjajah dan kaki tangannya menjadi satu sejarah yang dapat dipertengkarkan tegasnya menjadi satu disputed history yang dapat dipertengkarkan mereka dengan orang bodoh. Inilah satu dari perkakas penjajahan yang paling berbahaya yang selalu dilakukan oleh si penjajah atas bangsa-bangsa yang mereka jajah. Dengan membuat sejarah Acheh menjadi satu disputed history, maka pikiran bangsa Acheh dapat dikacau-balaukan, mereka tidak dapat berpikir lurus lagi dan kepercayaan kepada nenek-moyang dan diri-sendiri hilang lenyap. Inilah satu pemalsuan sejarah yang mengurangi arti sejarah itu sendiri sehingga tidak dapat dipakai lagi sebagai tempat berpijak; tidak dapat dipakai lagi sebagai alasan untuk memelihara dan menuntut hak. Keadaannya sudah begitu rusak sehingga kalau kita mengatakan kepada si penjajah Indonesia-Jawa sekarang tentang sejarah Acheh yang benar, maka mereka sudah siap sedia menjawab dengan kata-kata yang sudah mereka kalèngkan: ”itu versi kamu”, artinya hanya cerita kita saja, sementara cerita-cerita bohong mereka itulah yang sudah diajar di sekolah-sekolah selama setengah abad belakangan ini yang tidak ada kebenarannya, selain untuk semata-mata membenarkan penjajahan Indonesia-Jawa atas kita. Inilah pengertian sejarah bodoh yang dipropagandakan di Indonesia-Jawa sejak berdirinya di tahun 1945 sampai sekarang, 1996. Propaganda mereka ini sama sekali tidak berdasarkan ilmiah dan tidak seperti dipahami oleh bangsa-bangsa maju di dunia.

 

            Dalam sejarahnya yang panjang itu, Adalah satu Kerajaan yang merdeka dan berdaulat yang diakui dunia sejak ribuan tahun lamanya. Gerakan Acheh Merdeka sudah mengumpulkan lebih dari cukup dokumentasi-dokumentasi yang membuktikan kebesaran dan kebenaran sejarah Acheh itu. Ahli sejarah Inggris menyebut ”Acheh hanyalah satu-satunya Kerajaan Sumatera yang pernah berhasil mencapai kedudukan politik yang begitu penting di mata bangsa-bangsa Barat, sehingga telah membuat setiap gerakan Kerajaan Acheh itu menjadi acara sejarah dunia… dan p[1]emimpin-pemimpin Acheh menerima perwakilan-perwakilan dari kerajaan-kerajaan besar Eropah.” (Achin, properly Acheh, is the only kingdom of Sumatra that ever arrived to such a degree of political consequence in the eyes of the Western people, as to occasion its transactions becoming the subject of general history… and its princes received embassies from all the great potentates of Europe).

           

            Tetapi mengapa dan bagaimana Acheh yang merdeka dan berdiri sendiri dengan sejarahnya yang terpisah dan tidak ada sangkut-paut dengan Pulau Jawa itu akhirnya menjadi ´Indonesia´ pada tahun 1945 atau pada tahun 1949 itu? Bagaimana mungkin anak Harimau bertukar mejadi anak biri-biri? Suatu penipuan, penggelapan, pemalsuan besar-besaran sudah terjadi mulai dari tahun 1945 itu sehingga bangsa Acheh berhasil dipropagandakan bertukar menjadi satu bangsa lain yaitu bangsa pura-pura ´Indonesia´ yang tidak bersejarah, tidak berbahasa, tidak berbudaya dan tidak bernegeri yang sah itu. Dalam process itu bangsa Acheh dan negeri mereka yang kaya raya sudah menjadi milik si penjajah Jawa. Sejak itu bangsa Acheh sudah mereka perhambakan, boleh mereka bunuh dan sembelih sesuka hati mereka sebagai yang telah terjadi sekarang setiap hari.

 

            Bagaimana hal yang sangat merugikan dan memalukan itu boleh terjadi? Supaya pasti-pasti hitung di tahun berapa? Waktu Acheh di bawah pimpinan siapa? Mengapa? Ini semua mesti kita jawabsenagan segala kejujuran dan wajib menerima segala kenyataan. Sebab klau kita tidak memahami kesalahan-kesalahan yang sudah dibuat, maka kita akan mengulangi kesalahan-kesalahan itu juga di masa yang akan datang! Jika tidak tahu belajar dari pengalaman-pengalaman yang sudah-sudah maka mustahillah untuk dapat memerdekakan diri kembali.

 

            Bangsa Jawa sudah menanamkan penipuan besar-besaran yang sudah mereka lakukan atas kita itu sebagai satu “REVOLUSI” dan kita ikut serta memajukannya. Pada hal itu adalah satu revolusi yang benar hanya untuk bangsa Jawa saja dimana mereka sudah berhasil menukar status mereka dari bangsa hamba sahaya, yang tidak pernah merdeka menjadi satu bangsa merdeka dan menjadi bangsa tuan-tuan bukan saja atas tanah mereka sendiri, Pulau Jawa, tetapi juga atas bangsa dan negeri kita Acheh, Sumatera dan lain-lain sebagainya. Haruslah kita kaui bahwa bagi bangsa Jawa itu mamng satu revolusi, satu perubahan nasib yang luar biasa bagi mereka itu. Tetapi bagi bangsa Acheh dan bangsa Sumatera yang lain-lain, apakah itu benar-benar satu revolusi pula? Jauh panggang dari api! “Revolusi” Indonesia-Jawa itu sama sekali bukan revolusi untuk kita. Lebih-lebih bagi bangsa Acheh yang memiliki sejarah begitu besar, apa yang terjadi tahun 1945 itu bukanlah satu revolusi, tetapi suatu tragedi, satu pembodohan dan perbudakan yang sangat menghina kita dan nenek-moyang kita serta keturunan kita yang akan datang.

 

            Buku-buku yang ditulis oleh keturunan sesat itu (the loss generation) yang sebenarnya mesti kita namakan pengkhianat-pengkhianat bangsa mereka sendiri yang membenarkan ”revolusi” Indonesia-Jawa itu masih dipakai yakni dibenarkan sampai sekarang oleh mereka-mereka yang buta huruf politik. Fakta ini masih terjadi 20 tahun sesudah kita menyatakan Acheh Merdeka danmasih ada bangsa Acheh sendiri yang masih menulis tentang ”revolusi” Indonesia-Jawa itu seakan-akan satu ”revolusi” sesungguhnya pada hal satu perbudakan oleh bangsa Jawa yang masih buta huruf dalam politik dan ekonomi! Ini disebabkan karena si penjajah Jawa talah berhasil dalam waktu 50 tahun ini untuk mempengaruhi alam pikiran anak jajahan mereka -termasuk bangsa Acheh- lewat sistem pendidikan kolonial mereka untuk membuat orang-orang yang bukan Jawa tidak pandai berpikir sendiri lagi dan hanya membeo kepada apa yang dikatakan oleh si penjajaah Jawa itu dari Jakarta!

 

            Buku-buku mengenai ”revolusi” Indonesia-Jawa ini tidak dapat dipakai untuk membenarkan ideologi Acheh Merdeka. Bagaimana sumber-sumber ”revolusi” dan agen-agen mereka yang telah membuat sejarah Acheh menjadi disputed history masih saja dipakai sebagai sumber kita? Ini bermakna masih buta huruf dalam politik, ekonomi, hukum dan sejarah. Demikian juga sejarah Acheh yang diperlukan untuk menegakkan Acheh Merdeka adalah SEJARAH KERAJAAN ACHEHyang merdeka dan berdaulat mulai dari 1500 sampai sekarang (1996), yang ada dokumentasinyadalam sejarah dunia, dalam peta dunia, dan dalam diplomatic correspondence atau surat-menyurat antara negara-negara/kerajaan-kerajaan merdeka. Itulah KERAJAAN ACHEH yang kepadanya sudah diadreskan Declaration of War (Deklarasi Perang) oleh kerajaan Belanda pada 26 Maret 1873, suatu tindakan negara yang menurut Hukum Internasional mempunyai akibat legal yang kekal dan bangsa Acheh berhak memajukan tuntutan-tuntutan bayar ganti rugi dari Kerajaan Belanda yang wajib membayarnya!

 

            Sementara Kerajaan-kerajaan Acheh yang lama sebelum itu dalam sejarah Acheh belum mempunyai dokumentasi dunia yang pasti-pasti seperti kerajaan Pidië, Pasé, Peureulak, Lingga, Daya, dsb; tidak bijaksana menghubung-hubungkan kerajaan-kerajaan lama itu dengan kerajaan Acheh yang dimulai oleh Sultan AliMughayatsyah dengan perang besar melawan Portugis dan berakhir dengan gugurnya Wali Negara Acheh terakhir, Tengku Ma´at di Tiro dalam perang besar dengan Belanda pada 3 Desember 1911.

 

            Membawa nama-nama Kerajaan Acheh lama yang tidak diakui duni dalam perkara perang kemerdekaan antara bangsa Acheh dengan si penjajah Indonesia-Jawa sekarang ini akan melemahkan tuntutan kita semata-mata sebab badan-bdan dunia tiakan mau campur tangan dalam perkara-perkara yang tergolang dalam masalah disputed history sebagai itu. Mencampur adukkan masalah status Kerajaan Acheh dari Sultan Ali Mughayatsyah sampai kepada Tungku Ma´at di Tiro dengan riwayat Kerajaan-kerajaan Acheh  yang lain adalah laksana seorang pedagang mencampur adukkan pemakaian uang dollar dengan uang palsu rupiah Indonesia-Jawa yang akan membawa dirinya dan perniagannya ke jurang kebangkrutan. Hanya pemakaian hujjah sejarah yang pasti-pasti dan terbukti yang ada artinya dalam Hukum Internasional dan yang ada nilai dan pengaruhnya dalam dunia untuk membuat negara-negara/kerajaan-kerajaan lain mau mengakui kemerdekaan Acheh kembali.

 

NEGARA SAMBUNGAN ( A SUCCESSOR STATE )

 

            Perlulah dipahami seterang-terangnya tentang status legal dan status politik serta status sejarah dari Negara Acheh Merdeka dalam Hukum Internasional dan politik Internasional sebagai suatu successor state (negara sambungan) dari Kerajaan Acheh yang silam dalam sejarah yang tidak dapat dipertikaikan itu -undisputed history- Sesuatu undisputed history atau negara sambungan mempunyai hak legal (Hak Hukum) yang retroactive (kembali ke masa yang silam) yang bersambung ke masa sekarang dan masa-masa yang akan datang. Semua perjanjian dan hubungan luar negeri dari Kerajaan Acheh yang lampau masih tetap berharga dan masih menjadi pegangan dalam hubungan antara negara hingga hari Kiamat – asalkan Negara Acheh Merdeka yang sekarang dan yang akan datang- tahu mempergunakannya.

 

            Pada tahun 1945, mereka yang memegang pimpinan di Acheh terdiri dari orang-orang yang sama sekali tidak tahu sejarah Acheh, tidak tahu kepentingan nasional Acheh dan tidak tahu kedudukan yang dimiliki Acheh dalam Hukum Internasional. Bahaya yang besar dari tahun 1945 sampai sekarang tahun 1996 ialah kebodohan bangsa Acheh sendiri yang telah dapat ditipu oleh bandit-bandit Jawa dan kaki tangan mereka. Sekarang sudah setengah lamanya! Sebagaimana sudah saya tegaskan mulai dalam Surat Pernyataan Kemerdekaan Acheh-Sumatera pada 4 Desember 1976, perjuangan kita sekarang adalah sambungan mutlak dan sambungan langsung dari perjuangan Kerajaan Acheh Merdeka yang silam, kerajaan Asia yang pertama-tama dapat mengalahkan tentara Eropah dalam medan perang, yaitu medan perang Bandar Acheh pada14 April 1873, sebagaimana sudah dinaik saksikan oleh surat-surat kabar terkemuka di dunia, seperti The London Times dan The New York Times. Oleh karena Negara Acheh Merdeka yang telah kita nyatakan pada 4 Desember 1976 itu telah diterima oleh masyarakat politik dunia Internasional sebagai suatu successor state dari Kerajaan Acheh yang silam yang merdeka dan berdaulat, dengan alas an-alasan yang cukup kuat yang sudah kita berikan dalam buku bersifat ilmiah, di antaranya:

 

1.      Status Acheh Dalam Hukum Internasional ( The Status of Acheh in International Law);

2.      Jum Merdeka (The Price of Freedom);

3.      Lahirnya Kemerdekaan Baru di Acheh (Acheh: The New Birth of Freedom), diterbitkan oleh House of Lord, London.

4.      Perkara dan Alasan ( The Case and Cause);

5.       Drama Sejarah Acheh: 1873-1978 (The Drama of Achehnese history: 1873-1978);

6.      Dan artikel-artikel yang sudah diterbitkan oleh surat-surat kabar besar di Eropah, Amerika, Afrika, Australia dan Asia.

 

Kalaulah bukan Negara Sambungan (Successor State) yang kita dirikan maka berarti kita sudah melemahkan sendiri kedudukan legal dan kedudukan politik kita di dunia.

Kalaulah bukan Negara Sambungan (Successor State) yang kita dirikan maka berarti kita sudah mengkhianati sejarah dan nenek moyang dan mayat mereka yang bergelimpangan di setiap pelosok tanah Acheh.

 

            Kalaulah bukan Negara Sambungan (Successor State) yang kita dirikan maka berarti kita sudah mengkhianati Hak Pusaka yang nenek moyang telah membayar dengan dan air mata mereka dan seluruh dunia tunduk kepala menghormatinya.

 

Kalaulah bukan Negara Sambungan (Successor State) yang kita dirikan maka berarti kita sudah mengkhianati sejarah yang tidak dapat dipertengkarkan (undisputed history).

 

Kalaulah bukan Negara Sambungan (Successor State) yang kita dirikan maka berarti kita sudah memutuskan hubungan dengan sejarah kita yang gilang gemilang dan kita sudah memberikan kesempatan kepada si penjajah Indonesia-Jawa dan kali tangannya pengkhianat-pengkhianat Acheh sendiri untuk mempertengkarkan sejarah kita yang tidak dapat dipertengkarkan untuk membenarkan penjajahan bandit-bandit Jawa atas kita.

 

Kalaulah bukan Negara Sambungan (Successor State) yang kita dirikan maka tempat berpijak kita telah menjadi lemah, sebab tidak dapat lagi mempergunakan sejarah dan segala kekuatan retroactive yang ada padanya.

 

Kalaulah bukan Negara Sambungan (Successor State) yang kita dirikan maka negara-negara dunia akan membuat syarat bahwa Wali Negara kita wajib dipilih lebih dahulu dalam Pemilihan Umum sebelum diakui dan sebelum diterima untuk berbicara dengan dunia.

 

Bagaimanakah bangsa Acheh yang negeri mereka dalam pendudukan Indonesia-Jawa dapat memangadakan Pemilu sekarang? Mustahil! Ini mesti dijawab oleh mereka yang hendak memperebutkan kedudukan Wali Negara Acheh Merdeka sekarang di luar  Undang-undang Dasar Kerajaan Acheh yang masih tetap berlaku. Hal ini perlu dipikirkan akibatnya oleh bangsa Acheh merdeka kalau mereka mau benar-benar merdeka dan perjuangan kemerdekaan yang sudah kita tegakkan dengan susah payah ini tidak menjadi korban orang-orang yang gila pangkat dan rupaya tidak sabar menunggu sampai saya dipanggil oleh Allah menghadap-Nya. Tegasnya orang-orang gila pangkat ini berpikir seperti Suharto juga yang ingin saya supaya lekas mati.

 

Semua kemenangan politik yang sudah kita capai di dalam dan di luar negeri selama 20 tahun ini, karena dunia mengakui kita sebagai satu successor state dari Kerajaan Acheh dalam sejarah, yang bukan hanya dongèng itu. Dan sebagi satu successor state, maka kepala negara kita tetap ditentukan menurut UUD kerajaan Acheh Merdeka yang sudah berlaku sejak ribuan tahun itu -sebagaimana UUD kerajaan-kerajaan lain di dunia- yaitu dipilih dari keluarga-keluarga besar Kerajaan Acheh yang berhak, yang di sini tidak dipandang lagi sebagai famili tetapi sebagai Badan Negara (Institution) atau lemabaga negara untuk memerintah. Hikmat semua ini adalah untuk meniadakan persengketaan yang bukan-bukan dalam sesatu negara yang ditimbulkan hanya karena perebutan kedudukan saja yang tidak memungkinkan negara menjalankan tujuannya yaitu menegakkan keadilan untuk semua.

 

Dalam sejarahnya yang sudah ribuan tahun itu, Acheh telah mempunyai famili-famili besar yang telah menjadi Lembaaga Negara itu karena berhasil mengisi jabatan kepala Negara waktu sudah ada terjadi kekosongan. Singkatnya mulai tahun 1840 maka famili di Tirolah yang menjadi Wali Negara Acheh sampai sekarang. Perkara ini sudah saya jelaskan dalam buku Drama Sejarah Acheh 1873-1978. Itulah satu takdir dari Allah SWT kata orang Islam. Satu fait accompli, kata orang Barat. Saya tidak ”merebutkan” tanggungjawab itu dari siapapun juga. Mengapa tidak ada orang lain yang mendirikan kembali Negara Acheh Merdeka sebelum saya kembali dari Amerika?

 

Oleh karena diterima dunia sebagai Wali Negara Acheh yang berhak berbicara atas nama bangsa Acheh, maka saya telah dapat memperlindungi refugee (pelarian) Acheh yang terpaksa pindah ke luar negeri karena diusir oleh si penjajah Indonesia-Jawa.

 

 Kalaulah bukan Negara Sambungan (Successor State) yang kita dirikan sekarang maka dunia akan menuntut, siapa yang menjadi Wali Negara mesti dipilih dengan pemilihan umum dahulu. Ini adalah hal-hal yang mustahil dapat kita lakukan sekarang, sebab negeri kita dalam tangan musuh. Kesulitan ini telah dapat kita elakkan dengan mendirikan successor state dengan UUD-nya yang melegalkan Tengku Chik di Tiro sebagai Wali Negara.

 

Saya telah menandatangani Surat Pernyataan Acheh/Sumatera Merdeka sebagai negara sambungan atas kelegalan satu successor state sebab pada masa sekarang sayalah yang berhak (bertugas) sebagai Wali Negara Acheh sebagai Tengku Chik di Tiro menggantikan Yang Mulia Nenekanda Tengku Chik Mahyédin dan Pamanda Tengku Chik Ma´at yang gugur pada 3 Desember 1911, dalam perang menentang Belanda.

 

Hari 3 Desember 1911 diakui oleh Belanda sebagai sebagai hari berakhirnya Perang antara Kerajaan Belanda dengan Kerajaan Acheh yang dimulai pada 26 Maret 1873. Demikianlah ditulis oleh Komandan pasukan militer Belanda H.J. Scmith dalam bukunya Marechaussee in Acèh. Demikian pula pengakuan Gubernur Belanda yang terakhir, J. Jongejans telah menulis dalam bukunya Land en Volk van Acèh (1932), bahwa ”Belanda menganggap berakhir Perang Acheh dengan dapat dibunuhnya Tengku Chik di Tiro terakhir” (”With the death of the last Tengku di Tiro, the Acheh war can be considered as ended”) p. 346. Oleh karena itulah mengapa Proklamasi Kemerdekaan Acheh saya pilih pada 4 Desember untuk menjadi satu simbol  Acheh Merdeka adalah Negara Sambungan dari Kerajaan Acheh yang sudah-sudah dalam sejarah kita. Pada hakikatnya Belanda tidak pernah dapat  megalahkan Acheh terbukti dengan larinya dari Acheh pada Maret 1942! Ini satu bukti lagi -kalau lebih dari banyak bukti masih diperlukan- tentang berhaknya bangsa Acheh untuk mendirikan satu Negara Sambungan.

Siapapun tidak pernah bertanya kepada saya di luar negeri apakah saya sudah dipilih? Sebab dunia sudah tahu saya sudah lebih dahulu dipilih menurut sistem UUD Kerajaan Acheh yang dalam garis besarnya sama dengan sistem UUD Kerajaan Inggris, Belanda dan semua kerajaan-kerajaan lain di dunia demokrasi.

 

Satu faktor penting yang sangat menentukan yang sudah direkam oleh semua surat-surat kabar dunia di Eropah, Amerika, Afrika, Asia dan Australia tentang Acheh Merdeka ialah bahwa pemimpin Acheh Merdeka itu adalah seorang yang berketurunan yang telah melegalkan tanggung-jawab dan jabatannya menurut Hukum Internasional dan adat bangsa-bangsa dunia (convention) dengan tidak memerlukan pemilihan lagi. Ini perlu disadari oleh bangsa Acheh Merdeka. Mereka pun mesti tahu di mana terletak nasib baik mereka. Keuntungan mereka itu jangan mereka buang-buang begitu saja.

 

Surat kabar The Nation, Bangkok, Thailand menulis: “Pada 4 Desember 1976, Tengku Hasan di Tiro, cucu dari Tengku Chik di Tiro, pahlawan Acheh, telah menyatakan kemerdekaan. Dengan demikian Gerakan Acheh Merdeka sudah lahir ke dunia.” (22 Agustus 1991.) (“On the December 1976, Tengku Hasan di Tiro, the grandson of the Achehnese warior, Tengku Chik di Tiro declared independence and the Acheh Merdeka movement was born.” (Agust 22, 1991). Surat kabar Inggris, The Guardian, London, menulis: “Tengku Hasan di Tiro, pemimpin Acheh Merdeka, yang sudah menjadi orang terpenting dalam 3 pemberontakan melawan Jakarta di Acheh walaupun beliau sudah berada di luar negeri sejah tahun 1950 dan sekarang berdiam di Sweden. Cucu dari Tengku Chik di Tiro pahlawan besar Acheh dalam perang melawan Belanda. Tengku Hasan di Tiro menginginkan Acheh kembali sebagai satu negara Islam yang masyhur dengan perniagaan dan kekuatan Armadanya.” (26 Juni, 1991). ( The Hasan di Tiro, leader of freee Acheh, has been a key  figure in three uprisings against the central government, although he left the province in the 1950s and is based in Sweden. Grandson of Tengku Chik di Tiro, a hero in Acheh´s 30 years war against Duthch colonisers, Mr. Hasan recalls the taime when Acheh was an Islamic state known from trading an military prowess.”

 

Majalah Far Eastern Economic Review, Hong Kong, menerbitkan sebuah artikel (17 Juli 1981) berjudul: “PEMBERONTAH YANG BERKETURUNAN”. Acheh adalah sebuah negara yang sangat gigih menjaga kemerdekaannya yang sudah lebih 500 tahun. Belanda hanya dalat menguasai beberapa daerah pesisirnya saja sesudah berpaerang hampir satu abad lamanya… Gerakan kemerdekaan muncul kembali pada tahun 1976 ketika Tengku Hasan di Tiro kembali dari Amerika untuk mendirikan Acheh Merdeka.” ( REBEL WITH PEDEGREE. Acheh, a fiercily independence state  for ever 500 years. The Dutch only imposed modicum of control over the area after fighting a long and costly war…. Irredentism surfaced again in the mid 1970s when the Tengku Hasan di Tiro returned to launch the Acheh Mereka or Free Acheh Movement.”

 

Majalah Pacific Islands Monthly (Juni, 1998) menulis: “Tengku Muhammad Hasan di Tiro dari Sumatera adalah pemimpin Islam yang keras dan lawan Indonesia yang paling pahit; beliau adalah Ketua Komite Politik dari Mathaba, Tripoli. “Seorang pejuang kemerdekaan, pewaris dari keturunan raja-raja, seorang diplomat yang sangat ulung, yang selalu berkata bahwa beliau lebih suka berada dalam medan perang dimana nenek moyang saya sudah tewas. Tengku Hasan di Tiro merupakan simbol yang paling berjaya dari politik Libya, sehingga mengapa negara itu tidak ragu-ragu membantu gerakan kemerdekaan.” (Tunku Mohammad Hasan di Tiro, a Sumatra prince fervent muslim and bitter opponent of Indonesia is the chairman of Mathaba´s political Committee… An independent fighter, heir to a line of rulers, a polished diplomat who yet insists he should be on the battle field where my ancestors died, Hasan di Tiro neatly incarnates Libyas´s determined support for liberation front…” Pacific Islands Monthly (Juni, 1998)

 

Surat kabar Sweden Arbetaren, Stockholm, menulis (9 April 1992): ”Famili di Tiro adalah raja-raja Acheh selama 8 keturunan. Pemimpin Acheh Merdeka yang kini tinggal di Sweden, boleh menamakan diri sebagai Raja Acheh.” (”Familien di Tiro var under atta generationer kungar över Acheh, Hasan di Tiro, nu bosatt in Sverige, kan kallasig kungen av Acheh.” Arbetaren (9 April 1992).

 

Surat Kabar Sweden, Svenska Dagbladet, Stockholm menulis (10 Oktober 1994): ”Walaupun Tengku Hasan di Tiro sudah menjadi warganegara Sweden tetapi beliau masih mempunyai hak memakai titel Sultan. ”Sebenarnya beliau tidak pernah memakai titelnya. Beliau memperkenalkan diri hanya sebagai Tengku Hasan saja seperti beliau dipanggil oleh orang-orangnya sendiri di Acheh. Tetapi terdapat juga orang yang memanggilnya Sultan. Ketika saya berbicara via telefon ke Jakarta dengan orang-orang yang bekerja pada organisasi Hak Asasi manusia dan saya katakan bahwa saya akan mewawancari beliau, mereka meminta supaya saya sampaikan salam kepada Sultan. ”Baginda mempunyai hak untuk memakai titel itu” kata seorang pakar hukum kontak person saya di Jakarta.”

 

Tidak lama lagi saya akan pulang ke Acheh” Kata Tengku Hasan di Tiro. Baginda adalah pewaris dari satu dynasti  di Sumatera Utara dan mempunyai suatu riwayat hidup yang luar biasa sekali untuk didengar.” Pagina Istimewa, 10 Oktober 1994. (Ända ä han svensk medborgareoch säkert den ende som har rätt attkalla sig sultan. Fast den titel använder sig som prins eller Tengku, som den hetter pa hans eget sprak, Achehnesiska. Men de finns de som kallar honom för sultan. När jag ringer upp en människoråttsaktivist i Jakarta blir jag ombedd att hälse till sultanen.

Han har rätt att kalla sig sa, tillägger min kontaktperson i Jakarta. Men, nej, kunga -eller sultanntiteln ä inte aktuell fö den man jag träffar en första gang pa en bättre Stockholmsrestaurang. Inte sa länge jag lever i exil, säger Hasan di Tiro Han är arvtagare till en dynasti pa norra Sumatra och han har en märkelig levnadshistoria att berätta.”)

 

Amnesty International, London menulis (28 Juli 1993): “Acheh Merdeka dipimpin oleh Dr. Tengku Hasan di Tiro yng nenk moyang beliau memegang peranan yang terpenting dalam perang mempertahankan kemerdekaan Acheh dari serangan Belanda dalam abad ke-19 dan ke-20. Acheh Merdeka mendapat sokongan umum dari bangsa Acheh.” (”Acheh Merdeka was led by Dr. Tengku Hasan di Tiro, whose ancestors had played a leading role in resisting the Dutch in the late 19th and early 20th centuries. Acheh Merdeka gained a measure of popular support…”(Juli 28, 1993)

 

Surat kabar Belanda, Handelsblad, menulis (13 April 1991): ”Menurut propaganda Indonesia jumlah pemberontak Acheh paling banyak 50 orang saja, Hasan Tiro sudah membuktikan mempunyai ribuan pengikut yang bersenjata lengkap dan bangsa Acheh berdiri di belakangnya. Bagaimanapun juga orang menafsirkan pernyataan-pernyataan ini, satu perkara sudah terang: Indonesia  belum selesai dengan Tengku di Tiro!” (“Volgens de Indonesische regering gaat het om enkele benden van in totaal hooguit vijftig man. Hasan di Tiro echter beweert dat hijduizenden gewapende aanhangers heeft, en dat het Achehse volk achter hem staat. Hoe man ook over die aanspraak moge denken, éé dingis zeker: Indonesië is met de Tiro tengkoes nog niet klaar.”

 

Tegasnya simbolisme dari nama perjuangan famili Tengku-Tengku di Tirolah yang dibuktikan dalam sejarah Acheh yang gilang-gemilang yang telah ditulis oleh famili-famili itu bersama bangsa Acheh yang setia dengan darah mereka yang bercucuran salama 6 keturunan sambung-menyambung, yang dikagumi oleh dunia, dan yang akhirnya telah melahirkan Acheh Merdeka. Namun demikian, oleh musuh-musuh kita yang terang-terangan dan ada yang masih dalam selimut, saya dituduh bekerja untuk kepentingan famili dan bukan untuk kepentingan nasional bangsa Acheh. Ini adalah perbuatan musuh yang ingin menghitam halaman-halaman paling putih dan paling suci dari Kitab Sejarah Kita!

 

Saya sudah menerangkan dalam Pidato saya pada hari ulang tahun ke-19 dari Angkatan Acheh Merdeka pada 4 Desember 1995 bahwa, kepentingan nasional Acheh menghendaki supaya sistem negara sambungan (successor state) itu kita pertahankan sekurang-kurangnya sampai kita menang, artinya sesudah memperoleh kembali pengakuan dunia Internasional untuk negara Acheh Merdeka. Sebab, baru sesudah menang itu kita dapat melaksanakan pemilihan umum untuk mengubah UUD Kerajaan Acheh (dengan amandement yang diperlukan) dan untuk dapat menyelenggarakan pemilihan Wali Negara baru menurut amandement tersebut.

 

Bangsa Acheh lebih-lebih anggota Acheh Merdeka wajib bertanya kepada orang-orang Acheh yang mau mencalonkan diri sebagai Wali Negara itu di luar hukum UUD Acheh Merdeka yang berlaku sekarang, bagaimana rencana mereka untuk mencapainya? Bagaimana pemilihan umum untuk memilih mereka dapat dilakukan sekarang tanpa amandement atas UUD dan pemilihan umum lebih dahulu untuk itu? Sudah terang segala rupa pemilihan umum itu mustahil dapat diwujudkan sekarang karena negeri kita masih diduduki oleh si penjajah Indonesia-Jawa. Yang perlu dan praktis sekarang adalah masalah mengusir penjajah Jawa dan bukan perebutan kursi Wali Negara. Apakah mereka yang mau menjadi Wali Negara itu mempunya rencana alternatif yang lebih baik untuk lebih lekas mengusir penjajah dari bumi Acheh? Kalau ada kita ingin tahu, bagaimana rencana mereka. Bagaimanapun juga setiap kandidat wajib mengemukakan plannya dan kita ingin mempelajarinya. Bagaimanapun juga pergantian Wali Negara adalah hal yang mustahak tetapi wajiblah dilakukan menurut hukum UUD Acheh yang berlaku. UUD itupun dapat diubah, tetapi wajiblah menurut hukum pula.

 

Mestilah kita ingat bahwa penjajah Indonesia-Jawa yang memakai Bahasa Melayu sebagai alat propaganda dan indoktrinasi mereka, sangat gemar berbicara tentang ”hukum” seakan-akan kejahatan yang mereka lakukan adalah atas nama ”hukum” pula, pada hal kekuasaan mereka adalah di luar hukum, satu perampokan dan perampasan belaka.

 

Kita sudah 20 tahun mendirikan kembali satu Negara Sambungan, satu successor state dari Kerajaan Acheh Merdeka dan kita sudah berhasil berdiri dalam masyarakat dunia internasional. Segala perubahan mengenai sistem UUD negara kita wajiblah dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum yang sebenar-benarnya, sebagaimana diperbuat oleh semua anggota masyarakat dunia. Seluruh dunia mengamat-amati apa yang kita buat. Atas dasar itu mereka memberi atau menolak pengakuan untuk kita.

 

Kalau bukan atas nama Negara Sambungan kita tidak dapat memakai hak sejarah yang begitu penting; begitu mahal dan begitu menentukan; … kalau bukan atas nama Negara Sambungan kita tidak berhak memakai Pernyataan Perang oleh Belanda atas Kerajaan Acheh pada 26 Maret 1873, sebagai bukti wujudnya Kerajaan Acheh sebagai sebuah negara merdeka dan berdaulat (Belanda tidak pernah menyatakan perang dengan remi kepada Jawa atau bangsa manapun di Dunia Melayu); … kalau bukan atas nama Negara Sambungan kita sudah hilang hak untuk menuntut bayaran kerugian perang dari Belanda atas kejahatan yang telah dilakukannya di negeri Acheh dan ini bukan sedikit.

 

Atas nama Sejarah dan Negara Sambunganlah, saya sudah menèkèn Surat Pernyataan Kemerdekaan Acheh/Sumatera pada 4 Desember 1976, yang telah memberi hak kepada saya untuk berbuat demikian sebagai Pewaris legal dari Kerajaan Acheh Merdeka yang berdaulat dengan tidak perlu pemilihan umum yang mustahil dilakukan itu. Dalam istilah Hukum Internasional ini tidak berarti dengan tidak ada pemilihan lebih awal yang sudah disahkan seribu tahun yang lalu dalam sejarah menurut UUD Kerajaan Acheh yang lebih kurang sama dengan UUD kerajaan-kerajaan lain di dunia.

 

Dengan tidak ada sistem itu maka kita tidak mempunyai pegangan yang begitu kuat dan sempurnya untuk mendirikan Acheh Merdeka dan saya tidak mempunyai alasan legal dan bersejarah untuk menjadi Wali negara Acheh Merdeka. Apa yang sudah kita lakukan itu adalah cocok dan sepadan dengan Hukum Internasional dan dimengerti penuh oleh bangsa-bangsa yang beradab di dunia, karena itulah kita mendapatkan simpati dunia yang besar.  Menjadi orang Acheh Merdeka berarti menjadi seorang warganegara Acheh Merdeka yang selalu wajib berpikir sendiri dan wajib ta´at-setia kepada Pemimpinnya: Wali Negara Acheh Merdeka.

 

TENGKU HASAN DI TIRO WALI NEGARA ACHEH MERDEKA.

 

Bertepatan dengan 100 tahun medan perang Kuta Aneuk Galông, dimana Tengku Chik di Tiro Muhammad Amin gusur bersama 400 kawan seperjuangannya mempertahankan kemerdekaan Acheh. Mayat beliau dikebumikan di Meureuë, di samping Ayahandanya Tengku Chik di Tiro Muhammad Saman. Ketika saya pulang ke Acheh dari Amerika di tahun 1976 untuk mendirikan Acheh Merdeka kembali, saya menziarahi kuburan-kuburan mulia itu dan waktu itu saya tidak dapat berbuat apa-apa, selain meniarap atas makam Pahlawan itu dan mencucurkan air mata yang tidak dapat saya tahan dan bendung itu membasahi bumi pusara mulia itu. Bersambung…..



[1]  William Marsden, The History of Sumatra, London, 1873, p. 396.

TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update