Sejarah Acheh wajiblah dipahami sedalam-dalamnya dan
sebenar-benarnya sebagai sebuah sejarah yang tidak boleh dipertentangkan (undisputed history), sama sebagai
Sunnah dalam Islam. Sejarah Acheh adalah satu sejarah yang berdiri sendiri,
yang terang benderang, yang diketahui oleh seluruh dunia dan tertulis dalam
segala Bahasa dengan segala bukti dan dokumentasi Hukum dan politik yang
diperlukan. Sejarah Acheh bukanlah satu sejarah yang boleh dan dapat
dipertikaikan (a disputed history).
Ini mesti diketahui dan disadari oleh semua dan setiap bangsa Acheh. Di sinilah
asal-usul mereka. Inilah akar mereka. Dari sinilah timbul pusaka dan hak mereka
di muka bumi.
Selama
50 tahun penjajahan Indonesia-Jawa sejarah Acheh sudah dibuat oleh si penjajah
dan kaki tangannya menjadi satu sejarah yang dapat dipertengkarkan tegasnya menjadi satu disputed history yang dapat dipertengkarkan mereka dengan orang
bodoh. Inilah satu dari perkakas penjajahan yang paling berbahaya yang selalu
dilakukan oleh si penjajah atas bangsa-bangsa yang mereka jajah. Dengan membuat
sejarah Acheh menjadi satu disputed
history, maka pikiran bangsa Acheh dapat dikacau-balaukan, mereka tidak
dapat berpikir lurus lagi dan kepercayaan kepada nenek-moyang dan diri-sendiri
hilang lenyap. Inilah satu pemalsuan sejarah yang mengurangi arti sejarah itu
sendiri sehingga tidak dapat dipakai lagi sebagai tempat berpijak; tidak dapat
dipakai lagi sebagai alasan untuk memelihara dan menuntut hak. Keadaannya sudah
begitu rusak sehingga kalau kita mengatakan kepada si penjajah Indonesia-Jawa
sekarang tentang sejarah Acheh yang benar, maka mereka sudah siap sedia
menjawab dengan kata-kata yang sudah mereka kalèngkan: ”itu versi kamu”, artinya hanya cerita kita saja, sementara
cerita-cerita bohong mereka itulah yang sudah diajar di sekolah-sekolah selama
setengah abad belakangan ini yang tidak ada kebenarannya, selain untuk
semata-mata membenarkan penjajahan Indonesia-Jawa atas kita. Inilah pengertian
sejarah bodoh yang dipropagandakan di Indonesia-Jawa sejak berdirinya di tahun
1945 sampai sekarang, 1996. Propaganda mereka ini sama sekali tidak berdasarkan
ilmiah dan tidak seperti dipahami oleh bangsa-bangsa maju di dunia.
Dalam
sejarahnya yang panjang itu, Adalah satu Kerajaan yang merdeka dan berdaulat
yang diakui dunia sejak ribuan tahun lamanya. Gerakan Acheh Merdeka sudah
mengumpulkan lebih dari cukup dokumentasi-dokumentasi yang membuktikan
kebesaran dan kebenaran sejarah Acheh itu. Ahli sejarah Inggris menyebut ”Acheh hanyalah satu-satunya Kerajaan
Sumatera yang pernah berhasil mencapai kedudukan politik yang begitu penting di
mata bangsa-bangsa Barat, sehingga telah membuat setiap gerakan Kerajaan Acheh
itu menjadi acara sejarah dunia… dan p[1]emimpin-pemimpin
Acheh menerima perwakilan-perwakilan dari kerajaan-kerajaan besar Eropah.” (Achin, properly Acheh, is the only kingdom of Sumatra
that ever arrived to such a degree of political consequence in the eyes of the
Western people, as to occasion its transactions becoming the subject of general
history… and its princes received embassies from all the great potentates of
Europe).
Tetapi mengapa dan bagaimana Acheh
yang merdeka dan berdiri sendiri dengan sejarahnya yang terpisah dan tidak ada
sangkut-paut dengan Pulau Jawa itu akhirnya menjadi ´Indonesia´ pada tahun 1945
atau pada tahun 1949 itu? Bagaimana
mungkin anak Harimau bertukar mejadi anak biri-biri? Suatu penipuan,
penggelapan, pemalsuan besar-besaran sudah terjadi mulai dari tahun 1945 itu
sehingga bangsa Acheh berhasil dipropagandakan bertukar menjadi satu bangsa
lain yaitu bangsa pura-pura ´Indonesia´ yang tidak bersejarah, tidak berbahasa,
tidak berbudaya dan tidak bernegeri yang sah itu. Dalam process itu bangsa Acheh dan negeri mereka yang kaya raya sudah
menjadi milik si penjajah Jawa. Sejak itu bangsa Acheh sudah mereka
perhambakan, boleh mereka bunuh dan sembelih sesuka hati mereka sebagai yang
telah terjadi sekarang setiap hari.
Bagaimana hal yang sangat merugikan
dan memalukan itu boleh terjadi? Supaya pasti-pasti hitung di tahun berapa?
Waktu Acheh di bawah pimpinan siapa? Mengapa? Ini semua mesti kita
jawabsenagan segala kejujuran dan wajib menerima segala kenyataan. Sebab klau
kita tidak memahami kesalahan-kesalahan yang sudah dibuat, maka kita akan
mengulangi kesalahan-kesalahan itu juga di masa yang akan datang! Jika tidak
tahu belajar dari pengalaman-pengalaman yang sudah-sudah maka mustahillah untuk
dapat memerdekakan diri kembali.
Bangsa Jawa sudah menanamkan penipuan besar-besaran yang sudah mereka
lakukan atas kita itu sebagai satu “REVOLUSI” dan kita ikut serta memajukannya.
Pada hal itu adalah satu revolusi yang benar hanya untuk bangsa Jawa saja
dimana mereka sudah berhasil menukar status mereka dari bangsa hamba sahaya,
yang tidak pernah merdeka menjadi satu bangsa merdeka dan menjadi bangsa
tuan-tuan bukan saja atas tanah mereka sendiri, Pulau Jawa, tetapi juga atas
bangsa dan negeri kita Acheh, Sumatera dan lain-lain sebagainya. Haruslah kita
kaui bahwa bagi bangsa Jawa itu mamng satu revolusi, satu perubahan nasib yang
luar biasa bagi mereka itu. Tetapi bagi bangsa Acheh dan bangsa Sumatera yang
lain-lain, apakah itu benar-benar satu revolusi pula? Jauh panggang dari api! “Revolusi” Indonesia-Jawa itu sama sekali bukan
revolusi untuk kita. Lebih-lebih bagi bangsa Acheh yang memiliki sejarah begitu
besar, apa yang terjadi tahun 1945 itu bukanlah satu revolusi, tetapi suatu
tragedi, satu pembodohan dan perbudakan yang sangat menghina kita dan
nenek-moyang kita serta keturunan kita yang akan datang.
Buku-buku
yang ditulis oleh keturunan sesat itu (the loss generation) yang sebenarnya
mesti kita namakan pengkhianat-pengkhianat bangsa mereka sendiri yang
membenarkan ”revolusi” Indonesia-Jawa itu masih dipakai yakni dibenarkan sampai
sekarang oleh mereka-mereka yang buta huruf politik. Fakta ini masih terjadi 20
tahun sesudah kita menyatakan Acheh Merdeka danmasih ada bangsa Acheh sendiri
yang masih menulis tentang ”revolusi” Indonesia-Jawa itu seakan-akan satu
”revolusi” sesungguhnya pada hal satu perbudakan oleh bangsa Jawa yang masih
buta huruf dalam politik dan ekonomi! Ini disebabkan karena si penjajah Jawa
talah berhasil dalam waktu 50 tahun ini untuk mempengaruhi alam pikiran anak
jajahan mereka -termasuk bangsa Acheh- lewat sistem pendidikan kolonial mereka
untuk membuat orang-orang yang bukan Jawa tidak pandai berpikir sendiri lagi
dan hanya membeo kepada apa yang dikatakan oleh si penjajaah Jawa itu dari
Jakarta!
Buku-buku
mengenai ”revolusi” Indonesia-Jawa ini tidak dapat dipakai untuk membenarkan
ideologi Acheh Merdeka. Bagaimana sumber-sumber ”revolusi” dan agen-agen
mereka yang telah membuat sejarah Acheh menjadi disputed history masih saja dipakai sebagai sumber kita? Ini bermakna masih buta
huruf dalam politik, ekonomi, hukum dan sejarah. Demikian juga sejarah Acheh
yang diperlukan untuk menegakkan Acheh Merdeka adalah SEJARAH KERAJAAN ACHEHyang
merdeka dan berdaulat mulai dari 1500 sampai sekarang (1996), yang ada
dokumentasinyadalam sejarah dunia, dalam peta dunia, dan dalam diplomatic correspondence atau
surat-menyurat antara negara-negara/kerajaan-kerajaan merdeka. Itulah KERAJAAN ACHEH
yang kepadanya sudah diadreskan Declaration
of War (Deklarasi Perang) oleh kerajaan Belanda pada 26 Maret 1873, suatu
tindakan negara yang menurut Hukum Internasional mempunyai akibat legal yang
kekal dan bangsa Acheh berhak memajukan tuntutan-tuntutan bayar ganti rugi dari
Kerajaan Belanda yang wajib membayarnya!
Sementara
Kerajaan-kerajaan Acheh yang lama sebelum itu dalam sejarah Acheh belum
mempunyai dokumentasi dunia yang pasti-pasti seperti kerajaan Pidië, Pasé,
Peureulak, Lingga, Daya, dsb; tidak bijaksana menghubung-hubungkan
kerajaan-kerajaan lama itu dengan kerajaan Acheh yang dimulai oleh Sultan
AliMughayatsyah dengan perang besar melawan Portugis dan berakhir dengan
gugurnya Wali Negara Acheh terakhir, Tengku Ma´at di Tiro dalam perang besar
dengan Belanda pada 3 Desember 1911.
Membawa
nama-nama Kerajaan Acheh lama yang tidak diakui duni dalam perkara perang
kemerdekaan antara bangsa Acheh dengan si penjajah Indonesia-Jawa sekarang ini
akan melemahkan tuntutan kita semata-mata sebab badan-bdan dunia tiakan mau
campur tangan dalam perkara-perkara yang tergolang dalam masalah disputed history sebagai itu. Mencampur
adukkan masalah status Kerajaan Acheh dari Sultan Ali Mughayatsyah sampai
kepada Tungku Ma´at di Tiro dengan riwayat Kerajaan-kerajaan Acheh yang lain adalah laksana seorang pedagang
mencampur adukkan pemakaian uang dollar dengan uang palsu rupiah Indonesia-Jawa
yang akan membawa dirinya dan perniagannya ke jurang kebangkrutan. Hanya
pemakaian hujjah sejarah yang pasti-pasti dan terbukti yang ada artinya dalam
Hukum Internasional dan yang ada nilai dan pengaruhnya dalam dunia untuk
membuat negara-negara/kerajaan-kerajaan lain mau mengakui kemerdekaan Acheh
kembali.
NEGARA
SAMBUNGAN ( A SUCCESSOR STATE )
Perlulah dipahami seterang-terangnya
tentang status legal dan status politik serta status sejarah dari Negara Acheh
Merdeka dalam Hukum Internasional dan politik Internasional sebagai suatu
successor state (negara sambungan) dari Kerajaan Acheh yang silam dalam sejarah
yang tidak dapat dipertikaikan itu -undisputed
history- Sesuatu undisputed history
atau negara sambungan mempunyai hak legal (Hak Hukum) yang retroactive (kembali
ke masa yang silam) yang bersambung ke masa sekarang dan masa-masa yang akan datang.
Semua perjanjian dan hubungan luar negeri dari Kerajaan Acheh yang lampau masih
tetap berharga dan masih menjadi pegangan dalam hubungan antara negara hingga
hari Kiamat – asalkan Negara Acheh Merdeka yang sekarang dan yang akan datang-
tahu mempergunakannya.
Pada tahun 1945, mereka yang
memegang pimpinan di Acheh terdiri dari orang-orang yang sama sekali tidak tahu
sejarah Acheh, tidak tahu kepentingan nasional Acheh dan tidak tahu kedudukan
yang dimiliki Acheh dalam Hukum Internasional. Bahaya yang besar dari tahun
1945 sampai sekarang tahun 1996 ialah kebodohan bangsa Acheh sendiri yang telah
dapat ditipu oleh bandit-bandit Jawa dan kaki tangan mereka. Sekarang sudah
setengah lamanya! Sebagaimana sudah saya tegaskan mulai dalam Surat Pernyataan
Kemerdekaan Acheh-Sumatera pada 4 Desember 1976, perjuangan kita sekarang
adalah sambungan mutlak dan sambungan langsung dari perjuangan Kerajaan Acheh
Merdeka yang silam, kerajaan Asia yang pertama-tama dapat mengalahkan tentara
Eropah dalam medan perang, yaitu medan perang Bandar Acheh pada14 April 1873,
sebagaimana sudah dinaik saksikan oleh surat-surat kabar terkemuka di dunia,
seperti The London Times dan The New York Times. Oleh karena Negara Acheh
Merdeka yang telah kita nyatakan pada 4 Desember 1976 itu telah diterima oleh
masyarakat politik dunia Internasional sebagai suatu successor state dari Kerajaan Acheh yang silam yang merdeka dan
berdaulat, dengan alas an-alasan yang cukup kuat yang sudah kita berikan dalam
buku bersifat ilmiah, di antaranya:
1. Status Acheh
Dalam Hukum Internasional ( The Status of Acheh in International Law);
2. Jum Merdeka
(The Price of Freedom);
3. Lahirnya
Kemerdekaan Baru di Acheh (Acheh: The New Birth of Freedom), diterbitkan oleh
House of Lord, London.
4. Perkara dan
Alasan ( The Case and Cause);
5. Drama Sejarah Acheh: 1873-1978 (The Drama of Achehnese
history: 1873-1978);
6.
Dan
artikel-artikel yang sudah diterbitkan oleh surat-surat kabar besar di Eropah,
Amerika, Afrika, Australia dan Asia.
Kalaulah
bukan Negara Sambungan (Successor State)
yang kita dirikan maka berarti kita sudah melemahkan sendiri kedudukan legal
dan kedudukan politik kita di dunia.
Kalaulah
bukan Negara Sambungan (Successor State)
yang kita dirikan maka berarti kita sudah mengkhianati sejarah dan nenek moyang
dan mayat mereka yang bergelimpangan di setiap pelosok tanah Acheh.
Kalaulah
bukan Negara Sambungan (Successor State)
yang kita dirikan maka berarti kita sudah mengkhianati Hak Pusaka yang nenek
moyang telah membayar dengan dan air mata mereka dan seluruh dunia tunduk
kepala menghormatinya.
Kalaulah bukan Negara Sambungan (Successor State) yang kita dirikan maka
berarti kita sudah mengkhianati sejarah yang tidak dapat dipertengkarkan (undisputed history).
Kalaulah bukan Negara Sambungan (Successor State) yang kita dirikan maka
berarti kita sudah memutuskan hubungan dengan sejarah kita yang gilang gemilang
dan kita sudah memberikan kesempatan kepada si penjajah Indonesia-Jawa dan kali
tangannya pengkhianat-pengkhianat Acheh sendiri untuk mempertengkarkan sejarah
kita yang tidak dapat dipertengkarkan untuk membenarkan penjajahan
bandit-bandit Jawa atas kita.
Kalaulah bukan Negara Sambungan (Successor State) yang kita dirikan maka
tempat berpijak kita telah menjadi lemah, sebab tidak dapat lagi mempergunakan
sejarah dan segala kekuatan retroactive
yang ada padanya.
Kalaulah bukan Negara Sambungan (Successor State) yang kita dirikan maka
negara-negara dunia akan membuat syarat bahwa Wali Negara kita wajib dipilih
lebih dahulu dalam Pemilihan Umum sebelum diakui dan sebelum diterima untuk
berbicara dengan dunia.
Bagaimanakah bangsa Acheh yang
negeri mereka dalam pendudukan Indonesia-Jawa dapat memangadakan Pemilu
sekarang? Mustahil! Ini mesti dijawab oleh mereka yang hendak memperebutkan
kedudukan Wali Negara Acheh Merdeka sekarang di luar Undang-undang Dasar Kerajaan Acheh yang masih
tetap berlaku. Hal ini perlu dipikirkan akibatnya oleh bangsa Acheh merdeka
kalau mereka mau benar-benar merdeka dan perjuangan kemerdekaan yang sudah kita
tegakkan dengan susah payah ini tidak menjadi korban orang-orang yang gila pangkat
dan rupaya tidak sabar menunggu sampai saya dipanggil oleh Allah menghadap-Nya.
Tegasnya orang-orang gila pangkat ini berpikir seperti Suharto juga yang ingin
saya supaya lekas mati.
Semua kemenangan politik yang sudah
kita capai di dalam dan di luar negeri selama 20 tahun ini, karena dunia
mengakui kita sebagai satu successor
state dari Kerajaan Acheh dalam sejarah, yang bukan hanya dongèng itu. Dan
sebagi satu successor state, maka
kepala negara kita tetap ditentukan menurut UUD kerajaan Acheh Merdeka yang
sudah berlaku sejak ribuan tahun itu -sebagaimana
UUD kerajaan-kerajaan lain di dunia- yaitu dipilih dari keluarga-keluarga
besar Kerajaan Acheh yang berhak, yang di sini tidak dipandang lagi sebagai
famili tetapi sebagai Badan Negara (Institution)
atau lemabaga negara untuk memerintah. Hikmat semua ini adalah untuk meniadakan
persengketaan yang bukan-bukan dalam sesatu negara yang ditimbulkan hanya
karena perebutan kedudukan saja yang tidak memungkinkan negara menjalankan
tujuannya yaitu menegakkan keadilan untuk semua.
Dalam sejarahnya yang sudah ribuan
tahun itu, Acheh telah mempunyai famili-famili besar yang telah menjadi
Lembaaga Negara itu karena berhasil mengisi jabatan kepala Negara waktu sudah
ada terjadi kekosongan. Singkatnya mulai tahun 1840 maka famili di Tirolah yang
menjadi Wali Negara Acheh sampai sekarang. Perkara ini sudah saya jelaskan
dalam buku Drama Sejarah Acheh 1873-1978.
Itulah satu takdir dari Allah SWT kata orang Islam. Satu fait accompli, kata orang Barat. Saya tidak ”merebutkan”
tanggungjawab itu dari siapapun juga. Mengapa tidak ada orang lain yang
mendirikan kembali Negara Acheh Merdeka sebelum saya kembali dari Amerika?
Oleh karena diterima dunia sebagai
Wali Negara Acheh yang berhak berbicara atas nama bangsa Acheh, maka saya telah
dapat memperlindungi refugee
(pelarian) Acheh yang terpaksa pindah ke luar negeri karena diusir oleh si
penjajah Indonesia-Jawa.
Kalaulah bukan Negara Sambungan (Successor State) yang kita dirikan
sekarang maka dunia akan menuntut, siapa yang menjadi Wali Negara mesti dipilih
dengan pemilihan umum dahulu. Ini adalah hal-hal yang mustahil dapat kita
lakukan sekarang, sebab negeri kita dalam tangan musuh. Kesulitan ini telah
dapat kita elakkan dengan mendirikan successor
state dengan UUD-nya yang melegalkan Tengku Chik di Tiro sebagai Wali
Negara.
Saya telah menandatangani Surat
Pernyataan Acheh/Sumatera Merdeka sebagai negara sambungan atas kelegalan satu successor state sebab pada masa sekarang
sayalah yang berhak (bertugas) sebagai Wali Negara Acheh sebagai Tengku Chik di
Tiro menggantikan Yang Mulia Nenekanda Tengku Chik Mahyédin dan Pamanda Tengku Chik
Ma´at yang gugur pada 3 Desember 1911, dalam perang menentang Belanda.
Hari 3 Desember 1911 diakui oleh
Belanda sebagai sebagai hari berakhirnya Perang antara Kerajaan Belanda dengan
Kerajaan Acheh yang dimulai pada 26 Maret 1873. Demikianlah
ditulis oleh Komandan pasukan militer Belanda H.J. Scmith dalam bukunya Marechaussee
in Acèh. Demikian pula pengakuan Gubernur Belanda yang terakhir, J.
Jongejans telah menulis dalam bukunya Land en Volk van Acèh (1932), bahwa
”Belanda menganggap berakhir Perang Acheh dengan dapat dibunuhnya Tengku Chik
di Tiro terakhir” (”With the death of the
last Tengku di Tiro, the Acheh war can be considered as ended”) p. 346. Oleh
karena itulah mengapa Proklamasi Kemerdekaan Acheh saya pilih pada 4 Desember
untuk menjadi satu simbol Acheh Merdeka
adalah Negara Sambungan dari Kerajaan Acheh yang sudah-sudah dalam sejarah
kita. Pada hakikatnya Belanda tidak pernah dapat megalahkan Acheh terbukti dengan larinya dari
Acheh pada Maret 1942! Ini satu bukti lagi -kalau lebih dari banyak bukti masih
diperlukan- tentang berhaknya bangsa Acheh untuk mendirikan satu Negara
Sambungan.
Siapapun
tidak pernah bertanya kepada saya di luar negeri apakah saya sudah dipilih?
Sebab dunia sudah tahu saya sudah lebih dahulu dipilih menurut sistem UUD
Kerajaan Acheh yang dalam garis besarnya sama dengan sistem UUD Kerajaan
Inggris, Belanda dan semua kerajaan-kerajaan lain di dunia demokrasi.
Satu
faktor penting yang sangat menentukan yang sudah direkam oleh semua surat-surat
kabar dunia di Eropah, Amerika, Afrika, Asia dan Australia tentang Acheh
Merdeka ialah bahwa pemimpin Acheh Merdeka itu adalah seorang yang berketurunan
yang telah melegalkan tanggung-jawab dan jabatannya menurut Hukum Internasional
dan adat bangsa-bangsa dunia (convention) dengan tidak memerlukan pemilihan
lagi. Ini perlu disadari oleh bangsa Acheh Merdeka. Mereka pun mesti tahu di
mana terletak nasib baik mereka. Keuntungan mereka itu jangan mereka
buang-buang begitu saja.
Surat
kabar The Nation, Bangkok, Thailand menulis: “Pada 4 Desember 1976, Tengku Hasan di Tiro, cucu dari Tengku Chik di
Tiro, pahlawan Acheh, telah menyatakan kemerdekaan. Dengan demikian Gerakan Acheh
Merdeka sudah lahir ke dunia.” (22 Agustus 1991.) (“On the December 1976,
Tengku Hasan di Tiro, the grandson of the Achehnese warior, Tengku Chik di Tiro
declared independence and the Acheh Merdeka movement was born.” (Agust 22,
1991). Surat kabar Inggris, The
Guardian, London, menulis: “Tengku
Hasan di Tiro, pemimpin Acheh Merdeka, yang sudah menjadi orang terpenting
dalam 3 pemberontakan melawan Jakarta di Acheh walaupun beliau sudah berada di
luar negeri sejah tahun 1950 dan sekarang berdiam di Sweden. Cucu dari Tengku Chik
di Tiro pahlawan besar Acheh dalam perang melawan Belanda. Tengku Hasan di Tiro
menginginkan Acheh kembali sebagai satu negara Islam yang masyhur dengan
perniagaan dan kekuatan Armadanya.” (26 Juni, 1991). ( The Hasan di Tiro,
leader of freee Acheh, has been a key
figure in three uprisings against the central government, although he
left the province in the 1950s and is based in Sweden. Grandson of Tengku Chik
di Tiro, a hero in Acheh´s 30 years war against Duthch colonisers, Mr. Hasan
recalls the taime when Acheh was an Islamic state known from trading an
military prowess.”
Majalah
Far
Eastern Economic Review, Hong Kong, menerbitkan sebuah artikel (17 Juli
1981) berjudul: “PEMBERONTAH YANG
BERKETURUNAN”. Acheh adalah sebuah negara yang sangat gigih menjaga kemerdekaannya
yang sudah lebih 500 tahun. Belanda hanya dalat menguasai beberapa daerah
pesisirnya saja sesudah berpaerang hampir satu abad lamanya… Gerakan
kemerdekaan muncul kembali pada tahun 1976 ketika Tengku Hasan di Tiro kembali
dari Amerika untuk mendirikan Acheh Merdeka.” ( REBEL WITH PEDEGREE. Acheh, a
fiercily independence state for ever 500
years. The Dutch only imposed modicum of control over the area after fighting a
long and costly war…. Irredentism surfaced again in the mid 1970s when the Tengku
Hasan di Tiro returned to launch the Acheh Mereka or Free Acheh Movement.”
Majalah Pacific
Islands Monthly (Juni, 1998) menulis: “Tengku Muhammad Hasan di Tiro dari Sumatera adalah pemimpin Islam
yang keras dan lawan Indonesia yang paling pahit; beliau adalah Ketua Komite
Politik dari Mathaba, Tripoli. “Seorang pejuang kemerdekaan, pewaris dari
keturunan raja-raja, seorang diplomat yang sangat ulung, yang selalu berkata
bahwa beliau lebih suka berada dalam medan perang dimana nenek moyang saya
sudah tewas. Tengku Hasan di Tiro merupakan simbol yang paling berjaya dari
politik Libya, sehingga mengapa negara itu tidak ragu-ragu membantu gerakan
kemerdekaan.” (Tunku Mohammad Hasan di Tiro, a Sumatra prince fervent muslim
and bitter opponent of Indonesia is the chairman of Mathaba´s political
Committee… An independent fighter, heir to a line of rulers, a polished
diplomat who yet insists he should be on the battle field where my ancestors
died, Hasan di Tiro neatly incarnates Libyas´s determined support for
liberation front…” Pacific Islands Monthly (Juni, 1998)
Surat
kabar Sweden Arbetaren, Stockholm,
menulis (9 April 1992): ”Famili di Tiro
adalah raja-raja Acheh selama 8 keturunan. Pemimpin Acheh Merdeka yang kini
tinggal di Sweden, boleh menamakan diri sebagai Raja Acheh.” (”Familien
di Tiro var under atta generationer kungar över Acheh, Hasan di Tiro, nu bosatt
in Sverige, kan kallasig kungen av Acheh.” Arbetaren (9 April 1992).
Surat Kabar Sweden, Svenska
Dagbladet, Stockholm menulis (10 Oktober 1994): ”Walaupun Tengku Hasan di Tiro sudah menjadi warganegara Sweden tetapi
beliau masih mempunyai hak memakai titel Sultan. ”Sebenarnya beliau tidak
pernah memakai titelnya. Beliau memperkenalkan diri hanya sebagai Tengku Hasan
saja seperti beliau dipanggil oleh orang-orangnya sendiri di Acheh. Tetapi
terdapat juga orang yang memanggilnya Sultan. Ketika saya berbicara via telefon
ke Jakarta dengan orang-orang yang bekerja pada organisasi Hak Asasi manusia
dan saya katakan bahwa saya akan mewawancari beliau, mereka meminta supaya saya
sampaikan salam kepada Sultan. ”Baginda mempunyai hak untuk memakai titel itu”
kata seorang pakar hukum kontak person saya di Jakarta.”
”Tidak lama lagi saya akan pulang ke Acheh” Kata Tengku Hasan di Tiro.
Baginda adalah pewaris dari satu dynasti
di Sumatera Utara dan mempunyai suatu riwayat hidup yang luar biasa
sekali untuk didengar.” Pagina Istimewa, 10 Oktober 1994. (Ända ä han svensk medborgareoch
säkert den ende som har rätt attkalla sig sultan. Fast den titel använder sig
som prins eller Tengku, som den hetter pa hans eget sprak, Achehnesiska. Men de
finns de som kallar honom för sultan. När jag ringer upp en
människoråttsaktivist i Jakarta blir jag ombedd att hälse till sultanen.
Han
har rätt att kalla sig sa, tillägger min kontaktperson i Jakarta. Men, nej,
kunga -eller sultanntiteln ä inte aktuell fö den man jag träffar en första gang
pa en bättre Stockholmsrestaurang. Inte sa länge jag lever i exil, säger Hasan
di Tiro Han är arvtagare till en dynasti pa norra Sumatra och han har en märkelig levnadshistoria att berätta.”)
Amnesty International, London
menulis (28 Juli 1993): “Acheh Merdeka
dipimpin oleh Dr. Tengku Hasan di Tiro yng nenk moyang beliau memegang peranan
yang terpenting dalam perang mempertahankan kemerdekaan Acheh dari serangan
Belanda dalam abad ke-19 dan ke-20. Acheh Merdeka mendapat sokongan umum dari bangsa Acheh.” (”Acheh Merdeka
was led by Dr. Tengku Hasan di Tiro, whose ancestors had played a leading role
in resisting the Dutch in the late 19th and early 20th
centuries. Acheh Merdeka gained a measure of popular support…”(Juli
28, 1993)
Surat
kabar Belanda, Handelsblad, menulis (13 April 1991): ”Menurut propaganda Indonesia jumlah pemberontak Acheh paling banyak 50
orang saja, Hasan Tiro sudah membuktikan mempunyai ribuan pengikut yang
bersenjata lengkap dan bangsa Acheh berdiri di belakangnya. Bagaimanapun juga
orang menafsirkan pernyataan-pernyataan ini, satu perkara sudah terang:
Indonesia belum selesai dengan Tengku di
Tiro!” (“Volgens de Indonesische regering
gaat het om enkele benden van in totaal hooguit vijftig man. Hasan di Tiro echter
beweert dat hijduizenden gewapende aanhangers heeft, en dat het Achehse volk
achter hem staat. Hoe man ook over die aanspraak moge denken, éé dingis
zeker: Indonesië is met de Tiro tengkoes nog niet klaar.”
Tegasnya simbolisme dari nama
perjuangan famili Tengku-Tengku di Tirolah yang dibuktikan dalam sejarah Acheh
yang gilang-gemilang yang telah ditulis oleh famili-famili itu bersama bangsa Acheh
yang setia dengan darah mereka yang bercucuran salama 6 keturunan
sambung-menyambung, yang dikagumi oleh dunia, dan yang akhirnya telah
melahirkan Acheh Merdeka. Namun demikian, oleh musuh-musuh kita yang
terang-terangan dan ada yang masih dalam selimut, saya dituduh bekerja untuk
kepentingan famili dan bukan untuk kepentingan nasional bangsa Acheh. Ini
adalah perbuatan musuh yang ingin menghitam halaman-halaman paling putih dan
paling suci dari Kitab Sejarah Kita!
Saya sudah menerangkan dalam Pidato
saya pada hari ulang tahun ke-19 dari Angkatan Acheh Merdeka pada 4 Desember
1995 bahwa, kepentingan nasional Acheh menghendaki supaya sistem negara
sambungan (successor state) itu kita
pertahankan sekurang-kurangnya sampai kita menang, artinya sesudah memperoleh
kembali pengakuan dunia Internasional untuk negara Acheh Merdeka. Sebab, baru
sesudah menang itu kita dapat melaksanakan pemilihan umum untuk mengubah UUD
Kerajaan Acheh (dengan amandement yang diperlukan) dan untuk dapat
menyelenggarakan pemilihan Wali Negara baru menurut amandement tersebut.
Bangsa Acheh lebih-lebih anggota Acheh
Merdeka wajib bertanya kepada orang-orang Acheh yang mau mencalonkan diri
sebagai Wali Negara itu di luar hukum UUD Acheh Merdeka yang berlaku sekarang,
bagaimana rencana mereka untuk mencapainya? Bagaimana pemilihan umum untuk
memilih mereka dapat dilakukan sekarang tanpa amandement atas UUD dan pemilihan
umum lebih dahulu untuk itu? Sudah terang segala rupa pemilihan umum itu
mustahil dapat diwujudkan sekarang karena negeri kita masih diduduki oleh si
penjajah Indonesia-Jawa. Yang perlu dan praktis sekarang adalah masalah
mengusir penjajah Jawa dan bukan perebutan kursi Wali Negara. Apakah mereka
yang mau menjadi Wali Negara itu mempunya rencana alternatif yang lebih baik
untuk lebih lekas mengusir penjajah dari bumi Acheh? Kalau ada kita ingin tahu,
bagaimana rencana mereka. Bagaimanapun juga setiap kandidat wajib mengemukakan
plannya dan kita ingin mempelajarinya. Bagaimanapun juga pergantian Wali Negara
adalah hal yang mustahak tetapi wajiblah dilakukan menurut hukum UUD Acheh yang
berlaku. UUD itupun dapat diubah, tetapi wajiblah menurut hukum pula.
Mestilah kita ingat bahwa penjajah
Indonesia-Jawa yang memakai Bahasa Melayu sebagai alat propaganda dan
indoktrinasi mereka, sangat gemar berbicara tentang ”hukum” seakan-akan
kejahatan yang mereka lakukan adalah atas nama ”hukum” pula, pada hal kekuasaan
mereka adalah di luar hukum, satu perampokan dan perampasan belaka.
Kita sudah 20 tahun mendirikan
kembali satu Negara Sambungan, satu successor
state dari Kerajaan Acheh Merdeka dan kita sudah berhasil berdiri dalam
masyarakat dunia internasional. Segala perubahan mengenai sistem UUD negara
kita wajiblah dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum yang
sebenar-benarnya, sebagaimana diperbuat oleh semua anggota masyarakat dunia.
Seluruh dunia mengamat-amati apa yang kita buat. Atas dasar itu mereka memberi
atau menolak pengakuan untuk kita.
Kalau bukan atas nama Negara
Sambungan kita tidak dapat memakai hak sejarah yang begitu penting; begitu
mahal dan begitu menentukan; … kalau bukan atas nama Negara Sambungan kita
tidak berhak memakai Pernyataan Perang oleh Belanda atas Kerajaan Acheh pada 26
Maret 1873, sebagai bukti wujudnya Kerajaan Acheh sebagai sebuah negara merdeka
dan berdaulat (Belanda tidak pernah menyatakan perang dengan remi kepada Jawa
atau bangsa manapun di Dunia Melayu); … kalau bukan atas nama Negara Sambungan
kita sudah hilang hak untuk menuntut bayaran kerugian perang dari Belanda atas
kejahatan yang telah dilakukannya di negeri Acheh dan ini bukan sedikit.
Atas nama Sejarah dan Negara
Sambunganlah, saya sudah menèkèn Surat Pernyataan Kemerdekaan Acheh/Sumatera
pada 4 Desember 1976, yang telah memberi hak kepada saya untuk berbuat demikian
sebagai Pewaris legal dari Kerajaan Acheh Merdeka yang berdaulat dengan tidak
perlu pemilihan umum yang mustahil dilakukan itu. Dalam istilah Hukum
Internasional ini tidak berarti dengan tidak ada pemilihan lebih awal yang
sudah disahkan seribu tahun yang lalu dalam sejarah menurut UUD Kerajaan Acheh
yang lebih kurang sama dengan UUD kerajaan-kerajaan lain di dunia.
Dengan tidak ada sistem itu maka
kita tidak mempunyai pegangan yang begitu kuat dan sempurnya untuk mendirikan Acheh
Merdeka dan saya tidak mempunyai alasan legal dan bersejarah untuk menjadi Wali
negara Acheh Merdeka. Apa yang sudah kita lakukan itu adalah cocok dan sepadan
dengan Hukum Internasional dan dimengerti penuh oleh bangsa-bangsa yang beradab
di dunia, karena itulah kita mendapatkan simpati dunia yang besar. Menjadi orang Acheh Merdeka berarti menjadi
seorang warganegara Acheh Merdeka yang selalu wajib berpikir sendiri dan wajib
ta´at-setia kepada Pemimpinnya: Wali Negara Acheh Merdeka.
TENGKU
HASAN DI TIRO WALI NEGARA ACHEH MERDEKA.
Bertepatan
dengan 100 tahun medan perang Kuta Aneuk Galông, dimana Tengku Chik di Tiro
Muhammad Amin gusur bersama 400 kawan seperjuangannya mempertahankan
kemerdekaan Acheh. Mayat beliau dikebumikan di Meureuë, di samping Ayahandanya
Tengku Chik di Tiro Muhammad Saman. Ketika saya pulang ke Acheh dari Amerika di
tahun 1976 untuk mendirikan Acheh Merdeka kembali, saya menziarahi
kuburan-kuburan mulia itu dan waktu itu saya tidak dapat berbuat apa-apa,
selain meniarap atas makam Pahlawan itu dan mencucurkan air mata yang tidak
dapat saya tahan dan bendung itu membasahi bumi pusara mulia itu. Bersambung…..
[1] William Marsden, The History of Sumatra, London, 1873, p.
396.



