Notification

×

Iklan

Iklan

Acheh Karam lam dada, Yusra Habib Abdul Gani SH, Perdanamentri Negara Acheh Darussalam

Ahad, 9 November 2025 | November 09, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-11-09T07:17:36Z

 

Kepelbagaian isu yang dibentang disini, bukan saja membatasi dari satu sudut pandang, akan tetapi juga melancarkan kritik tajam terhadap beberapa isu yang dianggap sebagai kejahatan peradaban karena penipun fakta sejarah yang dilakukan secara sengaja, dirancang sistematis dan terstruktur. Misalnya, keterlanjuran menerima dan mengunyah dan sekaligus mengakui bahwa, Budi Utomo adalah embrio dari kebangkitan nasionalisme Indonesia, sekaligus motor penggerak perjuangan kesadaran politik berbangsa dan bernegara serta bercita-cita memerdekakan Indonesia. Tulisan ini mengkritisi, sekaligus mempertanyakan: benarkah? Oleh karena setelah diteliti ternyata terbukti, pertemuan yang diadakan oleh organinsasi Budi Utomo sifatnya terbatas, hanya dihadiri oleh kalangan orang-orang Jawa saja (alumnus STOVIA asal Jawa Tengah dan Timur), tidak dihadiri oleh orang Sunda (Jawa Barat), apalagi orang-orang (perwakilan) dari luar pulau Jawa. Agenda pertemuan difokuskan kepada perubahan nasib masa depan politik orang Jawa dan Madura. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam pasal 2 Anggaran Dasar Budi Utomo bahwa: “Tujuan organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis.” Jadi, argumentasi KH. Firdaus AN dalam buku: “Syarikat Islam Bukan Budi Utomo: Meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa” yang menyatakan: “Tidak pernah sekalipun rapat Budi Utomo membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara yang merdeka. Mereka hanya membahas bagaimana memperbaiki taraf hidup orang-orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan Ratu Belanda, memperbaiki nasib golongannya sendiri, dan menjelek-jelekkan Islam yang dianggapnya sebagai batu sandungan bagi upaya mereka” adalah  akurat. Apalagi terbukti bahwa, bahasa resmi yang digunakan dalam setiap pertemuan, surat-menyurat, termasuk Anggaran Dasar organisasi ini ditulis dalam bahasa Belanda. Ini berarti, Budi Utomo bersifat ke-Jawa-Madura-an (ethnocentries) dan sama sekali bukan berjiwa kebangsaan (nasionalisme) Indonesaia?, sebagaimana diungkap dalam sub judul: Giliranku Menjawab terdapat pada BAB VIII. Dalam konteks kajian terhadap sejarah, tindakan membesar-besarkan suatu peristiwa yang tidak pernah wujud dinyatakan terjadi, hingga fakta sejarah yang palsu tadi dianggap sebagai suatu kebenaran sejarah. Hal ini diperlukan sikap kritis, sebab “siapapun yang mempercayai sesuatu (pen: fakta) tanpa pengetahuan yang cukup, sama dengan orang jahiliyah.”  Ini penting dilakukan untuk membuka tirai jenayah peradaban yang oleh penguasa diselimuti denga agenda-agenda falu yang menjijikkan.

 

Begitu juga isu Konferensi Mejabundar tahun 1949, sarat dengan rahasia yang datanya aslinya tidak dapat diakses dan diketahui oleh masyarakat umum mengenai ”pengakuan yang diharapkan menghilangkan beban sejarah itu sekaligus mengakhiri drama sejarah, ternyata sarat dengan hal-hal yang kontroversial di sekitar penandatanganan Pejanjian KMB, seperti keharusan Indonesia membayar kompensasi sebesar 600 juta Golden kepada Belanda dengan dalih pe-nasionalisasi-an terhadap seluruh hartanah Belanda di wilayah “Netherlans Easts Indies”, yang pembayarannya baru lunas tahun 2003. Naskah Perjanjian yang mewajibkan Indonesia membayar 600 juta Golden kepada Belanda, ditanda tangani oleh Sri Sultan Hamangkubuono IX (wakil RIS) dan A.H.J Lovink (Wakil Belanda) di Jakarta.” Pakatan gelap ini dirahasiakan oleh penguasa (pelaku sejarah Indonesia) kepada rakyat Indonesia dan baru terungkap di kalangan elite politisi Indonesia, setelah wartawan detikcom berhasil menelusuri jejak langkah kompensasi yang aneh bin ajaib itu dan membeberkan kepada masyarakat umum pertengahan tahun 2003.

 

 Isu perjuangan bangsa Palestina versus Israel juga disentuh disini untuk menjadi renungan, kajian dan analisis mengeani fenomena politik dan nilai-nilai persaudaraan Islam yang rapuh di sebalik konflik itu. Ini sudah tentu menjadi pembelajaran yang amat berharga bagi mengenali asbabun nuzul, kronologi peristiwa hingga kepada dilahirkannya beberapa  Resolusi PBB dan MoU Oslo tentang: pelaksanaan self government di Palestina (ditandatangani pada tahun 1993), yang dalam realitasnya tetap tidak efektif, akibat daripada tidak adanya kesungguhan dunia internasional (PBB) untuk mengembalikan hak dasar (merdeka). Dalam beberapa siri pertempuran yang bermula semenjak tahun 1947, yang menjadi mangsa peperangan mencapai belasan ribu, yang sebagian datanya dimuat disini. Data terkini (penghujung November 2023) memperlihatkan bahwa, tercatat 13.300 orang tewas, jumlah korban tewas mencakup 5.600 anak-anak dan 3.550 perempuan. Ditambahkannya, korban tewas juga mencakup 201 staff medis, 22 anggota tim penyelamat pertahanan sipil, dan 60 jurnalis.

 

Yang menjadi dilema geo-politik di sini ialah, betapa rapuhnya rasa persaudaraan di antara sesama negara-negara tetangga Arab yang se-agama, seiman dan bersaudara, tidak berani mengakui Palestina sebagai sebuah negara merdeka dan berdaulat. Dunia Arab terkapani dan terkubur dalam peti kematian jiwa dan rasa persaudaraan. Inilah yang menjadi alasan dan dalih, sehingga dunia internasional tidak merasa respek, menghormati dan menghargai, seiring dengannya membiarkan Palestina tersungkur. Barulah dalam peristiwa perang terakhir ini (7 November 2023 - ?) dikenal pasti beberapa negara jiran, seperti Libanon, Syria, Yaman dan Iran memberi bantuan persentaan, bahkan turut menyerang; namun belum juga mengakui eksistensi status Palestina. Sikap moral bangsa Arab yang enggan bersatu dan membiarkan saudara terdekat menimpa malapetaka musibah, sudah pun digambarkan dalam al-Qur´an. ”Orang-orang Arab itu lebih kuat kekafiran dan kemunafikannya, dan sangat wajar tidak mengetahui hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” (Q: Surat At-Taubah, ayat 97). Refleksi dari firman Allah ini terbukti di mata dunia internasional mulai sejak tahun 1947 – sekarang) yang enggan memberi bantuan, sokongan moral dan politik kepada saudaranya. Lebih jauh dari itu, karakter orang Arab (Badui), secara simbolik sudah juga digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah Hadits berbunyi: ”Para pengembala yang berjalan tanpa alas kaki atau menggunakan sandal itu, pada saatnya nanti akan berlomba-lomba membangun gedung pencakar langit.”  Kini, matan hadits itu sudah pun terbukti, bagaimana Qatar, Emirat Arab dan Saudi Arabia yang tengah bertarung dan berlomba-lomba membangun gedung pencakar langit, di tengah-tengah saudaranya (Palestina) tengah menghadapi situasi dharurat memerlukan dukungan moral, makanan dan sokongan politik.

 

Pelbagai isu lain sejumlah 76 artikel, membahas tentang pelbagai isu sosial kemasyarakatan, politik, hukum, falsafah, ekonomi, politik dan kekuasaan, agama, humansime, toleransi, ke-aneka-ragaman streotype tamadun, adat-Istiadat; kesemuanya dirajut dengan pendekatan akademik yang rujukannya bersumber atau diperoleh dari pusat-pusat informasi terkemuka, dirungkai dengan bahasa bersahabat dan merakyat, yang ramuan kandungannya hangat dan menyengat. 


Dari hasil kajian anthropologi diakui bahwa, cara pandang dan kemajuan peradaban maupun gerak perubahan sosial-politik dalam suatu masyarakat, tercermin dari refleksi nilai-nilai budaya yang dimilikinya. Oleh sebab itu, kebudayaan selalu dipakai oleh peneliti sosial dan pakar perang untuk mengenali lebih dekat bentuk (form) budaya dan pantulannya dalam prilaku individu dan kolektif dari suatu masyarakat. Dalam konteks ini, Seudati –sebagai salah satu seni budaya Acheh– dijadikan objek untuk mengenali dan menyimpulkan: ’apakah benar Seudati punya nilai-nilai demokratis yang positif?’ Seudati –seni yang mengkombinasi gerak, lirik sastera dan suara– sebenarnya selain mengandung nilai-nilai seni murni, juga terdapat muatan politik yang bisa diaplikasikan ke dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan politik; sebab disini, orang bebas mengungkap dan meng-ekpresi-kan segala isu dalam bahasa sastera yang unik dan menarik –bukan hahasa kekerasan– dimana kesannya bisa menyentuh hingga ke relung hati penonton yang paling dalam. Diakui bahwa kebudayaan adalah juga rangkuman dan perwujudan dari cara berpikir manusia yang dituangkan ke dalam pelbagai disiplin ilmu pengetahuan dan gerak, yang memberi manfaat kepada kehidupan masyarakat. Dari itu, Seudati adalah salah satu wujud dari format pemikiran kebudayaan yang menggambarkan karakteristik orang Acheh.

 

Jika diamati secara teliti, Seudati merupakan ajang untuk mengungkap pelbagai bentuk keresahan, phenomena alam, politik, hukum, ekonomi dan psykhologi sosial, seperti: kekejaman, kemiskian, racisme, kerusakan alam, ketidak adilan dalam dunia hukum, moral, agama, kesenjangan sosial dan pengetahuan; yang sepenuhnya memberi informasi dan mengajar orang agar peka terhadap lingkungan sekitarnya yang menganggap bahwa, kehidupan manusia akan indah dan harmonis, sekiranya meneguk ramuan-ramuan nasehat, pandangan dan kritik membangun yang diluahkan dalam bahasa seni sastera yang perlu tafsiran intensif. Bukankah masalah di atas menjadi thema utama dalam demokrasi, jika benar demokrasi diartikan sebagai wadah, dimana orang bebas menyalurkan pendapat dan aspirasi politik. Itu pasalnya, sjèh Seudati ditunut supaya menguasai segala masalah kemasyarakatan; karena pada gilirannya, mesti menangkis isu, hujjah, kritik, sindiran yang disodorkan oleh pihak lawan. Sjèh Seudati adalah seniman, budayawan, filosuf, Ulama, politisi, pakar hukum, Hakim, pemerhati masalah kemanusiaan, ekonom dan rakyat jelata yang siap memberi penjelasan menurut konteksnya.

 

Pentas Seudati seumpama pertarungan politisi dalam ’gedung Parlemen’ yang masing-masing partai/fraksi membentangkan usul atau idé ke hadapan anggota Dewan, siap dikaji, dianalisis dan diperdebatkan. Apabila sjèh Seudati tidak cermat dan argumentasinya dinilai lemah, maka pihak lawan akan berkesimpulan bahwa rivalnya adalah jumud berfikir dan penakut: ”Alahai Teungku, keupeuë peuleumah beuho dikeuë ureuëng inong, peuleumah carong bak ureuëng buta.” Secara simbolik dan kontekstual berarti, hujjah yang dikemukakan tidak relevan atau tidak tepat sasaran dan secara harfiyah bermakna, jika kaum lelaki berkelahi lawan perempuan dipandang ’aib dalam budaya Acheh, membunuh rakyat yang tidak bersenjata dengan senjata modern adalah perbuatan ’aib, a-moral, pengecut dan terkutuk dalam peradaban manusia yang mengamalkan demokrasi.

 

Walau pun bebas mengeluarkan pendapat, namun dalam seni Seudati, orang tetap dituntut supaya objektif, ada kesetaraan pengetahuan dalam membahas isu dan bertanggungjawab. Penonton (baca: rakyat) menyimak secara cermat keratan-keratan sastera yang diluahkan. Oleh sebab itu, para pihak (group Seudati) yang berlomba –terutama sjèh– mesti bersikap dewasa, mampu menahan emosi dan bijak dalam menjawab pertanyaan lawan. Ini merupakan prasyarat dalam pentas politik (demokrasi), yang menuntut para politisi menguasai masalah, mesti merespons sekecil apapun isu dalam masyarakat, tidak menutup keran informasi, peka terhadap masalah dan perubahan yang sedang bergulir dalam masyarakat, terbuka dan bertanggungjawab. Perlu diketahui bahwa hakikat dari seni Seudati tidak pernah akan keluar dari koridor religious. Hal ini terbukti dari setiap prolog, yang selalu diawali dengan ucapan salam, selawat kepada Nabi dan pujian kepada Allah sang Khaliq. Jadi, apa pun bentuk perseteruan dalam arena Seudati sah-sah saja, asalkan masing-masing sadar bahwa, isu yang dibincang mendatangkan faedah bagi pencerahan umat dengan mengedepankan rasa persaudaraan, ”watawa shaubil haq dan watawa sahabil shabr” sebagaimana diamanahkan al-Qur’an. Oleh karena Seudati merupakan salah satu bentuk pendidikan politik informal, maka isu atau fakta yang dipaparkan mestilah segar dan akurat, bukan fitnah dan propaganda. Seudati sekaligus mengajar orang supaya saling hormat-menghormati dan menghargai pendapat orang lain, bersikap demokratis, bukan otoriter. Penonton atau fans masing-masing, akan melihat dengan jeli kemampuan wakil mereka berhujjah dan menangkis.

 

Seni Seudati benar-benar ajang pendidikan kesadaran politik, yang mengajarkan semua orang untuk berpikir positif, bebas mengeluarkan pendapat, tidak mengandalkan kekerasan, intimidasi, teror dan main ”dor”. Melalui pementasan seni seperti inilah, orang Yunani kuno diajak oleh seniman menyaksikan drama ”Antigone”, yang di dalamnya sarat dengan unsur pendidikan dan kritik kepada penguasa bathil pada ketika itu. Ternyata lewat pementasan seni drama ini, rakyat memperoleh ilmu pengetahuan, pencerahan dan kesadaran dan pendidikan politik.

 

Akhirnya, walau Sjèh Seudati (pemimpin) tidak bergabung dalam barisan penari, tokh dia selalu berada di suatu sudut, yang setiap saat mengawasi gerak langkah anak buahnya (baca: rakyat), memberi isyarat dan arahan dari jarak dekat. Kecepatan dan polarisasi konfigurasi gerak diatur oleh suatu sistem managemen yang mengharuskan Sjèh (pemimpin) dan penari (rakyat) tunduk kepada ’rule of the game’ yang sudah disusun dan disepkati bersama. Ini sekaligus memberi informasi bahwa: yanag mana pemimpin dan yang dipimpin (rakyat). Di sini jelas! Berbeda dengan seni Didong dan Saman, dimana pemimpin (Cèh) bersimpuh, bertemu lutut dan bahu bersama dalam lingkaran pemain, yang memaksa sang pemimpin tidak boleh lari dari ikatan jama’ah. Akan tetapi segalanya kontradiktif, yakni: di satu sisi, ikatan moral, kebersamaan yang merekat dan rapat di atas pentas Seudati, Didong dan Saman; sementara dalam realitas sehari-hari mereka menjaga jarak, sebagaimana jaraknya ’Sultan’ dan ’abdi dalem”. Misalnya saja: dalam perhimpunan, posisi dan kursi pemimpin terasing dan lebih empuk daripada kursi orang awam, belum lagi perlakuan-perlakukan istimewa yang berlebihan kepada pemimpin. Masyarakat Acheh yang kita saksikan sekarang justeru gambaran dari golongan masyarakat klass ”pharia” dan ”ninggrat”. Tragis! Terlepas dari semua itu, dalam seni Seudati segalanya jelas, hanya saja masih banyak kawan yang belum mengerti akan arti semua pesan yang disampaikan. Jadi, belajarlah demokrasi melalui pendidikan seni Seudati yang mampu menyegarkan kesadaran, emosional dan mengelakkan dari kejumudan berpikir. Mengapa tidak memanfaatkan seni Seudati sebagai dunia pendidikan demokrasi yang sarat dengan adab, toleran, disiplin dan merakyat. Maka dari itu, tidak berlebihan kalau dikatakan: ’SEUDATI ADALAH PAPAN DEMOKRASI’!




 ORANG Acheh merasa pantas merasa bangga, karena memiliki karakter rasa kemuliaan peribadi yang tinggi (“Superiority Complex”), yang memandang dirinya lebih mulia daripada Belanda dan orang lain, dengan menyebut dirinya “Ulôn tuan” yang berarti: “Aku adalah Tuan” atau cukup dengan “Ulon” saja. Aplikasi sebutan ini dalam pertuturan sehari-hari mengalami proses pemèndèkan; yang apabila dipanggil, seseorang akan menyahut “Wan”, yang akar katanya berasal dari “Ulôn tuan.” Artinya, orang Acheh tetap memandang dirinya “Tuan” di hadapan siapapun juga. Dengan begitu, semua orang Acheh adalah tuan yang cenderung merasa senang jika dianya dipertuan. Karakteristik kejiawaan ini secara tidak langsung terbawa-bawa ke dalam strata kehidupan politik, dimana Snouck Hurgronje menyifatkan sebutan “superiority complex” ini sebagai “penyakit/kelainan jiwa”, angkuh dan sombong, bukan sifat keutamaan, hingga muncul doktrin Snouck bahwa untuk menaklukkan orang Acheh, maka “Orang Acheh wajib disakiti dengan sesakit-sakitnya, dihina dengan sehina-hinanya dan dihancurkan hingga hilang rasa kemuliaannya.” Setelah fatwa Snouck diuji dalam medan perang, doktrin ini ternyta gagal. Artinya, tindakan menyakiti fisik orang Acheh yang diguna pakai sebagai senjata menakluki Acheh dalam realitasnya tidak mujarab.

 

Sebenarnya, untuk memperdaya atau mengubah mental “ke-tuan-an” Acheh menjadi “hamba sahaya” (“lamit”), ada cara lain yang lebih sederhana dan simpatik, yakni secara perlahan-lahan, rasa “superiority complex” ini digiring, diarahkan dan dimanfaatkan, hingga tidak sadar kalau mereka diperalat sebagai “barang dagang“ politik untuk kepentingan politik penguasa. Tegasnya, sebagai objek politik. Misalnya, Acheh pernah dipakai sebagai ’brand’ (merk) politik, sebab dianggap punya daya pikat dan nilai jual dalam perniagaan politik lokal, nasional maupun Internasional. Nama Acheh berpotensi untuk melariskan barang dagang politik kontemporer di Indonesia. Dalam skala politik internasional misalnya, Acheh pernah dipakai sebagai ’brand’ oleh Van Sweten[1] tahun 1874, yang berkata: “Acheh sudah kita taklukkan”, yang ternyata dapat mempengaruhi opini dunia internasional pada masa itu. Sampai kepada Ratu dan rakyat Belanda di seluruh pelosok Belanda keluar rumah berpestapora di jalan-jalan, merayakan ‚kemenangan’ Belanda dalam perang Acheh, setelah menerima pengumuman Van Sweten –yang  menyerang Acheh persis pada malam Natal– tahun 1874. Walaupun realitas yang terjadi di medan perang justeru tidak demikian, bahkan sebaliknya.

 

Isu “kekalahan” Acheh, ternyata mempengaruhi kebijakan pemerintah Inggeris yang melarang warganya untuk berkunjung dan berniaga dengan Acheh. Namun



[1] Panglima Angkatan perang Belanda pada Desember 1873 yang melibatkan 8000 serdadu yang terdiri dari para penjahat yang disewa dari penjara-penjara di Eropah, orang Maluku, Ambon, Jawa, Madura dan Minangkabau.

 

 di sebalik itu, Inggeris secara rahasia memberi hak “belligerent power[1] kepada para saudagar Acheh yang tidak mahu rugi akibat daripada peperangan dan pihak asing untuk berdagang di lintas perdagangan Selat Melaka. Maksud pemberian hak ini, ternyata selain untuk mendeteksi peta kekuataan Angkatan Laut Acheh, juga menguntungkan perdagangan pihak asing, seperti pedagang Cina, Belanda, Inggeris, Perancis dan USA. Dalam skala nasional, orang Acheh pernah dimanfaatkan Soekarno sebagai ’brand’ dagang politik untuk menyelamatkan Indonesia, dimana Tgk. Hasan Krueng Kalé, Tgk. Daud Beureuéh, Tgk. Djafar Sidiq Lamdjabat dan Tgk. Ahmad Hasbalah Indrapuri, Teuku Njak Arif dan Tuanku Mahmud dibujuk untuk mengakui bahwa “...Indonesia tanah tumpah darah kita telah dimaklumkan kemerdekaannya kepada seluruh dunia serta telah berdiri Republik Indonesia di bawah pimpinan dari yang maha Pemimpin kita Ir Soekarno. Perjuangan ini adalah perjuangan suci yang disebut “Perang Sabil”.[2]

 

Kalimat “maha Pemimpin” dan “Perang Sabil” adalah ’brand’ politik made-in Acheh, untuk mempengaruhi orang Acheh melihat figur Soekarno yang dipandang hebat, hingga terseret ke dalam kancah perang Surabaya dan Bandung Lautan Api. Padahal, status dan nasib masa depan Acheh ketika itu tidak menentu –Acheh tidak diakui sebagai bagian Indonesia dalam Perjanjian Linggar Jati dan Perjanjian Renville– pada ketika itu dan brand politik ini menciptakan Soekarno sangat populer. Jadi tidak mengherankan, kalau kunjungan Soekarno ke Acheh tahun 1948 menjadi heboh; sekembalinya ke Jawa membawa 10 koper berisi tekstil, setengah kilogram emas dan sejumlah jam tangan berlapis emas, padahal sewaktu berangkat dari Yogyakarta ia hanya membawa sebuah koper saja, bahkan baju jasnya dijahitkan oleh Bantasyam, seorang penjahit pakaian di Bireuën. Pada gilirannya, sebutan “Pemimpin Besar Revolusi” kepada Sukarno telah dicabut melalui Ketetapan MPRS No. XVII/MPRS/1966; melucuti semua sebutan, seperti: “Paduka Yang Mulia”, “Yang Mulia”, “Paduka Tuan” diganti dengan sebutan “Bapak/Ibu” atau “Saudara/Saudari” melalui Ketetapan MPRS No. XXXI/MPRS/1966, bahkan mencabut semua atribut kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno, lewat Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967. Anèhnya, sebutan “maha pemimpin” yang tertera dalam Maklumat Ulama Seluruh Acheh, sampai hari ini tidak ada peraturan perundang-undangan yang mencabutnya. Berarti, secara politik dan yuridis formal, sebutan “maha Pemimpin” made-in Acheh itu masih sah berlaku. Mengapa? Begitulah mahalnya ’brand’ Acheh dalam perdagangan politik Indonesia kemaren, hari ini dan esok.

 

Bukan hanya itu, pencetus idé supaya Soekarno diangkat menjadi Presiden seumur hidup keluar dari mulut Ali Hasymi, Gubernur Acheh (periode 1957-1964). Ide tersebut mendapat sambutan dari kalangan politisi. Sehingga ditetapkan melalui Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963 tentang: Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno Menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup. Dalam memori


[1] Belligerent power yang berarti kuasa berdagang yang diberikan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam perang.

 

[2] Maklumat Ulama Seluruh Acheh, tanggal 5. Oktober 1945

 

 


TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update