Kepelbagaian
isu yang dibentang disini, bukan saja membatasi dari satu sudut pandang, akan
tetapi juga melancarkan kritik tajam terhadap beberapa isu yang dianggap
sebagai kejahatan peradaban karena penipun fakta sejarah yang dilakukan secara
sengaja, dirancang sistematis dan terstruktur. Misalnya, keterlanjuran menerima
dan mengunyah dan sekaligus
mengakui bahwa, Budi Utomo adalah embrio dari kebangkitan nasionalisme
Indonesia, sekaligus motor penggerak perjuangan kesadaran politik berbangsa dan
bernegara serta bercita-cita memerdekakan Indonesia. Tulisan ini mengkritisi,
sekaligus mempertanyakan: benarkah? Oleh karena setelah diteliti ternyata
terbukti, pertemuan yang diadakan oleh organinsasi Budi Utomo sifatnya
terbatas, hanya dihadiri oleh kalangan orang-orang Jawa saja (alumnus STOVIA
asal Jawa Tengah dan Timur), tidak dihadiri oleh orang Sunda (Jawa Barat),
apalagi orang-orang (perwakilan) dari luar pulau Jawa. Agenda pertemuan difokuskan kepada perubahan nasib
masa depan politik orang Jawa dan Madura. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam
pasal 2 Anggaran Dasar Budi Utomo bahwa: “Tujuan organisasi untuk menggalang
kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis.”
Jadi, argumentasi KH. Firdaus AN dalam buku: “Syarikat Islam Bukan Budi Utomo:
Meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa” yang menyatakan: “Tidak pernah
sekalipun rapat Budi Utomo membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara
yang merdeka. Mereka hanya membahas bagaimana memperbaiki taraf hidup
orang-orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan Ratu Belanda, memperbaiki
nasib golongannya sendiri, dan menjelek-jelekkan Islam yang dianggapnya sebagai
batu sandungan bagi upaya mereka” adalah akurat. Apalagi terbukti
bahwa, bahasa resmi yang digunakan dalam setiap pertemuan, surat-menyurat,
termasuk Anggaran Dasar organisasi ini ditulis dalam bahasa Belanda. Ini
berarti, Budi Utomo bersifat ke-Jawa-Madura-an (ethnocentries) dan sama
sekali bukan berjiwa kebangsaan (nasionalisme) Indonesaia?, sebagaimana
diungkap dalam sub judul: Giliranku Menjawab terdapat pada BAB VIII. Dalam konteks kajian
terhadap sejarah, tindakan membesar-besarkan suatu peristiwa yang tidak pernah
wujud dinyatakan terjadi, hingga fakta sejarah yang palsu tadi dianggap sebagai
suatu kebenaran sejarah. Hal ini diperlukan sikap kritis, sebab “siapapun
yang mempercayai sesuatu (pen: fakta) tanpa pengetahuan yang cukup, sama dengan
orang jahiliyah.” Ini penting
dilakukan untuk membuka tirai jenayah peradaban yang oleh penguasa diselimuti
denga agenda-agenda falu yang menjijikkan.
Begitu juga isu Konferensi Mejabundar tahun 1949,
sarat dengan rahasia yang datanya aslinya tidak dapat diakses dan diketahui
oleh masyarakat umum mengenai ”pengakuan yang diharapkan menghilangkan beban
sejarah itu sekaligus mengakhiri drama sejarah, ternyata sarat dengan hal-hal
yang kontroversial di sekitar penandatanganan Pejanjian KMB, seperti keharusan
Indonesia membayar kompensasi sebesar 600 juta Golden kepada Belanda dengan
dalih pe-nasionalisasi-an terhadap seluruh hartanah Belanda di wilayah “Netherlans
Easts Indies”, yang pembayarannya baru lunas tahun 2003. Naskah Perjanjian yang
mewajibkan Indonesia membayar 600 juta Golden kepada Belanda, ditanda tangani
oleh Sri Sultan Hamangkubuono IX (wakil RIS) dan A.H.J Lovink (Wakil Belanda)
di Jakarta.” Pakatan gelap ini dirahasiakan oleh penguasa (pelaku sejarah
Indonesia) kepada rakyat Indonesia dan baru terungkap di kalangan elite
politisi Indonesia, setelah wartawan detikcom berhasil menelusuri jejak langkah
kompensasi yang aneh bin ajaib itu dan membeberkan kepada masyarakat umum
pertengahan tahun 2003.
Isu
perjuangan bangsa Palestina versus Israel juga disentuh disini untuk menjadi
renungan, kajian dan analisis mengeani fenomena politik dan nilai-nilai
persaudaraan Islam yang rapuh di sebalik konflik itu. Ini sudah tentu menjadi
pembelajaran yang amat berharga bagi mengenali asbabun nuzul, kronologi
peristiwa hingga kepada dilahirkannya beberapa
Resolusi PBB dan MoU Oslo tentang: pelaksanaan self government di
Palestina (ditandatangani pada tahun 1993), yang dalam realitasnya tetap tidak
efektif, akibat daripada tidak adanya kesungguhan dunia internasional (PBB)
untuk mengembalikan hak dasar (merdeka). Dalam beberapa siri pertempuran yang
bermula semenjak tahun 1947, yang menjadi mangsa peperangan mencapai belasan
ribu, yang sebagian datanya dimuat disini. Data terkini (penghujung
November 2023) memperlihatkan bahwa, tercatat 13.300 orang
tewas, jumlah korban tewas
mencakup 5.600 anak-anak dan 3.550 perempuan. Ditambahkannya, korban tewas juga
mencakup 201 staff medis, 22 anggota tim penyelamat pertahanan sipil, dan 60
jurnalis.
Yang menjadi dilema geo-politik di sini ialah,
betapa rapuhnya rasa persaudaraan di antara sesama negara-negara tetangga Arab
yang se-agama, seiman dan bersaudara, tidak berani mengakui Palestina sebagai
sebuah negara merdeka dan berdaulat. Dunia Arab terkapani dan terkubur dalam
peti kematian jiwa dan rasa persaudaraan. Inilah yang menjadi alasan dan dalih,
sehingga dunia internasional tidak merasa respek, menghormati dan menghargai,
seiring dengannya membiarkan Palestina tersungkur. Barulah dalam peristiwa
perang terakhir ini (7 November 2023 - ?) dikenal pasti beberapa negara jiran,
seperti Libanon, Syria, Yaman dan Iran memberi bantuan persentaan, bahkan turut
menyerang; namun belum juga mengakui eksistensi status Palestina. Sikap moral
bangsa Arab yang enggan bersatu dan membiarkan saudara terdekat menimpa
malapetaka musibah, sudah pun digambarkan dalam al-Qur´an. ”Orang-orang Arab itu lebih
kuat kekafiran dan kemunafikannya, dan sangat wajar tidak mengetahui
hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya. Allah Maha Mengetahui,
Mahabijaksana.” (Q: Surat At-Taubah, ayat 97). Refleksi dari firman
Allah ini terbukti di mata dunia internasional mulai sejak tahun 1947 –
sekarang) yang enggan memberi bantuan, sokongan moral dan politik kepada
saudaranya. Lebih jauh dari itu, karakter orang Arab (Badui), secara simbolik
sudah juga digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah Hadits berbunyi: ”Para
pengembala yang berjalan tanpa alas kaki atau menggunakan sandal itu, pada
saatnya nanti akan berlomba-lomba membangun gedung pencakar langit.” Kini, matan hadits itu sudah pun terbukti,
bagaimana Qatar, Emirat Arab dan Saudi Arabia yang tengah bertarung dan
berlomba-lomba membangun gedung pencakar langit, di tengah-tengah saudaranya
(Palestina) tengah menghadapi situasi dharurat memerlukan dukungan moral,
makanan dan sokongan politik.
Pelbagai isu lain sejumlah
76 artikel, membahas tentang pelbagai isu sosial kemasyarakatan, politik,
hukum, falsafah, ekonomi, politik dan kekuasaan, agama, humansime, toleransi,
ke-aneka-ragaman streotype tamadun, adat-Istiadat; kesemuanya dirajut
dengan pendekatan akademik yang rujukannya bersumber atau diperoleh dari
pusat-pusat informasi terkemuka, dirungkai dengan bahasa bersahabat dan
merakyat, yang ramuan kandungannya hangat dan menyengat.
Dari hasil kajian anthropologi diakui bahwa, cara pandang
dan kemajuan peradaban maupun gerak perubahan sosial-politik dalam suatu masyarakat,
tercermin dari refleksi nilai-nilai budaya yang dimilikinya. Oleh sebab itu,
kebudayaan selalu dipakai oleh peneliti sosial dan pakar perang untuk mengenali
lebih dekat bentuk (form) budaya dan pantulannya dalam prilaku individu
dan kolektif dari suatu masyarakat. Dalam konteks ini, Seudati –sebagai salah
satu seni budaya Acheh– dijadikan objek untuk mengenali dan menyimpulkan:
’apakah benar Seudati punya nilai-nilai demokratis yang positif?’ Seudati –seni
yang mengkombinasi gerak, lirik sastera dan suara– sebenarnya selain mengandung
nilai-nilai seni murni, juga terdapat muatan politik yang bisa diaplikasikan ke
dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan politik; sebab disini, orang bebas
mengungkap dan meng-ekpresi-kan segala isu dalam bahasa sastera yang unik dan
menarik –bukan hahasa kekerasan– dimana kesannya bisa menyentuh hingga ke
relung hati penonton yang paling dalam. Diakui bahwa kebudayaan adalah juga
rangkuman dan perwujudan dari cara berpikir manusia yang dituangkan ke dalam
pelbagai disiplin ilmu pengetahuan dan gerak, yang memberi manfaat kepada
kehidupan masyarakat. Dari itu, Seudati adalah salah satu wujud dari format
pemikiran kebudayaan yang menggambarkan karakteristik orang Acheh.
Jika diamati secara teliti, Seudati merupakan ajang
untuk mengungkap pelbagai bentuk keresahan, phenomena alam, politik, hukum,
ekonomi dan psykhologi sosial, seperti: kekejaman, kemiskian, racisme,
kerusakan alam, ketidak adilan dalam dunia hukum, moral, agama, kesenjangan
sosial dan pengetahuan; yang sepenuhnya memberi informasi dan mengajar orang
agar peka terhadap lingkungan sekitarnya yang menganggap bahwa, kehidupan
manusia akan indah dan harmonis, sekiranya meneguk ramuan-ramuan nasehat,
pandangan dan kritik membangun yang diluahkan dalam bahasa seni sastera yang
perlu tafsiran intensif. Bukankah masalah di atas menjadi thema utama dalam
demokrasi, jika benar demokrasi diartikan sebagai wadah, dimana orang bebas
menyalurkan pendapat dan aspirasi politik. Itu pasalnya, sjèh Seudati ditunut
supaya menguasai segala masalah kemasyarakatan; karena pada gilirannya, mesti
menangkis isu, hujjah, kritik, sindiran yang disodorkan oleh pihak lawan. Sjèh
Seudati adalah seniman, budayawan, filosuf, Ulama, politisi, pakar hukum,
Hakim, pemerhati masalah kemanusiaan, ekonom dan rakyat jelata yang siap
memberi penjelasan menurut konteksnya.
Pentas Seudati seumpama pertarungan politisi dalam
’gedung Parlemen’ yang masing-masing partai/fraksi membentangkan usul atau idé
ke hadapan anggota Dewan, siap dikaji, dianalisis dan diperdebatkan. Apabila
sjèh Seudati tidak cermat dan argumentasinya dinilai lemah, maka pihak lawan
akan berkesimpulan bahwa rivalnya adalah jumud berfikir dan penakut: ”Alahai
Teungku, keupeuë peuleumah beuho dikeuë ureuëng inong, peuleumah carong bak
ureuëng buta.” Secara simbolik dan kontekstual berarti, hujjah yang
dikemukakan tidak relevan atau tidak tepat sasaran dan secara harfiyah
bermakna, jika kaum lelaki berkelahi lawan perempuan dipandang ’aib dalam
budaya Acheh, membunuh rakyat yang tidak bersenjata dengan senjata modern
adalah perbuatan ’aib, a-moral, pengecut dan terkutuk dalam peradaban manusia
yang mengamalkan demokrasi.
Walau pun bebas mengeluarkan pendapat, namun dalam
seni Seudati, orang tetap dituntut supaya objektif, ada kesetaraan pengetahuan
dalam membahas isu dan bertanggungjawab. Penonton (baca:
rakyat) menyimak secara cermat keratan-keratan sastera yang diluahkan. Oleh
sebab itu, para pihak (group Seudati) yang berlomba –terutama sjèh– mesti
bersikap dewasa, mampu menahan emosi dan bijak dalam menjawab pertanyaan lawan.
Ini merupakan prasyarat dalam pentas politik (demokrasi), yang menuntut para
politisi menguasai masalah, mesti merespons sekecil apapun isu dalam
masyarakat, tidak menutup keran informasi, peka terhadap masalah dan perubahan
yang sedang bergulir dalam masyarakat, terbuka dan bertanggungjawab. Perlu
diketahui bahwa hakikat dari seni Seudati tidak pernah akan keluar dari koridor
religious. Hal ini terbukti dari setiap prolog, yang selalu diawali dengan
ucapan salam, selawat kepada Nabi dan pujian kepada Allah sang Khaliq. Jadi,
apa pun bentuk perseteruan dalam arena Seudati sah-sah saja, asalkan masing-masing
sadar bahwa, isu yang dibincang mendatangkan faedah bagi pencerahan umat dengan
mengedepankan rasa persaudaraan, ”watawa
shaubil haq dan watawa sahabil shabr” sebagaimana diamanahkan al-Qur’an.
Oleh karena Seudati merupakan salah satu bentuk pendidikan politik informal,
maka isu atau fakta yang dipaparkan mestilah segar dan akurat, bukan fitnah dan
propaganda. Seudati sekaligus mengajar orang supaya saling
hormat-menghormati dan menghargai pendapat orang lain, bersikap demokratis,
bukan otoriter. Penonton atau fans masing-masing, akan melihat dengan jeli
kemampuan wakil mereka berhujjah dan menangkis.
Seni Seudati benar-benar ajang pendidikan kesadaran politik, yang
mengajarkan semua orang untuk berpikir positif, bebas mengeluarkan pendapat,
tidak mengandalkan kekerasan, intimidasi, teror dan main ”dor”. Melalui
pementasan seni seperti inilah, orang Yunani kuno diajak oleh seniman
menyaksikan drama ”Antigone”, yang di dalamnya sarat dengan unsur pendidikan
dan kritik kepada penguasa bathil pada ketika itu. Ternyata lewat pementasan
seni drama ini, rakyat memperoleh ilmu pengetahuan, pencerahan dan kesadaran
dan pendidikan politik.
Akhirnya, walau Sjèh Seudati (pemimpin) tidak bergabung dalam barisan
penari, tokh dia selalu berada di suatu sudut, yang setiap saat mengawasi gerak
langkah anak buahnya (baca: rakyat), memberi isyarat dan arahan dari jarak
dekat. Kecepatan dan polarisasi konfigurasi gerak diatur oleh suatu sistem
managemen yang mengharuskan Sjèh (pemimpin) dan penari (rakyat) tunduk kepada ’rule
of the game’ yang sudah disusun dan disepkati bersama. Ini sekaligus memberi informasi bahwa: yanag mana
pemimpin dan yang dipimpin (rakyat). Di sini jelas! Berbeda dengan seni Didong
dan Saman, dimana pemimpin (Cèh) bersimpuh, bertemu lutut dan bahu bersama
dalam lingkaran pemain, yang memaksa sang pemimpin tidak boleh lari dari ikatan
jama’ah. Akan tetapi segalanya kontradiktif, yakni: di satu sisi, ikatan moral,
kebersamaan yang merekat dan rapat di atas pentas Seudati, Didong dan Saman;
sementara dalam realitas sehari-hari mereka menjaga jarak, sebagaimana jaraknya
’Sultan’ dan ’abdi dalem”. Misalnya saja: dalam perhimpunan, posisi dan kursi
pemimpin terasing dan lebih empuk daripada kursi orang awam, belum lagi
perlakuan-perlakukan istimewa yang berlebihan kepada pemimpin. Masyarakat Acheh
yang kita saksikan sekarang justeru gambaran dari golongan masyarakat klass ”pharia” dan ”ninggrat”. Tragis! Terlepas dari semua itu, dalam seni Seudati
segalanya jelas, hanya saja masih banyak kawan yang belum mengerti akan arti
semua pesan yang disampaikan. Jadi, belajarlah demokrasi melalui pendidikan
seni Seudati yang mampu menyegarkan kesadaran, emosional dan mengelakkan dari
kejumudan berpikir. Mengapa tidak memanfaatkan seni Seudati sebagai dunia
pendidikan demokrasi yang sarat dengan adab, toleran, disiplin dan merakyat.
Maka dari itu, tidak berlebihan kalau dikatakan: ’SEUDATI ADALAH PAPAN
DEMOKRASI’!
Sebenarnya, untuk memperdaya atau mengubah mental “ke-tuan-an”
Acheh menjadi “hamba sahaya” (“lamit”), ada cara lain yang lebih sederhana dan
simpatik, yakni secara perlahan-lahan, rasa “superiority complex” ini
digiring, diarahkan dan dimanfaatkan, hingga tidak sadar kalau mereka diperalat
sebagai “barang dagang“ politik untuk kepentingan politik penguasa. Tegasnya,
sebagai objek politik. Misalnya, Acheh pernah dipakai sebagai ’brand’ (merk)
politik, sebab dianggap punya daya pikat dan nilai jual dalam perniagaan
politik lokal, nasional maupun Internasional. Nama Acheh berpotensi untuk
melariskan barang dagang politik kontemporer di Indonesia. Dalam skala politik
internasional misalnya, Acheh pernah dipakai sebagai ’brand’ oleh Van Sweten[1] tahun 1874, yang berkata: “Acheh sudah kita
taklukkan”, yang ternyata dapat mempengaruhi opini dunia internasional pada
masa itu. Sampai kepada Ratu dan rakyat Belanda di seluruh pelosok Belanda
keluar rumah berpestapora di jalan-jalan, merayakan ‚kemenangan’ Belanda dalam
perang Acheh, setelah menerima pengumuman Van Sweten –yang menyerang Acheh persis pada malam Natal–
tahun 1874. Walaupun realitas yang terjadi di medan perang justeru tidak
demikian, bahkan sebaliknya.
Isu “kekalahan” Acheh, ternyata mempengaruhi kebijakan pemerintah Inggeris yang melarang warganya untuk berkunjung dan berniaga dengan Acheh. Namun
[1] Panglima Angkatan perang Belanda pada Desember 1873 yang
melibatkan 8000 serdadu yang terdiri dari para penjahat yang disewa dari
penjara-penjara di Eropah, orang Maluku, Ambon, Jawa, Madura dan Minangkabau.
di sebalik itu, Inggeris secara rahasia memberi hak “belligerent power”[1] kepada para saudagar Acheh yang tidak mahu rugi akibat daripada peperangan dan pihak asing untuk berdagang di lintas perdagangan Selat Melaka. Maksud pemberian hak ini, ternyata selain untuk mendeteksi peta kekuataan Angkatan Laut Acheh, juga menguntungkan perdagangan pihak asing, seperti pedagang Cina, Belanda, Inggeris, Perancis dan USA. Dalam skala nasional, orang Acheh pernah dimanfaatkan Soekarno sebagai ’brand’ dagang politik untuk menyelamatkan Indonesia, dimana Tgk. Hasan Krueng Kalé, Tgk. Daud Beureuéh, Tgk. Djafar Sidiq Lamdjabat dan Tgk. Ahmad Hasbalah Indrapuri, Teuku Njak Arif dan Tuanku Mahmud dibujuk untuk mengakui bahwa “...Indonesia tanah tumpah darah kita telah dimaklumkan kemerdekaannya kepada seluruh dunia serta telah berdiri Republik Indonesia di bawah pimpinan dari yang maha Pemimpin kita Ir Soekarno. Perjuangan ini adalah perjuangan suci yang disebut “Perang Sabil”.[2]
Kalimat “maha Pemimpin” dan “Perang Sabil” adalah
’brand’ politik made-in Acheh, untuk mempengaruhi orang Acheh melihat
figur Soekarno yang dipandang hebat, hingga terseret ke dalam kancah perang Surabaya
dan Bandung Lautan Api. Padahal, status dan nasib masa depan Acheh ketika itu
tidak menentu –Acheh tidak diakui sebagai bagian Indonesia dalam Perjanjian
Linggar Jati dan Perjanjian Renville– pada ketika itu dan brand politik ini
menciptakan Soekarno sangat populer. Jadi tidak mengherankan, kalau kunjungan
Soekarno ke Acheh tahun 1948 menjadi heboh; sekembalinya ke Jawa membawa 10
koper berisi tekstil, setengah kilogram emas dan sejumlah jam tangan berlapis
emas, padahal sewaktu berangkat dari Yogyakarta ia hanya membawa sebuah koper
saja, bahkan baju jasnya dijahitkan oleh Bantasyam, seorang penjahit pakaian di
Bireuën. Pada gilirannya, sebutan “Pemimpin Besar Revolusi” kepada Sukarno
telah dicabut melalui Ketetapan MPRS No. XVII/MPRS/1966; melucuti semua
sebutan, seperti: “Paduka Yang Mulia”, “Yang Mulia”, “Paduka Tuan” diganti
dengan sebutan “Bapak/Ibu” atau “Saudara/Saudari” melalui Ketetapan MPRS No.
XXXI/MPRS/1966, bahkan mencabut semua atribut kekuasaan pemerintahan negara
dari Presiden Soekarno, lewat Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967. Anèhnya,
sebutan “maha pemimpin” yang tertera dalam Maklumat Ulama Seluruh Acheh, sampai
hari ini tidak ada peraturan perundang-undangan yang mencabutnya. Berarti,
secara politik dan yuridis formal, sebutan “maha Pemimpin” made-in Acheh
itu masih sah berlaku. Mengapa? Begitulah mahalnya ’brand’ Acheh dalam
perdagangan politik Indonesia kemaren, hari ini dan esok.
Bukan hanya itu, pencetus idé supaya Soekarno diangkat menjadi Presiden seumur hidup keluar dari mulut Ali Hasymi, Gubernur Acheh (periode 1957-1964). Ide tersebut mendapat sambutan dari kalangan politisi. Sehingga ditetapkan melalui Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963 tentang: Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno Menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup. Dalam memori



