Setiap kali 4 Desember 2025 kembali datang, ada sesuatu di dada orang Aceh yang ikut bergetar. Seakan-akan memori kolektif tentang perjuangan, luka, dan harapan yang tak pernah selesai itu bangkit dari tidur panjangnya. Hari ini bukan sekadar tanggal, dia adalah suara yang memanggil kita untuk kembali melihat siapa kita, dari mana kita datang, dan ke mana kita ingin pergi.
Tapi tahun ini…
Tahun ini lebih berat daripada sebelumnya. Aceh baru saja diluluhlantakkan oleh musibah ekologis yang merenggut ribuan nyawa. Bukan hanya rumah yang hilang. Bukan hanya tubuh yang terseret arus. Tapi juga rasa aman, rasa kepercayaan, bahkan rasa memiliki terhadap tanah yang selama ini kita sebut sebagai rumah dan tanah Endatu.
Dan yang paling menyayat hati, banyak yang melihat bahwa bencana ini bukan hanya karena alam. Ada pengambil kebijakan yang tidak bijaksana, Ada tangan-tangang jahil yang meng-eksploitasi dan merampas hutan, sungai, dan gunung, hingga seakan-akan bukan hanya orang Aceh saja yang merasa terjajah, tetapi juga tanah, air, udara, dan seluruh makhluk yang hidup di dalamnya.
Di tengah semua kesedihan itu, pertanyaan yang paling lama tertanam dalam sejarah kita, sebagai orang Aceh, kembali muncul seperti luka lama yang disiram garam:
“Apa arti Aceh berada dalam bingkai NKRI?”
Bagaimana mungkin Aceh,
tanah yang begitu kaya, bisa menjadi salah satu yang
termiskin?Bagaimana mungkin Aceh, yang pernah berdiri tegak dengan
martabatnya, sekian lama terseok-seok dalam musibah, ketertinggalan,
kebodohan, banjir, dan keterpurukan?
Dan mengapa setiap generasi selalu terjebak dalam perjuangan, dan berakhir dengan cerita yang sama?
Sebagai orang Aceh, saya merasa…
Mungkin selama ini kita belum benar-benar merdeka di dalam diri kita sendiri atau tidak tahu apa arti kata merdeka.
Itu bukan hanya soal politik. Bukan.
Masalahnya jauh lebih dalam.
Kita selama ini terlalu sering memperjuangkan simbol, bukan isi.
Terlalu sibuk dengan apa yang terlihat, hingga lupa membangun apa yang menjadi kekuatan sejati.
Padahal kalau yang kita kejar adalah isi, pendidikan yang membebaskan, tata kelola pemerintahan yang jujur, ekonomi kokoh yang inklusif, lingkungan hidup kita yang terjaga, dan politik yang waras dan sehat, maka Aceh selalu punya harapan.
Mungkin sekarang saatnya kita bertanya ulang, dengan lebih jujur, lebih sakit, tapi juga lebih berani:Kemerdekaan macam apa yang sebenarnya kita inginkan?
Kemerdekaan macam apa yang ingin kita wariskan?
Karena pada akhirnya…
Kemerdekaan bukan hanya soal bendera yang berkibar. Kemerdekaan adalah ketika kita tidak lagi dibelenggu oleh ketertinggalan, korupsi, kebodohan, dan eksploitasi yang merusak tanah endatu kita.
Sebelum bertanya “Kenapa Aceh tidak merdeka?”, mungkin kita perlu bertanya:
Sudahkah kita memerdekakan hati kita?
Sudahkah kita membebaskan cara berpikir kita?
Sebab tak ada kemerdekaan apa pun yang bisa kita raih, baik politik, ekonomi, ataupun martabat, jika hati masih terikat oleh luka, dan pikiran masih terpenjara oleh pola lama. Bangsa yang ingin merdeka, harus lebih dulu merdeka di dalam dirinya. Jika tidak, apa pun yang kita perjuangkan hanya akan menjadi simbol tanpa isi.
Penulis: Tgk Ulee Madon





